Bacaan
Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat.
16:13-19.
Pada
hari raya kedua Rasul Kota ini, saya ingin berbagi dengan kalian dua kata kunci
: persatuan dan nubuat.
Kesatuan.
Kita merayakan bersama dua orang yang sangat berbeda : Petrus, seorang nelayan
yang menghabiskan hari-harinya di tengah perahu dan jala, serta Paulus, seorang
Farisi terpelajar yang mengajar di berbagai rumah ibadat. Ketika mereka
menjalani perutusan mereka, Petrus berbicara kepada orang-orang Yahudi, dan
Paulus kepada orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dan ketika jalan mereka
berseberangan, mereka dapat berdebat panas, sebagaimana dengan tanpa malu-malu
diakui Paulus dalam salah satu suratnya (bdk. Gal 2:11). Singkatnya, mereka
adalah dua orang yang sangat berbeda, namun mereka melihat satu sama lain
sebagai saudara, seperti yang terjadi dalam keluarga-keluarga yang terajut erat
di mana mungkin sering terjadi pertengkaran tetapi mengasihi tanpa kunjung
padam. Namun kedekatan yang menggabungkan Petrus dan Paulus bukan berasal dari
kecenderungan-kecenderungan alamiah, tetapi dari Tuhan. Ia tidak memerintahkan
kita untuk saling menyukai, tetapi saling mengasihi. Dialah yang mempersatukan
kita, tanpa membuat kita semua sama. Ia mempersatukan kita dalam
perbedaan-perbedaan kita.
Bacaan
Pertama hari ini (Kis. 12:1-11) membawa kita menuju sumber persatuan ini.
Bacaan Pertama hari ini menceritakan bagaimana Gereja yang baru lahir mengalami
saat krisis : Herodes marah besar, penganiayaan dengan kekerasan telah meletus,
dan Rasul Yakobus telah terbunuh. Dan sekarang Petrus telah ditangkap. Jemaat
tampak tanpa kepala, semua orang takut akan nyawanya. Namun pada saat yang
tragis itu tidak ada yang melarikan diri, tidak ada yang berpikir untuk
menyelamatkan kulitnya sendiri, tidak ada yang meninggalkan jemaat lainnya,
tetapi semuanya bergabung dalam doa. Dari doa mereka memperoleh kekuatan, dari
doa muncul satu kesatuan yang lebih kuat daripada ancaman apa pun. Teks
mengatakan bahwa, “Demikianlah Petrus ditahan di dalam penjara. Tetapi jemaat
dengan tekun mendoakannya kepada Allah” (Kis 12:5). Persatuan adalah buah doa,
karena doa memungkinkan Roh Kudus untuk campur tangan, membuka hati kita untuk
berharap, memperpendek jarak dan menyatukan kita pada saat-saat kesulitan.
Marilah
kita perhatikan sesuatu yang lain: pada saat dramatis itu, tidak ada yang
mengeluh tentang kejahatan Herodes dan penganiayaannya. Tidak ada yang mencaci
maki Herodes - dan kita terbiasa mencaci maki orang-orang yang bertanggung
jawab. Bagi umat Kristiani membuang waktu mereka untuk mengeluh tentang dunia,
tentang masyarakat, tentang segala sesuatu yang tidak benar, tidak ada gunanya,
bahkan menjemukan. Keluhan tidak mengubah apa pun. Marilah kita ingat bahwa
mengeluh adalah pintu yang kedua yang menutup kita dari Roh Kudus, seperti yang
saya katakan pada hari Minggu Pentakosta. Pintu yang pertama adalah narsisme,
pintu yang kedua keputusasaan, pintu yang ketiga adalah pesimisme. Narsisme
membuatmu melihat dirimu terus-menerus dalam sebuah cermin; keputusasaan
mengarah pada keluhan serta pesimisme memikirkan bahwa semuanya gelap dan
suram. Tiga sikap ini menutup pintu bagi Roh Kudus. Umat Kristiani itu tidak
menyalahkan; malahan, mereka berdoa. Dalam jemaat, tidak ada yang mengatakan :
"Jika Petrus lebih berhati-hati, kami tidak akan berada dalam situasi
ini". Tak seorang pun. Berbicara secara manusiawi, ada alasan untuk
mengritik Petrus, tetapi tidak ada yang mengkritiknya. Mereka tidak mengeluh
tentang Petrus; mereka mendoakannya. Mereka tidak sembunyi-sembunyi berbicara
tentang Petrus; mereka berbicara kepada Allah. Kita dewasa ini dapat bertanya :
“Apakah kita melindungi kesatuan kita, kesatuan kita di dalam Gereja, dengan
doa? Apakah kita sedang saling mendoakan?" Apa yang akan terjadi jika kita
semakin banyak berdoa dan semakin sedikit mengeluh, jika kita memiliki lidah
yang semakin tenang? Hal yang sama terjadi pada Petrus di dalam penjara :
sekarang, begitu banyak pintu yang tertutup akan dibuka, begitu banyak rantai
