Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM PENGENANGAN ARWAH 17 KARDINAL DAN 191 USKUP YANG MENINGGAL SELAMA SETAHUN TERAKHIR 4 November 2021 : SENI MENANTI TUHAN

Bacaan Ekaristi : Rat. 3:17-26; Rm. 14:7-9,10c-12; Mat 25:31-46.

 

Dalam Bacaan Pertama, kita mendengar ajakan ini : “Adalah baik menanti dengan diam pertolongan Tuhan” (Rat. 3:26). Sikap ini bukan titik awal, melainkan tujuan. Memang, penulis mencapainya di akhir sebuah perjalanan, sebuah perjalanan yang penuh kesukaran, yang memungkinkannya untuk bertumbuh. Ia sampai pada pemahaman tentang indahnya mempercayai Tuhan, yang tidak pernah urung untuk menepati janji-Nya. Tetapi kepercayaan kepada Allah tidak berasal dari kegairahan sesaat; kepercayaan kepada Allah bukan emosi, kepercayaan kepada Allah juga bukan kepekaan perasaan. Sebaliknya, kepercayaan kepada Allah berasal dari pengalaman dan menjadi dewasa dalam kesabaran, seperti dalam kasus Ayub, yang beralih dari pemahaman tentang Allah "dengan desas-desus" menjadi pemahaman pengalaman yang hidup. Dan agar hal ini terjadi, dibutuhkan perubahan rupa batin yang panjang yang, melalui wadah penderitaan, mengarah pada pemahaman bagaimana menanti dalam diam, yaitu, dengan kesabaran yang penuh keyakinan, dengan jiwa yang lemah lembut. Kesabaran ini bukan kepasrahan, karena dipupuk oleh pengharapan akan Tuhan, yang kedatangan-Nya pasti dan tidak mengecewakan.

 

Saudara dan saudari terkasih, alangkah pentingnya mempelajari seni menanti Tuhan! Menanti-Nya dengan patuh, percaya diri, menyingkirkan berbagai khayalan, fanatisme, dan hiruk-pikuk; menjaga, terutama di saat-saat pencobaan, keheningan yang penuh dengan harapan. Inilah cara kita mempersiapkan diri untuk pencobaan terakhir dan terbesar dalam kehidupan, yakni kematian. Tetapi pertama-tama ada pencobaan saat itu, ada salib yang kita miliki sekarang, dan untuk itu kita memohon kepada Tuhan rahmat untuk memahami bagaimana menanti di sana, di sana kelak,  keselamatan-Nya yang akan datang.

 

Kita masing-masing perlu menjadi dewasa dalam hal ini. Dalam menghadapi kesulitan dan masalah hidup, memiliki kesabaran dan tetap tenang adalah sulit. Kejengkelan terjadi dan sering kali timbul keputusasaan. Dengan demikian, bisa saja terjadi bahwa kita sangat tergoda oleh pesimisme dan kepasrahan, kita melihat segala sesuatu sebagai hitam, dan kita menjadi terbiasa dengan nada-nada pembangkangan dan ratapan, serupa dengan yang dikatakan penulis Kitab Ratapan di awal : “Sangkaku : hilang lenyaplah kemasyhuranku dan harapanku kepada Tuhan” (ayat 18). Kesengsaraan, bahkan kenangan indah masa lalu, tidak dapat menghibur kita, karena penderitaan mengarahkan pikiran untuk memikirkan saat-saat sulit. Dan hal ini meningkatkan kepahitan; tampaknya hidup adalah rantai kemalangan yang berkelanjutan, seperti diakui penulis : "Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu” (ayat 19).

 

Namun, pada titik ini, Tuhan membuat titik balik, pada saat ketika, sambil terus berdialog dengan-Nya, seolah-olah kita berada di titik terendah. Dalam jurang yang dalam, dalam penderitaan tanpa makna, Allah mendekat untuk menyelamatkan kita. Dan ketika kepahitan mencapai puncaknya, harapan tiba-tiba tumbuh kembali. Mencapai usia tua dengan hati yang pahit, dengan hati yang kecewa, dengan hati yang kritis terhadap hal-hal baru, adalah hal yang buruk,hal yang sangat sulit. “Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan”, kata orang yang berdoa dalam Kitab Ratapan, “oleh sebab itu aku akan berharap”. Melanjutkan harapan di saat kepahitan. Di tengah kesedihan, mereka yang berpegang teguh pada Tuhan melihat bahwa Ia membuka penderitaan, membukanya, mengubah rupanya menjadi pintu masuk harapan. Ini adalah pengalaman paskah, bagian menyakitkan yang membuka kehidupan, semacam pekerjaan rohani yang dalam kegelapan membuat kita kembali ke terang.

