Bacaan
Ekaristi : 1Sam. 15:16-23; Mzm. 50:8-9,16bc-17,21,23; Mrk. 2:18-22.
Dalam
homilinya pada Misa harian Senin pagi, 20 Januari 2020, di Casa Santa Marta,
Vatikan, Paus Fransiskus berbicara tentang “kepatuhan” terhadap Sabda Allah,
yang “senantiasa baru”. Berkaca pada Bacaan Pertama liturgi hari itu (1Sam.
15:16-23), Paus Fransiskus berfokus pada penolakan Allah terhadap Saul sebagai
raja, sebuah "nubuat" yang diungkapkan kepada Samuel.
Paus
Fransiskus mengatakan bahwa intisari dosa Saul adalah "kurangnya kepatuhan"
terhadap Sabda Allah karena Saul membayangkan telah "menafsirkan"
perintah Allah dengan "lebih benar". Tuhan telah memerintahkan bangsa
Israel untuk tidak mengambil apa pun dari bangsa yang telah mereka taklukkan,
tetapi mereka tidak menuruti perintah tersebut, Paus Fransiskus menjelaskan.
Ketika
Samuel pergi untuk menolak Saul atas nama Allah, Saul mencoba menjelaskan :
"Tetapi rakyat mengambil dari jarahan itu kambing domba dan lembu-lembu
yang terbaik dari yang dikhususkan untuk ditumpas itu, untuk mempersembahkan
korban kepada TUHAN, Allahmu". Saul tidak memasukkan apa pun ke dalam
sakunya, meskipun orang lain memasukkannya. Sebaliknya, dengan sikap
menafsirkan Sabda Allah yang tampaknya benar baginya ini, ia membiarkan orang
lain menaruh sesuatu dari hasil jarahan ke dalam saku mereka. Tahap-tahap
korupsi : dimulai dengan sedikit ketidakpatuhan, kurangnya kepatuhan, dan terus
melangkah lebih jauh, lebih jauh, lebih jauh.
Setelah
"menumpas" orang-orang Amalek, Paus Fransiskus mengatakan,
orang-orang mengambil dari hasil jarahan "binatang buas besar dan kecil,
buah sulung dari apa yang disumpahkan untuk ditumpas, untuk dikorbankan kepada
Tuhan". Tetapi Samuel menunjukkan bahwa Tuhan lebih berkenan pada "kepatuhan
terhadap suara Allah” daripada pemusnahan dan pengorbanan; serta ia menjelaskan
"hierarki nilai" : memiliki "hati yang patuh", dan
"mematuhi", lebih penting daripada "mempersembahkan korban,
berpuasa, melakukan penebusan dosa". “Dosa karena kurangnya kepatuhan”,
lanjut Paus Fransiskus, tepatnya terletak pada kecenderungan terhadap “apa yang
kupikirkan dan bukan apa yang diperintahkan Tuhan terhadap diriku yang tidak
kupahami”. Ketika kamu memberontak menentang "kehendak Tuhan", beliau
mengatakan, kamu tidak patuh; "ibarat dosa meramal nasib".
Seolah-olah, meskipun kamu mengatakan kamu percaya pada Allah, "kamu harus
pergi ke peramal nasib agar telapak tanganmu dibaca 'untuk berjaga-jaga'".
Menolak untuk mematuhi Tuhan, kurangnya kepatuhan, Paus Fransiskus mengulangi,
adalah ibarat "meramal nasib".
Ketika
kamu bersikeras melakukan berbagai hal dengan caramu sendiri di hadapan
kehendak Tuhan, kamu adalah seorang penyembah berhala, karena kamu berkenan
pada apa yang kamu pikirkan, berhala itu, daripada kehendak Tuhan. Dan bagi
Saul, ketidakpatuhan ini menyebabkannya kehilangan kerajaan : "Karena
engkau telah menolak firman Tuhan, maka Ia telah menolak engkau sebagai
raja". Hal ini seharusnya membuat kita sedikit memikirkan kepatuhan kita.
Kita sering berkecenderungan menafsirkan Injil menurut selera kita [...]
misalnya, ketika kita jatuh ke dalam permainan kata-kata ... Hal ini bukan
kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan jelas; Ia membuat kehendak-Nya dikenal melalui
perintah-perintah dalam Kitab Suci, dan membuat kehendak-Nya dikenal melalui
Roh Kudus di dalam hatimu. Tetapi ketika saya keras kepala, dan mengubah Sabda
Tuhan menjadi sebuah ideologi, saya adalah seorang penyembah berhala, saya
tidak patuh.
Beralih
ke Bacaan Injil liturgi hari itu (Mrk. 2:18-22), Paus Fransiskus mengingatkan
bahwa para murid dikritik “karena mereka tidak berpuasa”. Yesus menggunakan
sebuah analogi : tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut
pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya,
yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya; dan tidak seorang
pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika
demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan
kantongnya dua-duanya terbuang. “Tetapi”, Tuhan bersabda, “anggur yang baru
hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula".
Kebaruan
Sabda Tuhan - karena Sabda Tuhan senantiasa baru, senantiasa membawa kita maju
- selalu unggul, Sabda Tuhan lebih baik dari segalanya. Sabda Tuhan mengatasi
penyembahan berhala, Sabda Tuhan mengatasi kesombongan, dan Sabda Tuhan mengatasi
sikap terlalu yakin akan diri kita ini, bukan melalui [komitmen terhadap] Sabda
Tuhan, tetapi terhadap berbagai ideologi yang telah saya bangun di sekitar
Sabda Tuhan. Ada ungkapan Yesus yang sangat indah yang menjelaskan semua hal
ini dan berasal dari Allah, yang diambil dari Perjanjian Lama : "Yang
Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan".
Paus
Fransiskus mengatakan bahwa menjadi "seorang Kristiani yang baik"
berarti "patuh" terhadap Sabda Tuhan, mendengarkan apa yang dikatakan
Tuhan tentang keadilan, amal kasih, pengampunan, dan belas kasihan; serta bukan
"hidup tidak karuan", menggunakan "sebuah ideologi agar dapat
bergerak maju". Memang benar, beliau menambahkan, bahwa Sabda Tuhan
terkadang “membuat kita berada dalam kesulitan”, tetapi “iblis melakukan hal
yang sama”, “memperdaya”. Maka, menjadi seorang Kristiani, Paus Fransiskus
mengakhiri homilinya, "harus bebas", melalui "kepercayaan"
pada Allah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.