Bacaan
Ekaristi : 2Sam. 6:12b-15,17-19; Mzm. 24:7,8,9,10; Mrk. 3:31-35.
Paus
Fransiskus mendesak umat Kristiani untuk tidak malu-malu mengungkapkan sukacita
pertemuan mereka dengan Allah dan merasakan kedekatan-Nya. Injil hanya akan
berlanjut dengan para penginjil yang penuh sukacita, suatu sukacita yang juga
berlanjut dalam keluarga di meja bersama dengan Tuhan. Paus Fransiskus menyampaikan
hal tersebut dalam homilinya pada Misa harian Selasa pagi, 28 Januari 2020, di
Casa Santa Marta, Vatikan.
Homili
Paus Fransiskus mengacu pada Bacaan Pertama liturgi hari itu (2Sam.
6:12b-15,17-19), yang menceritakan sukacita besar yang dialami Daud dan segenap
orang Israel ketika mereka merayakan kembalinya Tabut Perjanjian ke Yerusalem
setelah tertawan musuh. Orang-orang Israel merasakan Allah dekat dengan mereka
dan mereka merayakannya. Raja Daud memimpin prosesi dengan mengorbankan seekor lembu
dan seekor anak lembu gemukan. Ia bergabung dengan orang-orang Israel sambil
bersorak, bernyanyi dan menari-nari "dengan sekuat tenaga".
Kenyataan
bahwa Allah menyertai mereka adalah penyebab perayaan mereka, kata Paus
Fransiskus. Daud menari-nari di hadapan orang-orang untuk mengungkapkan
sukacitanya tanpa merasa malu. Itulah sukacita perjumpaan rohani dengan Tuhan,
sukacita kembalinya Allah kepada orang-orang Israel. Daud mencintai Tuhan, serta
ia bahagia dan penuh sukacita membawa kembali tabut Tuhan dengan menari-nari
dan menyanyi seperti semua orang.
Paus
Fransiskus menunjukkan bahwa kita juga mengalami sukacita ini dan merayakannya
ketika "ketika kita bersama Tuhan" di dalam paroki-paroki atau
desa-desa kita. Sehubungan dengan hal ini, beliau ingat bahwa pada masa
Nehemia, dalam Perjanjian Lama, orang-orang Israel menangis dengan sukacita
ketika kitab hukum ditemukan, dan mereka melanjutkan perayaan mereka di rumah.
Melanjutkan
kisah Daud, Paus Fransiskus mengatakan bahwa salah seorang istrinya, Mikhal,
anak perempuan Saul, memandang rendah Daud dalam hatinya. Mikhal mengatakan Daud
menari-nari tanpa malu-malu seperti orang hina yang tidak malu-malu
menelanjangi dirinya, seperti salah seorang dari orang-orang tersebut.
Paus
Fransiskus menggambarkan reaksi Mikhal sebagai penghinaan terhadap “religiositas
sejati” dan spontanitas sukacita berada bersama Tuhan. Tetapi Daud menjelaskan
kepada Mikhal bahwa ia sedang bersukacita dalam Tuhan ketika tabut Tuhan
tersebut kembali ke rumah. Kitab Suci mengatakan Mikhal dihukum karena hal ini
dan tidak melahirkan seorang anak pun. Tanpa sukacita di dalam hati, kata Paus
Fransiskus, seorang Kristiani tidak berbuah.
Lebih
lanjut Paus Fransiskus menjelaskan bahwa perayaan tidak hanya diungkapkan
secara rohani tetapi menjadi berbagi. Setelah memberkati bangsa Israel demi
nama Tuhan, Daud membagikan kepada masing-masing orang "seketul roti
bundar, sekerat daging, dan sepotong kue kismis", sehingga seluruh bangsa
itu dapat merayakan di rumah mereka. "Sabda Allah tidak malu-malu terhadap
perayaan", kata Paus Fransiskus seraya memperingatkan bahaya sebuah
sukacita yang melampaui batas, memercayai inilah segalanya.
Bapa
Suci mengingat pendahulunya, Santo Paus Paulus VI dalam seruan apostoliknya
"Evangelii Nuntiandi", dengan mengatakan "Injil tidak akan maju
dengan para penginjil yang membosankan dan getir". “Injil hanya akan maju
dengan para penginjil yang penuh sukacita, penuh kehidupan”. Dengan demikian Paus
Fransiskus mendesak untuk bersukacita ketika menerima sabda Allah, bersukacita
menjadi umat Kristiani, bersukacita untuk terus maju, mampu merayakan tanpa
malu-malu dan tidak seperti Mikhal, umat Kristiani yang formal, para tawanan
formalitas.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.