Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENUTUPAN SINODE PARA USKUP WILAYAH AMAZON DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 27 Oktober 2019 : DOA ORANG FARISI, DOA PEMUNGUT CUKAI DAN DOA ORANG MISKIN


Bacaan Ekaristi : Sir. 35:12-14; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18; Luk. 18:9-14.

Sabda Allah hari ini membantu kita untuk berdoa melalui tiga sosok : dalam perumpamaan Yesus baik orang Farisi maupun pemungut pajak berdoa, sementara Bacaan Pertama berbicara tentang doa orang miskin.

1.       Doa orang Farisi dimulai dengan cara ini : " Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu".

Ini adalah permulaan yang luar biasa, karena doa terbaik adalah doa syukur, doa pujian. Namun, segera, kita melihat alasan mengapa ia bersyukur : "Aku tidak sama seperti semua orang lain" (Luk 18:11). Ia juga menjelaskan alasannya : ia berpuasa dua kali seminggu, meskipun pada saat itu hanya diwajibkan setahun sekali; ia membayar persepuluhan dari segala penghasilan yang ia dapatkan, meskipun persepuluhan ditetapkan hanya untuk penghasilan yang paling utama (bdk. Ul 14:22+). Singkatnya, ia bangga karena ia sedapat mungkin memenuhi perintah-perintah tertentu. Tetapi ia melupakan perintah terbesar : mengasihi Allah dan sesama kita (bdk. Mat 22:36-40). Meluap dengan keyakinan diri tentang kemampuannya sendiri untuk mematuhi perintah, jasa dan keutamaannya sendiri, ia hanya berfokus pada dirinya sendiri. Tragedi orang ini yaitu ia tanpa kasih. Bahkan hal-hal terbaik, tanpa kasih, tidak berarti apa-apa, seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus (bdk. 1 Kor 13). Tanpa kasih, apa hasilnya? Ia akhirnya memuji dirinya sendiri bukannya berdoa. Sebenarnya, ia tidak meminta apa pun dari Tuhan karena ia tidak merasa membutuhkan atau berhutang, tetapi ia merasa bahwa Allah berutang sesuatu kepadanya. Ia berdiri di bait Allah, tetapi ia menyembah allah yang berbeda : dirinya sendiri. Dan banyak kelompok "bergengsi", "Kristen Katolik", mengikuti jalan ini.


Bersama dengan Allah, ia melupakan sesamanya; memang, ia memandang rendah sesamanya. Bagi orang Farisi tersebut, sesamanya tidak memiliki harga, tidak bernilai. Ia menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain, yang secara harfiah ia sebut "lainnya, sisanya" (loipoi, Luk 18:11). Yaitu, mereka adalah "restan", mereka adalah rongsokan yang menjauhkannya dari orang lain. Berapa kali kita melihat hal ini sedang terjadi berulang kali dalam kehidupan dan sejarah! Berapa kali orang-orang yang terkemuka, seperti orang Farisi sehubungan dengan pemungut cukai, menaikkan tembok untuk menambah jarak, membuat orang lain merasa semakin ditolak. Atau dengan memikirkan mereka terbelakang dan sedikit nilainya, memandang rendah tradisi mereka, menghapus sejarah mereka, menduduki tanah mereka, dan merebut barang-barang mereka. Betapa banyak keunggulan diduga telah berubah menjadi penindasan dan eksploitasi, bahkan hingga hari ini! Kita melihat hal ini selama Sinode ketika berbicara tentang eksploitasi ciptaan, ekploitasi manusia, eksploitasi penduduk Amazon, eksploitasi perdagangan orang-orang, perdagangan manusia! Kesalahan-kesalahan masa lalu tidak cukup untuk menghentikan penjarahan orang lain dan menimbulkan luka pada saudara-saudari kita dan pada bumi saudari kita : kita telah melihatnya di wajah bekas luka di wilayah Amazon. Penyembahan diri dilakukan secara munafik dengan ritus-ritus dan "doa-doa"-nya - banyak yang beragama Katolik, mereka mengaku sebagai orang Katolik, tetapi lupa bahwa mereka adalah orang Kristiani dan umat manusia - melupakan penyembahan Allah yang sejati yang selalu diungkapkan dengan mengasihi sesama manusia. Bahkan orang Kristiani yang berdoa dan pergi ke Misa pada hari Minggu tunduk pada agama diri ini. Marilah kita memeriksa diri kita sendiri dan melihat apakah kita juga berpikir bahwa seseorang lebih rendah dan dapat dikesampingkan, meskipun hanya dengan kata-kata kita. Marilah kita berdoa memohon rahmat agar tidak menganggap diri kita lebih unggul, tidak meyakini diri kita baik-baik saja, tidak menjadi sinis dan mencemooh. Marilah kita mohon kepada Yesus untuk menyembuhkan kita dari berbicara buruk dan mengeluh tentang orang lain, memandang hina orang ini atau itu : hal-hal ini tidak berkenan pada Allah. Dan pada Misa hari ini kita sudah ditakdirkan untuk disertai bukan hanya oleh penduduk asli Amazon, tetapi juga oleh orang-orang yang paling miskin dari masyarakat maju kita : saudara-saudari kita yang cacat dari Komunitas L'Arche. Mereka bersama kita, di barisan depan.

