Bacaan
Ekaristi : Kej. 1:1-2:2; Kej. 22:1-18; Kel. 14:15-15:1; Yes. 54:5-14; Yes.
55:1-11; Bar. 3:9-15,32-4:4; Yeh. 36:16-17a,18-28; Rm. 6:3-11; Luk. 24:1-12.
Para
perempuan membawa rempah-rempah ke kubur, tetapi mereka takut perjalanan mereka
sia-sia, karena sebuah batu besar menghalangi jalan masuk ke kubur. Perjalanan
para perempuan itu juga merupakan perjalanan kita; perjalanan itu menyerupai
perjalanan keselamatan yang telah kita buat malam ini. Kadang-kadang, segala
sesuatunya tampak membentur sebuah batu: keindahan penciptaan membentur tragedi
dosa; pembebasan dari perbudakan membentur ketidaksetiaan terhadap perjanjian;
janji-janji para nabi membentur ketidakpedulian umat yang letih lesu. Demikian
juga, dalam sejarah Gereja dan dalam sejarah pribadi kita sendiri. Tampaknya
langkah yang kita ambil tidak pernah membawa kita ke tujuan. Kita bisa tergoda
untuk berpikir bahwa harapan yang hancur adalah hukum kehidupan yang suram.
Namun
hari ini kita melihat bahwa perjalanan kita tidak sia-sia; perjalanan kita
tidak membentur sebuah batu kubur. Sebuah kalimat mengejutkan perempuan itu dan
mengubah sejarah : "Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang
mati?" (Luk 24:5). Mengapa kamu berpikir bahwa segala sesuatunya tanpa
harapan, tidak ada orang yang bisa mengangkat batu kuburmu? Mengapa kamu
menyerah pada kegagalan dan menerima nasib? Paskah adalah pesta terangkatnya
batu kubur, tergulingnya batu karang. Allah bahkan mengangkat batu-batu yang
paling sulit yang menghancurleburkan harapan dan pengharapan kita : maut, dosa,
ketakutan, keduniawian. Sejarah manusia tidak berakhir di depan sebuah batu
kubur, karena hari ini sejarah itu berjumpa dengan "sang batu yang
hidup" (bdk. 1 Ptr 2:4), Yesus yang bangkit. Kita, sebagai Gereja, dibangun
di atas-Nya, dan, bahkan ketika kita menjadi berkecil hati dan tergoda untuk
menghakimi segala sesuatu dalam terang kegagalan kita, Ia datang untuk
memperbarui segala hal, menjungkirbalikkan setiap kekecewaan kita. Malam ini,
dalam Kristus yang bangkit, kita masing-masing dipanggil untuk menemukan lagi
orang yang kembali menggulingkan batu-batu yang terberat dari hati kita. Jadi
pertama-tama marilah kita bertanya : Batu apakah yang harus aku enyahkan, batu
apakah namanya?
Seringkali
apa yang menghalangi harapan adalah batu keputusasaan. Begitu kita mulai
berpikir bahwa segala sesuatunya sedang berjalan buruk dan segala sesuatunya
tidak bisa menjadi lebih buruk, kita kehilangan semangat dan menjadi percaya
bahwa maut lebih kuat daripada kehidupan. Kita menjadi sinis, klise, dan gundah
gulana. Batu demi batu, kita membangun di dalam diri kita sebuah monumen untuk
ketidakpuasan kita : kuburan harapan. Hidup menjadi suksesi keluhan dan kita
menjadi sakit jiwa. Semacam psikologi kubur mengambil alih : segala sesuatunya berakhir
di sana, tanpa munculnya harapan yang tetap hidup. Tetapi pada saat itu, kita
sekali lagi terus menerus mendengar pertanyaan Paskah : Mengapa kamu mencari
Dia yang hidup, di antara orang mati? Tuhan tidak dapat diketemukan dalam
menyerah pada nasib. Ia telah bangkit; Ia tidak ada di sana. Jangan mencari-Nya
di mana kamu tidak akan pernah menemukan-Nya : Ia bukan Allah orang mati tetapi
Allah orang hidup (bdk. Mrk 22:32). Janganlah mengubur harapan!
Ada
batu lain yang sering menutup hati : batu dosa. Dosa menggoda; dosa menjanjikan
hal-hal yang mudah dan cepat, kemakmuran dan keberhasilan, tetapi kemudian
hanya menyisakan kesunyian dan kematian. Dosa sedang mencari kehidupan di
antara orang mati, makna kehidupan dalam hal-hal yang kadaluarsa. Mengapa kamu
mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Mengapa tidak memutuskan untuk
meninggalkan dosa yang, laksana sebuah batu di depan pintu masuk ke hatimu,
membuat terang Allah tidak dapat masuk? Mengapa tidak lebih memilih Yesus,
terang yang sesungguhnya (bdk. Yoh 1:9), ketimbang kemilau kekayaan, karier,
kesombongan, dan kesenangan? Mengapa tidak memberitahu hal-hal hampa di dunia
ini bahwa kamu tidak lagi hidup untuk mereka, tetapi untuk Tuhan sang empunya
kehidupan?
