Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.
Bacaan Injil menunjukkan kepada kita
perubahan hati di antara orang-orang yang sedang mendengarkan Tuhan.
Perubahannya dramatis, dan mengungkapkan sejauh mana penganiayaan dan salib
terkait dengan pemberitaan Injil. Kekaguman yang ditimbulkan oleh kata-kata
penuh rahmat yang diucapkan oleh Yesus tidak bertahan lama di benak orang-orang
Nazaret. Komentar yang diucapkan seseorang menjadi viral secara diam-diam :
"Bukankah Ia ini anak Yusuf?" (Luk 4:22).
Komentar tersebut merupakan salah
satu ungkapan mendua yang terlontar sambil lalu. Seseorang dapat mengatakannya
dengan senang hati : “Betapa hebatnya seseorang yang berasal dari asal-usul
yang rendah hati berbicara dengan otoritas ini!” Orang lain dapat mengatakannya
dengan mencemooh : “Dan orang ini, dari manakah ia berasal? Siapakah dia yang
ada di benaknya?" Jika kita memikirkannya, kita juga dapat mendengarkan
kata-kata yang diucapkan pada hari Pentakosta, ketika para rasul, yang dipenuhi
oleh Roh Kudus, mulai memberitakan Injil. Beberapa orang berkata :
"Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea?" (Kis
2:7). Sementara beberapa orang menerima perkataan tersebut, yang lainnya malah
mengira bahwa para rasul sedang mabuk.
Sesungguhnya, kata-kata yang
diucapkan di Nazaret itu mungkin bisa berjalan keliru, malahan jika kita
melihat apa yang terjadi selanjutnya, jelas bahwa kata-kata itu mengandung
benih kekerasan yang kemudian akan dilancarkan terhadap Yesus.
Kata-kata tersebut merupakan
"pembenaran",[1] seperti, misalnya, ketika seseorang berkata :
"Itu terlalu berlebihan!" dan kemudian menyerang orang lain atau
pergi begitu saja.
Kali ini, Tuhan, yang terkadang tidak
mengatakan apapun atau pergi begitu saja, tidak membiarkan komentar itu
berlalu. Sebaliknya, Ia mengungkapkan kebencian yang tersembunyi dengan
berkedok pergunjingan desa yang sederhana. "Tentu kamu akan mengatakan
pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di
sini juga, di tempat asal-Mu ini!” (Luk 4:23). “Sembuhkanlah diri-Mu sendiri
…”.
Itu adalah "kata-kata
pembenaran",[1] seperti, misalnya, ketika
seseorang berkata: "Itu terlalu berlebihan!" dan kemudian menyerang
orang lain atau pergi.
Kali ini, Tuhan, yang terkadang tidak
mengatakan apa-apa atau pergi begitu saja, tidak membiarkan komentar itu
berlalu. Sebaliknya, dia mengungkapkan kebencian yang disembunyikan dalam kedok
gosip desa sederhana. Anda akan mengutip saya pepatah: 'Tabib, sembuhkan
dirimu'. Apa yang kami dengar yang Anda lakukan di Kapernaum, lakukan di sini
juga di negara Anda sendiri! ” (Luk 4:23). “Sembuhkan dirimu…”.
“Biarlah sekarang Ia menyelamatkan
diri-Nya sendiri”. Ada racun! Kata-kata yang sama itu akan mengikuti Tuhan
menuju kayu salib : “Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia
menyelamatkan diri-Nya sendiri" (Luk 23:35). "Dan selamatkanlah
kami", salah seorang penjahat menambahkan (bdk. ayat 39).
Seperti biasa, Tuhan menolak untuk
berdialog dengan roh jahat; Ia hanya menjawab dengan kata-kata Kitab Suci. Nabi
Elia dan Nabi Elisa, pada zamannya, diterima bukan oleh orang sebangsa mereka
tetapi oleh seorang janda Fenisia dan seorang Siria yang telah terjangkit kusta
: dua orang asing, dua orang yang beragama lain. Hal ini dengan sendirinya
mengejutkan dan menunjukkan alangkah benarnya nubuat yang diilhami oleh Simeon
yang sudah lanjut usia bahwa Yesus akan menjadi " suatu tanda yang
menimbulkan perbantahan" (semeion antilegomenon) (Luk 2:34)[2].
