Bacaan
Injil yang telah kita dengar adalah bagian dari khotbah besar Yesus yang
pertama. Kita mengenalnya sebagai Khotbah di Bukit, dan bagi kita Khotbah
tersebut menggambarkan keindahan jalan yang harus kita ambil. Dalam Kitab Suci,
bukit adalah tempat Allah mewahyukan diri-Nya dan menjadikan diri-Nya dikenal.
"Berfirmanlah Ia kepada Musa: 'Naiklah menghadap Tuhan'" (bdk. Kel
24:1). Sebuah bukit yang puncaknya tidak terjangkau oleh kemauan keras atau
pendakian sosial, tetapi hanya dengan mendengarkan Sang Guru dengan penuh
perhatian, sabar dan peka di setiap persimpangan perjalanan kehidupan. Puncak
itu menyajikan kepada kita sudut pandang yang selalu baru di sekeliling kita,
yang berpusat pada kasih sayang Bapa. Di dalam Yesus, kita menemukan puncak
dari apa artinya menjadi manusia; Ia menunjukkan kepada kita jalan yang
mengarah pada penggenapan yang melebihi segala harapan dan pengharapan kita.
Dalam Dia, kita menemukan sebuah kehidupan baru, tempat kita memahami kebebasan
mengetahui bahwa kita adalah anak-anak kesayangan Allah.
Namun
kita semua tahu bahwa di sepanjang jalan tersebut, kebebasan menjadi anak-anak
Allah dapat terkekang dan dilemahkan jika kita dilingkupi lingkaran setan
kecemasan dan persaingan. Atau jika kita memusatkan segenap perhatian dan
energi kita untuk mengejar produktivitas dan konsumerisme yang hingar-bingar
sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur dan mengesahkan pilihan kita, atau
mengartikan siapa kita atau apa yang kita hargai. Cara mengukur hal-hal ini
lambat laun membuat kita semakin kebal atau tidak dapat memahami hal-hal yang
benar-benar penting, membuat kita malah terengah-engah karena hal-hal yang
berlebihan atau fana tersebut. Betapa besarnya hasrat untuk mempercayai bahwa
segala sesuatu dapat dihasilkan, diperoleh atau dikendalikan menindas dan
membelenggu jiwa!
Di
sini di Jepang, dalam sebuah masyarakat dengan ekonomi yang sangat maju, kaum
muda yang saya temui pagi ini berbicara kepada saya tentang banyak orang yang
terasing secara sosial. Mereka tetap berada di pinggiran, tidak mampu memahami
makna hidup dan keberadaan mereka. Semakin lama, rumah, sekolah, dan komunitas,
yang dimaksudkan sebagai tempat di mana kita saling mendukung dan membantu,
semakin terkikis oleh persaingan berlebihan dalam mengejar keuntungan dan
efisiensi. Banyak orang merasa bingung dan cemas; mereka diliputi oleh begitu
banyak tuntutan dan kekhawatiran yang merampas kedamaian dan kemantapan mereka.
Kata-kata
Tuhan bertindak sebagai minyak urapan yang menyegarkan, ketika Ia memberitahu
kita untuk tidak cemas tetapi percaya. Tiga kali Ia bersikeras: "Janganlah
kuatir akan hidupmu ... akan hari esok" (bdk. Mat 6:25.31.34). Hal ini
bukan dorongan untuk mengabaikan apa yang terjadi di sekitar kita atau tidak
bertanggung jawab akan tugas dan tanggung jawab kita sehari-hari. Sebaliknya,
itu adalah undangan untuk menetapkan prioritas kita terhadap cakrawala makna
yang lebih luas dan dengan demikian menemukan kebebasan untuk melihat segala
sesuatu dengan cara-Nya: "Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,
maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu" (Mat. 6:33).
Tuhan
tidak sedang memberitahu kita bahwa kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian
tidak penting. Sebaliknya,Iia mengundang kita untuk mengevaluasi kembali
keputusan kita sehari-hari dan tidak terjebak atau terasing dalam mengejar
keberhasilan dengan harga berapa pun, termasuk harga hidup kita. Sikap duniawi
kita yang hanya mencari keuntungan atau pendapatan pribadi di dunia ini, dan
keegoisan yang hanya mengejar kebahagiaan pribadi, pada kenyataannya membuat
kita sangat tidak bahagia dan diperbudak, serta menghambat perkembangan yang
otentik dari sebuah masyarakat yang benar-benar rukun dan manusiawi.
