Bacaan
Ekaristi : Keb 9:13-18; Flm 1:9b-10,12-17; Luk 14:25-33
Bacaan
Injil memberitahu kita bahwa "banyak orang berduyun-duyun mengikuti
Yesus" (Luk 14:25). Seperti banyak orang berkumpul di sepanjang jalan yang
dilalui-Nya, kamu juga telah datang dalam jumlah besar untuk menerima pesan-Nya
dan mengikuti jejak langkah-Nya. Tetapi kamu juga tahu bahwa mengikuti Yesus
tidaklah mudah. Hari ini, Injil Lukas mengingatkan kita bahwa mengikut Yesus
betapa menuntut ketetapan hati.
Tuntutan
pertama Yesus berkaitan dengan hubungan keluarga. Kehidupan baru yang diberikan
Tuhan kepada kita tampaknya meresahkan dan secara moral memalukan bagi
orang-orang yang berpikir bahwa memasuki kerajaan surga dapat dibatasi atau
diciutkan hanya dengan ikatan darah atau keanggotaan dalam suku bangsa,
kelompok tertentu, atau budaya tertentu. Ketika "keluarga" menjadi
syarat penentu untuk apa yang kita anggap benar dan baik, kita akhirnya
membenarkan dan bahkan "menguduskan" praktek-praktek yang mengarah
pada budaya pengistimewaan dan pengucilan : favoritisme, patronase dan, sebagai
akibatnya, korupsi. Sang Guru menuntut agar kita melihat lebih jauh dari hal
ini. Ia mengatakan hal ini dengan jelas : barangsiapa tidak dapat melihat orang
lain sebagai saudara atau saudari, tidak mampu menunjukkan kepekaan terhadap
kehidupan dan situasi mereka tanpa memandang keluarga, latar belakang budaya
atau sosial mereka “tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:26). Kasih yang
dicurahkan-Nya adalah karunia cuma-cuma yang diberikan kepada semua orang dan
dimaksudkan untuk semua orang.
Tuntutan
kedua Yesus menunjukkan kepada kita betapa sulitnya untuk mengikuti-Nya jika
kita berusaha mengenali kerajaan surga dengan agenda pribadi kita atau
keterikatan kita pada ideologi yang bisa menyalahgunakan nama Allah atau agama
untuk membenarkan tindakan kekerasan, pemisahan dan bahkan pembunuhan,
pengasingan, terorisme, dan marginalisasi. Tuntutan ini mendorong kita untuk
tidak melemahkan dan mempersempit pesan Injil, tetapi membangun sejarah dalam
persaudaraan dan kesetiakawanan, dalam penghormatan penuh terhadap bumi dan karunianya,
yang bertentangan dengan segala bentuk eksploitasi. Tuntutan ini mendorong kita
untuk mempraktekkan “dialog sebagai jalan; kerja sama timbal balik sebagai kode
etik; pemahaman timbal balik sebagai metode dan baku” (Dokumen tentang
Persaudaraan Manusia, Abu Dhabi, 4 Februari 2019). Dan jangan tergoda oleh
ajaran-ajaran yang gagal melihat bahwa gandum dan lalang harus tumbuh bersama
sampai kembalinya sang tuan ladang (bdk. Mat 13:24-30).
Akhirnya,
betapa sulitnya membagikan kehidupan baru yang ditawarkan Tuhan kepada kita
ketika kita terus didorong untuk membenarkan diri, karena kita berpikir bahwa
semuanya tergantung secara eksklusif pada upaya dan sumber daya kita! Atau,
seperti yang kita dengar dalam Bacaan Pertama, ketika perlombaan untuk mengumpulkan
harta menjadi mencekik dan meluap-luap, yang hanya meningkatkan keegoisan kita
dan kesediaan kita untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral. Tuntutan Yesus
adalah agar kita menemukan kembali bagaimana bersyukur dan menyadari bahwa,
lebih dari kemenangan pribadi, hidup kita dan talenta kita adalah buah dari
sebuah karunia (bdk. Gaudete et Exsultate, 55), karunia yang diciptakan oleh
Allah melalui saling mempengaruhi secara diam-diam dari begitu banyak orang
yang namanya hanya akan kita ketahui dalam kerajaan surga.
