Kisah
yang baru saja kita dengar terjadi di Yerikho, kota terkenal yang dihancurkan
pada zaman Yosua, yang, menurut Kitab Suci, tidak akan dibangun kembali (bdk.
Hak 6) : kota tersebut seharusnya "kota yang terlupakan". Tetapi
Yesus, kata Injil, 19:1 masuk dan berjalan melintasi (bdk. Luk 19:1). Dan di
kota ini, yang berada di bawah permukaan laut, Ia tidak takut untuk mencapai
tingkatan terendah, yang diwakili oleh Zakheus. Ia adalah seorang pemungut
pajak, pada kenyataannya, "seorang kepala pemungut cukai", yaitu
<salah satu dari> orang-orang Yahudi yang dibenci oleh orang-orang, yang
mengumpulkan pajak untuk Kekaisaran Romawi. Ia adalah “seorang yang kaya” (ayat
2) dan mudah untuk memahami bagaimana ia menjadi seperti itu: dengan
mengorbankan sesama warganya, mengeksploitasi sesama warganya. Di mata mereka,
Zakheus adalah orang yang paling jahat, tidak bisa diselamatkan. Tetapi tidak
di mata Yesus, yang memanggil namanya, Zakheus, yang berarti “Allah mengingat”.
Di kota yang terlupakan, Allah mengingat orang yang paling berdosa.
Pertama-tama,
Tuhan mengingat kita. Ia tidak lupa; Ia tidak kehilangan pandangan terhadap
kita meskipun ada berbagai rintangan yang dapat menjauhkan kita daripada-Nya.
Berbagai rintangan ada dalam kasus Zakheus : perawakannya yang pendek - fisik
dan moral -, tetapi juga rasa malunya, maka ia mencari Yesus dengan bersembunyi
di antara dahan pohon, mungkin berharap ia tidak akan terlihat. Dan kemudian
orang banyak mengritik : oleh karena pertemuan itu, "semua orang di kota
itu bersungut-sungut" (ayat 7) - namun, saya percaya hal yang sama terjadi
di Albano : ada sungut-sungut ... Berbagai keterbatasan, dosa, rasa malu,
pergunjingan, dan prasangka : tidak ada rintangan yang membuat Yesus melupakan
yang hakiki : manusia dikasihi dan diselamatkan.
Apa
yang dikatakan Injil ini kepada kita pada hari peringatan Katedralmu? Setiap
gereja, Gereja dengan K huruf besar ada untuk menjaga dalam hati manusia
hidupnya ingatan bahwa Allah mengasihi mereka. Gereja ada untuk mengatakan
kepada masing-masing orang, bahkan orang-orang yang paling terasing : kamu
dikasihi dan Yesus memanggil namamu; Allah tidak melupakanmu, Ia memiliki
hatimu. ”Saudara dan saudari yang terkasih, seperti Yesus, jangan takut untuk
“melintasi” kotamu - pergi kepada orang-orang yang paling terlupakan,
orang-orang yang tersembunyi di belakang dahan-dahan oleh karena rasa malu,
takut, kesepian -, mengatakan kepadanya : "Allah mengingatmu".
Saya
ingin menggarisbawahi tindakan Yesus yang lain. Selain mengingat, mengenali
Zakheus, Ia mengantisipasi<-nya>. Kita melihatnya dalam pertukaran
pandang dengan Zakheus. "Ia berusaha untuk melihat orang siapakah Yesus
itu" (ayat 3). Sangat menariklah bahwa Zakheus tidak hanya berusaha untuk
melihat Yesus, tetapi melihat siapakah Yesus, yaitu, memahami guru macam apakan
Dia, apakah ciri khas-Nya. Dan ia menemukannya, bukan ketika ia memandang
Yesus, tetapi ketika Yesus memandangnya, karena, sementara Zakheus berusaha
melihat-Nya, Yesus melihatnya terlebih dahulu, sebelum Zakheus berbicara, Yesus
berbicara kepadanya; sebelum mengundang Yesus, Yesus datang ke rumahnya.
