Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (HARI MIGRAN DAN PENGUNGSI SEDUNIA) 29 September 2019


Bacaan Ekaristi : Am. 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.

Mazmur Tanggapan hari Ini mengingatkan kita bahwa Tuhan menjunjung tinggi orang asing serta janda dan anak yatim di antara umat-Nya. Pemazmur secara eksplisit menyebutkan orang-orang yang sangat rentan, sering dilupakan dan menjadi sasaran penindasan. Tuhan memiliki perhatian khusus terhadap orang asing, janda dan anak yatim, karena mereka tidak memiliki hak, tercampakkan dan terpinggirkan. Inilah sebabnya Allah mengatakan kepada umat Israel untuk memberikan perhatian khusus terhadap mereka.


Dalam Kitab Keluaran, Tuhan memperingatkan umat-Nya untuk tidak memperlakukan dengan cara apa pun para janda dan anak yatim, karena Ia mendengarkan seruan mereka (bdk. 22:23). Kitab Ulangan mengumandangkan peringatan yang sama sebanyak dua kali (bdk. 24:17;27:19), dan termasuk orang asing di antara kelompok yang membutuhkan perlindungan ini. Alasan peringatan itu dijelaskan dengan gamblang dalam kitab yang sama : Allah Israel adalah Allah yang “membela hak anak yatim dan janda dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian” (10:18). Kepedulian yang penuh kasih bagi yang orang-orang yang kurang beruntung ini dipaparkan sebagai ciri khas Allah Israel dan juga diperlukan, sebagai suatu kewajiban moral, oleh semua orang yang akan menjadi umat-Nya.

Itulah sebabnya kita harus memberikan perhatian khusus kepada orang asing yang ada di tengah-tengah kita serta kepada para janda, anak yatim dan semua orang yang tercampakkan di zaman kita. Dalam Pesan untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke-105 ini, tema "Bukan Hanya Tentang Migran" diulang sebagai sebuah refrain. Dan memang benar : bukan hanya tentang orang asing; tetapi tentang semua orang yang berada di pinggiran yang, bersama dengan para migran dan pengungsi, adalah korban dari budaya mencampakkan. Tuhan memanggil kita untuk mengamalkan amal kasih terhadap mereka. Ia memanggil kita untuk memulihkan kemanusiaan mereka, juga kemanusiaan kita, dan tidak meninggalkan siapa pun.

Bersamaan dengan melaksanakan amal kasih, Tuhan juga mengundang kita untuk memikirkan ketidakadilan yang menyebabkan keterasingan - dan khususnya pengistimewaan segelintir orang, yang, untuk mempertahankan status mereka, bertindak merugikan banyak orang. "Dunia dewasa ini menjadi semakin elitis dan kejam terhadap orang-orang yang tercampakkan" : inilah kebenaran yang menyakitkan; perkataan kita setiap hari semakin elitis, semakin kejam terhadap orang yang tercampakkan. “Negara-negara berkembang terus kehabisan sumber daya alam dan manusia mereka yang terbaik demi kepentingan pasar segelintir orang. Perang hanya mempengaruhi beberapa wilayah di dunia, namun senjata perang diproduksi dan dijual di wilayah-wilayah lain yang kemudian tidak mau menerima para pengungsi yang diakibatkan oleh berbagai pertikaian ini. Mereka yang membayar harganya selalu anak-anak kecil, orang-orang miskin, orang-orang yang paling tidak berdaya, yang dihalangi duduk di meja dan dibiarkan dengan 'remah-remah' perjamuan” (Pesan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke-105).

