Gambaran yang
digunakan Yesus di awal Injil hari ini membuat kita bingung : matahari akan
menjadi gelap, bulan tidak bercahaya, bintang-bintang akan berjatuhan dari
langit, dan kuasa-kuasa langit akan goncang (bdk. Mrk 13:24-25). Namun Tuhan
kemudian mengundang kita untuk berharap, karena tepat pada saat kegelapan total
itu, Anak Manusia akan datang (bdk. ayat 26). Bahkan sekarang, kita dapat
melihat tanda-tanda kedatangan-Nya, seperti ranting-ranting pohon ara yang
melembut dan mulai bertunas yang membuat kita menyadari bahwa musim panas sudah
dekat (bdk. ayat 28).
Perikop Injil
ini membantu kita untuk menafsirkan sejarah dalam dua aspeknya : kepedihan hari
ini dan harapan hari esok. Penafsiran ini membangkitkan semua kontradiksi yang
menyakitkan yang di dalamnya umat manusia di segala zaman terbenam, dan, pada
saat yang sama, masa depan keselamatan yang menanti kita : perjumpaan dengan
Tuhan yang datang untuk membebaskan kita dari segala kejahatan. Marilah kita
membahas kedua aspek ini melalui mata Yesus.
Pertama :
kepedihan hari ini. Kita adalah bagian dari sejarah yang ditandai dengan
kesengsaraan, kekerasan, penderitaan dan ketidakadilan, yang selalu menunggu
pembebasan yang sepertinya tidak pernah datang. Mereka yang paling terluka,
tertindas dan bahkan hancur, adalah kaum miskin, mata rantai terlemah. Hari
Orang Miskin Sedunia yang kita rayakan meminta kita untuk tidak menyimpang,
tidak takut untuk melihat lebih dekat penderitaan mereka yang paling rentan.
Injil hari ini memiliki banyak hal untuk disampaikan kepada mereka. Matahari
kehidupan mereka sering digelapkan oleh kesepian, bulan harapan mereka telah
memudar dan bintang-bintang impian mereka telah jatuh ke dalam kegelapan; hidup
mereka telah tergoncang. Semua karena kemiskinan yang ke dalamnya mereka sering
dipaksa, korban ketidakadilan dan kesenjangan dari masyarakat yang mencampakkan
yang dengan tanpa melihat bergegas melewati mereka dan tanpa ragu meninggalkan
mereka pada nasib mereka.
Namun, ada
aspek lain : harapan hari esok. Yesus ingin membuka hati kita untuk berharap,
menyingkirkan kecemasan dan ketakutan kita berhadapan dengan penderitaan dunia.
Jadi, Ia memberitahu kita bahwa bahkan saat matahari menjadi gelap dan segala
sesuatu di sekitar kita tampak runtuh, Ia semakin dekat. Di tengah rintihan
sejarah kita yang menyakitkan, masa depan keselamatan mulai mekar. Harapan hari
esok berbunga di tengah penderitaan hari ini. Memang, penyelamatan Allah bukan
hanya janji masa depan, tetapi bahkan sekarang bekerja dalam sejarah kita yang
terluka, menyebar di tengah penindasan dan ketidakadilan dunia kita. Kita semua
memiliki hati yang terluka. Di tengah air mata kaum miskin, kerajaan Allah
mekar seperti ranting-ranting pohon yang melembut dan membimbing sejarah menuju
tujuannya, menuju perjumpaan terakhir dengan Tuhan, Raja alam semesta yang
pasti akan membebaskan kita.
Pada titik
ini, marilah kita bertanya : apa yang dituntut dari kita sebagai umat Kristiani
dalam situasi ini? Kita diminta untuk memelihara harapan hari esok dengan
menyembuhkan kepedihan hari ini. Keduanya terkait : jika kamu tidak bekerja
untuk menyembuhkan kepedihan hari ini, akan sulit untuk memiliki harapan hari
esok. Harapan yang lahir dari Injil tidak ada hubungannya dengan pengharapan
pasif bahwa segala sesuatunya esok mungkin lebih baik, tetapi dengan menjadikan
nyata janji keselamatan Allah hari ini. Hari ini dan setiap hari. Harapan
Kristiani bukanlah optimisme yang bersahaja, bahkan belum dewasa, dari mereka
yang berharap bahwa segala sesuatunya dapat berubah – itu tidak akan terjadi – tetapi
dalam pada itu terus berjalan; harapan Kristiani ada hubungannya dengan
membangun setiap hari, dengan gerakan sikap nyata, kerajaan kasih, keadilan,
dan persaudaraan yang dicanangkan oleh Yesus. Harapan Kristiani, misalnya,
tidak ditaburkan oleh orang Lewi dan imam yang berjalan melewati orang yang
terluka parah oleh penyamun. Harapan Kristiani ditaburkan oleh orang asing,
seorang Samaria yang berhenti dan melakukan hal itu (bdk. Luk 10:30-35). Dan
hari ini seolah-olah Gereja berkata : “Berhenti dan taburlah harapan di tengah
kemiskinan. Mendekatlah pada kaum miskin dan taburlah harapan”. Harapan untuk
orang itu, harapanmu dan harapan Gereja. Inilah yang diminta dari kita :
menjadi, di tengah reruntuhan dunia sehari-hari, pembangun harapan yang tak kenal
lelah; menjadi terang saat matahari menjadi gelap, menjadi saksi kasih sayang
di tengah meluasnya ketidaktertarikan; menjadi kehadiran yang penuh perhatian
di tengah tumbuhnya ketidakpedulian. Saksi kasih sayang. Kita tidak akan pernah
bisa berbuat baik kecuali dengan menunjukkan kasih sayang. Paling-paling, kita
akan melakukan hal-hal baik, tetapi mereka tidak menyentuh cara Kristiani
karena hal-hal baik tersebut tidak menyentuh hati. Yang menyentuh hati adalah
kasih sayang : kita mendekat, kita merasakan kasih sayang dan kita melakukan
karya kasih yang lembut. Itulah cara Allah melakukan berbagai hal : kedekatan,
kasih sayang, dan kelembutan. Itulah yang diminta dari kita hari ini.
