Bacaan
Ekaristi : Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab,24ac, 29bc-30,31,34; Rm. 8:8-17; Yoh.
14:15-16,23b-26.
Pentakosta
tiba, bagi para murid, setelah lima puluh hari ketidakpastian. Benar, Yesus
telah bangkit. Dengan sangat gembira, mereka telah melihat-Nya, mendengarkan
kata-kata-Nya dan bahkan makan bersama dengan-Nya. Namun mereka tidak mengatasi
keraguan dan ketakutan mereka: mereka bertemu di balik pintu yang tertutup
(bdk. Yoh 20:19.26), tidak yakin akan masa depan dan tidak siap untuk
mewartakan Tuhan yang bangkit. Kemudian Roh Kudus datang dan kekhawatiran
mereka lenyap. Sekarang para rasul menunjukkan diri mereka tanpa rasa takut,
bahkan di hadapan orang-orang dikirim untuk menangkap mereka. Sebelumnya,
mereka khawatir akan keselamatan hidup mereka; sekarang mereka tidak takut
mati. Sebelumnya, mereka telah berkumpul di Ruang Atas; sekarang mereka pergi
untuk membawa kabar ke setiap bangsa. Sebelum kenaikan Yesus, mereka menantikan
kerajaan Allah datang kepada mereka (bdk. Kis 1:6); sekarang mereka dipenuhi
semangat untuk melakukan perjalanan ke negeri-negeri tak dikenal. Sebelumnya,
mereka hampir tidak pernah berbicara di depan umum, dan ketika mereka
melakukannya, mereka sering melakukan kekeliruan, seperti ketika Petrus
menyangkal Yesus; sekarang mereka berbicara dengan terus terang kepada semua
orang. Perjalanan para murid tampaknya telah mencapai garis akhir ketika
tiba-tiba mereka diremajakan oleh Roh Kudus. Diliputi dengan ketidakpastian,
ketika mereka berpikir segalanya sudah berakhir, mereka diubahrupa oleh
sukacita yang memberi mereka kelahiran baru. Roh Kudus melakukan hal ini. Roh
Kudus jauh dari kenyataan yang abstrak : Ia adalah Pribadi yang paling berwujud
dan dekat, Pribadi yang mengubah hidup kita. Bagaimana Ia melakukan hal ini?
Marilah kita memperhatikan para Rasul. Roh Kudus tidak menjadikan segalanya
lebih mudah bagi mereka, Ia tidak melakukan berbagai mukjizat yang spektakuler,
Ia tidak mengenyahkan berbagai kesulitan dan seteru mereka. Roh Kudus membawa
kerukunan ke dalam kehidupan para murid yang tidak rukun, kerukunan-Nya, karena
Ia adalah kerukunan.
Kerukunan
di dalam diri manusia. Jauh di lubuk hati, di dalam hati mereka, para murid
perlu diubah. Kisah mereka mengajarkan kita bahwa melihat Tuhan yang bangkit
saja tidak memadai kecuali kita menyambut-Nya di dalam hati kita. Tidak ada
gunanya mengetahui bahwa Yesus yang bangkit hidup kecuali kita juga hidup
sebagai orang-orang yang bangkit. Roh Kudus yang membuat Yesus hidup di dalam
diri kita; Ia membangkitkan lubuk hati kita. Itulah sebabnya ketika Yesus
menampakkan diri kepada murid-murid-Nya, Ia mengulangi kata-kata, “Damai
sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19.21), dan mecurahkan Roh Kudus. Damai sejahtera
bukanlah perkara menyelesaikan berbagai masalah lahiriah - Allah tidak
menghindarkan murid-murid-Nya dari kesusahan dan penganiayaan. Damai sejahtera
adalah tentang menerima Roh Kudus. Damai sejahtera yang diberikan kepada para
rasul, damai sejahtera yang tidak membebaskan dari berbagai masalah tetapi
dalam berbagai masalah, ditawarkan kepada kita masing-masing. Dipenuhi dengan
damai sejahtera-Nya, hati kita seperti laut yang dalam, yang tetap penuh
kedamaian, bahkan ketika permukaannya tersapu ombak. Damai sejahtera adalah
kerukunan yang begitu mendalam sehingga bahkan dapat mengubah penganiayaan
menjadi berkat. Namun seberapa sering kita memilih untuk tetap berada di
permukaan! Daripada mencari Roh Kudus, kita mencoba untuk tetap terapung,
berpikir bahwa segalanya akan membaik setelah masalah ini atau itu selesai,
begitu saya tidak lagi melihat orang itu, setelah segalanya menjadi lebih baik.
