Bacaan
Ekaristi : Hab. 1:2-3;2:2-4; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; 2Tim. 1:6-8,13-14; Luk.
17:5-10.
Rasul
Paulus, misionaris terbesar dalam sejarah Gereja, membantu kita menjadikan
"sinode" ini, "perjalanan bersama" ini. Kata-katanya kepada
Timotius tampaknya ditujukan kepada kita, sebagai para gembala dalam pelayanan
Umat Allah.
Paulus
pertama-tama mengatakan kepada Timotius : "Karena itulah kuperingatkan
engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan
tanganku atasmu" (2 Tim 1:6). Kita adalah para uskup karena kita telah
menerima karunia Allah. Kita tidak menandatangani sebuah perjanjian; kita tidak
diberi kontrak kerja. Sebaliknya, tangan ditumpangkan di atas kepala kita
sehingga kita, pada gilirannya, dapat menumpangkan tangan untuk menjadi
pengantara di hadapan Bapa, membantu mengulurkan tangan kepada saudara dan
saudari kita. Kita menerima karunia sehingga kita bisa menjadi karunia. Karunia
tidak dijualbelikan, tidak diperdagangkan; karunia diterima dan diberikan. Jika
kita menahan karunia tersebut, jika kita menjadikan diri kita pusat dan bukan
karunia yang telah kita terima, kita menjadi birokrat, bukan gembala. Kita
mengubah karunia menjadi sebuah pekerjaan dan kecuma-cumaannya lenyap. Kita
akhirnya melayani diri sendiri dan menggunakan Gereja.
Berkat
karunia yang kita terima, hidup kita terarah untuk melayani. Ketika Injil
berbicara tentang "hamba yang tidak berguna" (Luk 17:10), ia
mengingatkan kita akan hal ini. Ungkapan itu juga bisa berarti "pelayan yang
tidak menghasilkan keuntungan". Dengan kata lain, kita tidak melayani demi
keuntungan atau pendapatan pribadi, tetapi karena kita menerimanya secara
cuma-cuma dan ingin memberikan imbalan secara cuma-cuma (bdk.. Mat 10:8).
Sukacita kita dalam melayani akan sepenuhnya sejak kita pertama kali dilayani
oleh Allah, yang menjadi hamba kita semua. Saudara-saudaraku yang terkasih,
marilah kita merasa terpanggil untuk melayani; marilah kita meletakkan karunia
Allah sebagai pusatnya.
Agar
setia terhadap panggilan kita, perutusan kita, Santo Paulus mengingatkan kita
bahwa karunia kita harus dinyalakan kembali. Gambaran yang digunakannya adalah
menyalakan api (anazopyrein). Karunia yang kita terima adalah api, cinta
yang membara bagi Allah dan bagi saudara-saudari kita. Api tidak menyala dengan
sendirinya; ia harus dipelihara atau ia padam; ia berubah menjadi abu. Jika
semuanya berlanjut seperti semula, jika kita menghabiskan hari-hari kita dengan
berpuas diri dengan "inilah caranya segala sesuatu senantiasa
dilakukan", maka karunia itu lenyap, tertutup oleh abu ketakutan dan
kepedulian untuk mempertahankan status quo. Namun “Gereja sama sekali tidak
dapat membatasi karya pastoralnya untuk 'pemeliharaan yang lumrah' orang-orang
yang sudah mengenal Injil Kristus. Rentang jangkauan misioner adalah tanda yang
jelas kedewasaan komunitas gerejawi ”(Benediktus XVI, Seruan Apostolik Verbum
Domini, 95). Yesus datang bukan untuk membawa angin malam yang lembut, tetapi
untuk menyalakan api di bumi.
Api
yang menyalakan kembali karunia adalah Roh Kudus, Sang Pemberi karunia. Jadi,
Santo Paulus melanjutkan dengan mengatakan, “Peliharalah harta yang indah, yang
telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita” (2
Tim 1:14). Dan juga : "Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan,
melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan kebijaksanaan" (ayat
7). Bukan roh ketakutan, tetapi roh kebijaksanaan. Paulus menempatkan
kebijaksanaan sebagai lawan ketakutan. Apakah kebijaksanaan akan Roh ini?
