Bacaan
Ekaristi : Sir. 35:12-14; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18; Luk.
18:9-14.
Sabda
Allah hari ini membantu kita untuk berdoa melalui tiga sosok : dalam
perumpamaan Yesus baik orang Farisi maupun pemungut pajak berdoa, sementara
Bacaan Pertama berbicara tentang doa orang miskin.
1. Doa orang Farisi dimulai dengan cara ini : " Ya Allah, aku mengucap
syukur kepada-Mu".
Ini
adalah permulaan yang luar biasa, karena doa terbaik adalah doa syukur, doa
pujian. Namun, segera, kita melihat alasan mengapa ia bersyukur : "Aku
tidak sama seperti semua orang lain" (Luk 18:11). Ia juga menjelaskan
alasannya : ia berpuasa dua kali seminggu, meskipun pada saat itu hanya
diwajibkan setahun sekali; ia membayar persepuluhan dari segala penghasilan
yang ia dapatkan, meskipun persepuluhan ditetapkan hanya untuk penghasilan yang
paling utama (bdk. Ul 14:22+). Singkatnya, ia bangga karena ia sedapat mungkin
memenuhi perintah-perintah tertentu. Tetapi ia melupakan perintah terbesar :
mengasihi Allah dan sesama kita (bdk. Mat 22:36-40). Meluap dengan keyakinan
diri tentang kemampuannya sendiri untuk mematuhi perintah, jasa dan
keutamaannya sendiri, ia hanya berfokus pada dirinya sendiri. Tragedi orang ini
yaitu ia tanpa kasih. Bahkan hal-hal terbaik, tanpa kasih, tidak berarti
apa-apa, seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus (bdk. 1 Kor 13). Tanpa kasih,
apa hasilnya? Ia akhirnya memuji dirinya sendiri bukannya berdoa. Sebenarnya,
ia tidak meminta apa pun dari Tuhan karena ia tidak merasa membutuhkan atau
berhutang, tetapi ia merasa bahwa Allah berutang sesuatu kepadanya. Ia berdiri
di bait Allah, tetapi ia menyembah allah yang berbeda : dirinya sendiri. Dan
banyak kelompok "bergengsi", "Kristen Katolik", mengikuti
jalan ini.
Bersama
dengan Allah, ia melupakan sesamanya; memang, ia memandang rendah sesamanya.
Bagi orang Farisi tersebut, sesamanya tidak memiliki harga, tidak bernilai. Ia
menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain, yang secara harfiah ia sebut
"lainnya, sisanya" (loipoi, Luk 18:11). Yaitu, mereka adalah
"restan", mereka adalah rongsokan yang menjauhkannya dari orang lain.
Berapa kali kita melihat hal ini sedang terjadi berulang kali dalam kehidupan
dan sejarah! Berapa kali orang-orang yang terkemuka, seperti orang Farisi
sehubungan dengan pemungut cukai, menaikkan tembok untuk menambah jarak,
membuat orang lain merasa semakin ditolak. Atau dengan memikirkan mereka
terbelakang dan sedikit nilainya, memandang rendah tradisi mereka, menghapus
sejarah mereka, menduduki tanah mereka, dan merebut barang-barang mereka.
