Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim.
2:8-13; Luk. 17:11-19.
"Imanmu
telah menyelamatkan engkau" (Luk 17:19). Inilah puncak Bacaan Injil hari
ini, yang mencerminkan perjalanan iman. Ada tiga langkah dalam perjalanan iman
ini. Kita melihat ketiga langkah tersebut dalam tindakan para penderita kusta
yang disembuhkan oleh Yesus. Mereka berteriak, berjalan dan bersyukur.
Pertama,
mereka berteriak. Para penderita kusta berada dalam situasi yang mengerikan,
tidak hanya karena penyakit yang, menular bahkan hingga hari ini, perlu dilawan
dengan upaya yang tak henti-hentinya, tetapi juga karena mereka dikucilkan dari
masyarakat. Pada zaman Yesus, penderita kusta dianggap najis dan karenanya
harus diasingkan dan dikucilkan (bdk. Im 13:46). Kita melihat bahwa ketika
mereka mendekati Yesus, mereka "berdiri agak jauh" (Luk 17:12).
Bahkan meskipun kondisi mereka membuat mereka berdiri agak jauh, Injil
memberitahu kita bahwa mereka “berteriak” (ayat 13) dan memohon kepada Yesus.
Mereka tidak membiarkan diri mereka lumpuh karena mereka dijauhi oleh
masyarakat; mereka berteriak kepada Allah, yang tidak mengecualikan siapa pun.
Kita melihat bagaimana jarak diperpendek, bagaimana kesepian teratasi: dengan
tidak tertutup pada diri kita dan masalah kita, dengan tidak memikirkan
bagaimana orang lain menghakimi kita, tetapi dengan berteriak kepada Tuhan,
karena Tuhan mendengar teriakan orang-orang yang mendapati diri mereka
sendirian.
Seperti
para penderita kusta itu, kita juga membutuhkan penyembuhan, kita
masing-masing. Kita perlu disembuhkan dari ketidakpercayaan kita pada diri kita
sendiri, dalam kehidupan, dalam masa depan; kita perlu disembuhkan dari
ketakutan dan kejahatan yang memperbudak kita, dari keterkucilan kita,
kecanduan kita dan keterikatan kita pada permainan, uang, televisi, ponsel,
pada apa yang dipikirkan orang lain. Tuhan membebaskan hati kita dan
menyembuhkannya jika kita memohon kepada-Nya, hanya jika kita mengatakan
kepada-Nya : “Tuhan, aku percaya Engkau dapat menyembuhkanku. Yesus yang
terkasih, sembuhkanlah aku dari keterikatan diriku. Bebaskan aku dari kejahatan
dan ketakutan”. Para penderita kusta adalah orang-orang pertama, dalam Injil
ini, yang memanggil nama Yesus. Kemudian, seorang buta dan seorang penjahat
yang disalibkan akan melakukan hal yang sama: mereka semua orang-orang yang
membutuhkan yang memanggil nama Yesus, yang berarti: "Allah
menyelamatkan". Mereka memanggil nama Allah, secara langsung dan spontan.
Memanggil nama seseorang adalah tanda kepercayaan, dan itu berkenan pada Tuhan.
Itulah bagaimana iman tumbuh, melalui doa yang penuh keyakinan dan percaya
diri. Doa yang di dalamnya kita membawa kepada Yesus siapa diri kita
sesungguhnya, dengan hati terbuka, tanpa berusaha menutupi penderitaan kita.
Setiap hari, marilah dengan keyakinan kita memanjatkan nama Yesus : "Allah
menyelamatkan". Marilah kita mengulanginya : itulah doa, mengatakan
"Yesus" adalah berdoa. Dan doa sangat penting! Memang, doa adalah
pintu iman; doa adalah penyembuh hati.
Kata
kedua adalah berjalan. Ini adalah tahap kedua. Dalam Injil yang singkat hari
ini, ada beberapa kata kerja gerakan. Yang cukup mengejutkan yakni para
penderita kusta tidak disembuhkan ketika mereka berdiri di hadapan Yesus; hanya
setelah itu, ketika mereka berjalan. Injil memberitahu kita bahwa:
"Sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir" (ayat 14). Mereka
disembuhkan dengan pergi ke Yerusalem, yaitu sambil berjalan menanjak. Dalam
perjalanan hidup, pemurnian terjadi di sepanjang jalan, jalan yang sering
menanjak karena mengarah menuju ketinggian. Iman membutuhkan perjalanan,
"jalan keluar" dari diri kita sendiri, dan iman dapat bekerja secara
menakjubkan jika kita meninggalkan kepastian yang menghibur kita, jika kita
meninggalkan pelabuhan yang aman dan sarang kita yang nyaman. Iman bertambah
dengan memberi, dan tumbuh dengan mengambil resiko. Iman berkembang ketika kita
membuat jalan kita dilengkapi dengan kepercayaan pada Allah. Iman maju dengan
langkah-langkah sederhana dan mudah dilaksanakan, seperti langkah para
penderita kusta atau langkah Naaman yang turun untuk mandi di sungai Yordan
(bdk. 2 Raj 5:14-17). Hal yang sama berlaku untuk kita. Kita maju dalam iman
dengan menunjukkan kasih yang rendah hati dan mudah dilaksanakan, melatih
kesabaran setiap hari, dan berdoa terus-menerus kepada Yesus ketika kita terus
melangkah maju.
