Bacaan
Ekaristi : Hos. 6:1-6; Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab; Luk. 18:9-14.
Sabda
Tuhan, yang kita dengar kemarin itu : “Berbaliklah, pulanglah” (bdk Hos 14:2);
kita juga menemukan jawabannya juga di dalam Kitab nabi Hosea : “Mari, kita
berbalik kepada Tuhan” (Hos 6:1). Tanggapan terhadap "pulanglah"
menyentuh hati : "Mari, kita berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang
telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang
akan membalut kita [...] “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh
mengenal TUHAN; Ia pasti muncul seperti fajar” (Hos 6:1.3). Percaya kepada
Tuhan adalah pasti. "Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti
hujan pada akhir musim yang mengairi bumi" (ayat 3). Dan, dengan
pengharapan ini, orang-orang berangkat untuk berbalik kepada Tuhan. Itulah
salah satu cara menemukan Tuhan dalam doa. Kita berdoa kepada Tuhan, kita
berbalik kepada-Nya.
Dalam
Bacaan Injil (bdk. Luk 18:9-14) Yesus mengajar kita bagaimana berdoa. Ada dua
orang, satu orang yang beranggapan yang pergi untuk berdoa, tetapi untuk
mengatakan bahwa ia baik seolah-olah ia berkata kepada Tuhan : "Lihatlah,
aku sangat baik : jika Engkau membutuhkan sesuatu, katakanlah kepadaku aku akan
menyelesaikan persoalan-Mu". Demikianlah ia berbalik kepada Tuhan. Dengan
beranggapan. Sesungguhnya, mungkin ia melakukan semua yang dikatakan Hukum
Taurat, ia mengatakan : “Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan
sepersepuluh dari segala penghasilanku” (ayat 12) ... Aku baik". Hal ini
mengingatkan kita pada dua orang lainnya. Mengingatkan kita akan anak sulung
dalam perumpamaan tentang Anak yang Hilang, ketika ia berkata kepada ayahnya :
“Aku yang begitu baik tidak diadakan sebuah pesta dan <untuk> anak ini,
yakni anak yang celaka, kamu mengadakan sebuah pesta ...". Beranggapan
(bdk. Luk 15:29-30). Orang yang lainnya, yang kisahnya kita dengar berkenaan
hari-hari ini, adalah orang yang kaya, tanpa nama itu, tetapi ia adalah orang
kaya, tidak dapat menamakan dirinya sendiri, tetapi ia kaya, ia tidak peduli
sama sekali tentang kesengsaraan orang lain (bdk. Luk 16:19-21). Mereka adalah
orang-orang yang memiliki andalan dalam diri mereka atau dalam uang ataupun
kekuasaan ... Lalu ada orang yang lainnya, pemungut cukai, yang tidak pergi ke
depan altar, tidak, ia tetap menjaga jarak. "Tetapi pemungut cukai itu
berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia
memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!"
(Luk 18:13). Hal ini juga membawa kita untuk mengingat anak yang hilang : ia
menyadari dosa-dosa yang telah dilakukannya, hal-hal buruk yang telah
dilakukannya. Ia juga menebah dadanya : “Aku akan bangkit dan pergi kepada
bapaku dan aku [akan mengatakan] kepadanya : Bapa, aku telah berdosa” -
perendahan diri (bdk. Luk 15:17-19). Mengingatkan kita juga pada orang yang
lainnya, pengemis, Lazarus, di pintu orang kaya, yang hidup dalam
kesengsaraannya di hadapan orang yang beranggapan tersebut (bdk. Luk 16:20-21).
Selalu ada kombinasi orang-orang ini dalam Injil. Dalam hal ini, Tuhan mengajar
kita bagaimana berdoa, cara mendekati, bagaimana kita harus mendekati Tuhan :
dengan kerendahan hati. Ada gambaran yang indah dalam nyanyian liturgi Pesta
Santo Yohanes Pembaptis. Dikatakan orang-orang yang mendekati sungai Yordan
untuk menerima baptisan “bertelanjang jiwa dan bertelanjang kaki” : berdoa
dengan bertelanjang jiwa, tanpa riasan, tanpa menyamarkan kebajikan mereka. Ia
- yang kita baca di awal Misa - mengampuni semua dosa tetapi Ia butuh aku
memperlihatkan dosa-dosaku, dengan ketelanjanganku. Demikianlah berdoa,
telanjang, dengan hati telanjang, tanpa menutupi, bahkan tanpa meyakini apa
yang kupelajari berkenaan dengan cara berdoa. Kamu dan Aku harus berdoa muka
dengan muka, dengan jiwa telanjang. Inilah yang diajarkan Tuhan kepada kita.
Sebaliknya, ketika kita pergi kepada Tuhan agak terlalu percaya diri, kita akan
jatuh ke dalam anggapan [orang Farisi} ini atau anggapan anak sulung, atau
anggapan orang kaya yang tidak kekurangan apapun. Kita akan memiliki andalan di
tempat lain. “Aku pergi kepada Tuhan ... Aku ingin pergi, dididik ... dan aku
berbicara kepada-Nya dengan mudah diterapkan, dengan akrab. Tidak, ini bukan
caranya. Caranya dengan merendahkan diri kita - merendahkan diri. Itulah
kenyataannya. Dan dalam perumpamaan ini, satu-satunya orang yang memahami
kenyataan tersebut adalah pemungut cukai. "Engkau adalah Tuhan dan aku
adalah orang berdosa". Inilah kenyataannya. Namun, aku katakan aku adalah
orang berdosa yang tidak dengan mulut <tetapi> dengan hati - merasakan
diriku orang pendosa.
Jangan
melupakan hal ini, yang diajarkan Tuhan kepada kita : membenarkan diri adalah
kesombongan, keangkuhan; membenarkan diri adalah meninggikan diri. Membenarkan
diri adalah penyamaran menjadi sesuatu yang bukan aku. Dan kesengsaraan tinggal
di dalam. Orang Farisi membenarkan dirinya. Mengakui dosa kita secara langsung,
tanpa membenarkannya, tanpa mengatakan : "Tetapi tidak, aku melakukan ini
tetapi bukan kesalahanku ,,,“, diperlukan. Milikilah jiwa yang telanjang, jiwa
yang telanjang.
Semoga
Tuhan mengajarkan kita untuk memahami hal ini, sikap ini, ketika kita mulai
berdoa. Ketika kita mulai berdoa dengan pembenaran kita, dengan andalan kita,
berdoa dengan pembenaran tidak akan menjadi doa : berdoa dengan pembenaran akan
berbicara dengan cermin. Sebaliknya, ketika kita memulai berdoa dengan
kenyataan yang sesungguhnya - “Aku adalah orang berdosa, aku adalah orang
berdosa” - ini adalah sebuah langkah maju yang baik untuk memperkenankan diri
kita dilihat oleh Tuhan. Semoga Yesus mengajarkan kita hal ini.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.