Bacaan
Ekaristi : Im. 19:1-2,17-18; Mzm. 103:1-2,3-4,8,10,12-13; 1Kor. 3:16-23; Mat.
5:38-48.
Yesus
mengutip hukum kuno : “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi” (Mat 5:38; Kel
21:24). Kita tahu apa arti hukum tersebut : ketika seseorang mengambil sesuatu dari
dirimu, kamu harus mengambil hal yang sama darinya. Hukum pembalasan ini
sebenarnya merupakan suatu tanda kemajuan, karena mencegah pembalasan yang
berlebihan. Jika seseorang berbuat jahat kepadamu, maka kamu dapat membalasnya
dengan kadar yang sama; kamu tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih buruk.
Mengakhiri persoalan di sana, dalam suatu pertukaran yang adil, adalah sebuah
langkah maju.
Tetapi
Yesus jauh melampaui hal ini : “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu
melawan orang yang berbuat jahat kepadamu” (Mat 5:39). Tetapi bagaimana, Tuhan?
Jika seseorang berpikir buruk tentang aku, jika seseorang menyakitiku, mengapa
aku tidak bisa membalasnya dengan perlakuan yang sama? "Tidak", kata
Yesus. Tanpa kekerasan. Tidak ada tindak kekerasan.
Kita
mungkin berpikir bahwa ajaran Yesus adalah bagian dari sebuah rencana; pada
akhirnya, orang fasik akan terhenti. Tetapi itu bukan alasan mengapa Yesus
meminta kita untuk mengasihi bahkan orang-orang yang berbuat jahat kepada kita.
Lalu, apa alasannya? Alasannya karena Bapa, Bapa kita, terus mengasihi semua
orang, bahkan ketika kasih-Nya tidak terbalaskan. Bapa “menerbitkan matahari
bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang
benar dan orang yang tidak benar” (ayat 45). Dalam Bacaan Pertama hari ini, Ia
mengatakan kepada kita, “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Im
19:2). Dengan kata lain : "Hiduplah seperti Aku, usahakanlah hal-hal yang Kuusahakan".
Dan itulah persisnya yang dilakukan Yesus. Ia tidak mengacungkan jari pada
orang-orang yang salah menghukum-Nya dan menempatkan-Nya pada kematian yang
kejam, tetapi merentangkan tangan-Nya bagi mereka di kayu salib. Dan Ia
mengampuni orang-orang yang memaku pergelangan tangan-Nya (bdk. Luk 23:33-34).
Jika
kita ingin menjadi murid-murid Kristus, jika kita ingin menyebut diri kita umat
Kristiani, inilah satu-satunya cara; tidak ada cara lain. Setelah dikasihi
Allah, kita dipanggil untuk mengasihi sebagai balasannya; setelah diampuni,
kita dipanggil untuk mengampuni; setelah tersentuh oleh kasih, kita dipanggil
untuk mengasihi tanpa menunggu orang lain mengasihi terlebih dahulu; setelah
diselamatkan secara cuma-cuma, kita dipanggil untuk tidak mencari imbalan atas
kebaikan yang kita lakukan. Kamu mungkin secara fasih berkata, “Tetapi Yesus
berjalan terlampau jauh! Ia bahkan mengatakan : 'Kasihilah musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu' (Mat 5:44). Tentunya Ia berbicara
seperti ini untuk mendapatkan perhatian orang-orang, tetapi Ia tidak
benar-benar memaksudkannya”. Tetapi Ia benar-benar melakukannya. Di sini Yesus
tidak berbicara dalam paradoks atau menggunakan peralihan frasa yang bagus. Ia
berbicara langsung dan gamblang. Ia mengutip hukum kuno dan dengan
sungguh-sungguh memberitahu kita : "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
musuhmu". Perkataan-Nya disengaja dan tepat.
Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Inilah inovasi
Kristiani. Itulah perbedaan umat Kristiani. Doa dan kasih : inilah yang harus
kita lakukan; dan tidak hanya berkenaan dengan orang-orang yang mengasihi kita,
tidak hanya berkenaan dengan sahabat-sahabat kita atau orang-orang kita
sendiri. Kasih Yesus tidak mengenal batas atau rintangan. Tuhan menuntut kita
berani memiliki kasih tanpa pamrih. Karena ukuran Yesus adalah kasih tanpa
batas. Berapa kali kita mengabaikan permintaan itu, berperilaku seperti orang
lain! Namun perintah kasih-Nya bukan sekadar tantangan; perintah kasih-Nya
adalah pokok Injil. Keprihatinan terhadap perintah kasih universal janganlah
membuat kita menerima berbagai alasan atau memberitakan kewaspadaan. Tuhan
tidak berwaspada; Ia tidak tunduk pada berbagai kompromi. Ia meminta kita
ekstremisme amal kasih. Inilah satu-satunya jenis ekstremisme Kristiani yang
sah: ekstremisme kasih.