Perkataan Yesus memiliki kuasa untuk
menerangi apa pun yang kita simpan di dalam lubuk hati kita masing-masing, yang
sering kali bercampur seperti gandum dan lalang. Dan hal ini menimbulkan
perselisihan spiritual. Melihat tanda-tanda belas kasihan Tuhan yang sangat
melimpah dan mendengarkan "Sabda Bahagia" tetapi juga
"celaka" yang ditemukan dalam Injil, kita mendapati diri kita dipaksa
untuk membedakan dan memutuskan. Dalam hal ini, perkataan Yesus tidak diterima
dan hal ini membuat orang banyak yang murka berusaha membunuh-Nya. Tetapi itu
belum menjadi "saat"-Nya, dan Tuhan, sebagaimana dikatakan Injil
kepada kita, "lewat di tengah-tengah mereka, pergi begitu saja".
Meski belum saat-Nya, namun derasnya
kemarahan orang banyak yang terlontar, dan keganasan amukan yang bersiap untuk
membunuh Tuhan di tempat, menunjukkan kepada kita bahwa itu selalu saat-Nya.
Itulah yang ingin saya bagikan kepada kalian hari ini, para imam yang terkasih
: saat pemberitaan yang penuh sukacita, saat penganiayaan, dan saat salib
berjalan seiring.
Pemberitaan Injil selalu dikaitkan
dengan pelukan salib tertentu. Terang sabda Allah yang lembut bersinar terang
di dalam hati yang berkemampuan baik, tetapi membangkitkan kebingungan dan
penolakan pada mereka yang tidak memilikinya. Kita melihat hal ini berulang
kali dalam keempat Injil.
Benih yang baik yang ditaburkan di
ladang menghasilkan buah - seratus, enam puluh dan tiga puluh kali lipat -
tetapi juga membangkitkan kecemburuan musuh, yang terdorong untuk menaburkan
lalang pada waktu malam (bdk. Mat 13:24-30.36-43).
Kasih yang lembut dari bapa yang
penuh belas kasih secara tak tertahankan menarik pulang anak yang hilang,
tetapi juga menyebabkan kemarahan dan kebencian si anak sulung (bdk. Luk
15:11-32).
Kemurahan hati sang pemilik kebun
anggur yang menjadi alasan untuk bersyukur di antara para pekerja yang
dipanggil pada jam terakhir justru memicu reaksi getir salah seorang pekerja
yang dipanggil pertama, yang tersinggung oleh kemurahan hati majikannya (bdk.
Mat 20:1-16).
Kedekatan Yesus, yang makan bersama
orang-orang berdosa, memenangkan hati Zakheus, Matius dan perempuan Samaria,
tetapi juga membangkitkan cemoohan dalam diri orang-orang yang merasakan diri
mereka benar.
Kebesaran hati raja yang mengutus
putranya, berpikir bahwa ia akan dihormati oleh para petani penyewa, tetapi
justru mereka melampiaskannya dengan keganasan yang tak terkira. Di sini kita
menemukan diri kita berhadapan dengan misteri kejahatan, yang mengarah pada
pembunuhan Orang benar (bdk. Mat 21:33-46).
Para saudara imam yang terkasih,
semua ini memungkinkan kita untuk melihat bahwa pemberitaan Kabar Baik secara
misterius terkait dengan penganiayaan dan salib.
Santo Ignatius dari Loyola - maafkan
“iklan keluarga” - mengungkapkan kebenaran injili ini dalam permenungannya
tentang kelahiran Tuhan. Di sana ia mengundang kita “untuk melihat dan
memikirkan apa yang dilakukan Santo Yusuf dan Bunda Maria dalam memulai
perjalanan mereka sehingga Tuhan dapat dilahirkan dalam kemiskinan yang ekstrim
dan setelah segala upaya - mengalami kelaparan, kehausan, panas dan dingin,
luka-luka dan penghinaan - wafat di kayu Salib, dan semua ini untukku”. Ia
kemudian mengundang kita, “dengan merenungkan hal ini, mendapatkan manfaat
rohani” (Latihan Rohani, 116). Sukacita kelahiran Tuhan; penderitaan salib;
penganiayaan.
Cerminan apa yang dapat kita buat
untuk "menarik manfaat" bagi kehidupan imamat kita dengan merenungkan
penampakan awal salib ini - kesalahpahaman, penolakan dan penganiayaan - pada
permulaan dan pokok pemberitaan Injil?
Dua pemikiran muncul di benak saya.
