Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 16 Maret 2020 : KEMARAHAN NAAMAN DAN ORANG-ORANG DI RUMAH IBADAT NAZARET ADALAH AKIBAT MEREKA TIDAK MEMAHAMI KESEDERHANAAN ALLAH



Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:1-15a; Mzm. 42:2,3;43:3,4; Luk. 4:24-30.

Dalam kedua Bacaan liturgi yang kita renungkan hari ini ada sebuah sikap yang menarik perhatian kita, sebuah sikap manusiawi, tetapi bukan sikap yang berjiwa baik : kemarahan. Orang-orang Nazaret mulai mendengarkan Yesus, mereka menyukai cara Ia berbicara, tetapi kemudian seseorang berkata, “Tetapi di perguruan tinggi apakah Ia telah belajar? Ia adalah anak Maria dan Yusuf; Ia menjadi seorang tukang kayu! Apa yang akan Ia katakan kepada kita?" Dan orang-orang menghina-Nya. Mereka menjadi marah (bdk. Luk 4:28). Dan kemarahan ini membuat mereka melakukan kekerasan. Dan Yesus yang mereka kagumi pada awal khotbah, mereka halau untuk dilemparkan dari atas tebing (bdk. ayat 29).


Juga Naaman - Naaman adalah orang yang baik, terbuka terhadap iman -, tetapi ketika nabi menyuruhnya untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan, ia gusar. Tetapi mengapa? "'Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama Tuhan, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku! Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?' Kemudian berpalinglah ia dan pergi dengan panas hati” (2Raj 5:11-12) - dengan kemarahan.

Di Nazaret juga ada orang-orang yang baik. Namun, apa yang ada di balik orang-orang yang baik ini yang menuntun mereka pada sikap marah ini? Dan jeleknya di Nazaret : menjadi kekerasan. Baik orang-orang di rumah ibadat maupun Naaman berpikir bahwa Allah mengejawantahkan diri-Nya hanya dalam ha;-hal yang luar biasa, dalam hal-hal di luar kelaziman; bahwa Allah tidak dapat bertindak dalam hal-hal yang lazim dalam kehidupan, dalam kesederhanaan. Mereka meremehkan hal-hal yang sederhana. Mereka meremehkan; mereka mencemooh hal-hal yang sederhana. Dan Allah kita membuat kita memahami bahwa Ia selalu bertindak dalam kesederhanaan : dalam kesederhanaan, di rumah Nazaret, dalam kesederhanaan pekerjaan sehari-hari, dalam kesederhanaan doa ... hal-hal yang sederhana. Sebaliknya, roh duniawi menuntun kita pada kesombongan, pada penampilan ... dan keduanya berakhir dengan kekerasan. Naaman sangat berpendidikan, tetapi ia membanting pintu ketika berjumpa nabi Elisa dan pergi. Kekerasan, itu adalah isyarat kekerasan. Orang-orang di rumah ibadat mulai marah, menjadi marah dan mereka memutuskan untuk membunuh Yesus, tetapi tanpa sadar, dan mereka menghalau-Nya untuk melemparkan-Nya. Kemarahan adalah godaan yang mengerikan dan mengarah pada kekerasan.

Beberapa hari yang lalu, di gawai saya melihat sebuah film mengenai pintu sebuah gedung yang dikarantina. Ada seseorang, seorang muda yang ingin pergi keluar. Dan penjaga mengatakan kepadanya bahwa ia tidak boleh keluar. Dan penjaga itu memukulnya, dengan amarah, dengan cemoohan. "Tetapi siapa kamu, ‘negro’, menghalangiku keluar?" Kemarahan adalah sikap orang yang sombong, tetapi sikap orang yang sombong ... dengan kemiskinan roh yang mengerikan, orang-orang yang sombong yang hidup hanya dengan khayalan yang melebihi kenyataan mereka. Orang-orang yang marah adalah “sebuah kelas rohani” : pada kenyataannya, sering kali orang-orang ini perlu marah, naik darah, untuk merasakan diri mereka sebagai seseorang.

Hal ini juga dapat terjadi pada diri kita : "kerisihan orang Farisi", para teolog menyebutnya, yaitu, membuat saya risih dengan hal-hal yang merupakan kesederhanaan Allah; kesederhanaan orang miskin, kesederhanaan orang Kristiani, seolah-olah mengatakan: "Tetapi hal ini bukan Allah. Tidak tidak. Allah kita lebih berbudaya; Ia lebih bijaksana, Ia lebih penting. Allah tidak bisa bertindak dalam kesederhanaan ini". Dan kemarahan selalu menyebabkan kita melakukan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan tutur kata, yang membunuh seperti kekerasan fisik.

Marilah kita memikirkan dua perikop ini : kemarahan orang-orang di rumah ibadat Nazaret dan kemarahan Naaman, karena mereka tidak memahami kesederhanaan Allah kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.