Kebalikan
dari "aku" yang terasing, tertutup dan bahkan sesak napas hanya bisa "kita"
yang diikutsertakan, dirayakan dan disampaikan (bdk. Audiensi Umum, 13
Februari 2019). Panggilan Tuhan mengingatkan kita bahwa “kita perlu
mengakui dengan penuh sukacita bahwa kehidupan kita pada dasarnya merupakan
sebuah rahmat, dan juga menerima kebebasan kita sebagai rahmat. Ini adalah hal
yang sulit saat ini, di tengah dunia yang meyakini dapat memiliki sesuatu dari
dirinya sendiri, buah dari kreativitas atau kebebasan dirinya” (Gaudete et
Exsultate, 55). Dalam Bacaan Pertama hari ini, Kitab Suci memberitahu kita
bagaimana dunia kita, yang penuh dengan kehidupan dan keindahan, terutama
merupakan karunia yang berharga dari Sang Pencipta : "Allah melihat segala
yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik" (Kej 1:31). Allah menawarkan
kepada kita keindahan dan kebaikan ini sehingga kita dapat membagikannya dan
menawarkannya kepada orang lain, bukan sebagai tuan atau pemilik, tetapi
sebagai pengikutserta impian Allah yang kreatif tersebut. “Perlindungan otentik
untuk hidup kita sendiri dan hubungan kita dengan alam tidak dapat dilepaskan
dari persaudaraan, keadilan, dan kesetiaan kepada pihak lain” (Laudato Si’,
70).
Dengan
kenyataan ini, kita diundang sebagai komunitas Kristiani untuk melindungi
segenap kehidupan serta dengan bijaksana dan berani memberikan kesaksian
terhadap cara hidup yang ditandai oleh rasa syukur dan kasih sayang, kemurahan
hati, dan mendengarkan dengan bersahaja. Kita mampu merangkul dan menerima
kehidupan apa adanya, “dengan segala kerapuhannya, kesederhanaannya, dan
seringkali juga cukup, dengan pertikaian dan kejengkelannya” (Wejangan pada
Vigili Hari Orang Muda Sedunia, Panama, 26 Januari 2019). Kita dipanggil
untuk menjadi komunitas yang dapat belajar dan mengajarkan pentingnya menerima
“hal-hal yang tidak sempurna, murni atau 'disuling', namun tidak kalah layaknya
dengan kasih. Apakah orang cacat atau lemah lahir batin tidak layak untuk
dikasihi? Seseorang yang kebetulan adalah seorang asing, seseorang yang
melakukan kesalahan, seseorang yang sakit atau meringkuk dalam penjara : apakah
orang itu tidak layak untuk dikasihi? Kita tahu apa yang diperbuat Yesus : Ia
merangkul orang kusta, orang buta, orang lumpuh, orang Farisi dan orang
berdosa. Ia merangkul penjahat di kayu salib serta bahkan merangkul dan
mengampuni orang-orang yang menyalibkan-Nya” (Wejangan pada Vigili Hari
Orang Muda Sedunia, Panama, 26 Januari 2019)
Pemberitaan
Injil Kehidupan dengan mendesak mengharuskan kita sebagai komunitas menjadi
sebuah rumah sakit lapangan, siap menyembuhkan luka-luka dan selalu menawarkan
jalan rekonsiliasi dan pengampunan. Bagi umat Kristiani, satu-satunya ukuran
yang memungkinkan kita menilai setiap pribadi dan situasi yaitu belas kasih
Bapa untuk seluruh anak-anak-Nya.
Bersatu dengan Tuhan, dalam kerja
sama dan dialog terus-menerus dengan orang-orang yang berkehendak baik,
termasuk orang-orang yang berbeda keyakinan, kita bisa menjadi ragi kenabian
dari sebuah masyarakat yang semakin melindungi dan peduli terhadap segenap
kehidupan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.