Bacaan Liturgi : Mrk. 11:1-10 atau Yoh. 12:12-16 (Pemberkatan daun palma dan perarakan); Yes. 50:4-7; Mzm. 22:8-9,17-18a,19-20,23-24; Flp. 2:6-11; Mrk. 14:1-15:47.
Setiap tahun liturgi ini membuat kita
takjub : kita beralih dari sukacita menyambut Yesus saat Ia memasuki Yerusalem
menjadi kesedihan menyaksikan-Nya dihukum mati dan kemudian disalibkan. Rasa
takjub batiniah itu akan tinggal bersama kita sepanjang Pekan Suci. Marilah
kita berkaca padanya lebih dalam.
Sejak awal, Yesus membuat kita
takjub. Bangsa-Nya menyambut-Nya dengan meriah, namun Ia memasuki Yerusalem
dengan menunggang keledai. Bangsa-Nya mengharapkan seorang pembebas yang
perkasa pada saat Paskah, namun Ia datang untuk menggenapi Paskah dengan
mengorbankan diri-Nya. Bangsa-Nya sedang mengharapkan kedigjayaan atas bangsa
Romawi dengan pedang, tetapi Yesus datang untuk merayakan kedigjayaan Allah
melalui salib. Apa yang terjadi dengan orang-orang yang dalam beberapa hari
berubah dari menyerukan "Hosana" menjadi meneriakkan "Salibkan
Dia"? Apa yang terjadi? Mereka mengikuti gagasan tentang Mesias ketimbang
Mesias. Mereka mengagumi Yesus, tetapi mereka tidak memperkenankan diri
ditakjubkan oleh-Nya. Ketakjuban tidak sama dengan kekaguman. Kekaguman bisa
duniawi, karena mengikuti selera dan pengharapannya sendiri. Ketakjuban, di
sisi lain, tetap terbuka terhadap orang lain dan hal baru yang dibawa orang
lain. Bahkan dewasa ini, ada banyak orang yang mengagumi Yesus : Ia mengatakan
hal-hal yang indah; Ia dipenuhi dengan kasih dan pengampunan; keteladanan-Nya
mengubah sejarah,… dan seterusnya. Mereka mengagumi-Nya, tetapi hidup mereka
tidak berubah. Mengagumi Yesus saja tidak cukup. Kita harus mengikuti
jejak-Nya, memperkenankan diri kita ditantang oleh-Nya; beralih dari kekaguman
menjadi ketakjuban.
Apa yang paling menakjubkan tentang
Tuhan dan Paskah-Nya? Pada kenyataannya, Ia mencapai kemuliaan melalui
penghinaan. Ia digjaya dengan menerima penderitaan dan kematian, hal-hal yang,
dalam mengupayakan kekaguman dan kesuksesan, lebih suka kita hindari. Yesus -
seperti yang dikatakan Santo Paulus - “mengosongkan diri-Nya … Ia merendahkan
diri-Nya” (Flp 2:7.8). Inilah hal yang menakjubkan : melihat Yang Mahakuasa
direduksi menjadi tidak ada apa-apanya. Memandang Sang Sabda yang memahami
segalanya mengajari kita dalam keheningan dari ketinggian salib. Memandang raja
dari segala raja yang bertakhta di tiang gantungan. Memandang Allah semesta
alam dilucuti dari segalanya dan dimahkotai duri, bukan dimahkotai kemuliaan.
Memandang Sang Kebaikan yang menjadi manusia, dihina dan disesah. Mengapa semua
penghinaan ini? Mengapa, Tuhan, apakah Engkau ingin menanggung semua ini?
Yesus melakukannya untuk kita, untuk
menyelami kedalaman pengalaman manusiawi kita, seluruh keberadaan kita, seluruh
kejahatan kita. Mendekati kita dan tidak meninggalkan kita dalam penderitaan
dan kematian. Menebus kita, menyelamatkan kita. Yesus ditinggikan di kayu salib
untuk turun ke jurang penderitaan kita. Ia mengalami kesedihan kita yang
terdalam : kegagalan, kehilangan segalanya, pengkhianatan oleh seorang sahabat,
bahkan ditinggalkan oleh Allah. Dengan mengalami dalam rupa daging pergumulan
dan pertikaian kita yang terdalam, Ia menebus dan mengubah rupa pergumulan dan
pertikaian tersebut. Kasih-Nya mendekati kerapuhan kita; kasih-Nya menyentuh
hal-hal yang paling membuat kita malu. Namun sekarang kita tahu bahwa kita
tidak sendirian : Allah berada di sisi kita dalam setiap penderitaan, dalam
setiap ketakutan; tidak ada kejahatan, tidak ada dosa yang akan memiliki kata
akhir. Allah digjaya, tetapi palma kemenangan melalui kayu salib. Karena palma
dan salib tidak bisa dipisahkan.
Marilah kita memohon rahmat ditakjubkan.