yang mengikat akan lepas. Kita akan kagum, seperti hamba perempuan yang melihat
Petrus berada di pintu gerbang dan tidak membuka pintu gerbang itu, tetapi
berlari ke dalam, tercengang karena girangnya melihat Petrus (bdk. Kis
12:10-17). Marilah kita mohon rahmat untuk bisa saling mendoakan. Santo Paulus
mendesak umat Kristiani untuk mendoakan semua orang, terutama mereka yang
memerintah (bdk. 1 Tim 2:1-3). "Tetapi untuk pembesar ini adalah
...", dan ada banyak kata sifat. Saya tidak akan menyebutkan mereka,
karena ini bukan waktu atau tempat untuk menyebutkan kata sifat yang kita
dengar ditujukan kepada mereka yang memerintah. Biarkan Allah menghakimi
mereka; marilah kita mendoakan mereka yang memerintah! Marilah kita berdoa :
karena mereka membutuhkan doa. Inilah tugas yang telah dipercayakan Tuhan
kepada kita. Apakah kita sedang melaksanakannya? Atau apakah kita hanya
berbicara, mencaci maki dan tidak melakukan apa-apa? Allah berharap bahwa
ketika kita berdoa kita juga sudi memperhatikan orang-orang yang tidak
sepikiran dengan kita, mereka yang telah membanting pintu di hadapan kita,
mereka yang kita rasakan sulit untuk diampuni. Hanya doa yang membuka kunci
rantai, seperti yang terjadi pada Petrus; hanya doa yang membuka jalan menuju
persatuan.
Hari
ini kita memberkati pallium yang akan disematkan kepada Ketua Dewan Kardinal
dan para Uskup Agung Metropolitan yang diangkatkan pada tahun lalu. Pallium
adalah tanda persatuan antara domba dan Gembala yang, seperti Yesus, membawa
domba-domba di pundaknya, agar tidak pernah terpisah daripadanya. Hari ini
juga, sesuai dengan tradisi yang baik, kita dipersatukan teristimewa dengan
Patriarkat Ekumenis Konstantinopel. Petrus dan Andreas bersaudara, dan, jika
memungkinkan, kita saling melakukan kunjungan persaudaraan pada hari raya
Petrus dan Andreas. Kita melakukannya bukan hanya karena basa-basi, tetapi
sebagai sarana untuk melakukan perjalanan bersama menuju tujuan yang
ditunjukkan Tuhan kepada kita : persatuan penuh. Kita tidak dapat melakukannya
hari ini karena kesulitan perjalanan berhubung virus Corona, tetapi ketika saya
pergi untuk menghormati jasad Petrus, dalam hati saya, saya merasakan
Bartholomew saudara saya yang terkasih. Mereka ada di sini, bersama kita.
Kata
yang kedua adalah nubuat. Persatuan dan nubuat. Para Rasul ditantang oleh
Yesus. Petrus mendengar pertanyaan Yesus : "Tetapi apa katamu, siapakah
Aku ini?" (bdk. Mat 16:15). Pada saat itu ia menyadari bahwa Tuhan tidak
tertarik pada apa yang dipikirkan orang, tetapi pada keputusan pribadi Petrus
untuk mengikuti-Nya. Kehidupan Paulus berubah setelah tantangan Yesus yang
serupa : "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?" (Kis
9:4). Tuhan mengguncang batin Paulus : lebih dari sekadar menjatuhkannya ke
tanah di jalan menuju Damaskus, ia menghancurkan khayalan Paulus tentang
menjadi rohaniwan yang terhormat. Akibatnya, Saulus yang sombong berubah
menjadi Paulus, sebuah nama yang berarti "kecil". Tantangan dan
pembalikan ini diikuti oleh nubuat : “Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” (Mat 16:18); dan, bagi Paulus :
“Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada
bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel” (Kis. 9:15). Nubuat
lahir kapan pun kita memperkenankan diri kita ditantang oleh Allah, bukan
ketika kita ingin mempertahankan semuanya tenang dan terkendali. Nubuat tidak
lahir dari pikiran saya, dari hati saya yang tertutup. Nubuat lahir jika kita
memperkenankan diri kita ditantang oleh Allah. Ketika Injil menjungkirbalikkan
berbagai kepastian, nubuat muncul. Hanya seseorang yang terbuka terhadap
kejutan-kejutan Allah yang bisa menjadi seorang nabi. Dan di sanalah mereka ada
: Petrus dan Paulus, para nabi yang memandang masa depan. Petrus adalah yang
pertama menyatakan bahwa Yesus adalah "Kristus, Putra Allah yang
hidup" (Mat 16:16). Paulus, yang memikirkan kematiannya yang akan segera
terjadi : “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan
dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan” (2 Tim 4:8).