Lihatlah siapa Yesus : Ia yang melihatmu terlebih dulu; Ia yang mengasihimu
terlebih dulu; Ia yang menerimamu terlebih dulu. Ketika kita menemukan
kasih-Nya mengantisipasi kita, kasih itu menjamah kita pertama-tama, kehidupan
berubah.
Saudara
yang terkasih, saudari yang terkasih, jika, seperti Zakheus, kamu sedang
mencari makna kehidupan tetapi, tanpa menemukannya, kamu sedang mencampakkan
dirimu dengan “pengganti kasih”, seperti kekayaan, karier, kesenangan,
kecanduan, perkenankan Yesus memandangmu. Hanya bersama Yesus kamu akan
menemukan bahwa kamu selalu dikasihi dan kamu akan "menemukan"
kehidupan. Kamu akan merasa tersentuh oleh kelembutan Tuhan yang tak
terhindarkan, yang membanjiri dan menggerakkan hati. Itulah yang terjadi pada
Zakheus, dan itulah yang terjadi pada diri kita masing-masing, ketika kita
menemukan kepertamaan Yesus : Yesus yang mengantisipasi kita, yang memandang
kita terlebih dahulu, yang berbicara kepada kita terlebih dahulu, yang menunggu
kita terlebih dahulu. Sebagai Gereja, marilah kita bertanya kepada diri kita
sendiri apakah Yesus datang pertama dengan kita : apakah Ia yang pertama atau
jadwal acara kita, apakah Ia yang pertama atau tatanan kita? Setiap pertobatan
lahir dari antisipasi belas kasihan; setiap pertobatan lahir dari kelembutan
Allah yang mempesona hati. Jika semua yang kita lakukan tidak dimulai dari
pandangan belas kasihan Yesus, kita mengambil resiko menduniawikan iman,
menyulitkannya, mengisinya dengan begitu banyak batasan : alasan budaya, visi
yang efisien, pilihan politik, pilihan partai ... Tetapi yang hakiki
terlupakan, kesederhanaan iman, apa yang datang pertama-tama : perjumpaan yang
hidup dengan belas kasihan Allah. Jika ini bukan pusatnya, jika bukan di awal
dan di akhir setiap kegiatan kita, kita beresiko memiliki Allah "di luar
rumah," yaitu, di dalam gereja, yang adalah rumah-Nya, tetapi tidak
bersama kita. Undangan hari ini adalah : perkenankan Tuhan “berbelas kasihan”
kepadamu. Ia datang dengan belas kasihan-Nya. Guna mempertahankan Allah
terlebih dahulu, Zakheuslah teladannya. Yesus melihatnya terlebih dahulu karena
ia telah memanjat pohon ara. Gerakan yang membutuhkan keberanian, semangat,
<dan> daya khayal : tidak banyak orang dewasa terlihat memanjat pohon;
anak muda melakukan hal ini, memanjat pohon adalah sesuatu yang dilakukan
anak-anak, kita semua telah melakukannya. Zakheus mengatasi rasa malunya dan,
dalam arti tertentu, ia menjadi seorang anak. Menjadi sederhana, terbuka adalah
penting bagi kita. Guna mempertahankan "kepertamaan" Allah, yaitu
belas kasihan-Nya, tidak perlu menjadi umat Kristiani yang rumit, yang
memaparkan ribuan teori dan berpencar untuk mencari jawaban pada jejaring,
tetapi kita harus seperti anak-anak. Mereka membutuhkan orang tua dan
teman-teman : kita juga membutuhkan Allah dan orang lain. Kita tidak cukup pada
diri kita sendiri; kita perlu membuka kedok kecukupan kita, mengatasi
ketertutupan kita, hati kita kembali menjadi kecil, sederhana dan bergairah,
penuh dorongan terhadap Allah dan mengasihi sesama kita.
Saya
ingin menunjukkan tindakan Yesus yang terakhir, yang membuat kita merasa di
rumah. Ia berkata kepada Zakheus : "Hari ini Aku harus menumpang di
rumahmu" (ayat 5). Di rumahmu, Zakheus, yang merasa terasing di kotanya,
yang kembali ke rumahnya sebagai orang yang dikasihi. Dan, dikasihi oleh Yesus,
ia menemukan kembali orang-orang yang dekat dengannya dan berkata : “Tuhan,
setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada
sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat"
(ayat 8). Hukum Musa meminta untuk membayar gantinya dengan menambah seperlima
(bdk. Im 5:16), Zakheus memberikan empat kali lipat : ia melampaui Hukum karena
ia telah menemukan kasih. Merasa di rumah, ia membuka pintu terhadap sesamanya.