Kehidupan Kristiani tanpa ketakjuban menjadi menjemukan dan suram. Bagaimana
kita bisa berbicara tentang sukacita bertemu Yesus, kecuali kita setiap hari
heran dan takjub dengan kasih-Nya, yang memberi kita pengampunan dan
kemungkinan awal yang baru? Ketika iman tidak lagi mengalami ketakjuban, iman
menjadi tumpul : iman menjadi buta terhadap keajaiban rahmat; iman tidak bisa
lagi merasakan Roti hidup dan mendengarkan Sabda; iman tidak bisa lagi melihat
keindahan saudara-saudari kita dan karunia ciptaan. Tidak ada jalan lain selain
berlindung dalam legalisme, klerikalisme dan semua hal ini yang dikecam Yesus
dalam Injil Matius bab 23.
Selama Pekan Suci ini, marilah kita
memandang salib, untuk menerima rahmat ketakjuban. Ketika Santo Fransiskus dari
Asisi merenungkan Tuhan yang tersalib, ia takjub karena para koleganya tidak
menangis. Bagaimana dengan kita? Bisakah kita tetap tergerak oleh kasih Allah?
Apakah kita sudah kehilangan kemampuan untuk ditakjubkan oleh-Nya? Mengapa?
Mungkin iman kita menjadi tumpul karena kebiasaan. Mungkin kita tetap terjebak
dalam penyesalan dan memperkenankan diri kita dilumpuhkan oleh kekecewaan.
Mungkin kita telah kehilangan kepercayaan atau bahkan merasa tidak berharga.
Tetapi barangkali, di balik semua “mungkin” ini, terletak kenyataan bahwa kita
tidak terbuka terhadap karunia Roh yang memberi kita rahmat ketakjuban.
Marilah kita memulai dari ketakjuban.
Marilah kita memandang Yesus di kayu salib dan berkata kepada-Nya : “Tuhan,
betapa Engkau mengasihiku! Betapa berharganya aku bagi-Mu!" Marilah kita ditakjubkan
oleh Yesus sehingga kita dapat mulai hidup kembali, karena keagungan hidup
tidak terletak pada harta benda dan kepangkatan, tetapi terletak dalam
kesadaran bahwa kita dikasihi. Inilah keagungan hidup : mendapati bahwa kita
dikasihi. Dan keagungan hidup justru terletak pada keindahan kasih. Di dalam
diri Yesus yang tersalib, kita melihat Allah dipermalukan, Yang Mahakuasa
disingkirkan dan dicampakkan. Dan dengan rahmat ketakjuban kita menyadari bahwa
dengan menyambut orang-orang yang tersingkir dan tercampakkan, dengan mendekati
orang-orang yang diperlakukan buruk oleh kehidupan, kita mengasihi Yesus.
Karena di situlah Ia ada : dalam diri saudara dan saudari kita yang paling
hina, dalam diri orang-orang yang tersisih dan tercampakkan, dalam diri orang-orang
yang dikecam oleh budaya kita yang sok saleh.
Injil hari ini menunjukkan kepada
kita, segera setelah Yesus wafat, ikon ketakjuban yang sangat luar biasa. Ikon
tersebut adalah adegan kepala pasukan yang, setelah melihat bahwa Yesus telah
wafat, berkata : "Sungguh orang ini adalah Putra Allah!" (Mrk 15:39).
Ia takjub dengan kasih. Bagaimana ia melihat Yesus wafat? Ia melihat-Nya wafat
dalam kasih, dan hal ini yang membuatnya takjub. Yesus sangat menderita, tetapi
Ia tidak pernah berhenti mengasihi. Inilah rasanya takjub di hadapan Allah,
yang bahkan bisa memenuhi kematian dengan kasih. Dalam kasih yang tanpa pamrih
dan belum pernah terjadi sebelumnya, kepala perwira yang tidak mengenal Allah
tersebut menemukan Allah. Kata-katanya - Sungguh, orang ini adalah Putra Allah!
- "memeteraikan" kisah Sengsara. Keempat Injil memberitahu kita bahwa
banyak orang yang di hadapan Yesus mengagumi-Nya karena berbagai mukjizat dan karya-Nya
yang luar biasa, dan telah mengakui bahwa Ia adalah Putra Allah. Namun Kristus
membungkam mereka, karena mereka mempertaruhkan tetap murni pada tingkat
kekaguman duniawi berkenaan dengan gagasan Allah yang harus disembah dan
ditakuti karena kuasa dan kedigjayaan-Nya. Sekarang sudah tidak mungkin lagi
demikian, karena di kaki salib tidak ada kekeliruan : Allah telah menyatakan
diri-Nya dan memerintah hanya dengan kekuatan kasih yang dilucuti dan sedang dilucuti.
Saudara dan saudari, hari ini Allah
terus memenuhi pikiran dan hati kita dengan ketakjuban. Marilah kita dipenuhi
dengan ketakjuban itu saat kita memandang Tuhan yang tersalib. Semoga kita juga
berkata : “Engkau sungguh Putra Allah. Engkau adalah Allahku”.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 28 Maret
2021)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.