Bacaan
Ekaristi : Kej. 37:3-4,12-13a,17b-28; Mzm. 105:16-17,18-19,20-21; Mat.
21:33-43,45-46.
Kedua
Bacaan merupakan sebuah nubuat tentang sengsara Tuhan. Yusuf dijual sebagai
budak seharga dua puluh syikal perak dan diserahkan kepada bangsa kafir.
Perumpamaan Yesus yang berbicara dengan jelas, secara simbolis, tentang
pembunuhan Sang Putra. Kisah "seorang tuan tanah yang membuka kebun anggur
- ia demikian merawatnya - ia menanam pagar sekelilingnya, ia menggali lubang
tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga - ia membuatnya dengan baik.
Kemudian ia menyewakannya kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri
lain".
Inilah
Umat Allah. Tuhan memilih Umat tersebut; Umat tersebut dipilih. Mereka adalah
Umat pilihan. Ada juga sebuah janji : "Berjalanlah ke depan. Engkau adalah
Umat-Ku”, sebuah janji yang dibuat untuk Abraham. Dan ada juga Perjanjian yang
dibuat dengan umat di Sinai. Umat harus selalu menjaga pemilihan tersebut dalam
ingatan mereka - fakta bahwa mereka adalah umat pilihan, janji untuk melihat ke
depan dengan pengharapan dan Perjanjian untuk hidup setia setiap hari. Namun,
dalam perumpamaan ini terjadi bahwa, ketika tiba saatnya untuk mengumpulkan
hasil, orang-orang ini lupa bahwa mereka bukan pemilik : “Penggarap-penggarap
itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang
lain dan melempari yang lain pula dengan batu. Kemudian tuan itu menyuruh pula
hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi mereka pun
diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka”. Yesus tentu saja membuat kita
melihat di sini - Ia berbicara kepada para ahli Taurat - bagaimana para ahli
Taurat telah memperlakukan para nabi. "Akhirnya ia menyuruh putranya
sendiri", berpikir bahwa mereka akan menyegani putranya. “Tetapi ketika
penggarap-penggarap itu melihat putranya itu, mereka berkata seorang kepada
yang lain : Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya
menjadi milik kita".
Mereka
merampas warisan, yang bukan miliknya. Inilah kisah ketidaksetiaan,
ketidaksetiaan terhadap pemilihan, ketidaksetiaan terhadap janji,
ketidaksetiaan terhadap Perjanjian, yang merupakan karunia. Pemilihan, janji,
perjanjian adalah karunia Allah - ketidaksetiaan terhadap karunia Allah. Mereka
tidak memahaminya sebagai karunia dan menganggapnya sebagai milik mereka.
Orang-orang ini menyisihkan karunia tersebut untuk diri mereka sendiri dan
mengambilnya sebagai karunia untuk diubah menjadi milik "aku". Dan
karunia yang merupakan kekayaan, keterbukaan, dan berkat, ditutup, dikurung
dalam sebuah ajaran hukum - banyak ajaran. Karunia diideologikan, dan oleh
karena itu karunia tersebut kehilangan kodrat karunianya dan berakhir pada
sebuah ideologi, terutama dalam ideologi moralistik yang penuh dengan ajaran,
bahkan ajaran yang konyol karena turun menjadi permainan kata-kata demi
segalanya. Mereka mengambil karunia itu untuk diri mereka.
Inilah
dosa besar. Dosa tersebut adalah melupakan bahwa Allah mengaruniakan diri-Nya
bagi kita; bahwa Allah telah mengaruniakan ini bagi kita dan, melupakan hal
ini, menjadi para pemilik. Dan janji itu bukan lagi sebuah janji; pemilihan itu
bukan lagi sebuah pemilihan : "Perjanjian ditafsirkan menurut pandanganku,
diideologiskan". Di sini, dalam sikap ini, aku mungkin melihat dalam Injil
awal klerikalisme, yang merupakan penyimpangan, yang senantiasa mengingkari
pemilihan Allah yang cuma-cuma, Perjanjian Allah yang cuma-cuma, janji Allah
yang cuma-cuma. Klerikalisme melupakan kecuma-cumaan pewahyuan, klerikalisme
melupakan bahwa Allah mengejawantahkan diri-Nya sebagai karunia; Ia
mengaruniakan diri-Nya bagi kita dan kita harus memberikannya, membuat orang
lain melihatnya sebagai karunia, bukan sebagai milik kita.
Klerikalisme
bukan hanya sesuatu hari-hari ini; kekakuan bukan perkara hari-hari ini;
klerikalisme sudah ada di zaman Yesus. Dan kemudian Yesus melanjutkan dengan
menjelaskan perumpamaan tersebut - inilah bab 21 -, Ia melanjutkan sampai Ia
tiba pada bab 23 dengan penghukuman, di mana murka Allah terlihat terhadap
mereka yang mengambil karunia sebagai milik mereka dan merendahkan kekayaannya
menjadi keinginan ideologis dari pikiran mereka.
Marilah
hari ini kita memohonkan kepada Tuhan rahmat untuk menerima karunia tersebut
sebagai karunia serta meneruskan karunia itu sebagai karunia dan bukan sebagai
milik, bukan dengan cara sektarian, dengan cara yang kaku, dengan cara
“klerikalis”.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.