Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA V) 14 November 2021 : KEPEDIHAN HARI INI DAN HARAPAN HARI ESOK

Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.

 

Gambaran yang digunakan Yesus di awal Injil hari ini membuat kita bingung : matahari akan menjadi gelap, bulan tidak bercahaya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit, dan kuasa-kuasa langit akan goncang (bdk. Mrk 13:24-25). Namun Tuhan kemudian mengundang kita untuk berharap, karena tepat pada saat kegelapan total itu, Anak Manusia akan datang (bdk. ayat 26). Bahkan sekarang, kita dapat melihat tanda-tanda kedatangan-Nya, seperti ranting-ranting pohon ara yang melembut dan mulai bertunas yang membuat kita menyadari bahwa musim panas sudah dekat (bdk. ayat 28).

 

Perikop Injil ini membantu kita untuk menafsirkan sejarah dalam dua aspeknya : kepedihan hari ini dan harapan hari esok. Penafsiran ini membangkitkan semua kontradiksi yang menyakitkan yang di dalamnya umat manusia di segala zaman terbenam, dan, pada saat yang sama, masa depan keselamatan yang menanti kita : perjumpaan dengan Tuhan yang datang untuk membebaskan kita dari segala kejahatan. Marilah kita membahas kedua aspek ini melalui mata Yesus.

 

Pertama : kepedihan hari ini. Kita adalah bagian dari sejarah yang ditandai dengan kesengsaraan, kekerasan, penderitaan dan ketidakadilan, yang selalu menunggu pembebasan yang sepertinya tidak pernah datang. Mereka yang paling terluka, tertindas dan bahkan hancur, adalah kaum miskin, mata rantai terlemah. Hari Orang Miskin Sedunia yang kita rayakan meminta kita untuk tidak menyimpang, tidak takut untuk melihat lebih dekat penderitaan mereka yang paling rentan. Injil hari ini memiliki banyak hal untuk disampaikan kepada mereka. Matahari kehidupan mereka sering digelapkan oleh kesepian, bulan harapan mereka telah memudar dan bintang-bintang impian mereka telah jatuh ke dalam kegelapan; hidup mereka telah tergoncang. Semua karena kemiskinan yang ke dalamnya mereka sering dipaksa, korban ketidakadilan dan kesenjangan dari masyarakat yang mencampakkan yang dengan tanpa melihat bergegas melewati mereka dan tanpa ragu meninggalkan mereka pada nasib mereka.

 

Namun, ada aspek lain : harapan hari esok. Yesus ingin membuka hati kita untuk berharap, menyingkirkan kecemasan dan ketakutan kita berhadapan dengan penderitaan dunia. Jadi, Ia memberitahu kita bahwa bahkan saat matahari menjadi gelap dan segala sesuatu di sekitar kita tampak runtuh, Ia semakin dekat. Di tengah rintihan sejarah kita yang menyakitkan, masa depan keselamatan mulai mekar. Harapan hari esok berbunga di tengah penderitaan hari ini. Memang, penyelamatan Allah bukan hanya janji masa depan, tetapi bahkan sekarang bekerja dalam sejarah kita yang terluka, menyebar di tengah penindasan dan ketidakadilan dunia kita. Kita semua memiliki hati yang terluka. Di tengah air mata kaum miskin, kerajaan Allah mekar seperti ranting-ranting pohon yang melembut dan membimbing sejarah menuju tujuannya, menuju perjumpaan terakhir dengan Tuhan, Raja alam semesta yang pasti akan membebaskan kita.

 

Pada titik ini, marilah kita bertanya : apa yang dituntut dari kita sebagai umat Kristiani dalam situasi ini? Kita diminta untuk memelihara harapan hari esok dengan menyembuhkan kepedihan hari ini. Keduanya terkait : jika kamu tidak bekerja untuk menyembuhkan kepedihan hari ini, akan sulit untuk memiliki harapan hari esok. Harapan yang lahir dari Injil tidak ada hubungannya dengan pengharapan pasif bahwa segala sesuatunya esok mungkin lebih baik, tetapi dengan menjadikan nyata janji keselamatan Allah hari ini. Hari ini dan setiap hari. Harapan Kristiani bukanlah optimisme yang bersahaja, bahkan belum dewasa, dari mereka yang berharap bahwa segala sesuatunya dapat berubah – itu tidak akan terjadi – tetapi dalam pada itu terus berjalan; harapan Kristiani ada hubungannya dengan membangun setiap hari, dengan gerakan sikap nyata, kerajaan kasih, keadilan, dan persaudaraan yang dicanangkan oleh Yesus. Harapan Kristiani, misalnya, tidak ditaburkan oleh orang Lewi dan imam yang berjalan melewati orang yang terluka parah oleh penyamun. Harapan Kristiani ditaburkan oleh orang asing, seorang Samaria yang berhenti dan melakukan hal itu (bdk. Luk 10:30-35). Dan hari ini seolah-olah Gereja berkata : “Berhenti dan taburlah harapan di tengah kemiskinan. Mendekatlah pada kaum miskin dan taburlah harapan”. Harapan untuk orang itu, harapanmu dan harapan Gereja. Inilah yang diminta dari kita : menjadi, di tengah reruntuhan dunia sehari-hari, pembangun harapan yang tak kenal lelah; menjadi terang saat matahari menjadi gelap, menjadi saksi kasih sayang di tengah meluasnya ketidaktertarikan; menjadi kehadiran yang penuh perhatian di tengah tumbuhnya ketidakpedulian. Saksi kasih sayang. Kita tidak akan pernah bisa berbuat baik kecuali dengan menunjukkan kasih sayang. Paling-paling, kita akan melakukan hal-hal baik, tetapi mereka tidak menyentuh cara Kristiani karena hal-hal baik tersebut tidak menyentuh hati. Yang menyentuh hati adalah kasih sayang : kita mendekat, kita merasakan kasih sayang dan kita melakukan karya kasih yang lembut. Itulah cara Allah melakukan berbagai hal : kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Itulah yang diminta dari kita hari ini.

