Bacaan
Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2;
Mat.6:1-6,16-18.
Kita
mengawali Masa Prapaskah dengan menerima abu : “Engkau debu dan engkau akan
kembali menjadi debu" (bdk. Kej 3:19). Debu yang ditaburkan di kepala kita
membawa kita kembali ke bumi; debu yang ditaburkan tersebut mengingatkan kita
bahwa kita adalah debu dan kita akan kembali menjadi debu. Kita lemah, rapuh
dan fana. Berabad-abad dan ribuan tahun berlalu serta kita datang dan pergi; di
hadapan galaksi dan angkasa yang mahaluas, kita bukan apa-apa. Kita adalah debu
di alam semesta. Namun kita adalah debu yang dikasihi Allah. Tuhan berkenan
mengumpulkan debu di tangan-Nya dan menghembuskan nafas hidup ke dalamnya (bdk.
Kej 2:7). Oleh karena itu kita adalah debu yang berharga, yang ditakdirkan
untuk hidup kekal. Kita adalah debu bumi, yang di atasnya Allah telah
mencurahkan surga-Nya, debu yang mengandung impian-Nya. Kita adalah harapan
Allah, harta dan kemuliaan-Nya.
Abu
dengan demikian merupakan pengingat arah keberadaan kita : peralihan dari debu
menuju kehidupan. Kita adalah debu, tanah, tanah liat, tetapi jika kita memperkenankan
diri dibentuk oleh tangan Allah, kita menjadi sesuatu yang menakjubkan. Namun,
lebih sering ketimbang tidak, terutama pada saat-saat sulit dan kesepian, kita
hanya melihat debu kita! Tetapi Tuhan mendorong kita : di mata-Nya, kecilnya
kita adalah berasal dari nilai yang tak terbatas. Jadi marilah kita tidak
berkecil hati : kita dilahirkan untuk dikasihi; kita dilahirkan untuk menjadi
anak-anak Allah.
Saudara-saudari
yang terkasih, semoga kita mengingat hal ini ketika kita mengawali Masa Prapaskah
ini. Karena Masa Prapaskah bukan waktu untuk khotbah yang tidak berguna, tetapi
mengakui bahwa abu kita yang hina dikasihi Allah. Masa Prapaskah adalah masa
rahmat, masa untuk memperkenankan Allah menatap kita dengan kasih dan dengan
cara ini mengubah hidup kita. Kita ditempatkan di dunia ini untuk berubah dari
abu menjadi kehidupan. Jadi janganlah kita mengubah harapan kita dan impian
Allah bagi kita menjadi serbuk dan abu. Jangan sampai kita menerima nasib. Kamu
mungkin bertanya : "Bagaimana aku bisa percaya? Dunia sedang hancur
berkeping-keping, ketakutan sedang tumbuh, ada begitu banyak kebencian di
sekitar kita, masyarakat menjadi semakin kurang kristiani ...”. Tidakkah kamu
percaya bahwa Allah dapat mengubah debu kita menjadi kemuliaan?
Abu yang
kita terima di dahi kita seharusnya memengaruhi berbagai pikiran yang melintasi
benak kita. Pikiran-pikiran tersebut mengingatkan kita bahwa, sebagai anak-anak
Allah, kita tidak bisa menghabiskan hidup kita mengejar debu. Dari sanalah
sebuah pertanyaan dapat masuk ke dalam hati kita : "Untuk apa aku
hidup?" Jika aku hidup untuk kenyataan dunia yang sekejab, aku akan
kembali menjadi abu dan debu, menolak apa yang telah dilakukan Allah dalam
hidupku. Jika aku hidup hanya untuk mendapatkan uang, bersenang-senang,
mendapatkan sedikit gengsi atau promosi dalam pekerjaanku, aku hidup untuk
debu. Jika aku tidak bahagia dengan kehidupan karena aku pikir aku tidak
mendapatkan cukup rasa hormat atau menerima apa yang kupikirkan adalah hakku,
maka aku hanya terbelalak pada debu.
Bukan
itu sebabnya kita ditempatkan di dunia ini. Kita jauh lebih berharga. Kita
hidup lebih dari itu, karena kita ditakdirkan untuk mewujudkan impian Allah dan
mengasihi. Abu ditaburkan di kepala kita sehingga api kasih dapat membara di
dalam hati kita. Kita adalah warga surga, serta kasih kita kepada Allah dan
sesama adalah paspor kita menuju surga. Harta duniawi kita akan terbukti tidak
berguna, debu yang menceraiberaikan, tetapi kasih yang kita ikut sertakan -
dalam keluarga kita, di tempat kerja, dalam Gereja dan di dunia - akan
menyelamatkan kita, karena kasih tersebut akan bertahan selamanya.
