Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RABU ABU DI BASILIKA SANTA SABINA, ROMA, 6 Maret 2019 : DOA, SEDEKAH, PUASA ADALAH INVESTASI UNTUK HARTA YANG BERTAHAN LAMA


Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18

“Tiuplah sangkakala [...] adakanlah puasa yang kudus” (Yl 2:15), kata nabi Yoel dalam Bacaan Pertama. Masa Prapaskah dibuka dengan bunyi yang melengking, yaitu bunyi sangkakala yang tidak menyenangkan telinga tetapi sebaliknya menyatakan puasa. Bunyi yang keras tersebut berusaha mengendurkan hidup kita, yang serba cepat, namun seringkali tanpa arah. Bunyi tersebut adalah panggilan untuk berhenti, berfokus pada apa yang penting, berpuasa dari hal-hal yang tidak perlu yang mengganggu kita. Bunyi tersebut adalah panggilan yang membangunkan jiwa.


Panggilan yang membangunkan ini disertai dengan pesan yang diberitakan Tuhan melalui bibir nabi Yoel, sebuah pesan yang singkat dan sepenuh hati : "Berbaliklah kepada-Ku" (ayat 12). Berbalik. Jika kita harus berbalik, itu berarti kita telah mengembara. Masa Prapaskah adalah masa untuk menemukan kembali arah kehidupan. Karena dalam perjalanan hidup, seperti dalam setiap perjalanan, yang benar-benar penting adalah tidak kehilangan pandangan akan tujuan. Namun, jika apa yang menarik minat kita saat bepergian adalah melihat pemandangan atau berhenti untuk makan, kita tidak akan jauh. Kita seharusnya bertanya pada diri kita : Dalam perjalanan hidup, apakah aku mencari jalan ke depan? Atau apakah aku puas dengan hidup di saat ini dan hanya memikirkan merasa baik, menyelesaikan beberapa masalah dan bersenang-senang? Apakah jalannya? Apakah jalan mengusahakan kesehatan, yang dewasa ini dikatakan banyak orang datang terlebih dulu tetapi pada akhirnya berlalu? Mungkinkah jalan tersebut berupa kepemilikan dan kesejahteraan? Tetapi kita tidak berada di dunia untuk hal ini. Berbaliklah kepada-Ku, kata Tuhan. Kepada-Ku. Tuhan adalah tujuan perjalanan kita di dunia ini. Haluan harus menuntun kepada-Nya.

Hari ini kita telah diberi tanda yang akan membantu kita menemukan haluan kita : kepala ditandai oleh abu. Abu adalah tanda yang membuat kita mempertimbangkan apa yang memenuhi pikiran kita. Pikiran kita sering berfokus pada hal-hal yang bersifat sementara, yang datang dan pergi. Tanda kecil abu, yang akan kita terima, adalah pengingat yang hampir tak kentara namun nyata bahwa dari banyak hal yang memenuhi pikiran kita, yang kita kejar dan khawatirkan setiap hari, tidak ada yang akan tersisa. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, kita tidak akan membawa kekayaan dari kehidupan ini bersama diri kita. Berbagai kenyataan duniawi berangsur-angsur menghilang seperti debu dalam angin. Harta bersifat sementara, kekuasaan berlalu, kesuksesan menyusut. Budaya penampilan yang lazim dewasa ini, yang membujuk kita hidup untuk hal-hal yang sepintas lalu, adalah sebuah penipuan besar. Budaya penampilan seumpama kobaran api : segera sesudahnya berakhir, hanya abu yang tersisa. Masa Prapaskah adalah masa untuk membebaskan diri kita dari khayalan mengejar debu. Masa Prapaskah adalah untuk menemukan kembali bahwa kita diciptakan untuk nyala api yang tak terpadamkan, bukan untuk abu yang segera menghilang; untuk Allah, bukan untuk dunia; untuk keabadian surga, bukan untuk tipu daya duniawi; untuk kebebasan anak-anak Allah, bukan untuk perbudakan terhadap berbagai hal. Hari ini kita seharusnya menanyakan pada diri kita sendiri : Di ​​manakah aku berdiri? Apakah aku hidup untuk api atau untuk abu?

