Bacaan
Ekaristi : Mi. 7:14-15,18-20; Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12; Luk. 15:1-3,11-32.
“Kita
terus mendoakan semua orang yang sakit karena wabah penyakit ini”, kata Paus
Fransiskus pada awal Misa harian Sabtu pagi, 14 Maret 2020, di Casa Santa
Marta, Vatikan. Lalu beliau menyebutkan ujud Misa hari itu : "Hari ini,
saya ingin mendoakan khususnya keluarga-keluarga : keluarga-keluarga yang dari
hari ke hari mendapati diri mereka berada di rumah bersama anak-anak mereka
karena sekolah-sekolah ditutup demi alasan keamanan dan mereka perlu mengelola
situasi yang sulit, serta mengelolanya dengan baik ... dengan kedamaian dan
sukacita juga. Dan secara khusus, saya memikirkan keluarga-keluarga yang
mungkin memiliki anggota keluarga yang menyandang cacat. Pusat penerimaan bagi
para penyandang cacat ditutup .... Jadi marilah kita mendoakan keluarga-keluarga,
agar mereka tidak kehilangan kedamaian pada saat ini dan agar mereka dapat
berhasil mengembangkan seluruh keluarga dengan kekuatan dan sukacita".
Dalam
homilinya Paus Fransiskus mengacu pada Bacaan Injil hari itu (Luk.
15:1-3,11-32) yang memaparkan perumpamaan tentang anak yang hilang. Perumpamaan
tersebut begitu mengesankan hati Paus Fransiskus.
Paus
Fransiskus membahas kata-kata dan perasaan dari dua kelompok orang yang
dipaparkan dalam Perumpamaan tentang Anak yang Hilang tersebut : orang-orang
berdosa dan orang-orang Farisi. Bacaan Injil mengatakan bahwa orang-orang
berdosa mendekati Yesus untuk mendengarkan-Nya. Orang-orang berdosa
“mengelilingi Yesus dalam keheningan. Mereka tidak tahu harus berkata
apa". Tetapi kehadiran mereka, kata Paus Fransiskus, memberitahu kita
bahwa mereka ingin "mendengarkan Yesus". Tentang orang-orang Farisi, Bacaan
Injil mengatakan mereka bersungut-sungut dan mengritik Yesus karena melakukan
hal itu. Mereka ingin mengambil alih kewenangan Yesus. Mereka menuduh Yesus,
“Ia makan bersama-sama dengan orang-orang berdosa. Ia najis”. Sisa perumpamaan,
kata Paus Fransiskus, menjelaskan drama ini.
Kelompok
pertama “merasa membutuhkan keselamatan … seorang pembimbing, seorang gembala.
Maka orang-orang tersebut mendekati Yesus karena mereka melihat bahwa Ia adalah
seorang gembala”, Paus Fransiskus menjelaskan. Para ahli Taurat, di sisi lain,
sangat memusuhi mereka. “Para ahli Taurat merasa berdikari. ‘Aku kuliah di
universitas. Aku telah memiliki gelar doktor, aku memiliki dua gelar doktor. Aku
tahu betul apa yang dikatakan hukum. Sesungguhnya, aku tahu setiap penjelasan
hukum secara terperinci .... Mereka membenci orang lain ... mereka membenci
orang-orang berdosa”.
Anak
bungsu dalam perumpamaan merasakan kebutuhan untuk “makan dunia, keluar dari
rumah. Mungkin ia merasa seperti berada dalam penjara”, Paus Fransiskus
membahas. Ia memiliki "keberanian untuk meminta kepada bapanya guna
memberikan kepadanya apa yang menjadi haknya".
“Bapanya
"tidak mengatakan apa-apa karena ia seorang bapa ... Seorang bapa tahu
bagaimana menderita dalam keheningan ... menunggu saat yang tepat", kata
Paus Fransiskus. "Bapa merasakan kesengsaraan, kelembutan, dan banyak
cinta". Kadang-kadang, perilaku ini membuat para bapa terlihat
"bodoh". Dan ketika saat yang tepat itu datang, Bapa sedang
“menunggu, ia melihatnya dari kejauhan”. Hal ini menghasut sang anak sulung
untuk menegur bapanya, “Engkau tidak adil”. "Sang anak sulung merasa marah
... Sering kali kemarahan adalah satu-satunya cara yang pantas diterima
orang-orang ini".
Paus
Fransiskus menjelaskan bahwa masalahnya adalah tidak menyadari apa sesungguhnya
makna hidup di rumah Bapa. Sang anak sulung memenuhi tugasnya dan pekerjaannya,
tetapi ia tidak pernah menjalin hubungan cinta dengan bapanya. Sebaliknya, ia
marah kepada Bapa-Nya, dan berkata, “Orang berdosa ini datang dan engkau
mengadakan pesta! Dan aku?". Ia bahkan tidak mau masuk ke dalam rumah.
Sang bapa
menyebutkan masalahnya. “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan
segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu”. "Inilah apa yang tidak pernah
disadari oleh sang anak sulung. Ia tinggal di rumah seolah-olah rumah itu
adalah sebuah hotel, tanpa merasakan cinta kebapaan dari bapanya ....
Menariknya sang bapa tidak mengatakan sepatah kata pun tentang dosanya ketika sang
anak bungsu pulang. Ia hanya memeluknya dan mengadakan pesta. Ia harus
menjelaskan hal ini kepada sang anak sulung karena hatinya mengeras akibat
pemahamannya tentang bapanya, tentang keputraannya, dan tentang bagaimana
seharusnya ia hidup".
Paus
Fransiskus mengakhiri homilinya dengan sebuah doa, memohon kepada Tuhan agar
kita dapat memahami masalahnya. "Masalahnya adalah tinggal di rumah tetapi
tidak merasakan diri kita berada di rumah karena tidak ada hubungan kebapaan
atau persaudaraan, tetapi hanya rekan kerja yang bekerja".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.