Bacaan
Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat.
6:1-6,16-18
“Tiuplah
sangkakala [...] adakanlah puasa yang kudus” (Yl 2:15), kata nabi Yoel dalam
Bacaan Pertama. Masa Prapaskah dibuka dengan bunyi yang melengking, yaitu bunyi
sangkakala yang tidak menyenangkan telinga tetapi sebaliknya menyatakan puasa.
Bunyi yang keras tersebut berusaha mengendurkan hidup kita, yang serba cepat,
namun seringkali tanpa arah. Bunyi tersebut adalah panggilan untuk berhenti,
berfokus pada apa yang penting, berpuasa dari hal-hal yang tidak perlu yang
mengganggu kita. Bunyi tersebut adalah panggilan yang membangunkan jiwa.
Panggilan
yang membangunkan ini disertai dengan pesan yang diberitakan Tuhan melalui
bibir nabi Yoel, sebuah pesan yang singkat dan sepenuh hati : "Berbaliklah
kepada-Ku" (ayat 12). Berbalik. Jika kita harus berbalik, itu berarti kita
telah mengembara. Masa Prapaskah adalah masa untuk menemukan kembali arah
kehidupan. Karena dalam perjalanan hidup, seperti dalam setiap perjalanan, yang
benar-benar penting adalah tidak kehilangan pandangan akan tujuan. Namun, jika
apa yang menarik minat kita saat bepergian adalah melihat pemandangan atau
berhenti untuk makan, kita tidak akan jauh. Kita seharusnya bertanya pada diri
kita : Dalam perjalanan hidup, apakah aku mencari jalan ke depan? Atau apakah
aku puas dengan hidup di saat ini dan hanya memikirkan merasa baik,
menyelesaikan beberapa masalah dan bersenang-senang? Apakah jalannya? Apakah
jalan mengusahakan kesehatan, yang dewasa ini dikatakan banyak orang datang
terlebih dulu tetapi pada akhirnya berlalu? Mungkinkah jalan tersebut berupa
kepemilikan dan kesejahteraan? Tetapi kita tidak berada di dunia untuk hal ini.
Berbaliklah kepada-Ku, kata Tuhan. Kepada-Ku. Tuhan adalah tujuan perjalanan
kita di dunia ini. Haluan harus menuntun kepada-Nya.
Hari
ini kita telah diberi tanda yang akan membantu kita menemukan haluan kita :
kepala ditandai oleh abu. Abu adalah tanda yang membuat kita mempertimbangkan
apa yang memenuhi pikiran kita. Pikiran kita sering berfokus pada hal-hal yang
bersifat sementara, yang datang dan pergi. Tanda kecil abu, yang akan kita
terima, adalah pengingat yang hampir tak kentara namun nyata bahwa dari banyak
hal yang memenuhi pikiran kita, yang kita kejar dan khawatirkan setiap hari,
tidak ada yang akan tersisa. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, kita
tidak akan membawa kekayaan dari kehidupan ini bersama diri kita. Berbagai
kenyataan duniawi berangsur-angsur menghilang seperti debu dalam angin. Harta
bersifat sementara, kekuasaan berlalu, kesuksesan menyusut. Budaya penampilan
yang lazim dewasa ini, yang membujuk kita hidup untuk hal-hal yang sepintas
lalu, adalah sebuah penipuan besar. Budaya penampilan seumpama kobaran api :
segera sesudahnya berakhir, hanya abu yang tersisa. Masa Prapaskah adalah masa
untuk membebaskan diri kita dari khayalan mengejar debu. Masa Prapaskah adalah
untuk menemukan kembali bahwa kita diciptakan untuk nyala api yang tak
terpadamkan, bukan untuk abu yang segera menghilang; untuk Allah, bukan untuk
dunia; untuk keabadian surga, bukan untuk tipu daya duniawi; untuk kebebasan
anak-anak Allah, bukan untuk perbudakan terhadap berbagai hal. Hari ini kita
seharusnya menanyakan pada diri kita sendiri : Di manakah aku berdiri? Apakah aku hidup untuk api
atau untuk abu?
Dalam
perjalanan Prapaskah ini, kembali kepada apa yang sangat penting, Injil
mengusulkan tiga langkah yang diajak Tuhan untuk kita laksanakan tanpa
kemunafikan dan kepura-puraan : sedekah, doa, puasa. Untuk apa ketiganya?
Memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa membawa kita kembali kepada tiga
kenyataan yang berangsur-angsur menghilang. Doa mempersatukan kita kembali
kepada Allah; sedekah, kembali kepada sesama kita; puasa, kembali kepada diri
kita sendiri. Allah, sesamaku, hidupku : inilah tiga kenyataan yang tidak
berangsur-angsur menghilang dan yang di dalamnya kita harus berinvestasi. Masa
Prapaskah, oleh karena itu, mengajak kita untuk berfokus, terutama pada Yang
Mahakuasa, dalam doa, yang membebaskan kita dari kehidupan yang mendatar dan
duniawi di mana kita menemukan masa untuk diri sendiri tetapi melupakan Allah.
Masa Prapaskah kemudian mengajak kita untuk berfokus pada orang lain, dengan
sedekah yang membebaskan kita dari kesia-siaan memperoleh dan memikirkan segala
sesuatu hanya baik jika mereka baik untukku. Akhirnya, Masa Prapaskah mengajak
kita untuk melihat ke dalam hati kita, dengan puasa, yang membebaskan kita dari
keterikatan terhadap berbagai hal dan dari keduniawian yang mematirasakan hati.
Doa, sedekah, puasa : tiga investasi untuk harta yang bertahan lama.
Yesus
berkata, "Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Mat
6:21). Hati kita selalu mengarah ke beberapa haluan : hati kita seperti sebuah
kompas yang mencari jurusannya. Kita juga bisa membandingkannya dengan sebuah
magnet : hati kita perlu melekatkan dirinya pada sesuatu. Tetapi jika hati kita
hanya melekat pada hal-hal duniawi, lambat laun hati kita diperbudak hal-hal
duniawi : hal-hal yang digunakan menjadi hal-hal yang kita layani. Penampilan
luar, uang, karier atau kegemaran : jika kita hidup untuk mereka, mereka akan
menjadi idola yang memperbudak kita, pemikat yang membuat kita terpesona dan
kemudian mengombang-ambingkan kita. Padahal jika hati kita melekat pada apa
yang tidak lenyap, kita menemukan kembali diri kita dan terbebas. Masa
Prapaskah adalah masa rahmat yang memerdekakan hati dari kesia-siaan. Masa
Prapaskah adalah masa penyembuhan dari kecanduan yang menggoda kita. Masa
Prapaskah adalah masa untuk memusatkan pandangan kita pada apa yang bertahan.
Kemudian,
di manakah kita bisa memusatkan pandangan kita sepanjang perjalanan Masa
Prapaskah ini? Atas Yang Tersalib. Yesus di kayu salib adalah kompas kehidupan,
yang mengarahkan kita ke surga. Kepapaan kayu, keheningan Tuhan, pengosongan
diri-Nya yang penuh kasih menunjukkan kepada kita perlunya kehidupan yang lebih
sederhana, bebas dari kecemasan tentang berbagai hal. Dari salib, Yesus
mengajarkan kita keberanian yang luar biasa untuk terlibat dalam pelepasan
keduniawian. Kita tidak akan pernah bergerak maju jika kita sangat terbebani.
Kita perlu membebaskan diri kita dari cengkeraman konsumerisme dan jerat
keegoisan, dari selalu menginginkan lebih, dari tidak pernah puas, dan dari
hati yang tertutup terhadap kebutuhan orang miskin. Yesus di kayu salib membara
dengan kasih dan memanggil kita menuju kehidupan yang penuh gairah untuk-Nya,
yang tidak hilang di tengah-tengah abu dunia; menuju kehidupan yang membara
dengan amal kasih dan tidak padam dalam keadaan biasa-biasa saja. Apakah sulit
untuk hidup seperti yang Ia minta? Ya, tetapi itu menuntun kita ke tujuan kita.
Masa Prapaskah menunjukkan hal ini kepada kita. Masa Prapaskah dimulai dengan
abu tetapi alhasil menuntun kita menuju api malam Paskah; menuju penemuan bahwa,
di dalam kubur, tubuh Yesus tidak berubah menjadi abu, tetapi bangkit dengan
mulia.Hal ini berlaku juga untuk kita, yang adalah debu. Jika kita, dengan
kelemahan kita, berbalik kepada Tuhan, jika kita mengambil jalan kasih, maka
kita akan merangkul kehidupan yang tidak pernah berakhir. Dan kita akan penuh
sukacita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.