Hari
ini kita membutuhkan nubuat, tetapi nubuat sejati : bukan para pembicara cepat
yang menjanjikan hal-hal yang mustahil, tetapi kesaksian memungkinkannya Injil.
Apa yang dibutuhkan bukanlah pertunjukan ajaib. Saya sedih ketika mendengar
seseorang berkata, “Kami menginginkan Gereja yang bersifat kenabian”. Baiklah.
Tetapi apa yang sedang kamu lakukan, agar Gereja bisa bersifat kenabian? Kita
membutuhkan kehidupan yang menunjukkan mukjizat kasih Allah. Bukan ketegasan,
tetapi keterusterangan. Bukan omong kosong, tetapi doa. Bukan khotbah, tetapi
pelayanan. Apakah kamu menginginkan Gereja bersifat kenabian? Kemudian mulailah
melayani dan tenanglah. Bukan teori, tetapi kesaksian. Kita tidak harus menjadi
kaya, tetapi sebaliknya mengasihi kaum miskin. Kita tidak harus menabung untuk
diri kita sendiri, tetapi membelanjakan diri kita untuk orang lain. Tidak
mengusahakan persetujuan dunia ini, merasa nyaman dengan semua orang - di sini
kita mengatakan : "nyaman dengan Allah dan iblis", nyaman dengan
semua orang -; tidak, ini bukan nubuat. Kita membutuhkan datangnya sukacita
dunia. Bukan rencana-rencana pastoral yang semakin baik yang tampaknya memiliki
efisiensinya masing-masing, seakan-akan merupakan sakramen; rencana-rencana
pastoral yang efisien, bukan. Kita membutuhkan para gembala yang
mempersembahkan hidup mereka : para pecinta Allah. Itulah cara Petrus dan
Paulus mewartakan Yesus, sebagai orang-orang yang mengasihi Allah. Pada
penyaliban-Nya, Petrus tidak memikirkan dirinya sendiri tetapi Tuhannya, dan,
menganggap dirinya tidak layak wafat seperti Yesus, meminta untuk disalibkan
terbalik. Sebelum dipenggal, Paulus hanya memikirkan untuk mempersembahkan
hidupnya; ia menulis bahwa ia ingin “dicurahkan sebagai persembahan” (2Tim
4:6). Itulah nubuat. Bukan kata-kata. Itulah nubuat, nubuat yang mengubah
sejarah.
Saudara
dan saudari yang terkasih, Yesus bernubuat kepada Petrus : “Engkau adalah
Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku”. Ada nubuat
serupa bagi kita juga. Nubuat itu ditemukan dalam kitab terakhir dari Kitab
Suci, di mana Yesus menjanjikan kepada para saksi-Nya yang setia "batu
putih, yang di atasnya tertulis nama baru" (Why 2:17). Sama seperti Tuhan
mengubah Simon menjadi Petrus, demikian pula Ia memanggil kita masing-masing,
untuk menjadikan kita batu hidup untuk membangun sebuah Gereja yang diperbarui
dan umat manusia yang diperbarui. Selalu ada orang-orang yang menghancurkan
persatuan dan melumpuhkan nubuat, namun Tuhan percaya kepada kita dan Ia bertanya
kepadamu : “Apakah kamu ingin menjadi seorang pembangun persatuan? Apakah kamu
ingin menjadi seorang nabi surga-Ku di bumi?" Saudara dan saudari,
perkenankanlah kita ditantang oleh Yesus, dan temukanlah keberanian untuk
mengatakan kepada-Nya : "Ya, aku ingin!"
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.