Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI SKOPJE (MASEDONIA) 7 April 2019

Bacaan Ekaristi : Kis. 7:51-8:1a; Mzm. 31:3cd-4,6ab,7b,8a,17,21ab; Yoh. 6:30-35.

"Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi" (Yoh 6:35). Kita baru saja mendengar Tuhan mengucapkan kata-kata ini.

Dalam Bacaan Injil, orang banyak telah berkumpul di sekitar Yesus. Mereka baru saja melihat penggandaan roti; penggandaan roti adalah salah satu peristiwa yang tetap terukir dalam pikiran dan hati komunitas pertama para murid. Ada sebuah pesta : sebuah pesta perjamuan yang menunjukkan kemurahan hati dan kepedulian Allah yang melimpah terhadap anak-anak-Nya, yang menjadi saudara dan saudari dalam berbagi roti. Marilah kita membayangkan sejenak orang banyak itu. Sesuatu telah berubah. Selama beberapa saat, orang-orang yang kehausan dan membisu yang mengikuti Yesus dalam mencari sebuah sabda tersebut dapat menyentuh dengan tangan mereka dan merasakan di dalam tubuh mereka mukjizat persaudaraan yang mampu memuaskan secara berlimpah.


Tuhan datang untuk memberikan kehidupan kepada dunia. Ia selalu melakukannya dengan cara yang berlawanan dengan sempitnya perhitungan-perhitungan kita, biasa-biasa sajanya pengharapan kita dan dangkalnya akal kita. Sebuah cara yang mempertanyakan sudut pandang kita dan keyakinan kita, seraya mengundang kita untuk berpindah ke cakrawala baru yang memungkinkan kita melihat kenyataan dengan cara yang berbeda. Ia adalah Roti hidup yang turun dari surga, yang memberitahu kita : "Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi".

Semua orang itu menemukan bahwa kelaparan akan roti juga memiliki nama lain : kelaparan akan Tuhan, kelaparan akan persaudaraan, kelaparan akan perjumpaan dan sebuah pesta bersama.

Kita sudah terbiasa makan roti basi informasi yang keliru dan akhirnya menjadi tawanan ketidakjujuran, label, dan kelakuan yang memalukan. Kita berpikir penyesuaian diri itu akan memuaskan dahaga kita, tetapi akhirnya kita hanya meminum ketidakpedulian dan ketidakpekaan. Kita memberi makan diri kita dengan mimpi kemegahan dan keagungan, serta akhirnya pikiran tersita oleh kebingungan, kepicikan dan kesepian. Kita menyibukkan diri di jejaring, dan kehilangan rasa persaudaraan. Kita mencari hasil yang cepat dan aman, hanya untuk menemukan diri kita kewalahan oleh ketidaksabaran dan kecemasan. Para tawanan kenyataan virtual, kita kehilangan citarasa dan selera yang benar-benar nyata.

Janganlah kita takut untuk mengatakannya dengan terus terang : Tuhan, kami lapar. Tuhan, kami lapar akan roti sabda-Mu, yang dapat membuka kepicikan dan kesepian kami. Tuhan, kami lapar akan sebuah pengalaman persaudaraan yang di dalamnya ketidakpedulian, penghinaan dan kelakuan yang memalukan tidak akan memenuhi meja kami atau rasa bangga mendapat tempat di dalam rumah kami. Tuhan, kami lapar akan perjumpaan di mana sabda-Mu dapat membangkitkan harapan, membangkitkan kelembutan dan menyadarkan hati dengan membuka jalan perubahan dan pertobatan.

Tuhan, kami lapar untuk mengalami, seperti orang banyak itu, penggandaan kemurahan hati-Mu, yang dapat menghancurkan stereotip kami dan menyampaikan belas kasih Bapa kepada setiap orang, terutama orang-orang yang tidak dipedulikan orang : orang-orang yang terlupakan atau yang dianggap hina. Janganlah kita takut untuk mengatakannya dengan terus terang : kami lapar akan roti, Tuhan : roti sabda-Mu, roti persaudaraan.

Dalam beberapa saat, kita akan mendekati meja altar, untuk diberi santapan oleh Sang Roti Hidup. Kita melakukannya seturut perintah Tuhan : "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi" (Yoh 6:35). Semua yang diminta Tuhan dari kita yakni kita datang. Ia mengundang kita untuk berangkat, bergerak, terus maju. Ia mendesak kita untuk mendekat kepada-Nya dan menjadi para pengikut dalam kehidupan dan perutusan-Nya. "Datanglah", kata-Nya. Bagi Tuhan, Datang tidak berarti hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sebaliknya, datang berarti memperkenankan diri kita digerakkan dan diubah oleh sabda-Nya, dalam berbagai pilihan kita, perasaan kita dan berbagai prioritas kita, dengan cara ini berani untuk mengadopsi cara-Nya bertindak dan berbicara. Karena bahasa-Nya adalah "bahasa roti yang berbicara tentang kelembutan, persahabatan, pengabdian yang murah hati bagi orang lain" (Homili Misa Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Buenos Aires, 1995), bahasa dari sebua kasih yang berwujud dan dapat diraba, karena setiap hari dan nyata.

Dalam setiap Ekaristi, Tuhan memecah-mecahkan dan membagikan diri-Nya. Ia mengundang kita untuk memecah-mecahkan dan membagikan diri kita bersama-sama dengan-Nya, serta menjadi bagian dari mukjizat penggandaan yang ingin menjangkau dan menjamah, dengan kelembutan dan kasih sayang, setiap sudut kota ini, negara ini, dan negeri ini.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.