Selanjutnya
ada segi yang menarik dalam perjalanan para penderita kusta : mereka bergerak
bersama-sama. Injil memberitahu kita bahwa, "Sementara mereka di tengah
jalan mereka menjadi tahir" (ayat 14). Kata kerja dalam bentuk jamak. Iman
berarti juga berjalan bersama-sama, tidak pernah sendirian. Namun, setelah
sembuh, sembilan orang dari mereka pergi dengan caranya sendiri, dan hanya satu
orang yang kembali untuk bersyukur. Yesus kemudian menyatakan keheranannya, ”Di
manakah yang sembilan orang itu?” (ayat 17). Seolah-olah Ia meminta satu-satunya
yang kembali bertanggung jawab terhadap sembilan orang lainnya. Adalah tugas
kita, yang merayakan Ekaristi sebagai tindakan ucapan syukur, untuk menjaga
mereka yang berhenti berjalan, orang-orang yang tersesat. Kita dipanggil untuk
menjadi penjaga saudara dan saudari kita yang jauh, kita semua! Kita harus
menjadi perantara bagi mereka; kita bertanggung jawab terhadap mereka,
memperhitungkan mereka, menjaga mereka tetap dekat di hati. Apakah kamu ingin
bertumbuh dalam iman? Kamu, yang ada di sini hari ini, apakah kamu ingin
bertumbuh dalam iman? Kemudian pedulilah dengan seorang saudara yang jauh,
seorang saudari yang jauh.
Berteriak.
Berjalan. Dan bersyukur. Inilah langkah terakhir. Hanya kepada orang yang
bersyukur kepada-Nya, Yesus berkata : "Imanmu telah menyelamatkan
engkau" (ayat 19). Iman membuatmu aman, dan bugar. Kita melihat dari sini
bahwa tujuan akhir bukanlah kesehatan atau kesejahteraan, tetapi perjumpaan
dengan Yesus. Keselamatan bukanlah minum segelas air agar tetap bugar; keselamatan
adalah pergi ke sumber, yaitu Yesus. Hanya Dia yang membebaskan kita dari
kejahatan dan menyembuhkan hati kita. Hanya perjumpaan dengan-Nya yang bisa
menyelamatkan, bisa membuat hidup penuh dan indah. Setiap kali kita bertemu
Yesus, kata "syukur" segera datang ke bibir kita, karena kita telah
menemukan hal terpenting dalam hidup, yakni bukan untuk menerima rahmat atau
menyelesaikan masalah, tetapi merangkul Tuhan kehidupan. Dan inilah hal
terpenting dalam hidup : merangkul Tuhan kehidupan.
Sangatlah
mengesankan melihat bagaimana orang yang disembuhkan, seorang Samaria,
mengungkapkan sukacitanya dengan segenap keberadaannya : ia memuliakan Allah
dengan suara nyaring, tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur
kepada-Ny (bdk. ayat 15-16). Puncak perjalanan iman adalah menjalani kehidupan
syukur yang berkesinambungan. Marilah kita bertanya pada diri sendiri: apakah
kita, sebagai orang beriman, setiap hari hidup sebagai beban, atau sebagai
tindakan pujian? Apakah kita tertutup pada diri kita sendiri, menunggu untuk
meminta berkat lain, atau apakah kita menemukan sukacita kita dalam bersyukur?
Ketika kita mengucap syukur, hati Bapa tergerak dan Ia mencurahkan Roh Kudus ke
atas diri kita. Mengucap syukur bukanlah masalah sopan santun atau etika; mengucap
syukur adalah masalah iman. Hati yang bersyukur adalah hati yang tetap muda.
Mengucapkan "Syukur, Tuhan" ketika kita bangun, sepanjang hari dan
sebelum tidur : itulah cara terbaik untuk menjaga hati kita tetap muda, karena
hati bisa bertambah tua dan busuk. Hal ini juga berlaku untuk
keluarga-keluarga, dan di antara suami-istri. Ingatlah untuk mengucap syukur.
Kata-kata itu paling sederhana dan paling efektif.
Berteriak.
Berjalan. Bersyukur. Hari ini kita bersyukur kepada Tuhan atas para santo/santa
kita yang baru. Mereka berjalan dengan iman dan sekarang kita memohon
pengantaraan mereka. Tiga dari mereka adalah biarawati; mereka menunjukkan
kepada kita bahwa hidup bakti adalah perjalanan cinta di pinggiran keberadaan
dunia. Santa Marguerite Bays, di sisi lain, adalah seorang penjahit; ia
berbicara kepada kita tentang kekuatan doa yang sederhana, panjang sabar dan
pemberian diri secara diam-diam. Itulah cara Tuhan membuat kemegahan Paskah
memancar dalam hidupnya, dalam kerendahan hatinya. Demikianlah kekudusan
kehidupan sehari-hari, yang digambarkan oleh Santo John Henry Newman dalam
kata-kata ini : “Orang kristiani memiliki kedamaian yang mendalam, diam-diam,
tersembunyi, yang tidak terlihat dunia … Orang kristiani ceria, pemurah, ramah,
lembut, sopan ..., jujur, tidak berlagak; tidak berpura-pura ... dengan begitu
sedikit yang tidak lazim atau mencolok dalam sikapnya, sehingga ia dapat dengan
mudah pada pandangan pertama dianggap seorang manusia biasa” (Khotbah Parokial
and Sederhana, V, 5).
Marilah
kita memohon untuk menjadi seperti itu, “terang yang ramah” di tengah kesuraman
yang melingkari. Yesus, “tinggallah bersamaku, dan kemudian aku akan mulai
bersinar seperti Engkau bersinar: demikian juga untuk menjadi terang bagi orang
lain” (Meditasi tentang Ajaran Kristiani, VII, 3). Amin.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.