 

Perubahan haluan ini bukan karena masalah telah lenyap, bukan, tetapi karena krisis telah menjadi peluang misterius untuk pemurnian batin. Kemakmuran, pada kenyataannya, seringkali membuat kita buta, dangkal, angkuh. Kepada hal-hal inilah kemakmuran mengarahkan jalan kita. Di sisi lain, perjalanan melalui kesulitan, jika hidup dalam kehangatan iman, terlepas dari kekerasan dan air mata, memungkinkan kita untuk dilahirkan kembali, dan kita menemukan diri kita berbeda dari masa lalu. Seorang bapa Gereja menulis bahwa “tidak ada yang menuntun pada penemuan hal-hal baru melebihi penderitaan” (Santo Gregorius dari Nazianze, Ep. 34). Kesulitan memperbaharui kita, karena menghilangkan banyak kesia-siaan dan mengajarkan kita untuk melihat melampaui, melampaui kegelapan, menjamah dengan tangan kita bahwa Tuhan sungguh menyelamatkan dan memiliki kuasa untuk mengubah rupa segalanya, bahkan kematian. Ia membiarkan kita melewati kemacetan bukan untuk meninggalkan kita, tetapi menyertai kita. Ya, karena Allah menyertai kita, terutama dalam kesakitan, seperti seorang ayah yang membantu putranya bertumbuh dengan baik dengan berada di dekatnya dalam kesulitan tanpa menggantikannya. Dan sebelum air mata muncul di wajah kita, emosi itu sudah memerahkan mata Allah Bapa. Ia menangis terlebih dulu, perkenankan saya mengatakannya. Dukacita tetap menjadi misteri, tetapi dalam misteri ini, kita dapat menemukan dengan cara baru kebapaan Allah yang mengunjungi kita dalam kesulitan kita, dan datang untuk mengatakan, bersama penulis Kitab Ratapan : “Tuhan adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia” (ayat 25).

 

Hari ini, di hadapan misteri kematian yang ditebus, kita memohonkan rahmat untuk melihat kesulitan dengan mata yang berbeda. Kita memohonkan kekuatan untuk memahami bagaimana hidup dalam diam yang lemah lembut dan penuh kepercayaan yang menanti keselamatan Tuhan, tanpa mengeluh, tanpa menggerutu, tanpa membiarkan diri kita bersedih. Apa yang tampak seperti hukuman akan berubah menjadi rahmat, sebuah demonstrasi baru kasih Allah kepada kita. Memahami bagaimana menanti dalam diam - tanpa berbincang, dalam keheningan - karena keselamatan Tuhan adalah sebuah seni, di jalan menuju kekudusan. Marilah kita membudidayakannya. Waktu hidup kita yang sangat berharga : sekarang melebihi sebelumnya tidak perlu berteriak, menimbulkan hiruk-pikuk, menjadi pahit; apa yang dibutuhkan kita masing-masing adalah memberi kesaksian dengan hidup kita terkait iman kita, yang merupakan harapan yang patuh dan penuh harapan. Iman adalah hal ini : harapan yang patuh dan penuh harapan. Umat Kristiani tidak mengurangi keseriusan penderitaan, tidak, tetapi mereka mengarahkan pandangan mereka kepada Tuhan dan di bawah pukulan kesengsaraan mereka percaya kepada-Nya dan berdoa : mereka mendoakan orang-orang yang menderita. Ia terus menatap Surga, tetapi tangannya selalu terulur ke bumi, untuk melayani sesamanya secara nyata. Bahkan di saat kesedihan, kegelapan : pelayanan.

 

Dalam semangat ini, kita mendoakan para Kardinal dan Uskup yang telah meninggalkan kita pada tahun lalu. Beberapa dari mereka meninggal akibat Covid-19, dalam situasi sulit yang memperparah penderitaan mereka. Semoga saudara-saudara kita ini sekarang menikmati sukacita ajakan Injil yang disampaikan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya yang setia : “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan” (Mat 25:34).

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2021)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.