Marilah
kita kembali ke para perempuan yang pergi ke kubur Yesus. Mereka terpaku heran
di depan batu yang terangkat. Melihat para malaikat, mereka berdiri di sana,
Injil memberitahu kita, “mereka sangat ketakutan dan menundukkan kepala” (Luk
24:5). Mereka tidak memiliki keberanian untuk mendongak. Seberapa sering kita
melakukan hal yang sama? Kita lebih suka tetap meringkuk dalam berbagai
kekurangan kita, gemetar dalam berbagai ketakutan kita. Ini aneh, tetapi
mengapa kita melakukan hal ini? Tidak jarang karena, hati kita muram dan tertutup,
kita merasa memegang kendali, karena lebih mudah untuk tinggal sendirian dalam
kegelapan hati ketimbang membuka diri kepada Tuhan. Namun hanya Dia yang bisa
membangkitkan kita. Seorang penyair pernah menulis : “Kita tidak pernah tahu
seberapa tinggi kita. Sampai kita terpanggil untuk bangkit” (E. Dickinson).
Tuhan memanggil kita untuk bangun, bangkit pada sabda-Nya, menengadah dan
menyadari bahwa kita diciptakan untuk surga, bukan untuk bumi, untuk tingginya
kehidupan dan bukan untuk dalamnya kematian : Mengapa kamu mencari Dia yang
hidup, di antara orang mati?
Allah
meminta kita untuk memandang kehidupan dari sudut pandang-Nya, karena di dalam
diri kita masing-masing Ia tidak pernah berhenti melihat inti keindahan yang
tak tertahankan. Dalam dosa, Ia melihat putra dan putri dipulihkan; dalam
kematian, saudara-saudari terlahir kembali; dalam kesedihan, hati harus
dihidupkan kembali. Maka janganlah takut: Tuhan mencintai hidupmu, bahkan
ketika kamu takut memandangnya dan memegangnya. Dalam Paskah Ia menunjukkan
kepadamu betapa Ia sangat mencintai kehidupan itu : bahkan sampai titik
menjalaninya sepenuhnya, mengalami penderitaan yang berat, merasa ditinggalkan,
kematian, dan neraka, guna muncul dengan kemenangan untuk memberitahumu : “Kamu
tidak sendirian; percayalah kepada-Ku!". Yesus adalah pakar dalam mengubah
kematian kita menjadi kehidupan, dukacita kita menjadi tarian (bdk. Mzm 30:12).
Bersama-Nya, kita juga dapat mengalami Paskah, yaitu, keluaran - dari egoisme
menuju persekutuan, dari kehancuran menuju penghiburan, dari ketakutan menuju
percaya diri. Janganlah kita menundukkan wajah kita dalam ketakutan, tetapi
angkatlah mata kita kepada Yesus yang bangkit. Tatapan-Nya memenuhi diri kita
dengan harapan, karena tatapan-Nya memberitahu kita bahwa kita senantiasa
dicintai dan betapapun kita mengacaukan banyak hal, cinta-Nya tetap tidak
berubah. Inilah satu-satunya kepastian yang tidak dapat dirundingkan yang kita
miliki dalam kehidupan : cinta-Nya tidak berubah. Marilah kita bertanya pada
diri kita sendiri : Dalam hidupku, di mana aku sedang melihat? Apakah aku
sedang menatap kuburan, atau sedang mencari Dia yang hidup?
Mengapa
kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Para perempuan mendengar
kata-kata para malaikat, yang selanjutnya berkata : "Ingatlah apa yang
dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea" (Luk 24:6). Para
perempuan itu kehilangan harapan karena mereka tidak dapat mengingat kata-kata
Yesus, panggilan-Nya yang terjadi di Galilea. Setelah kehilangan ingatan yang
hidup akan Yesus, mereka tetap memandangi kubur. Iman selalu perlu kembali ke
Galilea, membangkitkan kembali cinta pertamanya kepada Yesus dan panggilan-Nya
: mengingat-Nya, kembali kepada-Nya dengan segenap pikiran kita dan segenap
hati kita. Kembali ke cinta yang hidup akan Tuhan adalah penting. Kalau tidak,
iman kita adalah sebuah iman "museum", bukan iman Paskah. Yesus bukan
tokoh dari masa lalu; hari ini Ia adalah pribadi yang hidup. Kita tidak
mengenal-Nya dari buku-buku sejarah; kita menjumpai-Nya dalam kehidupan. Hari
ini, marilah kita mengingat bagaimana Yesus pertama kali memanggil kita,
bagaimana Ia mengatasi kegelapan kita, perlawanan kita, dosa-dosa kita, dan
bagaimana Ia menjamah hati kita dengan hati-Nya.
Para
perempuan, mengingat Yesus, meninggalkan kubur. Paskah mengajarkan kita bahwa
orang percaya tidak betah tinggal di kuburan, karena mereka dipanggil untuk
pergi keluar bertemu Dia yang hidup. Marilah kita bertanya pada diri kita
sendiri : Dalam hidupku, ke mana aku sedang pergi? Kadang-kadang kita pergi
hanya ke arah masalah-masalah kita, yang ada banyak, dan pergi ke Tuhan hanya
untuk meminta tolong. Tetapi kemudian, itu adalah kebutuhan kita sendiri, bukan
Yesus yang menuntun berbagai langkah kita. Kita terus mencari Dia yang hidup di
antara orang mati. Atau juga, berapa kali, kita pernah berjumpa Tuhan, apakah
kita kembali kepada orang mati, menggali penyesalan, celaan, sakit hati, dan
ketidakpuasan, tanpa memperkenankan Dia yang bangkit mengubah kita? Saudara dan
saudari yang terkasih : marilah kita menempatkan Dia yang hidup di pusat
kehidupan kita. Marilah kita memohon anugerah agar tidak terbawa arus, lautan
permasalahan kita; rahmat agar tidak kandas di lautan dangkal dosa atau
menabrak karang keputusasaan dan ketakutan. Marilah kita mencari-Nya dalam
segala hal dan di atas segalanya. Bersama-Nya, kita akan bangkit kembali.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.