Dalam konteks inilah kata-kata keras Nabi Amos yang diwartakan dalam Bacaan Pertama (6:1.4-7) harus dipahami. Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion, yang tidak mengkhawatirkan kehancuran umat Allah, meskipun kehancuran itu terlihat jelas. Mereka tidak memperhatikan kehancuran Israel karena mereka terlalu sibuk memastikan bahwa mereka masih bisa menikmati kehidupan yang baik, makanan lezat dan minuman yang enak. Sangat mengejutkan bagaimana, dua puluh delapan abad kemudian, peringatan-peringatan ini tetap tepat waktu seperti biasanya. Karena hari ini juga, "budaya kenyamanan ... membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri, membuat kita tidak peka terhadap jeritan orang lain ... yang mengakibatkan ketidakpedulian terhadap orang lain; memang, budaya kenyamanan tersebut bahkan mengarah ke globalisasi ketidakpedulian” (Homili di Lampedusa, 8 Juli 2013).

Pada akhirnya, kita juga memiliki resiko menjadi seperti orang kaya dalam Injil yang tidak peduli pada si miskin Lazarus, "badannya penuh dengan borok, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu" (Luk 16:20-21). Begitu berhasrat untuk membeli pakaian yang anggun dan mengadakan perjamuan makan yang mewah, orang kaya dalam perumpamaan itu buta terhadap penderitaan Lazarus. Terlalu berhasrat untuk menjaga kesejahteraan kita sendiri, kita juga memiliki resiko buta terhadap saudara-saudari kita yang berada dalam kesulitan.

Namun, sebagai umat kristiani, kita tidak dapat acuh tak acuh terhadap tragedi bentuk-bentuk kemiskinan yang lama dan baru, terhadap suramnya keterasingan, penghinaan dan diskriminasi yang dialami oleh mereka yang tidak termasuk dalam kelompok "kita". Kita tidak bisa tetap tidak peka, hati kita mati, di hadapan kesengsaraan banyak orang yang tidak bersalah. Kita tidak boleh gagal menangis. Kita tidak boleh gagal menanggapi. Marilah kepada Tuhan kita mohonkan rahmat air mata, air mata yang dapat mengubah hati kita dari dosa-dosa seperti itu.

Jika kita ingin menjadi manusia Allah, sebagaimana Santo Paulus mendesak Timotius, kita harus “menuruti perintah ini, dengan tidak bercacat dan tidak bercela, hingga pada saat Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1Tim 6:14). Perintahnya adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita; keduanya tidak bisa dipisahkan! Mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri berarti berketetapan hati yang kuat untuk membangun dunia yang semakin adil, di mana setiap orang memiliki akses ke benda-benda duniawi, di mana semua orang dapat berkembang sebagai individu dan sebagai keluarga, dan di mana hak-hak asasi dan martabat semua orang terjamin.

Mengasihi sesama kita berarti merasakan belas kasihan atas penderitaan saudara-saudari kita, mendekat kepada mereka, menjamah luka-luka mereka dan ambil bagian dalam kisah-kisah mereka, dan dengan demikian mewujudkan kasih Allah yang lembut bagi mereka. Ini berarti menjadi sesama bagi semua orang yang diperlakukan sewenang-wenang dan diterlantarkan di jalan-jalan dunia kita, menyejukkan luka-luka mereka dan membawa mereka ke tempat perlindungan terdekat, di mana kebutuhan mereka dapat dipenuhi.

Allah memberikan perintah suci ini kepada umat-Nya dan memeteraikannya dengan darah Yesus Putra-Nya, untuk menjadi sumber berkat bagi seluruh umat manusia. Agar kita bersama-sama dapat bekerja membangun keluarga manusia seturut dengan rencana-Nya yang semula, yang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus : semuanya saudara-saudari, semuanya putra-putri dari Bapa yang sama.

Hari ini kita juga membutuhkan seorang ibu. Maka kita mempercayakan kepada kasih Maria yang keibuan, Bunda Maria Sang Jalan, jalan dari begitu banyak perjalanan yang menyakitkan, seluruh migran dan pengungsi, bersama dengan orang-orang yang hidup di pinggiran dunia kita dan orang-orang yang telah memilih untuk ambil bagian dalam perjalanan mereka.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.