Bacaan
Ekaristi : Ul. 4:1,5-9; Mzm. 147:12-13,15-16,19-20; Mat. 5:17-19.
Tema
dari kedua Bacaan hari ini adalah Hukum (bdk. Ul. 4:1,5-9; Mat. 5:17-19.),
Hukum yang diberikan Allah kepada umat-Nya; Hukum yang ingin diberikan Tuhan
kepada kita, dan terhadapnya Yesus berkeinginan untuk memberikan penggenapan
yang teragung. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian : cara Allah
memberikan Hukum. Ia berkata kepada Musa, "Sebab bangsa besar manakah yang
mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan, Allah kita, setiap
kali kita memanggil kepada-Nya?" (Ul 4:7). Tuhan memberikan Hukum kepada
umat-Nya dengan sikap kedekatan. Hukum bukan segala ketetapan dari seorang
penguasa, yang bisa berada nun jauh, atau seorang diktator ... Tidak. Hukum adalah
kedekatan. Dan, melalui pewahyuan, kita tahu bahwa kedekatan kebapaan,
kedekatan seorang bapa, yang menyertai umat-Nya memberikan mereka karunia Hukum
- Allah yang dekat. “Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang
demikian dekat kepadanya seperti Tuhan, Allah kita, setiap kali kita memanggil
kepada-Nya?".
Allah
kita adalah Allah kedekatan; Ia adalah seorang Allah yang dekat, yang berjalan
dengan umat-Nya. Gambar padang gurun dalam kitab Keluaran itu : awan dan tiang
api untuk melindungi bangsa Israel : Ia berjalan bersama umat-Nya. Ia bukan
seorang allah yang meninggalkan segala ketetapan tertulis dan berkata :
"Berjalanlah ke depan". Ia memberikan segala ketetapan, Ia
menuliskannya dengan tangan-Nya sendiri di atas loh batu, memberikannya kepada
Musa, menyerahkannya kepada Musa, tetapi Ia tidak meninggalkan segala ketetapan
itu dan pergi : Ia berjalan, Ia dekat. “Sebab bangsa besar manakah yang
mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya". Itulah kedekatan. Allah
kita adalah seorang Allah kedekatan.
Dan
tanggapan pertama manusia, dalam halaman pertama Kitab Suci, adalah dua sikap
tanpa kedekatan. Tanggapan kita adalah senantiasa menjauh, menjauh dari Allah.
Ia mendekatkan diri-Nya, dan kita menjauh - dua halaman pertama tersebut. Sikap
pertama Adam beserta istrinya adalah bersembunyi: mereka bersembunyi dari
kedekatan Allah; mereka malu, karena mereka telah berdosa, dan dosa menuntun
kita untuk bersembunyi, bukan menginginkan kedekatan (bdk. Kej 3:8-10). Dan
seringkali hal itu [mengarah pada] keterlibatan dalam suatu teologi yang hanya
memikirkan Allah-Hakim dan, oleh karena itu, <kita> bersembunyi,
<kita> takut. Sikap kedua manusia, dalam menghadapi suatu tawaran
kedekatan Allah ini, adalah membunuh, membunuh saudara kita. "Aku bukan
penjaga adikku" (bdk. Kej 4:9).
Inilah
dua sikap yang meniadakan seluruh kedekatan. Manusia menolak kedekatan Allah,
ia ingin menjadi penguasa hubungan, tetapi kedekatan senantiasa membawa
bersamanya beberapa kelemahan. "Allah yang dekat" menjadikan diri-Nya
lemah, dan semakin Ia menjadikan diri-Nya dekat, semakin Ia tampak lemah.
Ketika Ia datang kepada kita, untuk tinggal bersama kita, Ia menjadikan
diri-Nya manusia, salah seorang dari kita : Ia menjadikan diri-Nya lemah dan
menanggung kelemahan tersebut hingga mati dan kematian yang paling kejam,
kematian para pembunuh, kematian para pendosa terbesar. Kedekatan merendahkan
Allah. Ia merendahkan diri untuk bersama kita, berjalan bersama kita, membantu
kita.
"Allah
yang dekat" berbicara kepada kita tentang kerendahan hati. Ia bukan
"seorang Allah yang agung", bukan. Ia dekat; Ia berasal dari rumah,
dan kita melihat hal ini dalam diri Yesus, Allah yang menjadi manusia, dekat
<kepada kita bahkan> hingga mati. Bersama para murid-Nya : Ia menyertai
mereka; Ia mengajar mereka. Ia memperbaiki mereka dengan kasih ... Marilah kita
memikirkan, misalnya, kedekatan Yesus dengan murid-murid Emaus yang bersedih :
mereka sedih, mereka takluk dan Ia mendekati mereka perlahan-lahan, untuk
membuat mereka memahami pesan kehidupan, pesan kebangkitan (bdk. Luk 24:13-
32).
Allah
kita dekat dan Ia meminta kita untuk saling mendekat, bukan menjauhkan diri.
Dan pada saat krisis oleh karena wabah penyakit yang sedang kita jalani ini,
kita diminta untuk semakin mewujudkan kedekatan ini, membuatnya semakin kasat
mata. Kita mungkin tidak bisa dekat secara fisik karena takut tertular, tetapi
kita dapat membangkitkan kembali sikap kedekatan di antara kita: dengan doa,
dengan pertolongan, <ada> begitu banyak cara kedekatan. Dan mengapa kita
harus saling mendekat? Karena Allah kita dekat, Ia berkeinginan untuk menyertai
kita dalam kehidupan. Ia adalah Allah kedekatan. Oleh karena itu, kita bukan
orang-orang yang terasing : kita dekat karena warisan yang kita terima dari
Tuhan adalah kedekatan, yaitu, sikap kedekatan.
Marilah
kita memohonkan kepada Tuhan rahmat saling mendekat; tidak saling bersembunyi;
tidak mencuci tangan, seperti yang dilakukan Kain, dari permasalahan orang
lain, tidak. Dekat. Kedekatan. “Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah
yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan, Allah kita, setiap kali kita
memanggil kepada-Nya?“.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.