Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU PALMA DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 28 Maret 2021 : BERALIH DARI KEKAGUMAN MENJADI KETAKJUBAN


Bacaan Liturgi : Mrk. 11:1-10 atau Yoh. 12:12-16 (Pemberkatan daun palma dan perarakan); Yes. 50:4-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24; Flp. 2:6-11; Mrk. 14:1-15:47.

 

Setiap tahun liturgi ini membuat kita takjub : kita beralih dari sukacita menyambut Yesus saat Ia memasuki Yerusalem menjadi kesedihan menyaksikan-Nya dihukum mati dan kemudian disalibkan. Rasa takjub batiniah itu akan tinggal bersama kita sepanjang Pekan Suci. Marilah kita berkaca padanya lebih dalam.

 

Sejak awal, Yesus membuat kita takjub. Bangsa-Nya menyambut-Nya dengan meriah, namun Ia memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai. Bangsa-Nya mengharapkan seorang pembebas yang perkasa pada saat Paskah, namun Ia datang untuk menggenapi Paskah dengan mengorbankan diri-Nya. Bangsa-Nya sedang mengharapkan kedigjayaan atas bangsa Romawi dengan pedang, tetapi Yesus datang untuk merayakan kedigjayaan Allah melalui salib. Apa yang terjadi dengan orang-orang yang dalam beberapa hari berubah dari menyerukan "Hosana" menjadi meneriakkan "Salibkan Dia"? Apa yang terjadi? Mereka mengikuti gagasan tentang Mesias ketimbang Mesias. Mereka mengagumi Yesus, tetapi mereka tidak memperkenankan diri ditakjubkan oleh-Nya. Ketakjuban tidak sama dengan kekaguman. Kekaguman bisa duniawi, karena mengikuti selera dan pengharapannya sendiri. Ketakjuban, di sisi lain, tetap terbuka terhadap orang lain dan hal baru yang dibawa orang lain. Bahkan dewasa ini, ada banyak orang yang mengagumi Yesus : Ia mengatakan hal-hal yang indah; Ia dipenuhi dengan kasih dan pengampunan; keteladanan-Nya mengubah sejarah,… dan seterusnya. Mereka mengagumi-Nya, tetapi hidup mereka tidak berubah. Mengagumi Yesus saja tidak cukup. Kita harus mengikuti jejak-Nya, memperkenankan diri kita ditantang oleh-Nya; beralih dari kekaguman menjadi ketakjuban.

 

Apa yang paling menakjubkan tentang Tuhan dan Paskah-Nya? Pada kenyataannya, Ia mencapai kemuliaan melalui penghinaan. Ia digjaya dengan menerima penderitaan dan kematian, hal-hal yang, dalam mengupayakan kekaguman dan kesuksesan, lebih suka kita hindari. Yesus - seperti yang dikatakan Santo Paulus - “mengosongkan diri-Nya … Ia merendahkan diri-Nya” (Flp 2:7.8). Inilah hal yang menakjubkan : melihat Yang Mahakuasa direduksi menjadi tidak ada apa-apanya. Memandang Sang Sabda yang memahami segalanya mengajari kita dalam keheningan dari ketinggian salib. Memandang raja dari segala raja yang bertakhta di tiang gantungan. Memandang Allah semesta alam dilucuti dari segalanya dan dimahkotai duri, bukan dimahkotai kemuliaan. Memandang Sang Kebaikan yang menjadi manusia, dihina dan disesah. Mengapa semua penghinaan ini? Mengapa, Tuhan, apakah Engkau ingin menanggung semua ini?

 

Yesus melakukannya untuk kita, untuk menyelami kedalaman pengalaman manusiawi kita, seluruh keberadaan kita, seluruh kejahatan kita. Mendekati kita dan tidak meninggalkan kita dalam penderitaan dan kematian. Menebus kita, menyelamatkan kita. Yesus ditinggikan di kayu salib untuk turun ke jurang penderitaan kita. Ia mengalami kesedihan kita yang terdalam : kegagalan, kehilangan segalanya, pengkhianatan oleh seorang sahabat, bahkan ditinggalkan oleh Allah. Dengan mengalami dalam rupa daging pergumulan dan pertikaian kita yang terdalam, Ia menebus dan mengubah rupa pergumulan dan pertikaian tersebut. Kasih-Nya mendekati kerapuhan kita; kasih-Nya menyentuh hal-hal yang paling membuat kita malu. Namun sekarang kita tahu bahwa kita tidak sendirian : Allah berada di sisi kita dalam setiap penderitaan, dalam setiap ketakutan; tidak ada kejahatan, tidak ada dosa yang akan memiliki kata akhir. Allah digjaya, tetapi palma kemenangan melalui kayu salib. Karena palma dan salib tidak bisa dipisahkan.

