Bacaan
Ekaristi : Yun. 3:1-10; Mzm. 130:1-2,3-4ab,7-8; Luk. 10:38-42.
Dalam
homilinya pada Misa harian Selasa pagi, 8 Oktober 2019, di Casa Santa Marta,
Vatikan, Paus Fransiskus berkaca pada sosok Yunus dalam Perjanjian Lama yang
melarikan diri dari Allah yang menginginkannya menjadi nabi-Nya untuk
mewartakan pertobatan kepada orang-orang Niniwe agar mereka tidak dihukum.
Berangkat berlayar ke Tarsis, ia harus dilempar ke laut untuk menenangkan badai
yang ganas yang telah diturunkan Tuhan di laut. Seekor ikan besar yang
menelannya, melemparkannya ke pantai setelah tiga hari, sebuah gambaran, kata
Paus Fransiskus, yang mengingatkan kita akan kebangkitan Kristus pada hari
ketiga.
Bacaan
Pertama liturgi hari itu (Yun. 3:1-10) melanjutkan kisah Yunus di mana, kali
ini, ia taat kepada Allah, pergi untuk berkhotbah kepada orang-orang Niniwe
yang akhirnya bertobat dan Allah mengalah untuk tidak menghukum mereka. Paus
Fransiskus mengatakan bahwa kali ini "Yunus yang membandel" melakukan
pekerjaannya dengan baik dan bertolak.
Bapa
Suci mengatakan bahwa Bacaan Misa keesokan harinya akan menunjukkan Yunus marah
kepada Tuhan karena Ia terlalu berbelas kasih dan karena Tuhan melakukan
kebalikan dari ancaman yang akan dilakukan-Nya.
Yunus
berkata kepada Tuhan bahwa lebih baik mati daripada melanjutkan pekerjaan
sebagai nabi Allah ini, yang pada akhirnya melakukan kebalikan dari perutusan
Tuhan yang harus dilakukannya.
Mengatakan
hal ini, Yunus keluar meninggalkan kota itu dan mendirikan di situ sebuah
pondok untuk melihat apa yang akan terjadi atas kota itu. Tuhan kemudian
menumbuhkan sebatang pohon jarak melampaui kepala Yunus untuk menaunginya.
Tetapi segera Tuhan menyebabkan pohon layu dan mati.
Yunus
sekali lagi marah kepada Allah karena pohon jarak tersebut. Tuhan memberitahu
Yunus bahwa jika ia marah karena pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun ia
tidak berjerih payah, bagaimana tidak Ia akan sayang kepada Niniwe, kota yang
besar itu.
Paus
Fransiskus mencatat bahwa pertukaran panas antara Tuhan dan Yunus adalah antara
dua orang keras kepala. Sementara Yunus keras kepala dengan keyakinan imannya,
Tuhan keras kepala dalam belas kasih-Nya. Ia tidak pernah meninggalkan kita, Ia
mengetuk pintu hati sampai akhir. Ia selalu ada di sana.
Yunus
keras kepala karena ia menaruh syarat pada imannya. Ia adalah model umat
kristiani yang selalu mengatakan, "Aku seorang kristiani dengan syarat
bahwa segala sesuatu dilakukan dengan cara ini". Mereka menuduh bahwa
berbagai perubahan ini tidak kristiani, mereka adalah bidaah. Paus Fransiskus
mengatakan mereka adalah umat kristiani yang mempersyaratkan Allah, yang
mempersyaratkan iman dan tindakan Allah.
Bapa
Suci menekankan bahwa “syarat-syarat” mengunci banyak umat kristiani dalam
gagasan-gagasan mereka sendiri dan mereka mengambil jalan ideologi yang buruk
bertentangan dengan jalan iman. Beliau mengatakan umat kristiani yang seperti
itu takut bertumbuh, takut akan tantangan hidup, takut akan tantangan Tuhan,
takut akan tantangan sejarah serta pertama-tama melekat pada keyakinan dan
ideologi mereka. Mereka adalah umat kristiani yang terus "lebih menyukai
ideologi daripada iman" dan menjauh dari komunitas, takut untuk
menempatkan diri mereka di tangan Allah dan lebih suka menghakimi segala
sesuatu dari "kekerdilan hati mereka".
Kisah
Yunus menghadirkan dua sosok Gereja dewasa ini, kata Paus Fransiskus. Sosok
yang satu berakar pada ideologi-ideologinya dan sosok yang lain menunjukkan
Tuhan yang mendekati segala situasi tanpa rasa muak. Dosa-dosa kita tidak
memuakkan Tuhan. Ia mendekati dan membelai orang kusta dan orang sakit karena
Ia datang untuk menyembuhkan, Ia datang untuk menyelamatkan, bukan untuk
menghukum.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.