Kasihilah
musuhmu. Kita melakukannya dengan baik hari ini, pada Misa dan sesudahnya,
mengulangi kata-kata ini untuk diri kita sendiri dan menerapkannya pada
orang-orang yang memperlakukan kita dengan buruk, yang menjengkelkan kita, yang
sulit kita terima, yang mengganggu ketenangan kita. Kasihilah musuhmu. Kita
juga sebaiknya bertanya kepada diri kita sendiri : “Apa yang benar-benar
menjadi keprihatinanku dalam kehidupan ini? Musuh-musuhku, atau orang-orang
yang membenciku? Atau kasih?". Jangan mengkhawatirkan kejahatan orang
lain. orang-orang yang berpikir buruk tentang kamu. Sebaliknya, mulailah
melucuti hatimu demi mengasihi Yesus. Mereka yang mengasihi Allah tidak
memiliki musuh di dalam hati mereka.
Menyembah
Allah bertentangan dengan budaya kebencian. Dan budaya kebencian diperangi
dengan memerangi kegemaran berkeluh kesah. Berapa kali kita berkeluh kesah
tentang hal-hal yang bukan urusan kita, tentang hal-hal yang berjalan keliru!
Yesus tahu tentang semua hal yang tidak berjalan baik. Ia tahu bahwa akan
selalu ada seseorang yang tidak menyukai kita. Atau seseorang yang
menyengsarakan hidup kita. Yang Ia minta kita lakukan hanyalah berdoa dan
mengasihi. Inilah revolusi Yesus, revolusi terbesar dalam sejarah : dari
membenci musuh kita menjadi mengasihi musuh kita; dari kegemaran berkeluh kesah
menjadi budaya karunia. Jika kita milik Yesus, inilah cara yang harus kita
ambil! Tidak ada cara lain.
Cukup masuk
akal, kamu dapat mengajukan keberatan : “Aku memahami keagungan cita-cita
tersebut, tetapi itu bukan bagaimana sesungguhnya kehidupan! Jika aku mengasihi
dan mengampuni, aku tidak akan bertahan di dunia ini, di mana nalar kekuasaan
berlaku dan orang-orang tampaknya hanya mementingkan diri sendiri”. Apakah demikian
nalar Yesus, cara Ia memandang sesuatu, nalar para pecundang? Di mata dunia,
memang demikian, tetapi di mata Allah, nalar Yesus adalah nalar para pemenang.
Seperti dikatakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua : "Janganlah ada orang
yang menipu dirinya sendiri ... Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi
Allah" (1Kor 3:18-19). Allah melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Ia
tahu bagaimana cara untuk menang. Ia tahu bahwa kejahatan hanya bisa
ditaklukkan oleh kebaikan. Begitulah cara Ia menyelamatkan kita : bukan dengan
pedang, tetapi dengan salib. Mengasihi dan mengampuni berarti hidup sebagai
seorang penakluk. Kita akan kalah jika kita mempertahankan iman dengan
kekuasaan.
Kepada
kita Tuhan akan mengulangi perkataan yang Ia sampaikan kepada Petrus di Taman
Getsemani : "Sarungkan pedangmu itu" (Yoh 18:11). Di Taman Getsemani
dewasa ini, di dunia kita yang acuh tak acuh dan tidak adil yang tampaknya
memberi kesaksian tentang susah payahnya pengharapan, orang Kristiani tidak
bisa seperti para murid yang pertama-tama mengambil pedang dan kemudian
melarikan diri tersebut. Tidak, penyelesaiannya adalah tidak menarik pedang
kita bagi orang lain, atau melarikan diri dari zaman yang di dalamnya kita
hidup. Penyelesaiannya adalah cara Yesus : kasih yang aktif, kasih yang rendah
hati, kasih "sampai kepada kesudahannya" (Yoh 13:1).
Saudara
dan saudari yang terkasih, hari ini Yesus, dengan kasih-Nya yang tak terbatas,
mengangkat baku kemanusiaan kita. Pada akhirnya, kita dapat bertanya pada diri
sendiri : "Apakah kita mampu mewujudkannya?" Jika pada akhirnya tidak
mungkin terjadi, Tuhan tidak akan meminta kita untuk memperjuangkannya. Dengan
usaha kita sendiri, sulit untuk mencapai; perlu dimohonkan rahmat. Mintalah
kekuatan untuk mengasihi Allah. Katakan kepada-Nya: “Tuhan, tolong aku untuk
mengasihi, ajari aku untuk mengampuni. Aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku
membutuhkan Engkau”. Tetapi kita juga harus memohon rahmat untuk dapat melihat
orang lain bukan sebagai rintangan dan kesukaran, tetapi sebagai saudara dan
saudari yang harus dikasihi. Betapa sering kita berdoa untuk bantuan dan
pertolongan bagi diri kita sendiri, namun betapa jarangnya kita berdoa untuk
mempelajari cara mengasihi! Kita perlu lebih sering mendoakan rahmat untuk
menghayati intisari Injil, untuk menjadi benar-benar kristiani. Karena “di
senja kehidupan, kita akan dihakimi berdasarkan kasih” (Santo Yohanes dari
Salib, Pepatah Terang dan Kasih, 57).
Hari
ini marilah kita memilih kasih, berapa pun biayanya, bahkan jika memilih kasih
berarti melawan arus. Janganlah kita takluk pada pemikiran dunia ini, atau
memuaskan diri kita dengan setengah ukuran. Marilah kita menerima tantangan
Yesus, tantangan amal kasih. Maka kita akan menjadi umat Kristiani yang sejati
dan dunia kita akan menjadi lebih manusiawi.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.