Bacaan
Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat.
16:13-19.
Rasul
Petrus dan Paulus berdiri di depan kita sebagai para saksi. Mereka tidak pernah
lelah berkhotbah dan melakukan perjalanan sebagai misionaris dari negeri Yesus
menuju Roma itu sendiri. Di sini mereka memberikan kesaksian pamungkas mereka,
mempersembahkan nyawa mereka sebagai martir. Jika kita masuk ke inti kesaksian
itu, kita dapat melihat mereka sebagai para saksi kehidupan, para saksi
pengampunan dan para saksi bagi Yesus.
Para
saksi bagi kehidupan. Namun, kehidupan mereka tidak anggun dan lurus-lurus
saja. Keduanya sangat religius : Petrus adalah salah seorang murid pertama
(bdk. Yoh 1:41), dan Paulus "sangat rajin memelihara adat istiadat nenek
moyang-[nya]" (Gal 1:14). Namun mereka juga membuat kesalahan besar :
Petrus menyangkal Tuhan, sementara Paulus menganiaya Gereja Allah. Keduanya
merasa gerah oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Yesus : "Simon,
anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?"
(Yoh 21:15); “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4).
Petrus bersedih hati dengan pertanyaan-pertanyaan Yesus, sementara Paulus
dibutakan oleh kata-kata-Nya. Yesus memanggil nama mereka dan mengubah hidup
mereka. Setelah semua itu terjadi, Ia menaruh kepercayaan pada mereka, pada
orang yang menyangkal-Nya dan orang yang menganiaya para pengikut-Nya, pada
diri dua orang berdosa yang bertobat. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Tuhan
memilih untuk tidak memberikan kepada kita dua saksi yang berkepribadian
semata, dengan catatan yang bersih dan kehidupan yang tak bercela? Mengapa
Petrus, ketika ada Yohanes? Mengapa Paulus, dan bukan Barnabas?
Ada
ajaran yang luar biasa di sini : titik awal kehidupan Kristiani bukanlah
kelayakan kita; pada kenyataannya, Tuhan hanya mampu mengerjakan sedikit hal
dengan orang-orang yang berpikir bahwa diri mereka baik dan layak. Kapan pun
kita menganggap diri kita lebih pandai atau lebih baik daripada orang lain,
itulah awal dari kesudahan. Tuhan tidak mengerjakan mukjizat dengan orang-orang
yang menganggap diri mereka benar, tetapi dengan orang-orang yang memahami diri
mereka membutuhkan. Ia tidak tertarik dengan kebaikan kita; bukan itu penyebab
Ia mengasihi kita. Ia mengasihi kita apa adanya; Ia sedang mencari orang-orang
yang tidak merasakan dirinya memadai, tetapi siap untuk membuka hati mereka
kepada-Nya. Orang-orang yang, seperti Petrus dan Paulus, berterus terang di
hadapan Allah. Petrus segera memberitahu Yesus : "Aku ini seorang
berdosa" (Luk 5:8). Paulus menulis bahwa ia adalah "yang paling hina
dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul" (1 Kor 15:9).
Sepanjang hidup, mereka menjaga kerendahan hati ini, sampai akhir hayat. Petrus
wafat disalib terbalik, karena ia tidak menganggap dirinya layak untuk
meneladan Tuhannya. Paulus selalu menyukai namanya, yang berarti
"kecil", dan meninggalkan nama lahirnya, Saulus, nama raja pertama
bangsanya. Keduanya memahami bahwa kekudusan tidak berupa meninggikan diri, melainkan
merendahkan diri. Kekudusan bukanlah pameran, tetapi sebuah keragu-raguan
mempercayakan kepapaan kita setiap hari kepada Tuhan, yang melakukan hal-hal
besar bagi orang-orang kecil. Apa rahasia yang membuat mereka bertahan di
tengah-tengah kelemahan? Rahasianya adalah pengampunan Tuhan.
Marilah
kita memikirkan mereka juga sebagai para saksi pengampunan. Dalam kegagalan
mereka, mereka menemukan berkuasanya belas kasih Tuhan, yang melahirkan mereka
kembali. Dalam pengampunan-Nya, mereka menjumpai kedamaian dan sukacita yang
tak tertahankan. Memikirkan kembali kegagalan mereka, mereka mungkin pernah
mengalami perasaan bersalah. Berapa kali mungkin Petrus memikirkan kembali
penyangkalannya! Betapa banyak keragu-raguan yang dirasakan Paulus karena telah
melukai begitu banyak orang yang tidak bersalah! Secara manusiawi, mereka telah
gagal. Namun mereka menjumpai kasih yang lebih besar daripada kegagalan mereka,
pengampunan yang cukup kuat untuk menyembuhkan bahkan perasaan bersalah mereka.
Hanya ketika kita mengalami pengampunan Allah kita benar-benar mengalami
kelahiran kembali. Dari sanalah kita memulai lagi, dari pengampunan; di sanalah
kita menemukan kembali siapa kita sesungguhnya : dalam pengakuan dosa-dosa
kita.
Memberi
kesaksian bagi kehidupan dan memberi kesaksian bagi pengampunan, Petrus dan
Paulus akhirnya menjadi para saksi bagi Yesus. Dalam Injil hari ini, Tuhan
bertanya : "Kata orang, siapakah Putra Manusia itu?" Jawab mereka:
"Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia
dan ada pula yang mengatakan : Yeremia atau salah seorang dari para nabi".
Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias" (Mat 16:13-14.16).
Kristus, yaitu Mesias. Sebuah kata yang tidak menunjuk ke masa lalu, tetapi ke
masa depan : Mesias adalah orang yang dinanti-nantikan, Ia adalah kebaruan,
orang yang membawa pengurapan Tuhan ke dunia. Yesus bukan masa lalu, tetapi
masa kini dan masa depan. Ia bukan sosok yang jauh untuk diingat, tetapi orang
yang dapat berbicara secara intim dengan Petrus : Engkau adalah Mesias. Bagi
orang=-orang yang menjadi para saksi-Nya, Yesus lebih dari sekadar tokoh
sejarah; Ia adalah pribadi yang hidup : Ia adalah kebaruan, bukan hal-hal yang
telah kita lihat, kebaruan masa depan dan bukan kenangan dari masa lalu. Jadi,
saksi bukanlah seseorang yang mengetahui kisah Yesus, tetapi seseorang yang
telah mengalami kisah kasih dengan Yesus. Saksi, pada akhirnya, hanya
menyatakan hal ini : Yesus hidup dan Ia adalah rahasia kehidupan. Memang,
Petrus, setelah mengatakan : "Engkau adalah Mesias", kemudian
melanjutkan dengan mengatakan : "Putra Allah yang hidup" (ayat 16).
Kesaksian muncul dari perjumpaan dengan Yesus yang hidup. Di pusat kehidupan
Paulus juga, kita menemukan kata yang sama yang muncul dari hati Petrus :
Mesias. Paulus mengulangi nama ini terus-menerus, hampir empat ratus kali dalam
surat-suratnya! Baginya, Kristus bukan hanya model, teladan, titik acuan : Ia
adalah kehidupan itu sendiri. Paulus menulis, “Bagiku hidup adalah Kristus”
(Flp 1:21). Yesus adalah masa kini Paulus dan masa depannya, sedemikian rupa
sehingga ia menganggap masa lalu sebagai kerugian dibandingkan dengan
pengenalan akan Kristus yang tiada taranya (bdk. Flp 3:7-8).
Saudara
dan saudari, di hadapan para saksi ini, marilah kita bertanya : “Apakah aku
setiap hari memperbarui perjumpaanku dengan Yesus?” Kita mungkin ingin tahu
tentang Yesus, atau tertarik dengan perihal Gereja atau berita keagamaan. Kita
dapat membuka situs-situs komputer dan surat kabar, serta membicarakan hal-hal
suci. Tetapi ini tetap pada taraf apa yang dikatakan orang? Yesus tidak peduli
dengan jajak pendapat, sejarah masa lalu atau angka-angka. Ia tidak sedang
mencari editor keagamaan, apalagi umat Kristiani "halaman depan" atau
"angka-angka". Ia sedang mencari saksi-saksi yang mengatakan kepada-Nya
setiap hari : "Tuhan, Engkau adalah hidupku".
Setelah
bertemu dengan Yesus dan mengalami pengampunan-Nya, para Rasul memberikan
kesaksian bagi-Nya dengan menjalani kehidupan baru : mereka tidak lagi menahan
diri, tetapi menyerahkan diri mereka sepenuhnya. Mereka tidak lagi puas dengan
setengah-setengah, tetapi merangkul satu-satunya takaran yang mungkin bagi
orang-orang yang mengikuti Yesus: kasih yang tak terbatas. Mereka
"dicurahkan sebagai persembahan" (bdk. 2 Tim 4:6). Marilah kita
memohon rahmat untuk tidak menjadi umat Kristiani yang suam-suam kuku yang
hidup dengan takaran yang setengah-setengah, membiarkan kasih kita bertambah
dingin. Marilah kita menemukan kembali siapa diri kita sesungguhnya melalui
hubungan sehari-hari dengan Yesus dan melalui kuasa pengampunan-Nya. Sama
seperti Ia bertanya kepada Petrus, Yesus sekarang bertanya kepada kita :
"Kata orang, siapakah Aku?", "Apakah engkau mengasihi-Ku?"
Marilah kita memperkenankan kata-kata ini menembus hati kita dan mengilhami
kita untuk tidak tetap puas dengan sebuah minimum, tetapi bertujuan tinggi,
sehingga kita juga bisa menjadi para saksi yang hidup bagi Yesus.
Hari
ini kita memberkati pallium untuk para uskup agung metropolitan yang diangkat
dalam satu tahun terakhir. Pallium mengingatkan domba yang dipanggul gembala
sebagai panggilan. Pallium adalah tanda bahwa para gembala tidak hidup untuk
diri mereka sendiri tetapi untuk domba-domba mereka. Pallium adalah tanda
bahwa, untuk memiliki kehidupan, kita harus kehilangannya, memberikannya. Hari
ini sukacita kita diikutsertakan, sesuai dengan tradisi yang baik, oleh sebuah
delegasi Patriarkat Ekumenis, yang anggotanya saya sambut dengan kasih sayang.
Kehadiran kalian, saudara-saudara yang terkasih, mengingatkan kita bahwa kita
juga tidak dapat menghindarkan upaya dalam perjalanan menuju persatuan penuh di
antara orang-orang percaya, dalam persekutuan di setiap tingkatan. Karena
bersama-sama, diperdamaikan dengan Allah dan saling mengampuni, kita dipanggil
untuk memberi kesaksian bagi Yesus melalui hidup kita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.