2.       Mari kitalah beralih ke doa yang lain. Doa sang pemungut cukai membantu kita memahami apa yang berkenan bagi Allah. Ia tidak memulai dari kemampuannya sendiri tetapi dari kekurangannya; bukan dari kekayaannya tetapi dari kemiskinannya. Ia bukan miskin secara ekonomi - para pemungut cukai adalah orang kaya dan cenderung mendapatkan uang secara tidak adil dengan mengorbankan sesama warga negara mereka - tetapi ia merasakan kemiskinan hidup, karena kita tidak pernah hidup baik dalam dosa. Pemungut cukai yang mengeksploitasi orang lain mengaku miskin di hadapan Allah, dan Tuhan mendengar doanya, hanya tujuh kata tetapi mengungkapkan ketulusan hati. Sebenarnya, sementara orang Farisi berdiri di depan (bdk. ayat 11), sang pemungut pajak berdiri jauh-jauh dan "bahkan ia tidak berani menengadah ke langit", karena ia percaya bahwa Allah memang besar, sementara ia tahu dirinya kecil. Ia "menebah dada" (bdk. ayat 13), karena dada adalah tempat hati berada. Doanya lahir langsung dari hati; doanya terus terang. Ia menempatkan hatinya di hadapan Allah, bukan penampilan lahiriah. Berdoa adalah berdiri di depan mata Allah - berdoa adalah pandangan Allah terhadapku ketika aku berdoa - tanpa khayalan, alasan atau pembenaran. Seringkali penyesalan kita yang dipenuhi dengan pembenaran diri dapat membuat kita tertawa. Lebih dari sekedar penyesalan, kita seolah-olah melakukan kanonisasi diri kita sendiri. Karena dari iblis datang kegelapan dan dusta - inilah pembenaran diri kita; dari Allah datang terang dan kebenaran, keterusterangan hatiku. Itulah pengalaman yang luar biasa, dan saya sangat bersyukur, para anggota Sinode yang terkasih, bahwa kita telah dapat saling berbincang dalam pekan-pekan ini dari hati, dengan ketulusan dan keterusterangan, dan menempatkan upaya dan harapan kita di hadapan Allah dan saudara-saudari kita.

Hari ini, memandang sang pemungut cukai, kita menemukan kembali dari mana memulainya : dari keyakinan bahwa kita, kita semua, membutuhkan keselamatan. Inilah langkah awal dari penyembahan sejati terhadap Allah, yang berbelas kasih kepada orang-orang yang mengakui kebutuhan mereka. Di sisi lain, akar dari setiap kesalahan rohani, seperti yang diajarkan oleh para rahib dahulu kala, adalah meyakini bahwa kita adalah orang benar. Menganggap diri kita orang benar berarti meninggalkan Allah, satu-satunya yang benar, keluar dalam kebekuan. Pendirian awal ini sangat penting sehingga Yesus menunjukkannya kepada kita dengan perbandingan yang tidak biasa, menyandingkan dalam perumpamaan orang Farisi, tokoh yang paling saleh dan berbakti pada masa itu, dengan pemungut cukai, orang berdosa yang bermutu tinggi. Penghakiman dibalik: orang yang baik tetapi sombong kandas; orang yang malang tetapi rendah hati ditinggikan oleh Allah. Jika kita memandang diri kita sendiri dengan jujur, kita melihat di dalam diri kita semua para pemungut cukai dan orang Farisi. Kita sedikit seperti pemungut cukai karena kita adalah orang berdosa, dan sedikit seperti orang Farisi karena kita sombong, mampu membenarkan diri kita sendiri, para empunya seni pembenaran diri. Hal ini mungkin sering bekerja dengan diri kita sendiri, tetapi tidak dengan Allah. Trik ini tidak bekerja dengan Allah. Marilah kita berdoa memohon rahmat untuk mengalami diri kita sendiri yang membutuhkan belas kasihan, miskin batiniah. Karena alasan ini juga, kita sebaiknya bergaul dengan orang miskin, untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita miskin, mengingatkan diri kita sendiri bahwa keselamatan Allah hanya terlaksana dalam suasana kemiskinan batiniah.

3.      Sekarang kita sampai pada doa orang miskin, dari Bacaan Pertama. Doa ini, kata Putera Sirakh, “naik sampai ke awan” (35:16). Sementara doa orang-orang yang menganggap diri mereka benar tetap duniawi, diremukkan oleh kekuatan gravitasi egoisme, doa orang miskin naik langsung kepada Allah. Perasaan iman umat Allah telah melihat dalam diri orang miskin “penjaga gerbang surga” : perasaan iman yang hilang dalam ucapan [orang Farisi]. Mereka adalah orang-orang yang akan membuka lebar gerbang kehidupan kekal. Mereka tidak dianggap majikan dalam kehidupan ini, mereka tidak menempatkan diri mereka di depan orang lain; mereka memiliki kekayaan hanya di dalam Allah semata. Orang-orang ini adalah ikon hidup nubuat Kristiani.

Dalam Sinode ini kita memiliki rahmat mendengarkan suara-suara orang miskin dan bercermin pada kerawanan hidup mereka, terancam oleh model pembangunan yang ganas. Namun justru dalam situasi ini, banyak yang telah bersaksi kepada kita bahwa adalah mungkin untuk melihat kenyataan secara berbeda, menerimanya dengan tangan terbuka sebagai karunia, memperlakukan dunia yang diciptakan bukan sebagai sumber daya untuk dieksploitasi tetapi sebagai rumah yang harus dirawat, dengan kepercayaan pada Allah. Dialah Bapa kita dan, Putera Sirakh kembali berkata, “Doa orang yang terjepit didengarkan-Nya” (ayat 13). Berapa kali, bahkan dalam Gereja, suara orang miskin tidak terdengar dan mungkin dicemooh atau dibungkam karena tidak nyaman. Marilah kita berdoa memohon rahmat untuk dapat mendengarkan seruan orang miskin: inilah jeritan pengharapan Gereja. Jeritan orang miskin adalah jeritan pengharapan Gereja. Ketika kita menjadikan jeritan mereka menjadi jeritan kita, kita dapat yakin, doa kita juga akan sampai ke awan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.