 

Marilah kita memohon rahmat ditakjubkan. Kehidupan Kristiani tanpa ketakjuban menjadi menjemukan dan suram. Bagaimana kita bisa berbicara tentang sukacita bertemu Yesus, kecuali kita setiap hari heran dan takjub dengan kasih-Nya, yang memberi kita pengampunan dan kemungkinan awal yang baru? Ketika iman tidak lagi mengalami ketakjuban, iman menjadi tumpul : iman menjadi buta terhadap keajaiban rahmat; iman tidak bisa lagi merasakan Roti hidup dan mendengarkan Sabda; iman tidak bisa lagi melihat keindahan saudara-saudari kita dan karunia ciptaan. Tidak ada jalan lain selain berlindung dalam legalisme, klerikalisme dan semua hal ini yang dikecam Yesus dalam Injil Matius bab 23.

 

Selama Pekan Suci ini, marilah kita memandang salib, untuk menerima rahmat ketakjuban. Ketika Santo Fransiskus dari Asisi merenungkan Tuhan yang tersalib, ia takjub karena para koleganya tidak menangis. Bagaimana dengan kita? Bisakah kita tetap tergerak oleh kasih Allah? Apakah kita sudah kehilangan kemampuan untuk ditakjubkan oleh-Nya? Mengapa? Mungkin iman kita menjadi tumpul karena kebiasaan. Mungkin kita tetap terjebak dalam penyesalan dan memperkenankan diri kita dilumpuhkan oleh kekecewaan. Mungkin kita telah kehilangan kepercayaan atau bahkan merasa tidak berharga. Tetapi barangkali, di balik semua “mungkin” ini, terletak kenyataan bahwa kita tidak terbuka terhadap karunia Roh yang memberi kita rahmat ketakjuban.

 

Marilah kita memulai dari ketakjuban. Marilah kita memandang Yesus di kayu salib dan berkata kepada-Nya : “Tuhan, betapa Engkau mengasihiku! Betapa berharganya aku bagi-Mu!" Marilah kita ditakjubkan oleh Yesus sehingga kita dapat mulai hidup kembali, karena keagungan hidup tidak terletak pada harta benda dan kepangkatan, tetapi terletak dalam kesadaran bahwa kita dikasihi. Inilah keagungan hidup : mendapati bahwa kita dikasihi. Dan keagungan hidup justru terletak pada keindahan kasih. Di dalam diri Yesus yang tersalib, kita melihat Allah dipermalukan, Yang Mahakuasa disingkirkan dan dicampakkan. Dan dengan rahmat ketakjuban kita menyadari bahwa dengan menyambut orang-orang yang tersingkir dan tercampakkan, dengan mendekati orang-orang yang diperlakukan buruk oleh kehidupan, kita mengasihi Yesus. Karena di situlah Ia ada : dalam diri saudara dan saudari kita yang paling hina, dalam diri orang-orang yang tersisih dan tercampakkan, dalam diri orang-orang yang dikecam oleh budaya kita yang sok saleh.

 

Injil hari ini menunjukkan kepada kita, segera setelah Yesus wafat, ikon ketakjuban yang sangat luar biasa. Ikon tersebut adalah adegan kepala pasukan yang, setelah melihat bahwa Yesus telah wafat, berkata : "Sungguh orang ini adalah Putra Allah!" (Mrk 15:39). Ia takjub dengan kasih. Bagaimana ia melihat Yesus wafat? Ia melihat-Nya wafat dalam kasih, dan hal ini yang membuatnya takjub. Yesus sangat menderita, tetapi Ia tidak pernah berhenti mengasihi. Inilah rasanya takjub di hadapan Allah, yang bahkan bisa memenuhi kematian dengan kasih. Dalam kasih yang tanpa pamrih dan belum pernah terjadi sebelumnya, kepala perwira yang tidak mengenal Allah tersebut menemukan Allah. Kata-katanya - Sungguh, orang ini adalah Putra Allah! - "memeteraikan" kisah Sengsara. Keempat Injil memberitahu kita bahwa banyak orang yang di hadapan Yesus mengagumi-Nya karena berbagai mukjizat dan karya-Nya yang luar biasa, dan telah mengakui bahwa Ia adalah Putra Allah. Namun Kristus membungkam mereka, karena mereka mempertaruhkan tetap murni pada tingkat kekaguman duniawi berkenaan dengan gagasan Allah yang harus disembah dan ditakuti karena kuasa dan kedigjayaan-Nya. Sekarang sudah tidak mungkin lagi demikian, karena di kaki salib tidak ada kekeliruan : Allah telah menyatakan diri-Nya dan memerintah hanya dengan kekuatan kasih yang dilucuti dan sedang dilucuti.

 

Saudara dan saudari, hari ini Allah terus memenuhi pikiran dan hati kita dengan ketakjuban. Marilah kita dipenuhi dengan ketakjuban itu saat kita memandang Tuhan yang tersalib. Semoga kita juga berkata : “Engkau sungguh Putra Allah. Engkau adalah Allahku”.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Maret 2021)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.