Bacaan
Ekaristi : Luk. 19:28-40; Yes. 50:4-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24; Flp.
2:6-11; Luk. 22:14-23:56.
Teriakan
penuh sukacita ketika Yesus memasuki kota Yerusalem, diikuti dengan penghinaan
terhadap-Nya. Pekik kurang ajar diikuti oleh penyiksaan yang tak
berperikemanusiaan. Setiap tahun misteri ganda ini menyertai kita memasuki
Pekan Suci, sebagaimana tercermin dalam dua saat yang menjadi ciri khas
perayaan hari ini : perarakan awal dengan daun palma dan khidmatnya pembacaan
Kisah Sengsara.
Marilah
kita masuk ke dalam gerakan ini, dibimbing oleh Roh Kudus, dan dengan demikian
memperoleh rahmat yang kita mohonkan dalam doa pembukaan : dengan iman
meneladan kerendahan hati Sang Juruselamat kita, menyimak pelajaran-Nya tentang
kesabaran dalam penderitaan, dan dengan demikian layak ambil bagian dalam
kemenangan-Nya atas roh jahat.
Yesus
menunjukkan kepada kita bagaimana menghadapi saat-saat kesulitan dan pencobaan
yang paling membahayakan dengan memelihara dalam hati kita suatu kedamaian yang
bukan pengasingan diri ataupun ketenangan adimanusiawi, tetapi dengan penuh
keyakinan menyerahkan diri kepada Bapa dan kehendak penyelamatan-Nya, yang
menganugerahkan kehidupan dan kerahiman. Ia menunjukkan kepada kita penyerahan
diri semacam ini dengan tegas menolak, di setiap titik dalam pelayanan-Nya di
bumi, godaan untuk melakukan segala hal dengan jalan-Nya sendiri dan bukan
dalam kepatuhan penuh kepada Bapa. Dari pengalaman-Nya selama empat puluh hari
di padang gurun hingga berpuncak pada sengsara-Nya, Yesus menolak godaan ini
dengan keyakinan yang taat kepada Bapa.
Hari
ini juga, dengan memasuki kota Yerusalem, Ia menunjukkan jalan-Nya kepada kita.
Karena dalam peristiwa itu, si jahat, penguasa dunia ini, memiliki kartu di
lengan bajunya : kartu kemenangan. Namun Tuhan menanggapi dengan berpegang
teguh pada jalan-Nya sendiri, jalan kerendahan hati.
Paham
kemenangan berusaha mencapai tujuannya dengan jalan pintas dan kompromi palsu.
Paham kemenangan ingin melompat ke kereta pemenang. Paham kemenangan hidup
dengan gerak-gerik dan kata-kata yang tidak ditempa dalam ujian salib; paham
kemenangan tumbuh dengan memandang rendah orang lain dan terus-menerus menilai
mereka lebih rendah, menginginkan, berbagai kegagalan ... Salah satu bentuk
kemenangan yang tidak kentara adalah keduniawian rohani, yang mewakili bahaya
terbesar, pencobaan yang paling berbahaya yang mengancam Gereja (De Lubac).
Yesus menghancurkan paham kemenangan dengan sengsara-Nya.
Tuhan
sungguh bersukacita dengan orang-orang tersebut, dengan orang-orang muda itu
yang meneriakkan nama-Nya serta mengelu-elukan-Nya sebagai Raja dan Mesias.
Hati-Nya senang melihat kegairahan dan kegembiraan kaum miskin Israel. Begitu
banyak, sehingga, kepada orang-orang Farisi yang meminta-Nya untuk menegur
murid-murid-Nya karena teriak mereka yang menghebohkan, Ia menjawab :
"Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak" (Luk 19:40).
Kerendahan hati tidak berarti menyangkal kenyataan : Yesus sungguh Mesias,
Raja.
