Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI LAPANGAN KEUSKUPAN SOAMANDRAKIZAY, ANTANANARIVO (MADAGASKAR) 8 September 2019


Bacaan Ekaristi : Keb 9:13-18; Flm 1:9b-10,12-17; Luk 14:25-33

Bacaan Injil memberitahu kita bahwa "banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus" (Luk 14:25). Seperti banyak orang berkumpul di sepanjang jalan yang dilalui-Nya, kamu juga telah datang dalam jumlah besar untuk menerima pesan-Nya dan mengikuti jejak langkah-Nya. Tetapi kamu juga tahu bahwa mengikuti Yesus tidaklah mudah. Hari ini, Injil Lukas mengingatkan kita bahwa mengikut Yesus betapa menuntut ketetapan hati.


Tuntutan pertama Yesus berkaitan dengan hubungan keluarga. Kehidupan baru yang diberikan Tuhan kepada kita tampaknya meresahkan dan secara moral memalukan bagi orang-orang yang berpikir bahwa memasuki kerajaan surga dapat dibatasi atau diciutkan hanya dengan ikatan darah atau keanggotaan dalam suku bangsa, kelompok tertentu, atau budaya tertentu. Ketika "keluarga" menjadi syarat penentu untuk apa yang kita anggap benar dan baik, kita akhirnya membenarkan dan bahkan "menguduskan" praktek-praktek yang mengarah pada budaya pengistimewaan dan pengucilan : favoritisme, patronase dan, sebagai akibatnya, korupsi. Sang Guru menuntut agar kita melihat lebih jauh dari hal ini. Ia mengatakan hal ini dengan jelas : barangsiapa tidak dapat melihat orang lain sebagai saudara atau saudari, tidak mampu menunjukkan kepekaan terhadap kehidupan dan situasi mereka tanpa memandang keluarga, latar belakang budaya atau sosial mereka “tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:26). Kasih yang dicurahkan-Nya adalah karunia cuma-cuma yang diberikan kepada semua orang dan dimaksudkan untuk semua orang.

Tuntutan kedua Yesus menunjukkan kepada kita betapa sulitnya untuk mengikuti-Nya jika kita berusaha mengenali kerajaan surga dengan agenda pribadi kita atau keterikatan kita pada ideologi yang bisa menyalahgunakan nama Allah atau agama untuk membenarkan tindakan kekerasan, pemisahan dan bahkan pembunuhan, pengasingan, terorisme, dan marginalisasi. Tuntutan ini mendorong kita untuk tidak melemahkan dan mempersempit pesan Injil, tetapi membangun sejarah dalam persaudaraan dan kesetiakawanan, dalam penghormatan penuh terhadap bumi dan karunianya, yang bertentangan dengan segala bentuk eksploitasi. Tuntutan ini mendorong kita untuk mempraktekkan “dialog sebagai jalan; kerja sama timbal balik sebagai kode etik; pemahaman timbal balik sebagai metode dan baku” (Dokumen tentang Persaudaraan Manusia, Abu Dhabi, 4 Februari 2019). Dan jangan tergoda oleh ajaran-ajaran yang gagal melihat bahwa gandum dan lalang harus tumbuh bersama sampai kembalinya sang tuan ladang (bdk. Mat 13:24-30).

Akhirnya, betapa sulitnya membagikan kehidupan baru yang ditawarkan Tuhan kepada kita ketika kita terus didorong untuk membenarkan diri, karena kita berpikir bahwa semuanya tergantung secara eksklusif pada upaya dan sumber daya kita! Atau, seperti yang kita dengar dalam Bacaan Pertama, ketika perlombaan untuk mengumpulkan harta menjadi mencekik dan meluap-luap, yang hanya meningkatkan keegoisan kita dan kesediaan kita untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral. Tuntutan Yesus adalah agar kita menemukan kembali bagaimana bersyukur dan menyadari bahwa, lebih dari kemenangan pribadi, hidup kita dan talenta kita adalah buah dari sebuah karunia (bdk. Gaudete et Exsultate, 55), karunia yang diciptakan oleh Allah melalui saling mempengaruhi secara diam-diam dari begitu banyak orang yang namanya hanya akan kita ketahui dalam kerajaan surga.