Pertama: kita terhenyak melihat salib
hadir dalam kehidupan Tuhan di awal pelayanan-Nya, bahkan sebelum
kelahiran-Nya. Salib sudah ada dalam kebingungan awal Maria atas pesan
malaikat; salib ada dalam diri Yusuf yang tidak bisa tidur, ketika ia merasa
berkewajiban untuk menceraikan Maria secara diam-diam. Salib ada dalam
penganiayaan terhadap Herodes dan dalam kesulitan yang dialami oleh Keluarga
Kudus, seperti kesulitan banyak keluarga lain yang terpaksa hidup dalam
pengasingan jauh dari tanah air mereka.
Semua ini membuat kita menyadari
bahwa misteri salib hadir “sejak awal”. Misteri salib membuat kita mengerti
bahwa salib bukanlah pemikiran kemudian, sesuatu yang terjadi secara kebetulan
dalam kehidupan Tuhan. Memang benar bahwa semua orang yang menyalibkan orang
lain sepanjang sejarah akan membuat salib tampak sebagai kerugian tambahan,
tetapi bukan itu masalahnya : salib tidak muncul secara kebetulan. Salib besar
dan kecil umat manusia, salib kita masing-masing, tidak muncul secara
kebetulan.
Mengapa Tuhan memeluk salib
sepenuhnya dan sampai akhir? Mengapa Yesus menerima seluruh sengsara-Nya :
pengkhianatan dan penolakan terhadap diri-Nya oleh sahabat-sahabat-Nya setelah
Perjamuan Terakhir, penangkapan-Nya yang ilegal, persidangan yang singkat dan
hukuman yang tidak sepadan, kekerasan yang tidak beralasan dan tidak dapat
dibenarkan di mana Ia disesah dan diludahi ...? Jika hanya keadaan yang
mengkondisikan kekuatan salib yang menyelamatkan, Tuhan tidak akan memeluk
segalanya. Tetapi ketika saat-Nya tiba, Ia memeluk salib sepenuhnya. Karena di
kayu salib tidak ada kemenduaan! Salib tidak bisa dirundingkan.
Pemikiran yang kedua : memang benar,
ada aspek salib yang merupakan bagian terpadu kondisi manusiawi kita,
keterbatasan dan kerapuhan kita. Namun memang benar juga bahwa sesuatu yang
terjadi di kayu salib tidak ada hubungannya dengan kelemahan manusiawi kita
tetapi merupakan gigitan ular, yang, melihat Tuhan yang tersalib tidak berdaya,
menggigit-Nya dalam upaya untuk meracuni dan meniadakan seluruh karya-Nya.
Gigitan yang mencoba untuk membuat skandal - dan inilah masa skandal - gigitan
yang berusaha untuk melumpuhkan dan membuat seluruh pelayanan dan pengorbanan
penuh kasih untuk sesama menjadi sia-sia dan tidak berarti. Racun si jahat yang
terus bersikeras : selamatkanlah diri-Mu.
Dalam “gigitan” yang keras dan
menyakitkan yang berusaha membawa kematian inilah, kedigjayaan Allah akhirnya
terlihat. Santo Maximus Sang Pengaku Iman memberitahu kita bahwa di dalam Yesus
yang disalibkan terjadi pembalikan. Dengan menggigit daging Tuhan, iblis tidak
meracuni-Nya, karena di dalam Dia ia hanya menemukan kelembutan dan ketaatan
yang tak terbatas pada kehendak Bapa. Sebaliknya, tertangkap oleh kail salib,
ia melahap daging Tuhan, yang terbukti meracuninya, sedangkan bagi kita salib
menjadi penawar yang menetralkan kuasa si jahat.[3]
Inilah cerminan saya. Marilah kita
memohon rahmat Tuhan untuk mendapatkan manfaat dari ajaran ini. Memang benar
bahwa salib ada dalam pemberitaan Injil kita, tetapi adalah salib keselamatan
kita. Berkat darah Yesus yang mendamaikan, salib tersebut mengandung kuasa
kemenangan Kristus, yang mengalahkan kejahatan dan membebaskan kita dari si
jahat. Memeluknya bersama Yesus dan, seperti yang dilakukan-Nya di hadapan
kita, berangkat dan memberitakannya, akan memungkinkan kita untuk membedakan
dan menolak racun skandal, yang dengannya iblis ingin meracuni kita setiap kali
salib tiba-tiba muncul dalam kehidupan kita.