Betapa banyak keunggulan diduga telah berubah menjadi penindasan dan
eksploitasi, bahkan hingga hari ini! Kita melihat hal ini selama Sinode ketika
berbicara tentang eksploitasi ciptaan, ekploitasi manusia, eksploitasi penduduk
Amazon, eksploitasi perdagangan orang-orang, perdagangan manusia! Kesalahan-kesalahan
masa lalu tidak cukup untuk menghentikan penjarahan orang lain dan menimbulkan
luka pada saudara-saudari kita dan pada bumi saudari kita : kita telah
melihatnya di wajah bekas luka di wilayah Amazon. Penyembahan diri dilakukan
secara munafik dengan ritus-ritus dan "doa-doa"-nya - banyak yang
beragama Katolik, mereka mengaku sebagai orang Katolik, tetapi lupa bahwa
mereka adalah orang Kristiani dan umat manusia - melupakan penyembahan Allah
yang sejati yang selalu diungkapkan dengan mengasihi sesama manusia. Bahkan
orang Kristiani yang berdoa dan pergi ke Misa pada hari Minggu tunduk pada
agama diri ini. Marilah kita memeriksa diri kita sendiri dan melihat apakah
kita juga berpikir bahwa seseorang lebih rendah dan dapat dikesampingkan,
meskipun hanya dengan kata-kata kita. Marilah kita berdoa memohon rahmat agar
tidak menganggap diri kita lebih unggul, tidak meyakini diri kita baik-baik
saja, tidak menjadi sinis dan mencemooh. Marilah kita mohon kepada Yesus untuk
menyembuhkan kita dari berbicara buruk dan mengeluh tentang orang lain,
memandang hina orang ini atau itu : hal-hal ini tidak berkenan pada Allah. Dan
pada Misa hari ini kita sudah ditakdirkan untuk disertai bukan hanya oleh
penduduk asli Amazon, tetapi juga oleh orang-orang yang paling miskin dari
masyarakat maju kita : saudara-saudari kita yang cacat dari Komunitas L'Arche.
Mereka bersama kita, di barisan depan.
2. Mari kitalah beralih ke doa yang lain. Doa sang pemungut cukai membantu
kita memahami apa yang berkenan bagi Allah. Ia tidak memulai dari kemampuannya
sendiri tetapi dari kekurangannya; bukan dari kekayaannya tetapi dari
kemiskinannya. Ia bukan miskin secara ekonomi - para pemungut cukai adalah
orang kaya dan cenderung mendapatkan uang secara tidak adil dengan mengorbankan
sesama warga negara mereka - tetapi ia merasakan kemiskinan hidup, karena kita
tidak pernah hidup baik dalam dosa. Pemungut cukai yang mengeksploitasi orang
lain mengaku miskin di hadapan Allah, dan Tuhan mendengar doanya, hanya tujuh
kata tetapi mengungkapkan ketulusan hati. Sebenarnya, sementara orang Farisi
berdiri di depan (bdk. ayat 11), sang pemungut pajak berdiri jauh-jauh dan
"bahkan ia tidak berani menengadah ke langit", karena ia percaya
bahwa Allah memang besar, sementara ia tahu dirinya kecil. Ia "menebah
dada" (bdk. ayat 13), karena dada adalah tempat hati berada. Doanya lahir
langsung dari hati; doanya terus terang. Ia menempatkan hatinya di hadapan
Allah, bukan penampilan lahiriah. Berdoa adalah berdiri di depan mata Allah -
berdoa adalah pandangan Allah terhadapku ketika aku berdoa - tanpa khayalan,
alasan atau pembenaran. Seringkali penyesalan kita yang dipenuhi dengan
pembenaran diri dapat membuat kita tertawa. Lebih dari sekedar penyesalan, kita
seolah-olah melakukan kanonisasi diri kita sendiri. Karena dari iblis datang
kegelapan dan dusta - inilah pembenaran diri kita; dari Allah datang terang dan
kebenaran, keterusterangan hatiku. Itulah pengalaman yang luar biasa, dan saya
sangat bersyukur, para anggota Sinode yang terkasih, bahwa kita telah dapat
saling berbincang dalam pekan-pekan ini dari hati, dengan ketulusan dan
keterusterangan, dan menempatkan upaya dan harapan kita di hadapan Allah dan
saudara-saudari kita.
