Bacaan Ekaristi : Yer. 17:5-10; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 16:19-31.
Kisah Yesus ini (bdk. Luk 16:19-31) sangat jelas; bahkan mungkin
tampak seperti cerita anak-anak. Kisah tersebut sangat sederhana. Yesus ingin
menarik perhatian kita bukan sebuah kisah semata, tetapi kemungkinan bahwa segenap
umat manusia dapat hidup seperti ini. Bahwa kita juga, kita semua, mungkin
hidup seperti ini.
Dua orang, orang yang pertama terpuaskan, yang mengetahui cara
berpakaian yang baik, yang mungkin mencari perancang busana yang terbaik saat
itu untuk berpakaian yang baik. Ia mengenakan jubah ungu dan kain halus. Dan
kemudian, ia menikmati dirinya sendiri, mengadakan perjamuan mewah untuk
dirinya sendiri setiap hari. Ia senang seperti ini. Ia tidak khawatir. Ia
mengambil beberapa tindakan pencegahan, mungkin beberapa pil kolesterol oleh karena
perjamuan makan tersebut. Hidupnya berjalan baik seperti ini. Ia terpuaskan.
Ada seorang miskin di pintunya : Lazarus namanya. Orang kaya itu
tahu bahwa orang miskin itu ada di sana, ia mengetahuinya, tetapi baginya tampak
wajar : "Aku selama ini baik-baik saja dan orang ini ... baik, itulah kehidupan,
kamu bisa berhasil". Paling-paling - Injil tidak mengatakannya - mungkin ia
kadang-kadang mengirimkan barangkali beberapa remah. Maka, kehidupan kedua orang
ini berlanjut. Dan keduanya tunduk pada hukum yang berlaku bagi kita semua :
mati. Orang kaya itu mati, dan Lazarus mati. Injil mengatakan bahwa Lazarus
dibawa ke Surga, bersama Abraham, ke pangkuan Abraham. Tentang orang kaya
tersebut, Injil memberitahu kita, “Ia juga mati, lalu dikubur”. Titik. Dan berakhir
(bdk. ayat 22).
Ada dua hal yang mengejutkan : fakta bahwa
orang kaya tahu bahwa ada orang miskin ini dan bahwa ia tahu namanya, Lazarus.
Tapi ia tidak peduli, itu tampak wajar baginya. Orang kaya itu mungkin bahkan
menjalankan bisnisnya, yang pada akhirnya melanggar kaum miskin. Ia tahu dengan
sangat jelas, ia diberitahu tentang fakta ini. Dan hal kedua yang sangat
menyentuh saya adalah ungkapan "jurang yang tak terseberangi" (ayat
26), yang dikatakan Abraham kepada orang kaya. “Di antara kami dan engkau
terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini
kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat
menyeberang” (lihat ayat 26). Di antara kehidupan orang kaya dan Lazarus
terdapat jurang yang sama : jurang tidak dimulai di sana, jurang mulai di sini.
Saya telah memikirkan apa masalah orang ini : masalahnya sangat,
sangat diinformasikan, tetapi dengan hati tertutup. Informasi orang kaya ini
tidak mencapai hatinya, ia tidak bisa tersentuh oleh tragedi orang lain. Ia
bahkan tidak dapat memanggil salah seorang anak lelaki yang melayani di dapur
dan berkata : "Ambilkan ini, itu, atau yang lainnya ...". Tragedi
informasi yang tidak menembus hati. Hal ini juga terjadi pada kita. Kita semua
tahu, karena kita telah mendengarnya di berita televisi atau melihatnya di
surat kabar : berapa banyak anak yang menderita kelaparan di dunia saat ini;
berapa banyak anak yang tidak memiliki obat-obatan yang diperlukan; berapa
banyak anak yang tidak bisa sekolah. Kita tahu benua-benua yang terkena dampak
tragedi ini : kita tahu. "Eh, hal-hal yang buruk ...". Dan kita terus
berjalan. Informasi ini tidak menembus hati kita. Dan banyak dari kita, banyak
kelompok manusia hidup dalam keterasingan antara apa yang mereka pikirkan, apa
yang mereka ketahui, dan apa yang mereka rasakan : hati terasing dari pikiran.
Mereka acuh tak acuh. Sama seperti orang kaya itu acuh tak acuh terhadap penderitaan
Lazarus. Ada jurang ketidakpedulian.
Di Lampedusa, ketika saya pergi untuk pertama kalinya, kata ini
muncul di benak saya : globalisasi ketidakpedulian. Mungkin kita hari ini, di
sini, di Roma, khawatir karena tampaknya toko-toko tutup. Kita harus pergi dan
membeli ini dan itu, dan sepertinya kita tidak bisa berjalan-jalan setiap hari,
dan tampak yang ini ... ". Kita mengkhawatirkan masalah kita. Dan kita
melupakan kelaparan anak-anak, kita melupakan orang miskin yang berada di
perbatasan negara, untuk mencari kebebasan; para migran yang terpaksa melarikan
diri dari kelaparan dan perang ini, dan hanya menemukan tembok, tembok yang
terbuat dari besi, tembok berkawat duri, tembok yang tidak memperkenankan
mereka lewat. Kita tahu bahwa ini ada, tetapi hati tidak pergi ke sana, hati
tidak menembus. Kita hidup dalam ketidakpedulian: ketidakpedulian adalah
tragedi diinformasikan dengan baik tetapi tidak merasakan kenyataan orang lain.
Inilah jurang : jurang ketidakpedulian.
Lalu ada hal lain yang mengejutkan kita. Di sini kita mengetahui
nama orang miskin tersebut, kita mengetahuinya : Lazarus. Bahkan orang kaya itu
mengetahuinya, karena ketika ia berada di dunia bawah ia meminta Abraham untuk
menyuruh Lazarus, ia mengenalinya di sana : "Suruhlah Lazarus" (lihat
ayat 24). Tetapi kita tidak mengetahui nama orang kaya itu. Injil tidak memberitahu
kita apa nama "Tuan" ini. Ia tidak mempunyai nama. Ia kehilangan
namanya. Ia hanya memiliki berbagai kata sifat dalam hidupnya : kaya, kuat ...
begitu banyak kata sifat.
Inilah mementingkan diri yang terjadi pada kita : mementingkan
diri membuat kita kehilangan jatidiri asli kita, nama kita, dan menuntun kita
untuk mengevaluasi diri kita dan orang lain hanya dalam istilah kata sifat.
Keduniawian berkontribusi terhadap hal ini. Kita telah jatuh ke dalam budaya
kata sifat, di mana nilaimu adalah apa yang kamu miliki, apa yang dapat kamu
lakukan, tetapi bukan namamu : kamu telah kehilangan namamu. Ketidakpedulian
mengarah pada hal ini. Kehilangan namamu. Kita hanya "orang kaya",
kita adalah ini, kita adalah itu. Kita adalah kata sifat.
“Hari ini kita memohonkan kepada Tuhan rahmat agar tidak jatuh ke
dalam ketidakpedulian, rahmat agar semua informasi yang kita miliki tentang
penderitaan manusia dapat menembus hati kita dan menggerakkan kita untuk
melakukan sesuatu untuk orang lain”.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.