Seperti yang diajarkan oleh Katekismus, kebijaksanaan “tidak mempunyai hubungan
dengan rasa malu atau rasa takut", melainkan "berkat kebajikan ini
kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan
mengatasi keragu-raguan tentang yang baik yang harus dilakukan dan yang buruk
yang harus dielakkan" (No. 1806).
Kebijaksanaan
bukanlah keragu-raguan; kebijaksanaan bukan sikap yang defensif. Kebijaksanaan
adalah kebajikan gembala yang, untuk melayani dengan bijaksana, mampu bertindak
arif, untuk menerima kebaruan Roh. Menyalakan kembali karunia kita dalam api
Roh adalah kebalikan dari membiarkan segala sesuatunya berjalan tanpa melakukan
apa pun. Kesetiaan pada kebaruan Roh adalah rahmat yang harus kita mohonkan dalam
doa. Semoga Roh, yang menjadikan segala sesuatu baru, memberi kita
kebijaksanaan-Nya dengan berani bertindak; semoga Ia mengilhami Sinode kita
untuk memperbarui jalan Gereja di wilayah Amazon, sehingga api perutusan dapat
terus menyala.
Seperti
yang kita lihat dari kisah semak yang terbakar, api Allah tetap menyala namun
tidak habis dimakan api (bdk. Kel 3:2). Api cinta itulah yang menerangi,
menghangatkan dan memberi kehidupan, bukan api yang menyala dan melahap. Ketika
bangsa-bangsa dan budaya-budaya dilahap tanpa cinta dan tanpa rasa hormat, api
itu bukan api Allah, melainkan api dunia. Namun berapa kali karunia Allah
dibebankan, tidak ditawarkan; sudah berapa kali terjadi penjajahan ketimbang
penginjilan! Semoga Allah melindungi kita dari keserakahan bentuk-bentuk baru
kolonialisme. Api yang ditimbulkan oleh berbagai kepentingan yang
menghancurkan, seperti api yang baru-baru ini menghancurkan Amazon, bukanlah
api Injil. Api Allah adalah kehangatan yang memikat dan mengumpulkan ke dalam
kesatuan. Api Allah dipelihara dengan berbagi, bukan dengan keuntungan. Api
yang menghancurkan, di sisi lain, berkobar ketika orang-orang hanya ingin
mempromosikan ide-ide mereka sendiri, membentuk kelompok sendiri, menghapus
perbedaan dalam upaya untuk menyeragamkan semua orang dan segala hal.
Menghidupkan
kembali karunia; menyambut kebijaksanaan Roh dengan berani bertindak; setia
terhadap kebaruan-Nya. Santo Paulus sekarang beralih ke nasihat terakhir :
“Janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita, melainkan ikutlah menderita bagi
Injil-Nya oleh kekuatan Allah” (2 Tim 1:8). Paulus meminta Timotius untuk
memberikan kesaksian tentang Injil, menderita demi Injil, dengan kata lain,
hidup demi Injil. Pewartaan Injil adalah kriteria utama kehidupan Gereja.
Beberapa saat kemudian, Paulus menulis, “Darahku sudah mulai dicurahkan” (4:6).
Mewartakan Injil berarti hidup sebagai persembahan, memberikan kesaksian hingga
kesudahan, menjadi segala-galanya bagi semua orang (bdk. 1 Kor 9:22), mengasihi
bahkan hingga wafat sebagai martir. Rasul Paulus memperjelas bahwa Injil tidak
dilayani oleh kekuatan duniawi, tetapi hanya oleh kekuatan Allah saja: dengan
bertekun dalam kasih yang rendah hati, dengan percaya bahwa satu-satunya cara
nyata untuk memiliki hidup adalah kehilangan hidup tersebut melalui kasih.
Saudara-saudari
yang terkasih, bersama-sama marilah kita memandang Yesus yang tersalib,
hati-Nya yang tertikam demi keselamatan kita. Marilah kita mulai dari sana,
sumber karunia yang telah melahirkan kita. Dari hati itu, Roh yang memperbaharui
telah dicurahkan (bdk. Yoh 19:30). Kemudian, perkenankanlah diri kita
masing-masing merasa terpanggil untuk memberi kehidupan. Begitu banyak saudara
dan saudari kita di wilayah Amazon memikul salib berat dan menantikan
penghiburan Injil yang membebaskan, belaian kasih Gereja. Demi mereka, dan
bersama mereka, marilah kita bepergian bersama-sama.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.