Dengan
ketiga tuntutan ini, Tuhan ingin mempersiapkan murid-murid-Nya untuk merayakan
kedatangan kerajaan Allah, dan membebaskan mereka dari penghalang besar yang,
pada akhirnya, adalah salah satu bentuk perbudakan terburuk : hidup hanya untuk
diri sendiri. Godaan untuk kembali ke alam semesta kecil kita, dan akhirnya
meninggalkan sedikit ruang bagi orang lain. Orang miskin tidak lagi masuk, kita
tidak lagi mendengar suara Allah, kita tidak lagi menikmatisukacita kasih-Nya
yang menentramkan, kita tidak lagi berhasrat untuk berbuat baik ... Banyak
orang, dengan menutup diri dengan cara ini, dapat merasakan “ tampaknya
”tampaknya" aman, namun akhirnya mereka menjadi getir, bingung dan tak
bernyawa. Ini bukan cara untuk menjalani kehidupan yang penuh dan bermartabat;
kehidupan semacam itu bukan kehendak Allah bagi kita, juga bukan juga hidup
dalam Roh yang memancar dari hati Kristus yang bangkit (bdk. Evangelii Gaudium,
2).
Dengan
tuntutan-tuntutan ini, Tuhan, ketika Ia berjalan menuju Yerusalem, meminta kita
untuk mengangkat pandangan kita, untuk menyesuaikan prioritas kita dan,
terutama, untuk memberikan ruang bagi Allah untuk menjadi pusat dan poros
kehidupan kita.
Ketika
kita melihat sekeliling kita, betapa banyak pria dan wanita, orang muda dan
anak-anak sedang menderita dan sangat membutuhkan! Ini bukan bagian rencana
Allah. Betapa mendesaknya Yesus memanggil kita untuk mati terhadap kepentingan
diri kita, individualisme kita, dan kesombongan kita! Dengan cara ini, kita
dapat memperkenankan roh persaudaraan untuk berkuasa - roh yang lahir dari
lambung Yesus Kristus yang tertikam, yang di dalamnya kita dilahirkan sebagai
keluarga Allah - dan yang di dalamnya setiap orang dapat merasa dikasihi karena
martabatnya dipahami, diterima dan dihargai. “Berhadapan dengan penghinaan
terhadap martabat manusia, kita seringkali tetap dengan tangan terlipat atau
membujur sebagai tanda frustrasi kita di hadapan kuasa jahat yang bengis. Namun
kita, umat kristiani tidak dapat berdiri dengan tangan terlipat dalam
ketidakpedulian, atau dengan tangan membujur dalam ketidakberdayaan. Tidak.
Sebagai umat beriman, kita harus mengulurkan tangan, seperti yang dilakukan
Yesus terhadap kita” (Homili Misa Hari Orang Miskin Sedunia, 18 November 2018).
Sabda
Allah yang baru saja kita dengar menawari kita berangkat sekali lagi, berani
mengambil lompatan bermutu ini dan mengadopsi kebijaksanaan ketidakterikatan
pribadi ini sebagai dasar untuk keadilan sosial dan untuk kehidupan pribadi
kita. Bersama-sama kita dapat melawan semua bentuk penyembahan berhala yang
membuat kita hanya memikirkan keamanan kekuasaan, karier, uang, dan keamanan
pencarian kejayaan manusiawi yang memperdaya.
Tuntutan
yang ditetapkan Yesus di hadapan kita tidak lagi membebani begitu kita mulai
merasakan sukacita hidup baru yang Ia sendiri tetapkan di hadapan kita. Itulah
sukacita yang lahir karena mengetahui bahwa Dialah yang pertama mencari kita di
persimpangan jalan, bahkan ketika kita tersesat seperti domba atau anak yang
hilang. Semoga realisme sederhana ini mengilhami kita untuk menghadapi
tantangan besar dan memberimu keinginan untuk menjadikan negaramu yang indah
sebuah tempat di mana Injil menjadi kehidupan, dan di mana hidup adalah demi
kemuliaan Allah yang lebih besar.
Marilah
kita berketetapan hati dan marilah kita menjadikan rencana Tuhan sebagai
rencana kita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.