“Tetapi kita bukanlah orang-orang
yang mengundurkan diri (hypostoles)” (Ibr 10:39), demikian dikatakan
penulis surat kepada orang Ibrani. “Kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan
diri”. Ini adalah nasehat yang diberikan sang penulis kepada kita. Kita tidak
mengalami skandal, karena Yesus sendiri tidak mengalami skandal ketika melihat
pemberitaan sukacita keselamatan kepada orang miskin tidak diterima dengan
sepenuh hati, tetapi di tengah teriakan dan ancaman dari orang-orang yang
menolak untuk mendengar kata-kata-Nya atau ingin menguranginya menjadi
legalisme seperti moralisme atau klerikalisme.
Kita tidak mengalami skandal karena
Yesus tidak mengalami skandal ketika menyembuhkan orang sakit dan membebaskan
tahanan di tengah pertengkaran moralistik, legalistik dan klerikal yang muncul
setiap kali Ia berbuat baik.
Kita tidak mengalami skandal karena
Yesus tidak mengalami skandal ketika memulihkan penglihatan kepada orang buta
di tengah orang-orang yang tutup mata agar tidak melihat, atau melihat ke arah
lain.
Kita tidak mengalami skandal karena
Yesus tidak mengalami skandal ketika pemberitaan-Nya tentang tahun rahmat Tuhan
- tahun yang memeluk seluruh sejarah - menghasut skandal publik dalam hal-hal
yang saat ini hampir tidak menjadi halaman ketiga surat kabar setempat.
Kita tidak mengalami skandal karena
pemberitaan Injil efektif bukan karena hikmat perkataan kita tetapi karena
kekuatan salib (bdk. 1 Kor 1:17).
Cara kita memeluk salib ketika kita
memberitakan Injil - dengan perbuatan dan, bila perlu, dengan kata-kata -
memperjelas dua hal. Pertama, kesengsaraan yang berasal dari Injil bukanlah
kesengsaraan kita, melainkan “kesengsaraan Kristus di dalam kita” (2Kor 1:5),
dan, kedua, “sebab bukan diri kita yang kita beritakan, tetapi Yesus Kristus
sebagai Tuhan, dan diri kita sebagai hamba semua orang karena kehendak Yesus”
(2Kor 4:5).
Saya ingin mengakhiri dengan
membagikan salah satu kenangan saya. “Suatu ketika, pada saat-saat kelam dalam
hidup saya, saya memohonkan rahmat kepada Tuhan untuk membebaskan saya dari
situasi yang sulit dan rumit. Saat yang kelam. Saya harus menyampaikan Latihan
Rohani kepada beberapa biarawati, dan pada hari terakhir, seperti kebiasaan
pada masa itu, mereka semua melakukan pengakuan dosa. Seorang suster tua
datang; ia memiliki tatapan yang jernih, mata penuh cahaya. Seorang perempuan
Allah. Di akhir pengakuan, saya merasakan dorongan untuk meminta bantuannya,
jadi saya berkata kepadanya, 'Saudari, sebagai penebusan dosa, doakan saya,
karena saya membutuhkan rahmat khusus. Mohonkanlah hal itu kepada Tuhan. Jika
kamu memohonkannya kepada Tuhan, niscaya Ia akan memberikannya kepada saya'.
Sejenak ia berhenti dalam diam dan sepertinya sedang berdoa, kemudian ia
menatap saya dan berkata, 'Tuhan niscaya akan memberimu rahmat itu, tetapi
jangan salah tentang hal itu : Ia akan memberikannya kepadamu secara ilahi' .
Hal ini sangat membantu saya, mendengar bahwa Tuhan selalu memberi kita apa
yang kita minta, tetapi Ia melakukannya secara ilahi. Cara itu melibatkan
salib. Bukan demi kesenangan menderita. Tetapi demi kasih, kasih sampai
kesudahannya”.[4]
______
(Peter Suriadi - Bogor, 1 April 2021)
[1]Seorang guru kehidupan spiritual, Pastor Claude Judde berbicara tentang
ungkapan yang menyertai keputusan-keputusan kita dan mengandung "kata
akhir ”, kata yang mendorong sebuah keputusan dan menggerakkan seseorang atau
kelompok untuk bertindak. Bdk. C. JUDDE, Oeuvres spirituelles, II, 1883
(Instruction sur la connaissance de soi-même), hlm. 313-319), dalam M.
Á. FIORITO, Buscar y hallar la voluntad de Dios, Buenos Aires, Paulinas, 2000,
248 s.
[2]"Antilegomenon" berarti mereka akan berbicara dengan
cara yang berbeda tentang Dia : beberapa orang akan berbicara baik dan yang
lainnya akan berbicara buruk tentang Dia.
[3]Bdk. Cent. I, 8-13.
[4]Homili dalam Misa di Casa Santa Marta, 29 Mei 2013.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.