Dalam perjalanan Prapaskah ini, kembali kepada apa yang sangat penting, Injil mengusulkan tiga langkah yang diajak Tuhan untuk kita laksanakan tanpa kemunafikan dan kepura-puraan : sedekah, doa, puasa. Untuk apa ketiganya? Memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa membawa kita kembali kepada tiga kenyataan yang berangsur-angsur menghilang. Doa mempersatukan kita kembali kepada Allah; sedekah, kembali kepada sesama kita; puasa, kembali kepada diri kita sendiri. Allah, sesamaku, hidupku : inilah tiga kenyataan yang tidak berangsur-angsur menghilang dan yang di dalamnya kita harus berinvestasi. Masa Prapaskah, oleh karena itu, mengajak kita untuk berfokus, terutama pada Yang Mahakuasa, dalam doa, yang membebaskan kita dari kehidupan yang mendatar dan duniawi di mana kita menemukan masa untuk diri sendiri tetapi melupakan Allah. Masa Prapaskah kemudian mengajak kita untuk berfokus pada orang lain, dengan sedekah yang membebaskan kita dari kesia-siaan memperoleh dan memikirkan segala sesuatu hanya baik jika mereka baik untukku. Akhirnya, Masa Prapaskah mengajak kita untuk melihat ke dalam hati kita, dengan puasa, yang membebaskan kita dari keterikatan terhadap berbagai hal dan dari keduniawian yang mematirasakan hati. Doa, sedekah, puasa : tiga investasi untuk harta yang bertahan lama.

Yesus berkata, "Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Mat 6:21). Hati kita selalu mengarah ke beberapa haluan : hati kita seperti sebuah kompas yang mencari jurusannya. Kita juga bisa membandingkannya dengan sebuah magnet : hati kita perlu melekatkan dirinya pada sesuatu. Tetapi jika hati kita hanya melekat pada hal-hal duniawi, lambat laun hati kita diperbudak hal-hal duniawi : hal-hal yang digunakan menjadi hal-hal yang kita layani. Penampilan luar, uang, karier atau kegemaran : jika kita hidup untuk mereka, mereka akan menjadi idola yang memperbudak kita, pemikat yang membuat kita terpesona dan kemudian mengombang-ambingkan kita. Padahal jika hati kita melekat pada apa yang tidak lenyap, kita menemukan kembali diri kita dan terbebas. Masa Prapaskah adalah masa rahmat yang memerdekakan hati dari kesia-siaan. Masa Prapaskah adalah masa penyembuhan dari kecanduan yang menggoda kita. Masa Prapaskah adalah masa untuk memusatkan pandangan kita pada apa yang bertahan.

Kemudian, di manakah kita bisa memusatkan pandangan kita sepanjang perjalanan Masa Prapaskah ini? Atas Yang Tersalib. Yesus di kayu salib adalah kompas kehidupan, yang mengarahkan kita ke surga. Kepapaan kayu, keheningan Tuhan, pengosongan diri-Nya yang penuh kasih menunjukkan kepada kita perlunya kehidupan yang lebih sederhana, bebas dari kecemasan tentang berbagai hal. Dari salib, Yesus mengajarkan kita keberanian yang luar biasa untuk terlibat dalam pelepasan keduniawian. Kita tidak akan pernah bergerak maju jika kita sangat terbebani. Kita perlu membebaskan diri kita dari cengkeraman konsumerisme dan jerat keegoisan, dari selalu menginginkan lebih, dari tidak pernah puas, dan dari hati yang tertutup terhadap kebutuhan orang miskin. Yesus di kayu salib membara dengan kasih dan memanggil kita menuju kehidupan yang penuh gairah untuk-Nya, yang tidak hilang di tengah-tengah abu dunia; menuju kehidupan yang membara dengan amal kasih dan tidak padam dalam keadaan biasa-biasa saja. Apakah sulit untuk hidup seperti yang Ia minta? Ya, tetapi itu menuntun kita ke tujuan kita. Masa Prapaskah menunjukkan hal ini kepada kita. Masa Prapaskah dimulai dengan abu tetapi alhasil menuntun kita menuju api malam Paskah; menuju penemuan bahwa, di dalam kubur, tubuh Yesus tidak berubah menjadi abu, tetapi bangkit dengan mulia.Hal ini berlaku juga untuk kita, yang adalah debu. Jika kita, dengan kelemahan kita, berbalik kepada Tuhan, jika kita mengambil jalan kasih, maka kita akan merangkul kehidupan yang tidak pernah berakhir. Dan kita akan penuh sukacita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.