Abu
yang kita terima mengingatkan kita akan peralihan yang kedua dan sebaliknya :
dari kehidupan menuju debu. Di sekeliling kita, kita melihat debu kematian.
Kehidupan merosot menjadi abu. Puing, kehancuran, peperangan. Kehidupan
orang-orang tak berdosa yang tidak disukai, kehidupan orang-orang miskin yang
terkucil, kehidupan kaum lanjut usia yang terlantar. Kita terus menghancurkan
diri sendiri, kembali menjadi abu dan debu. Dan seberapa banyak debu yang ada
dalam hubungan kita! Lihatlah rumah dan keluarga kita : pertengkaran kita,
ketidakmampuan kita untuk menyelesaikan pertikaian, keengganan kita untuk
meminta maaf, mengampuni, memulai kembali, sementara pada saat yang sama
bersikeras pada kebebasan kita sendiri dan hak-hak kita! Semua debu yang
menodai kasih kita dan mengacaukan hidup kita. Bahkan dalam Gereja, rumah
Allah, kita telah memperkenankan begitu banyak kumpulan debu, debu keduniawian.
Marilah
kita melihat ke dalam, ke dalam hati kita : berapa kali kita memadamkan api
Allah dengan abu kemunafikan! Kemunafikan adalah kecemaran yang harus kita hapus
sebagaimana dikatakan Yesus kepada kita dalam Bacaan Injil hari ini. Memang,
Tuhan memberitahu kita untuk tidak hanya melakukan karya amal, berdoa dan
berpuasa, tetapi juga melakukan hal ini tanpa kepura-puraan, kebohongan dan
kemunafikan (bdk. Mat 6:2.5.16). Namun seberapa sering kita melakukan berbagai
hal hanya untuk diakui, terlihat baik, memuaskan ego kita! Betapa sering kita
mengaku sebagai umat Kristiani, namun dalam hati kita siap menyerah pada hasrat
yang memperbudak kita! Seberapa sering kita mengkhotbahkan satu hal dan
mempraktekkan yang lain! Berapa kali kita membuat diri kita terlihat baik di
luar seraya memelihara dendam di dalam! Berapa banyak kebohongan yang kita
miliki di dalam hati kita ... Semua ini adalah debu yang mengotori, abu yang
memadamkan api kasih.
Kita
harus dibersihkan dari semua debu yang telah menodai hati kita. Bagaimana? Panggilan
mendesak dari Santo Paulus dalam Bacaan Kedua hari ini dapat membantu kita.
Paulus berkata, ”Berilah dirimu didamaikan dengan Allah!”. Ia tidak hanya meminta;
ia memohon, "Dalam nama Kristus kami meminta kepadamu : berilah dirimu
didamaikan dengan Allah" (2 Kor 5:20). Kita akan mengatakan : "Damaikanlah
dirimu dengan Allah!" Tetapi tidak, Paulus mempergunakan bentuk pasif :
didamaikan!. Kekudusan tidak dicapai dengan upaya kita, karena kekudusan adalah
rahmat! Oleh diri sendiri, kita tidak bisa menghilangkan debu yang menodai hati
kita. Hanya Yesus, yang mengenal dan mengasihi hati kita, yang dapat
menyembuhkannya. Masa Prapaskah adalah masa penyembuhan.
Lalu,
apa yang harus kita lakukan? Dalam perjalanan menuju Paskah, kita dapat membuat
dua peralihan : pertama, dari debu menuju kehidupan, dari kemanusiaan kita yang
rapuh menuju kemanusiaan Yesus, yang menyembuhkan kita. Kita dapat berhenti
sejenak dalam perenungan di hadapan Tuhan yang disalibkan dan mengulangi :
“Yesus, Engkau mengasihiku, ubahlah rupaku ... Yesus, Engkau mengasihiku,
ubahlah rupaku ...” Dan begitu kita menerima kasih-Nya, begitu kita menangis
pada saat memikirkan kasih itu, kita dapat membuat peralihan yang kedua, dengan
memastikan tidak pernah jatuh lagi dari kehidupan ke dalam debu. Kita dapat
menerima pengampunan Allah dalam sakramen tobat, karena di sanalah api kasih
Allah menghanguskan abu dosa kita. Pelukan Bapa dalam pengakuan dosa
memperbaharui diri kita dan menguduskan hati kita. Semoga kita memperkenankan
diri kita didamaikan, guna hidup sebagai anak-anak yang dikasihi, sebagai
orang-orang berdosa yang diampuni dan disembuhkan, sebagai para musafir bersama
Dia yang berada di pihak kita.
Marilah
kita memperkenankan diri kita dikasihi, sehingga kita bisa memberikan kasih
sebagai imbalannya. Marilah kita memperkenankan diri bangkit berdiri dan
berjalan menuju Paskah. Kemudian kita akan mengalami sukacita menemukan
bagaimana Allah membangkitkan kita dari abu kita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.