Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 28 Januari 2020 : ORANG KRISTIANI YANG TIDAK MEMILIKI SUKACITA ADALAH TAHANAN FORMALITAS


Bacaan Ekaristi : 2Sam. 6:12b-15,17-19; Mzm. 24:7,8,9,10; Mrk. 3:31-35.

Paus Fransiskus mendesak umat Kristiani untuk tidak malu-malu mengungkapkan sukacita pertemuan mereka dengan Allah dan merasakan kedekatan-Nya. Injil hanya akan berlanjut dengan para penginjil yang penuh sukacita, suatu sukacita yang juga berlanjut dalam keluarga di meja bersama dengan Tuhan. Paus Fransiskus menyampaikan hal tersebut dalam homilinya pada Misa harian Selasa pagi, 28 Januari 2020, di Casa Santa Marta, Vatikan.


Homili Paus Fransiskus mengacu pada Bacaan Pertama liturgi hari itu (2Sam. 6:12b-15,17-19), yang menceritakan sukacita besar yang dialami Daud dan segenap orang Israel ketika mereka merayakan kembalinya Tabut Perjanjian ke Yerusalem setelah tertawan musuh. Orang-orang Israel merasakan Allah dekat dengan mereka dan mereka merayakannya. Raja Daud memimpin prosesi dengan mengorbankan seekor lembu dan seekor anak lembu gemukan. Ia bergabung dengan orang-orang Israel sambil bersorak, bernyanyi dan menari-nari "dengan sekuat tenaga".

Kenyataan bahwa Allah menyertai mereka adalah penyebab perayaan mereka, kata Paus Fransiskus. Daud menari-nari di hadapan orang-orang untuk mengungkapkan sukacitanya tanpa merasa malu. Itulah sukacita perjumpaan rohani dengan Tuhan, sukacita kembalinya Allah kepada orang-orang Israel. Daud mencintai Tuhan, serta ia bahagia dan penuh sukacita membawa kembali tabut Tuhan dengan menari-nari dan menyanyi seperti semua orang.

Paus Fransiskus menunjukkan bahwa kita juga mengalami sukacita ini dan merayakannya ketika "ketika kita bersama Tuhan" di dalam paroki-paroki atau desa-desa kita. Sehubungan dengan hal ini, beliau ingat bahwa pada masa Nehemia, dalam Perjanjian Lama, orang-orang Israel menangis dengan sukacita ketika kitab hukum ditemukan, dan mereka melanjutkan perayaan mereka di rumah.

Melanjutkan kisah Daud, Paus Fransiskus mengatakan bahwa salah seorang istrinya, Mikhal, anak perempuan Saul, memandang rendah Daud dalam hatinya. Mikhal mengatakan Daud menari-nari tanpa malu-malu seperti orang hina yang tidak malu-malu menelanjangi dirinya, seperti salah seorang dari orang-orang tersebut.

Paus Fransiskus menggambarkan reaksi Mikhal sebagai penghinaan terhadap “religiositas sejati” dan spontanitas sukacita berada bersama Tuhan. Tetapi Daud menjelaskan kepada Mikhal bahwa ia sedang bersukacita dalam Tuhan ketika tabut Tuhan tersebut kembali ke rumah. Kitab Suci mengatakan Mikhal dihukum karena hal ini dan tidak melahirkan seorang anak pun. Tanpa sukacita di dalam hati, kata Paus Fransiskus, seorang Kristiani tidak berbuah.

Lebih lanjut Paus Fransiskus menjelaskan bahwa perayaan tidak hanya diungkapkan secara rohani tetapi menjadi berbagi. Setelah memberkati bangsa Israel demi nama Tuhan, Daud membagikan kepada masing-masing orang "seketul roti bundar, sekerat daging, dan sepotong kue kismis", sehingga seluruh bangsa itu dapat merayakan di rumah mereka. "Sabda Allah tidak malu-malu terhadap perayaan", kata Paus Fransiskus seraya memperingatkan bahaya sebuah sukacita yang melampaui batas, memercayai inilah segalanya.

Bapa Suci mengingat pendahulunya, Santo Paus Paulus VI dalam seruan apostoliknya "Evangelii Nuntiandi", dengan mengatakan "Injil tidak akan maju dengan para penginjil yang membosankan dan getir". “Injil hanya akan maju dengan para penginjil yang penuh sukacita, penuh kehidupan”. Dengan demikian Paus Fransiskus mendesak untuk bersukacita ketika menerima sabda Allah, bersukacita menjadi umat Kristiani, bersukacita untuk terus maju, mampu merayakan tanpa malu-malu dan tidak seperti Mikhal, umat Kristiani yang formal, para tawanan formalitas.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.