Bacaan
Ekaristi : Keb. 2:1a,12-22; Mzm. 34:17-18,19-20,21,23; Yoh. 7:1-2,10,25-30.
Paus
Fransiskus mengawali homilinya dalam Misa harian Jumat pagi, 27 Maret 2020, di
Casa Santa Marta, Vatikan, dengan menekankan bahwa masa-masa sulit yang sedang
kita hadapi telah mengilhami banyak orang untuk semakin memiliki kepedulian
menyeluruh terhadap orang lain : terhadap keluarga-keluarga yang tidak memiliki
cukup uang untuk bertahan hidup, terhadap orang-orang berusia lanjut yang
kesepian, terhadap orang-orang sakit di rumah sakit. Mereka sedang mendoakan
orang lain, “agar entah bagaimana pertolongan segera tiba”. "Ini adalah
suatu pertanda yang baik", kata Paus Fransiskus, "dan kita bersyukur
kepada Tuhan, yang membangkitkan kepekaan perasaan ini dalam hati umat
beriman".
Dalam
homilinya Paus Fransiskus berfokus pada Bacaan-bacaan liturgi hari itu. Bacaan
Pertama (Keb. 2:1a,12-22), Paus
Fransiskus mengatakan, hampir seperti warta berita tentang apa yang akan
terjadi pada Yesus. "Bacaan Pertama hampir merupakan catatan sejarah
tentang apa yang akan terjadi kemudian". Bacaan Pertama menceritakan
bagaimana "orang-orang fasik" terobsesi dengan Yesus karena Ia
menegur cara hidup mereka yang jahat; dan karenanya mereka berencana untuk
mencobai-Nya “dengan cemoohan dan siksaan”, dan akhirnya “menghukum-Nya sampai
mati dengan cara yang mengenaskan”.
"Ini
bukan kebencian yang sederhana", kata Paus Fransiskus, tetapi semacam
"amarah tiada henti" yang diilhami oleh iblis. Seperti yang
dilakukannya terhadap Ayub, iblis berusaha memisahkan orang-orang dari Allah, “menghancurkan
pekerjaan Allah”. Macam tekad bengis untuk menghancurkan orang lain ini berasal
“dari iblis”. Tekad tersebut dapat dilihat tidak hanya dalam bagaimana iblis
menyerang Yesus, tetapi juga dalam penganiayaan terhadap umat Kristiani. Iblis,
kata Paus Fransiskus, menggunakan "cara yang paling canggih untuk menuntun
[umat Kristiani] menuju kesesatan, menjauhkan mereka dari Allah" - dan hal
ini secara harfiah "sangat jahat".
Bagaimana
seharusnya kita menanggapi tekad yang sangat bengis tersebut?, Paus Fransiskus
bertanya. Hanya ada dua cara yang tepat untuk bereaksi : berdialog, atau
tinggal diam. Kita seharusnya melakukan apa yang dilakukan Yesus : Dalam
keempat Injil, kita melihat bahwa Yesus berbicara, tetapi ketika Ia tahu bahwa
kata-kata tidak akan ada gunanya, Ia diam. Berhadapan dengan "roh
amarah", Yesus tinggal diam, Paus Fransiskus menekankan, dan dalam
keheningan, Ia menjalani sengsara-Nya.
Keheningan,
kata Paus Fransiskus, juga merupakan tanggapan yang tepat terhadap
“tindakan-tindakan amarah ringan” yang kita hadapi setiap hari, seperti
pergunjingan. Membicarakan orang-orang di belakang mereka, bergunjing tentang
mereka, adalah semacam "pelecehan sosial", tidak sekuat penganiayaan,
mungkin, tetapi semacam amarah, karena menghancurkan orang lain.
“Marilah
kita memohonkan kepada Tuhan rahmat untuk memerangi roh jahat”, kata Paus
Fransiskus mengakhiri homilinya, “berdialog ketika kita perlu berdialog,
tetapi, ketika berhadapan dengan roh amarah, memiliki keberanian untuk tinggal
diam, dan memperkenankan orang lain untuk berbicara ”.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.