Tetapi melakukan hal demikian adalah tetap berada di permukaan: ketika satu
masalah hilang, masalah lainnya tiba, dan sekali lagi kita menjadi cemas dan
tidak nyaman. Menghindari orang-orang yang tidak berpikir seperti kita tidak
akan membawa ketenangan. Menyelesaikan berbagai masalah yang bersifat sesaat
tidak akan membawa damai sejahtera. Yang membedakan adalah damai sejahtera
Yesus, kerukunan Roh Kudus.
Pada
kiprah kehidupan dewasa ini yang hingar-bingar, kerukunan tampak tersapu.
Tertarik dalam ribuan arah, kita menghadapi resiko kelelahan saraf dan
karenanya kita bereaksi buruk terhadap segalanya. Kemudian kita mencari
penyesuaian cepat, mengeluarkan satu demi satu pil dengan cepat untuk terus berjalan,
satu demi satu sensasi untuk merasa hidup. Tetapi lebih dari segalanya, kita
membutuhkan Roh Kudus : Ia mengatur kegilaan kita. Roh Kudus adalah damai
sejahtera di tengah-tengah kegelisahan, keyakinan di tengah-tengah
keputusasaan, sukacita dalam kesedihan, keremajaan dalam penuaan, keberanian
dalam saat pencobaan. Di tengah arus badai kehidupan, Ia menurunkan jangkar
pengharapan. Seperti yang dikatakan Santo Paulus kepada kita hari ini, Roh
Kudus mencegah kita jatuh kembali ke dalam ketakutan, karena Ia membuat kita
menyadari bahwa kita adalah anak-anak yang terkasih (bdk. Rm 8:15). Ia adalah
Sang Penghibur, yang membawakan kita kasih Allah yang lembut. Tanpa Roh Kudus,
kehidupan Kristiani kita berantakan, tiada kasih yang menyatukan segalanya. Tanpa
Roh Kudus, Yesus tetap menjadi sosok dari masa lalu; bersama Roh Kudus, Ia
adalah pribadi yang hidup di zaman kita. Tanpa Roh Kudus, Kitab Suci adalah
sebuah huruf mati; bersama Roh Kudus, Kitab Suci adalah sebuah sabda kehidupan.
Kekristenan tanpa Roh Kudus adalah moralisme tanpa sukacita; bersama Roh
Kudus,kekristenan adalah kehidupan.
Roh
Kudus tidak hanya membawa kerukunan di dalam diri kita tetapi juga di antara
kita. Ia menjadikan kita Gereja, membangun berbagai bagian menjadi satu
bangunan besar yang selaras. Santo Paulus menjelaskan hal ini dengan baik
ketika, berbicara tentang Gereja, ia sering mengulangi satu kata, “rupa”:
rupa-rupa karunia, rupa-rupa pelayanan, rupa-rupa kegiatan” (1 Kor 12:4-6).
Kita berbeda dalam keanekaragaman mutu dan karunia kita. Roh Kudus
menyalurkannya dengan daya cipta sehingga tidak semuanya serupa. Atas dasar
keanekaragaman ini, Ia membangun kesatuan. Sejak awal penciptaan, Ia telah
melakukan hal ini. Karena Ia adalah pakar dalam mengubah kekacauan menjadi alam
semesta, dalam menciptakan kerukunan.
