Bacaan
Ekaristi : Kis. 7:51-8:1a; Mzm. 31:3cd-4,6ab,7b,8a,17,21ab; Yoh. 6:30-35.
"Akulah
roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi" (Yoh 6:35). Kita
baru saja mendengar Tuhan mengucapkan kata-kata ini.
Dalam
Bacaan Injil, orang banyak telah berkumpul di sekitar Yesus. Mereka baru saja
melihat penggandaan roti; penggandaan roti adalah salah satu peristiwa yang
tetap terukir dalam pikiran dan hati komunitas pertama para murid. Ada sebuah
pesta : sebuah pesta perjamuan yang menunjukkan kemurahan hati dan kepedulian
Allah yang melimpah terhadap anak-anak-Nya, yang menjadi saudara dan saudari
dalam berbagi roti. Marilah kita membayangkan sejenak orang banyak itu. Sesuatu
telah berubah. Selama beberapa saat, orang-orang yang kehausan dan membisu yang
mengikuti Yesus dalam mencari sebuah sabda tersebut dapat menyentuh dengan
tangan mereka dan merasakan di dalam tubuh mereka mukjizat persaudaraan yang
mampu memuaskan secara berlimpah.
Tuhan
datang untuk memberikan kehidupan kepada dunia. Ia selalu melakukannya dengan
cara yang berlawanan dengan sempitnya perhitungan-perhitungan kita, biasa-biasa
sajanya pengharapan kita dan dangkalnya akal kita. Sebuah cara yang
mempertanyakan sudut pandang kita dan keyakinan kita, seraya mengundang kita
untuk berpindah ke cakrawala baru yang memungkinkan kita melihat kenyataan
dengan cara yang berbeda. Ia adalah Roti hidup yang turun dari surga, yang
memberitahu kita : "Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar
lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi".
Semua
orang itu menemukan bahwa kelaparan akan roti juga memiliki nama lain :
kelaparan akan Tuhan, kelaparan akan persaudaraan, kelaparan akan perjumpaan
dan sebuah pesta bersama.
Kita
sudah terbiasa makan roti basi informasi yang keliru dan akhirnya menjadi
tawanan ketidakjujuran, label, dan kelakuan yang memalukan. Kita berpikir
penyesuaian diri itu akan memuaskan dahaga kita, tetapi akhirnya kita hanya
meminum ketidakpedulian dan ketidakpekaan. Kita memberi makan diri kita dengan
mimpi kemegahan dan keagungan, serta akhirnya pikiran tersita oleh kebingungan,
kepicikan dan kesepian. Kita menyibukkan diri di jejaring, dan kehilangan rasa
persaudaraan. Kita mencari hasil yang cepat dan aman, hanya untuk menemukan
diri kita kewalahan oleh ketidaksabaran dan kecemasan. Para tawanan kenyataan
virtual, kita kehilangan citarasa dan selera yang benar-benar nyata.
Janganlah
kita takut untuk mengatakannya dengan terus terang : Tuhan, kami lapar. Tuhan,
kami lapar akan roti sabda-Mu, yang dapat membuka kepicikan dan kesepian kami.
Tuhan, kami lapar akan sebuah pengalaman persaudaraan yang di dalamnya
ketidakpedulian, penghinaan dan kelakuan yang memalukan tidak akan memenuhi
meja kami atau rasa bangga mendapat tempat di dalam rumah kami. Tuhan, kami lapar
akan perjumpaan di mana sabda-Mu dapat membangkitkan harapan, membangkitkan
kelembutan dan menyadarkan hati dengan membuka jalan perubahan dan pertobatan.
Tuhan,
kami lapar untuk mengalami, seperti orang banyak itu, penggandaan kemurahan
hati-Mu, yang dapat menghancurkan stereotip kami dan menyampaikan belas kasih
Bapa kepada setiap orang, terutama orang-orang yang tidak dipedulikan orang :
orang-orang yang terlupakan atau yang dianggap hina. Janganlah kita takut untuk
mengatakannya dengan terus terang : kami lapar akan roti, Tuhan : roti
sabda-Mu, roti persaudaraan.
Dalam
beberapa saat, kita akan mendekati meja altar, untuk diberi santapan oleh Sang
Roti Hidup. Kita melakukannya seturut perintah Tuhan : "Akulah roti hidup;
barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya
kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi" (Yoh 6:35). Semua yang diminta Tuhan
dari kita yakni kita datang. Ia mengundang kita untuk berangkat, bergerak,
terus maju. Ia mendesak kita untuk mendekat kepada-Nya dan menjadi para
pengikut dalam kehidupan dan perutusan-Nya. "Datanglah", kata-Nya.
Bagi Tuhan, Datang tidak berarti hanya berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Sebaliknya, datang berarti memperkenankan diri kita digerakkan dan diubah
oleh sabda-Nya, dalam berbagai pilihan kita, perasaan kita dan berbagai
prioritas kita, dengan cara ini berani untuk mengadopsi cara-Nya bertindak dan
berbicara. Karena bahasa-Nya adalah "bahasa roti yang berbicara tentang
kelembutan, persahabatan, pengabdian yang murah hati bagi orang lain"
(Homili Misa Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Buenos Aires, 1995), bahasa
dari sebua kasih yang berwujud dan dapat diraba, karena setiap hari dan nyata.
Dalam
setiap Ekaristi, Tuhan memecah-mecahkan dan membagikan diri-Nya. Ia mengundang
kita untuk memecah-mecahkan dan membagikan diri kita bersama-sama dengan-Nya,
serta menjadi bagian dari mukjizat penggandaan yang ingin menjangkau dan
menjamah, dengan kelembutan dan kasih sayang, setiap sudut kota ini, negara
ini, dan negeri ini.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.