Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 29 Juni 2019 : SANTO PETRUS DAN PAULUS ADALAH SAKSI-SAKSI KEHIDUPAN, PENGAMPUNAN DAN BAGI YESUS


Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.

Rasul Petrus dan Paulus berdiri di depan kita sebagai para saksi. Mereka tidak pernah lelah berkhotbah dan melakukan perjalanan sebagai misionaris dari negeri Yesus menuju Roma itu sendiri. Di sini mereka memberikan kesaksian pamungkas mereka, mempersembahkan nyawa mereka sebagai martir. Jika kita masuk ke inti kesaksian itu, kita dapat melihat mereka sebagai para saksi kehidupan, para saksi pengampunan dan para saksi bagi Yesus.


Para saksi bagi kehidupan. Namun, kehidupan mereka tidak anggun dan lurus-lurus saja. Keduanya sangat religius : Petrus adalah salah seorang murid pertama (bdk. Yoh 1:41), dan Paulus "sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyang-[nya]" (Gal 1:14). Namun mereka juga membuat kesalahan besar : Petrus menyangkal Tuhan, sementara Paulus menganiaya Gereja Allah. Keduanya merasa gerah oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Yesus : "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" (Yoh 21:15); “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4). Petrus bersedih hati dengan pertanyaan-pertanyaan Yesus, sementara Paulus dibutakan oleh kata-kata-Nya. Yesus memanggil nama mereka dan mengubah hidup mereka. Setelah semua itu terjadi, Ia menaruh kepercayaan pada mereka, pada orang yang menyangkal-Nya dan orang yang menganiaya para pengikut-Nya, pada diri dua orang berdosa yang bertobat. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Tuhan memilih untuk tidak memberikan kepada kita dua saksi yang berkepribadian semata, dengan catatan yang bersih dan kehidupan yang tak bercela? Mengapa Petrus, ketika ada Yohanes? Mengapa Paulus, dan bukan Barnabas?

Ada ajaran yang luar biasa di sini : titik awal kehidupan Kristiani bukanlah kelayakan kita; pada kenyataannya, Tuhan hanya mampu mengerjakan sedikit hal dengan orang-orang yang berpikir bahwa diri mereka baik dan layak. Kapan pun kita menganggap diri kita lebih pandai atau lebih baik daripada orang lain, itulah awal dari kesudahan. Tuhan tidak mengerjakan mukjizat dengan orang-orang yang menganggap diri mereka benar, tetapi dengan orang-orang yang memahami diri mereka membutuhkan. Ia tidak tertarik dengan kebaikan kita; bukan itu penyebab Ia mengasihi kita. Ia mengasihi kita apa adanya; Ia sedang mencari orang-orang yang tidak merasakan dirinya memadai, tetapi siap untuk membuka hati mereka kepada-Nya. Orang-orang yang, seperti Petrus dan Paulus, berterus terang di hadapan Allah. Petrus segera memberitahu Yesus : "Aku ini seorang berdosa" (Luk 5:8). Paulus menulis bahwa ia adalah "yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul" (1 Kor 15:9). Sepanjang hidup, mereka menjaga kerendahan hati ini, sampai akhir hayat. Petrus wafat disalib terbalik, karena ia tidak menganggap dirinya layak untuk meneladan Tuhannya. Paulus selalu menyukai namanya, yang berarti "kecil", dan meninggalkan nama lahirnya, Saulus, nama raja pertama bangsanya. Keduanya memahami bahwa kekudusan tidak berupa meninggikan diri, melainkan merendahkan diri. Kekudusan bukanlah pameran, tetapi sebuah keragu-raguan mempercayakan kepapaan kita setiap hari kepada Tuhan, yang melakukan hal-hal besar bagi orang-orang kecil. Apa rahasia yang membuat mereka bertahan di tengah-tengah kelemahan? Rahasianya adalah pengampunan Tuhan.

Marilah kita memikirkan mereka juga sebagai para saksi pengampunan. Dalam kegagalan mereka, mereka menemukan berkuasanya belas kasih Tuhan, yang melahirkan mereka kembali. Dalam pengampunan-Nya, mereka menjumpai kedamaian dan sukacita yang tak tertahankan. Memikirkan kembali kegagalan mereka, mereka mungkin pernah mengalami perasaan bersalah. Berapa kali mungkin Petrus memikirkan kembali penyangkalannya! Betapa banyak keragu-raguan yang dirasakan Paulus karena telah melukai begitu banyak orang yang tidak bersalah! Secara manusiawi, mereka telah gagal. Namun mereka menjumpai kasih yang lebih besar daripada kegagalan mereka, pengampunan yang cukup kuat untuk menyembuhkan bahkan perasaan bersalah mereka. Hanya ketika kita mengalami pengampunan Allah kita benar-benar mengalami kelahiran kembali. Dari sanalah kita memulai lagi, dari pengampunan; di sanalah kita menemukan kembali siapa kita sesungguhnya : dalam pengakuan dosa-dosa kita.