 

Baru-baru ini saya berpikir tentang apa yang biasa dikatakan oleh seorang uskup yang dekat dengan kaum miskin, dan dirinya sendiri miskin di hadapan Allah, Don Tonino Bello : “Kita tidak bisa berpuas diri dengan harapan; kita harus mengelola harapan”. Jika harapan kita tidak diterjemahkan ke dalam keputusan dan tindakan nyata kepedulian, keadilan, kesetiakawanan dan kepedulian terhadap rumah kita bersama, penderitaan kaum miskin tidak akan berkurang, ekonomi sampah yang memaksa mereka untuk hidup terpinggirkan tidak akan diubah, pengharapan mereka tidak akan mekar lagi. Kita umat Kristiani, khususnya, harus mengelola harapan - ungkapan Don Tonino Belli ini, mengelola harapan, sangat baik - mewujudkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam hubungan kita, dalam komitmen sosial dan politik kita. Saya teringat akan karya amal yang dilakukan oleh begitu banyak umat Kristiani, karya Badan Amal Kepausan… Apa yang mereka lakukan di sana? Mereka mengelola harapan. Bukan memberi sebuah mata uang di sana sini, tetapi mengelola harapan. Inilah yang diminta Gereja dari kita hari ini.

 

Hari ini Yesus menawarkan kepada kita gambaran harapan yang sederhana namun mengesankan. Gambaran ranting-ranting pohon ara, yang secara diam-diam menunjuk ke musim panas. Ranting-ranting mulai bertunas, kata Yesus, ketika ranting-ranting itu melembut (bdk. ayat 28). Saudara-saudari yang terkasih, itulah kata yang membuat harapan mekar di dunia dan meringankan penderitaan kaum miskin : kelembutan. Kasih sayang yang menuntunmu pada kelembutan. Kita perlu mengatasi keegoisan kita, kekakuan batin, yang merupakan godaan dewasa ini, yaitu godaan "pelaku pemulihan", yang menginginkan Gereja yang benar-benar tertib, benar-benar kaku : ini bukan berasal dari Roh Kudus. Kita harus mengatasi hal ini, agar harapan bisa mekar di tengah kekakuan ini. Mengatasi godaan untuk hanya peduli tentang masalah kita sendiri terserah kita; kita perlu bertumbuh dengan lembut menghadapi tragedi dunia kita, ambil bagian dalam kepedihannya. Seperti ranting-ranting pohon ara yang melembut kita dipanggil untuk menyerap polusi di sekitar kita dan mengubahnya menjadi kebaikan. Tidak ada gunanya terus berbicara tentang berbagai persoalan, berdebat, dan bergunjing – kita semua bisa melakukannya. Yang perlu kita lakukan adalah meniru ranting-ranting yang setiap hari, tanpa terasa, mengubah udara kotor menjadi udara bersih. Yesus ingin kita menjadi "orang yang mengubah" berkaitan kebaikan : orang-orang yang menghirup udara padat sama seperti orang lain, tetapi menanggapi kejahatan dengan kebaikan (bdk. Rm 12:21). Orang-orang yang bertindak : dengan memecah-mecahkan roti bersama orang yang lapar, bekerja untuk keadilan, mengangkat kaum miskin dan memulihkan martabat mereka. Seperti yang dilakukan orang Samaria.

 

Alangkah indahnya, sebuah Gereja yang injili dan awet muda siap untuk keluar dari dirinya sendiri dan, seperti Yesus, mewartakan kabar baik kepada kaum miskin (bdk. Luk 4:18). Perkenankan saya berhenti sejenak pada kata sifat terakhir tersebut : muda. Gereja yang menabur harapan adalah muda. Gereja kenabian yang, berkat kehadirannya, berkata kepada orang-orang yang patah hati dan tercampakkan dari dunia, “Tenanglah, Tuhan sudah dekat. Untukmu juga, musim panas sedang lahir di kedalaman musim dingin. Dari kepedihanmu, harapan bisa muncul”. Saudara dan saudari, marilah kita membawa pandangan harapan ini ke dunia kita. Marilah kita membawanya dengan kelembutan kepada kaum miskin, dengan kedekatan, dengan kasih sayang, tanpa menghakimi mereka, karena kita akan dihakimi. Karena di sanalah, bersama mereka, bersama kaum miskin, Yesus berada; karena di sanalah, di dalam diri mereka, Yesus, yang menanti kita, berada.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 15 November 2021)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.