Di
dunia dewasa ini, tiadanya kerukunan telah menyebabkan perpecahan yang
mencolok. Ada orang-orang yang memiliki terlalu banyak dan ada orang-orang yang
tidak memiliki apa-apa, orang-orang yang ingin hidup sampai seratus tahun dan
orang-orang yang bahkan tidak sudi dilahirkan. Di zaman komputer, jarak semakin
meningkat : semakin banyak kita menggunakan media sosial, kita menjadi semakin
sedikit berjiwa sosial. Kita membutuhkan Roh kesatuan untuk meregenerasi kita
sebagai Gereja, sebagai umat Allah, dan sebagai keluarga umat manusia. Selalu
ada godaan untuk membangun "sarang", berpegang teguh pada kelompok
kecil kita, pada hal-hal dan orang-orang yang kita sukai, melawan semua
kontaminasi. Ini hanya sebuah langkah kecil dari sarang menuju sekte : berapa
kali kita mendefinisikan jatidiri kita sebagai seteru seseorang atau sesuatu!
Sebaliknya, Roh Kudus menyatukan mereka yang jauh, menyatukan mereka yang
terpisah, membawa pulang mereka yang tercerai-berai. Ia memadukan berbagai nada
ke dalam satu keselarasan karena sebelum segalanya Ia melihat kebaikan. Ia
melihat individu sebelum melihat kesalahan mereka, pribadi sebelum tindakan
mereka. Roh Kudus membentuk Gereja dan dunia sebagai tempat putra dan putri,
saudara dan saudari. Kata benda ini muncul sebelum kata sifat apa pun. Dewasa
ini terbiasa melontarkan kata sifat dan, sayangnya, bahkan penghinaan. Kemudian
kita menyadari bahwa hal ini berbahaya, bagi mereka yang dihina tetapi juga
bagi mereka yang menghina. Membalas kejahatan demi kejahatan, beralih dari
korban menjadi penyerang, bukanlah cara untuk menjalani kehidupan. Orang-orang
yang hidup oleh Roh Kudus, bagaimanapun, membawa damai sejahtera di mana ada
perselisihan, kerukunan di mana ada pertikaian. Orang-orang yang secara rohani
membalas kejahatan dengan kebaikan. Mereka menanggapi kesombongan dengan
kelembutan, kebencian dengan kebaikan, teriakan dengan keheningan, pergunjingan
dengan doa, kekalahan dengan dorongan.
Menjadi
bersifat rohani untuk menikmati kerukunan Roh Kudus, kita perlu mengadopsi
cara-Nya dalam melihat sesuatu. Kemudian segalanya berubah : bersama Roh Kudus,
Gereja adalah umat Allah yang kudus, misinya adalah menyebarkan sukacita,
ketika orang lain menjadi saudara dan saudari kita, semua dikasihi oleh Bapa
yang sama. Namun, tanpa Roh Kudus, Gereja menjadi sebuah organisasi, misinya
menjadi propaganda, persekutuannya sebagai pengerahan tenaga. Roh Kudus adalah
kebutuhan pertama dan terakhir Gereja (bdk. Santo Paulus VI, Audiensi Umum, 29
November 1972). Ia “datang ke tempat Ia dikasihi, ke tempat Ia diundang, ke
tempat Ia diharapkan” (Santo Bonaventura, Khotbah untuk Hari Minggu IV setelah
Paskah). Marilah kita setiap hari memohon karunia Roh Kudus. Roh Kudus,
kerukunan Allah, Engkau yang mengubah ketakutan menjadi kepercayaan dan
mementingkan diri menjadi karunia diri, datanglah kepada kami. Anugerahilah
kami sukacita kebangkitan dan hati muda yang abadi. Roh Kudus, kerukunan kami,
Engkau yang menjadikan kami satu tubuh, curahkanlah damai sejahtera-Mu bagi
Gereja dan dunia kami. Jadikanlah kami pengrajin kerukunan, penabur kebaikan,
rasul pengharapan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.