Memberi kesaksian bagi kehidupan dan memberi kesaksian bagi pengampunan, Petrus dan Paulus akhirnya menjadi para saksi bagi Yesus. Dalam Injil hari ini, Tuhan bertanya : "Kata orang, siapakah Putra Manusia itu?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan : Yeremia atau salah seorang dari para nabi". Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias" (Mat 16:13-14.16). Kristus, yaitu Mesias. Sebuah kata yang tidak menunjuk ke masa lalu, tetapi ke masa depan : Mesias adalah orang yang dinanti-nantikan, Ia adalah kebaruan, orang yang membawa pengurapan Tuhan ke dunia. Yesus bukan masa lalu, tetapi masa kini dan masa depan. Ia bukan sosok yang jauh untuk diingat, tetapi orang yang dapat berbicara secara intim dengan Petrus : Engkau adalah Mesias. Bagi orang=-orang yang menjadi para saksi-Nya, Yesus lebih dari sekadar tokoh sejarah; Ia adalah pribadi yang hidup : Ia adalah kebaruan, bukan hal-hal yang telah kita lihat, kebaruan masa depan dan bukan kenangan dari masa lalu. Jadi, saksi bukanlah seseorang yang mengetahui kisah Yesus, tetapi seseorang yang telah mengalami kisah kasih dengan Yesus. Saksi, pada akhirnya, hanya menyatakan hal ini : Yesus hidup dan Ia adalah rahasia kehidupan. Memang, Petrus, setelah mengatakan : "Engkau adalah Mesias", kemudian melanjutkan dengan mengatakan : "Putra Allah yang hidup" (ayat 16). Kesaksian muncul dari perjumpaan dengan Yesus yang hidup. Di pusat kehidupan Paulus juga, kita menemukan kata yang sama yang muncul dari hati Petrus : Mesias. Paulus mengulangi nama ini terus-menerus, hampir empat ratus kali dalam surat-suratnya! Baginya, Kristus bukan hanya model, teladan, titik acuan : Ia adalah kehidupan itu sendiri. Paulus menulis, “Bagiku hidup adalah Kristus” (Flp 1:21). Yesus adalah masa kini Paulus dan masa depannya, sedemikian rupa sehingga ia menganggap masa lalu sebagai kerugian dibandingkan dengan pengenalan akan Kristus yang tiada taranya (bdk. Flp 3:7-8).

Saudara dan saudari, di hadapan para saksi ini, marilah kita bertanya : “Apakah aku setiap hari memperbarui perjumpaanku dengan Yesus?” Kita mungkin ingin tahu tentang Yesus, atau tertarik dengan perihal Gereja atau berita keagamaan. Kita dapat membuka situs-situs komputer dan surat kabar, serta membicarakan hal-hal suci. Tetapi ini tetap pada taraf apa yang dikatakan orang? Yesus tidak peduli dengan jajak pendapat, sejarah masa lalu atau angka-angka. Ia tidak sedang mencari editor keagamaan, apalagi umat Kristiani "halaman depan" atau "angka-angka". Ia sedang mencari saksi-saksi yang mengatakan kepada-Nya setiap hari : "Tuhan, Engkau adalah hidupku".

Setelah bertemu dengan Yesus dan mengalami pengampunan-Nya, para Rasul memberikan kesaksian bagi-Nya dengan menjalani kehidupan baru : mereka tidak lagi menahan diri, tetapi menyerahkan diri mereka sepenuhnya. Mereka tidak lagi puas dengan setengah-setengah, tetapi merangkul satu-satunya takaran yang mungkin bagi orang-orang yang mengikuti Yesus: kasih yang tak terbatas. Mereka "dicurahkan sebagai persembahan" (bdk. 2 Tim 4:6). Marilah kita memohon rahmat untuk tidak menjadi umat Kristiani yang suam-suam kuku yang hidup dengan takaran yang setengah-setengah, membiarkan kasih kita bertambah dingin. Marilah kita menemukan kembali siapa diri kita sesungguhnya melalui hubungan sehari-hari dengan Yesus dan melalui kuasa pengampunan-Nya. Sama seperti Ia bertanya kepada Petrus, Yesus sekarang bertanya kepada kita : "Kata orang, siapakah Aku?", "Apakah engkau mengasihi-Ku?" Marilah kita memperkenankan kata-kata ini menembus hati kita dan mengilhami kita untuk tidak tetap puas dengan sebuah minimum, tetapi bertujuan tinggi, sehingga kita juga bisa menjadi para saksi yang hidup bagi Yesus.

Hari ini kita memberkati pallium untuk para uskup agung metropolitan yang diangkat dalam satu tahun terakhir. Pallium mengingatkan domba yang dipanggul gembala sebagai panggilan. Pallium adalah tanda bahwa para gembala tidak hidup untuk diri mereka sendiri tetapi untuk domba-domba mereka. Pallium adalah tanda bahwa, untuk memiliki kehidupan, kita harus kehilangannya, memberikannya. Hari ini sukacita kita diikutsertakan, sesuai dengan tradisi yang baik, oleh sebuah delegasi Patriarkat Ekumenis, yang anggotanya saya sambut dengan kasih sayang. Kehadiran kalian, saudara-saudara yang terkasih, mengingatkan kita bahwa kita juga tidak dapat menghindarkan upaya dalam perjalanan menuju persatuan penuh di antara orang-orang percaya, dalam persekutuan di setiap tingkatan. Karena bersama-sama, diperdamaikan dengan Allah dan saling mengampuni, kita dipanggil untuk memberi kesaksian bagi Yesus melalui hidup kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.