Hari
ini, memandang sang pemungut cukai, kita menemukan kembali dari mana memulainya
: dari keyakinan bahwa kita, kita semua, membutuhkan keselamatan. Inilah
langkah awal dari penyembahan sejati terhadap Allah, yang berbelas kasih kepada
orang-orang yang mengakui kebutuhan mereka. Di sisi lain, akar dari setiap
kesalahan rohani, seperti yang diajarkan oleh para rahib dahulu kala, adalah
meyakini bahwa kita adalah orang benar. Menganggap diri kita orang benar
berarti meninggalkan Allah, satu-satunya yang benar, keluar dalam kebekuan.
Pendirian awal ini sangat penting sehingga Yesus menunjukkannya kepada kita
dengan perbandingan yang tidak biasa, menyandingkan dalam perumpamaan orang
Farisi, tokoh yang paling saleh dan berbakti pada masa itu, dengan pemungut
cukai, orang berdosa yang bermutu tinggi. Penghakiman dibalik: orang yang baik tetapi
sombong kandas; orang yang malang tetapi rendah hati ditinggikan oleh Allah.
Jika kita memandang diri kita sendiri dengan jujur, kita melihat di dalam diri
kita semua para pemungut cukai dan orang Farisi. Kita sedikit seperti pemungut
cukai karena kita adalah orang berdosa, dan sedikit seperti orang Farisi karena
kita sombong, mampu membenarkan diri kita sendiri, para empunya seni pembenaran
diri. Hal ini mungkin sering bekerja dengan diri kita sendiri, tetapi tidak
dengan Allah. Trik ini tidak bekerja dengan Allah. Marilah kita berdoa memohon
rahmat untuk mengalami diri kita sendiri yang membutuhkan belas kasihan, miskin
batiniah. Karena alasan ini juga, kita sebaiknya bergaul dengan orang miskin,
untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita miskin, mengingatkan diri kita
sendiri bahwa keselamatan Allah hanya terlaksana dalam suasana kemiskinan
batiniah.
3. Sekarang kita sampai pada doa orang miskin, dari Bacaan Pertama. Doa
ini, kata Putera Sirakh, “naik sampai ke awan” (35:16). Sementara doa orang-orang
yang menganggap diri mereka benar tetap duniawi, diremukkan oleh kekuatan
gravitasi egoisme, doa orang miskin naik langsung kepada Allah. Perasaan iman
umat Allah telah melihat dalam diri orang miskin “penjaga gerbang surga” :
perasaan iman yang hilang dalam ucapan [orang Farisi]. Mereka adalah
orang-orang yang akan membuka lebar gerbang kehidupan kekal. Mereka tidak
dianggap majikan dalam kehidupan ini, mereka tidak menempatkan diri mereka di
depan orang lain; mereka memiliki kekayaan hanya di dalam Allah semata.
Orang-orang ini adalah ikon hidup nubuat Kristiani.
Dalam
Sinode ini kita memiliki rahmat mendengarkan suara-suara orang miskin dan
bercermin pada kerawanan hidup mereka, terancam oleh model pembangunan yang
ganas. Namun justru dalam situasi ini, banyak yang telah bersaksi kepada kita
bahwa adalah mungkin untuk melihat kenyataan secara berbeda, menerimanya dengan
tangan terbuka sebagai karunia, memperlakukan dunia yang diciptakan bukan
sebagai sumber daya untuk dieksploitasi tetapi sebagai rumah yang harus
dirawat, dengan kepercayaan pada Allah. Dialah Bapa kita dan, Putera Sirakh
kembali berkata, “Doa orang yang terjepit didengarkan-Nya” (ayat 13). Berapa
kali, bahkan dalam Gereja, suara orang miskin tidak terdengar dan mungkin
dicemooh atau dibungkam karena tidak nyaman. Marilah kita berdoa memohon rahmat
untuk dapat mendengarkan seruan orang miskin: inilah jeritan pengharapan
Gereja. Jeritan orang miskin adalah jeritan pengharapan Gereja. Ketika kita
menjadikan jeritan mereka menjadi jeritan kita, kita dapat yakin, doa kita juga
akan sampai ke awan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.