Betapa
baiknya jika sesama dan kenalan kita merasakan Gereja sebagai rumah mereka!
Sayangnya, komunitas kita menjadi asing bagi banyak orang dan tidak terlalu
menarik. Terkadang kita juga mengalami godaan untuk menciptakan lingkaran
tertutup, tempat intim di antara orang-orang pilihan. Kita merasa terpilih,
kita merasa <diri kita> elit ... Namun, ada begitu banyak saudara dan
saudari yang memiliki nostalgia akan rumah, yang tidak memiliki keberanian
untuk mendekati, mungkin karena mereka belum merasa diterima; mungkin karena
mereka telah bertemu dengan seorang imam yang memperlakukan mereka dengan
buruk, atau mengusir mereka, yang ingin membuat mereka membayar untuk
sakramen-sakramen - suatu hal yang mengerikan -, dan mereka pindah. Tuhan
menginginkan Gereja-Nya menjadi sebuah rumah di antara rumah-rumah, sebuah
tenda yang ramah tempat setiap orang, para penjelajah keberadaan, bertemu
dengan-Nya, yang datang untuk diam di tengah-tengah kita (bdk. Yoh 1:14).
Saudara
dan saudari, semoga Gereja menjadi tempat di mana orang tidak pernah memandang
rendah orang lain, tetapi, seperti Yesus terhadap Zakheus, memandang ke atas
dari bawah. Ingatlah bahwa satu-satunya saat yang sah untuk melihat seseorang
dari atas ke bawah adalah membantunya bangkit kembali; selain itu tidak sah;
hanya pada saat itulah <orang dapat> memandangnya seperti itu, karena ia
telah jatuh. Marilah kita tidak melihat orang sebagai seorang hakim,
<tetapi> selalu sebagai saudara. Kita bukan pengamat kehidupan orang lain
tetapi penggagas kebaikan semua orang. Dan untuk menjadi penggagas kebaikan
semua orang, sesuatu yang banyak membantu adalah menjaga lidah tetap diam :
tidak berbicara buruk tentang orang lain. Namun, kadang-kadang ketika saya
mengatakan hal-hal ini, saya mendengarnya dikatakan : "Bapa, lihat, itu
adalah hal yang mengerikan, tetapi itu datang kepada saya, karena saya melihat
sesuatu dan timbul keinginan untuk mengritik". Saya menyarankan obat yang
baik untuk hal ini - terlepas dari doa - obat yang efektif adalah : gigitlah
lidahmu. Lidah akan membengkak di dalam mulutmu dan kamu tidak akan dapat
berbicara! "Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang
hilang", Injil (Luk 19:10) mengakhiri. Jika kita menghindari orang yang
tampak lenyap, kita bukan berasal dari Yesus. Marilah kita mohon rahmat untuk
pergi menemui masing-masing orang sebagai saudara, dan tidak melihatnya sebagai
musuh. Dan jika kita telah dirugikan, marilah kita membalasnya dengan kebaikan.
Murid-murid Yesus bukanlah budak dari kejahatan masa lalu tetapi, diampuni oleh
Tuhan, mereka melakukan seperti Zakheus : mereka hanya memikirkan kebaikan yang
bisa mereka lakukan. Marilah kita memberi tanpa pamrih. Marilah kita mengasihi
orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak dapat membalasnya: kita akan kaya
di mata Allah.
Saudara
dan saudari yang terkasih, saya berharap Katedralmu, sebagaimana setiap gereja,
merupakan tempat di mana setiap orang merasa diingat oleh Tuhan, diantisipasi
oleh belas kasihan-Nya dan diterima di rumah, sehingga hal terindah terjadi
dalam Gereja : bersukacita karena keselamatan telah memasuki kehidupan (bdk.
ayat 9). Semoga demikian.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.