Dengan ketiga tuntutan ini, Tuhan ingin mempersiapkan murid-murid-Nya untuk merayakan kedatangan kerajaan Allah, dan membebaskan mereka dari penghalang besar yang, pada akhirnya, adalah salah satu bentuk perbudakan terburuk : hidup hanya untuk diri sendiri. Godaan untuk kembali ke alam semesta kecil kita, dan akhirnya meninggalkan sedikit ruang bagi orang lain. Orang miskin tidak lagi masuk, kita tidak lagi mendengar suara Allah, kita tidak lagi menikmatisukacita kasih-Nya yang menentramkan, kita tidak lagi berhasrat untuk berbuat baik ... Banyak orang, dengan menutup diri dengan cara ini, dapat merasakan “ tampaknya ”tampaknya" aman, namun akhirnya mereka menjadi getir, bingung dan tak bernyawa. Ini bukan cara untuk menjalani kehidupan yang penuh dan bermartabat; kehidupan semacam itu bukan kehendak Allah bagi kita, juga bukan juga hidup dalam Roh yang memancar dari hati Kristus yang bangkit (bdk. Evangelii Gaudium, 2).

Dengan tuntutan-tuntutan ini, Tuhan, ketika Ia berjalan menuju Yerusalem, meminta kita untuk mengangkat pandangan kita, untuk menyesuaikan prioritas kita dan, terutama, untuk memberikan ruang bagi Allah untuk menjadi pusat dan poros kehidupan kita.

Ketika kita melihat sekeliling kita, betapa banyak pria dan wanita, orang muda dan anak-anak sedang menderita dan sangat membutuhkan! Ini bukan bagian rencana Allah. Betapa mendesaknya Yesus memanggil kita untuk mati terhadap kepentingan diri kita, individualisme kita, dan kesombongan kita! Dengan cara ini, kita dapat memperkenankan roh persaudaraan untuk berkuasa - roh yang lahir dari lambung Yesus Kristus yang tertikam, yang di dalamnya kita dilahirkan sebagai keluarga Allah - dan yang di dalamnya setiap orang dapat merasa dikasihi karena martabatnya dipahami, diterima dan dihargai. “Berhadapan dengan penghinaan terhadap martabat manusia, kita seringkali tetap dengan tangan terlipat atau membujur sebagai tanda frustrasi kita di hadapan kuasa jahat yang bengis. Namun kita, umat kristiani tidak dapat berdiri dengan tangan terlipat dalam ketidakpedulian, atau dengan tangan membujur dalam ketidakberdayaan. Tidak. Sebagai umat beriman, kita harus mengulurkan tangan, seperti yang dilakukan Yesus terhadap kita” (Homili Misa Hari Orang Miskin Sedunia, 18 November 2018).

Sabda Allah yang baru saja kita dengar menawari kita berangkat sekali lagi, berani mengambil lompatan bermutu ini dan mengadopsi kebijaksanaan ketidakterikatan pribadi ini sebagai dasar untuk keadilan sosial dan untuk kehidupan pribadi kita. Bersama-sama kita dapat melawan semua bentuk penyembahan berhala yang membuat kita hanya memikirkan keamanan kekuasaan, karier, uang, dan keamanan pencarian kejayaan manusiawi yang memperdaya.

Tuntutan yang ditetapkan Yesus di hadapan kita tidak lagi membebani begitu kita mulai merasakan sukacita hidup baru yang Ia sendiri tetapkan di hadapan kita. Itulah sukacita yang lahir karena mengetahui bahwa Dialah yang pertama mencari kita di persimpangan jalan, bahkan ketika kita tersesat seperti domba atau anak yang hilang. Semoga realisme sederhana ini mengilhami kita untuk menghadapi tantangan besar dan memberimu keinginan untuk menjadikan negaramu yang indah sebuah tempat di mana Injil menjadi kehidupan, dan di mana hidup adalah demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Marilah kita berketetapan hati dan marilah kita menjadikan rencana Tuhan sebagai rencana kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.