Namun
pada saat yang sama hati Yesus tergerak di jalur lain, di jalan suci yang hanya
dikenal oleh-Nya dan Bapa : jalan yang mengarah dari "rupa Allah" ke
"rupa seorang hamba", jalan perendahan diri yang lahir dari ketaatan
"sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib" (Flp 2:6-8). Ia
tahu bahwa kemenangan sejati mencakup pemberian ruang bagi Allah dan
satu-satunya jalan untuk melakukannya adalah dengan menelanjangi diri, dengan
mengosongkan diri. Tetap diam, berdoa, menerima penghinaan. Tidak ada tawar
menawar dengan salib : kita memeluknya atau menolaknya. Dengan merendahkan
diri, Yesus ingin membukakan jalan iman bagi kita dan mendahului kita di jalan
itu.
Orang
pertama yang mengikuti jalan-Nya adalah bunda-Nya, Bunda Maria, sang murid
pertama. Perawan Maria dan para kudus harus menderita dalam menjalani jalan
iman dan ketaatan pada kehendak Allah. Menanggapi dengan iman berbagai
peristiwa kehidupan yang keras dan menyakitkan mensyaratkan “bobot hati
tertentu (bdk. Redemptoris Mater, 17). Malam iman. Namun hanya sejak malam itu
kita melihat munculnya fajar kebangkitan. Di kaki salib, Maria sekali lagi
memikirkan kata-kata yang telah dikatakan malaikat tentang Putranya : "Ia
akan menjadi besar ... Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud,
bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai
selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk 1:32-33). Di Golgota,
Maria menghadapi penyangkalan penuh akan janji itu : Putranya sedang menghadapi
sakratul maut di kayu salib laksana seorang penjahat. Dengan jalan ini, paham
kemenangan, dihancurkan oleh perendahan diri Yesus, demikian juga dihancurkan
dalam hati bnuda-Nya. Keduanya tetap diam.
Dalam
jejak langkah Maria, pria dan wanita kudus yang tak terhitung jumlahnya telah
mengikuti jalan kerendahan hati dan ketaatan Yesus. Hari ini, Hari Orang Muda
Sedunia, saya ingin menyebutkan seluruh orang kudus berusia muda tersebut,
terutama orang-orang kudus “di pintu sebelah” kita, yang hanya dikenal oleh
Allah; terkadang Ia suka mengejutkan kita dengan mereka. Kaum muda yang
terkasih, jangan malu untuk menunjukkan kegairahanmu kepada Yesus, meneriakkan
bahwa Ia hidup dan Ia adalah hidupmu. Namun pada saat yang sama, jangan takut
untuk mengikuti jalan salib-Nya. Ketika kamu mendengar bahwa Ia sedang
memintamu untuk meninggalkan dirimu, memperkenankan andalanmu dilucuti, dan
mempercayakan diri sepenuhnya kepada Bapa surgawi kita, maka bersukacita dan
bersorak-sorailah! Kamu berada di jalan kerajaan Allah.
Pekik
kurang ajar dan penyiksaan yang tak berperikemanusiaan; diamnya Yesus sepanjang
sengsara-Nya sangat mengesankan. Ia juga mengatasi godaan untuk balik menjawab,
bertindak bak "mahabintang". Di saat-saat kegelapan dan kesukaran
besar, kita perlu diam, menemukan keberanian untuk tidak berbicara, selama diam
kita lemah lembut dan tidak penuh amarah. Kelemahlembutan selama kita diam akan
membuat kita tampak semakin lemah, semakin rendah hati. Kemudian iblis akan
berani keluar ke tempat terbuka. Kita perlu melawannya dalam keheningan,
“mempertahankan kedudukan kita”, tetapi dengan sikap yang sama seperti Yesus.
Ia tahu bahwa Allah bertempur dengan sang penguasa dunia ini, dan yang penting
bukanlah meletakkan tangan kita pada pedang tetapi tetap teguh dalam iman. Saat
Allah. Pada saat itulah Allah tampil ke muka untuk berperang, kita harus
memperkenankan-Nya mengambil alih. Kita akan aman ketika berada di bawah jubah
Bunda Allah yang kudus. Ketika kita menantikan kedatangan Tuhan untuk
menenangkan badai (bdk. Mat 4:37-41), dengan heningnya kesaksian kita dalam
doa, kita memberikan "pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang
meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1
Ptr. 3:15). Hal ini akan membantu kita untuk hidup dalam ketegangan suci antara
ingatan akan janji-janji yang dibuat, penderitaan yang ada di kayu salib, dan
harapan akan kebangkitan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.