Baru-baru ini
saya berpikir tentang apa yang biasa dikatakan oleh seorang uskup yang dekat
dengan kaum miskin, dan dirinya sendiri miskin di hadapan Allah, Don Tonino
Bello : “Kita tidak bisa berpuas diri dengan harapan; kita harus mengelola
harapan”. Jika harapan kita tidak diterjemahkan ke dalam keputusan dan tindakan
nyata kepedulian, keadilan, kesetiakawanan dan kepedulian terhadap rumah kita
bersama, penderitaan kaum miskin tidak akan berkurang, ekonomi sampah yang
memaksa mereka untuk hidup terpinggirkan tidak akan diubah, pengharapan mereka
tidak akan mekar lagi. Kita umat Kristiani, khususnya, harus mengelola harapan
- ungkapan Don Tonino Belli ini, mengelola harapan, sangat baik - mewujudkannya
dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam hubungan kita, dalam komitmen sosial
dan politik kita. Saya teringat akan karya amal yang dilakukan oleh begitu
banyak umat Kristiani, karya Badan Amal Kepausan… Apa yang mereka lakukan di
sana? Mereka mengelola harapan. Bukan memberi sebuah mata uang di sana sini,
tetapi mengelola harapan. Inilah yang diminta Gereja dari kita hari ini.
Hari ini
Yesus menawarkan kepada kita gambaran harapan yang sederhana namun mengesankan.
Gambaran ranting-ranting pohon ara, yang secara diam-diam menunjuk ke musim
panas. Ranting-ranting mulai bertunas, kata Yesus, ketika ranting-ranting itu
melembut (bdk. ayat 28). Saudara-saudari yang terkasih, itulah kata yang
membuat harapan mekar di dunia dan meringankan penderitaan kaum miskin :
kelembutan. Kasih sayang yang menuntunmu pada kelembutan. Kita perlu mengatasi
keegoisan kita, kekakuan batin, yang merupakan godaan dewasa ini, yaitu godaan
"pelaku pemulihan", yang menginginkan Gereja yang benar-benar tertib,
benar-benar kaku : ini bukan berasal dari Roh Kudus. Kita harus mengatasi hal
ini, agar harapan bisa mekar di tengah kekakuan ini. Mengatasi godaan untuk
hanya peduli tentang masalah kita sendiri terserah kita; kita perlu bertumbuh
dengan lembut menghadapi tragedi dunia kita, ambil bagian dalam kepedihannya.
Seperti ranting-ranting pohon ara yang melembut kita dipanggil untuk menyerap
polusi di sekitar kita dan mengubahnya menjadi kebaikan. Tidak ada gunanya
terus berbicara tentang berbagai persoalan, berdebat, dan bergunjing – kita
semua bisa melakukannya. Yang perlu kita lakukan adalah meniru ranting-ranting
yang setiap hari, tanpa terasa, mengubah udara kotor menjadi udara bersih.
Yesus ingin kita menjadi "orang yang mengubah" berkaitan kebaikan :
orang-orang yang menghirup udara padat sama seperti orang lain, tetapi
menanggapi kejahatan dengan kebaikan (bdk. Rm 12:21). Orang-orang yang bertindak
: dengan memecah-mecahkan roti bersama orang yang lapar, bekerja untuk
keadilan, mengangkat kaum miskin dan memulihkan martabat mereka. Seperti yang
dilakukan orang Samaria.
Alangkah
indahnya, sebuah Gereja yang injili dan awet muda siap untuk keluar dari dirinya
sendiri dan, seperti Yesus, mewartakan kabar baik kepada kaum miskin (bdk. Luk
4:18). Perkenankan saya berhenti sejenak pada kata sifat terakhir tersebut :
muda. Gereja yang menabur harapan adalah muda. Gereja kenabian yang, berkat
kehadirannya, berkata kepada orang-orang yang patah hati dan tercampakkan dari
dunia, “Tenanglah, Tuhan sudah dekat. Untukmu juga, musim panas sedang lahir di
kedalaman musim dingin. Dari kepedihanmu, harapan bisa muncul”. Saudara dan
saudari, marilah kita membawa pandangan harapan ini ke dunia kita. Marilah kita
membawanya dengan kelembutan kepada kaum miskin, dengan kedekatan, dengan kasih
sayang, tanpa menghakimi mereka, karena kita akan dihakimi. Karena di sanalah,
bersama mereka, bersama kaum miskin, Yesus berada; karena di sanalah, di dalam
diri mereka, Yesus, yang menanti kita, berada.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 15 November 2021)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.