Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS, RASUL 29 Juni 2022 : BANGUNLAH SEGERA DAN MENGAKHIRI PERTANDINGAN YANG BAIK

Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.

 

NB : berhubung Paus Fransiskus masih mengalami cedera kaki yang tidak memungkinkannya untuk berdiri lama, Misa dipersembahkan oleh Giovanni Battista Kardinal Re, Ketua Dewan Kardinal.

 

Kesaksian yang diberikan oleh dua Rasul besar Petrus dan Paulus hari ini menjadi hidup sekali lagi dalam liturgi Gereja. Petrus, yang dipenjarakan oleh Raja Herodes, diberitahu oleh seorang malaikat Tuhan : "Bangunlah segera!" (Kis 12:7), sementara Paulus, melihat kembali seluruh hidupnya dan kerasulan berkata : "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik" (2 Tim 4:7). Marilah kita merenungkan dua kalimat ini – “bangunlah segera” dan “mengakhiri pertandingan yang baik” – serta tanyakanlah apa yang hendaknya mereka katakan kepada komunitas Kristiani dewasa ini, yang terlibat dalam proses sinode.

 

Pertama, Kisah Para Rasul menceritakan kepada kita tentang malam ketika Petrus dibebaskan dari belenggu penjara. Seorang malaikat Tuhan menepuknya saat ia sedang tidur, dan membangunkannya, katanya, "Bangunlah segera!" (Kis 12:7). Malaikat itu membangunkan Petrus dan menyuruhnya bangun. Adegan itu mengingatkan kita pada Paskah, karena mengandung dua kata kerja yang ada dalam kisah kebangkitan : membangunkan dan bangun. Malaikat tersebut membangunkan Petrus dari tidur kematian dan mendesaknya untuk bangun, bangkit dan berangkat menuju terang, membiarkan dirinya dibimbing oleh Allah dalam melewati semua pintu tertutup di sepanjang jalan (bdk. ayat 10). Gambaran ini memiliki makna yang besar bagi Gereja. Kita juga, sebagai murid Tuhan dan komunitas Kristiani, dipanggil untuk segera bangun, masuk ke dalam misteri kebangkitan, dan membiarkan Tuhan membimbing kita di sepanjang jalan yang ingin ditunjukkan-Nya kepada kita.

 

Tetapi, kita mengalami banyak bentuk perlawanan batin yang menghalangi kita untuk berangkat. Kadang-kadang, sebagai Gereja, kita dikuasai oleh kemalasan; kita lebih suka duduk dan merenungkan beberapa hal pasti yang kita miliki, daripada bangun dan melihat cakrawala baru, menuju laut lepas. Seringkali kita seperti Petrus yang dirantai, terpenjara oleh kebiasaan kita, takut akan perubahan dan terikat pada rantai rutinitas kita. Hal ini secara diam-diam mengarah pada kerohanian yang biasa-biasa saja : kita menanggung risiko "santai saja" dan "cari aman", juga dalam karya pastoral kita. Antusiasme kita untuk perutusan berkurang, serta bukannya menjadi tanda vitalitas dan kreativitas, akhirnya tampak suam-suam kuku dan lesu. Kemudian, arus besar kebaruan dan kehidupan yang adalah Injil berada di tangan kita – menggunakan kata-kata Pastor de Lubac – iman yang “terjerumus ke dalam formalisme dan kebiasaan…, upacara keagamaan dan devosi, semarak keagamaan dan penghiburan yang vulgar … sebuah kekristenan yang klerikal, formalistik, lemah dan tidak berperasaan” (Drama Humanisme Ateis).

 

Sinode yang sekarang sedang kita rayakan memanggil kita untuk menjadi Gereja yang bangkit, Gereja yang tidak berbalik pada dirinya sendiri, tetapi mampu maju terus, meninggalkan penjaranya sendiri dan berangkat menemui dunia, dengan keberanian untuk membuka pintu. Pada malam yang sama, ada godaan lain (bdk. Kis 12:12-17) : gadis muda itu sangat girang sehingga, alih-alih membuka pintu, ia masuk ke dalam untuk menceritakan apa yang tampaknya seperti mimpi. Marilah kita membuka pintu. Tuhan memanggil. Semoga kita tidak seperti Rode yang kembali masuk ke dalam.

 

Sebuah Gereja tanpa rantai dan tembok, yang di dalamnya setiap orang dapat merasa disambut dan didampingi, sebuah Gereja tempat mendengarkan, dialog dan keikutsertaan dikembangkan di bawah otoritas tunggal Roh Kudus. Gereja yang bebas dan rendah hati, yang “segera bangun” dan tidak menunda-nunda atau bermalas-malasan menghadapi tantangan zaman sekarang. Gereja yang tidak berlama-lama di tempat kudusnya, tetapi terdorong oleh antusiasme untuk pewartaan Injil serta keinginan untuk berjumpa dan menerima semua orang. Janganlah kita melupakan kata tersebut : semua orang. Semua orang! Pergilah ke persimpangan jalan dan undanglah semua orang, orang buta, orang tuli, orang lumpuh, orang sakit, orang benar dan orang berdosa : semua orang! Sabda Tuhan ini seharusnya terus bergema di dalam hati dan pikiran kita : di dalam Gereja ada tempat untuk semua orang. Sering kali, kita menjadi sebuah Gereja dengan pintu terbuka, tetapi hanya untuk mengusir orang, mengutuk orang. Kemarin salah seorang dari kamu berkata kepada saya, “Ini bukan waktunya bagi Gereja untuk menjadi pengusir, ini saatnya untuk menyambut”. "Mereka tidak datang ke perjamuan ..." - jadi pergilah ke persimpangan jalan. Undanglah semua orang, semua orang! “Tetapi mereka adalah orang berdosa…” – Semua orang!

 

Dalam Bacaan Kedua, kita mendengar kata-kata Paulus yang, mengingat kembali seluruh hidupnya, mengatakan : "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik" (2 Tim 4:7). Rasul Paulus mengacu pada situasi yang tak terhitung jumlahnya, beberapa ditandai dengan penganiayaan dan penderitaan, di mana ia tidak menyayangkan dirinya dalam memberitakan Injil Yesus. Sekarang di akhir hidupnya, ia melihat bahwa "pertarungan" besar masih terjadi dalam sejarah, karena banyak yang tidak mau menerima Yesus, lebih suka mengejar kepentingan mereka sendiri dan mengikuti guru-guru lain, lebih akomodatif, lebih mudah, lebih terhadap kesukaan kita. Paulus telah berjuang dalam pertarungannya dan, sekarang ia telah mengakhiri pertandingannya, ia meminta Timotius dan saudara-saudara sekomunitas untuk melanjutkan pekerjaannya dengan perhatian yang penuh kewaspadaan, berkhotbah dan mengajar. Singkatnya, masing-masing orang melaksanakan perutusan yang telah ia terima; masing-masing orang harus melakukan bagiannya.

 

Nasihat Paulus juga merupakan sabda kehidupan bagi kita; nasihat Paulus membuat kita menyadari bahwa, di dalam Gereja, kita semua dipanggil untuk menjadi murid-murid misioner dan memberikan kontribusi kita. Di sini ada dua pertanyaan yang muncul di benak saya. Pertanyaan pertama : Apa yang dapat kulakukan untuk Gereja? Bukan berkeluh kesah tentang Gereja, tetapi berkomitmen terhadap Gereja. Ikut serta dengan semangat dan kerendahan hati : dengan semangat, karena kita tidak boleh tetap menjadi penonton yang pasif; dengan kerendahan hati, karena berkomitmen dalam komunitas tidak pernah berarti menjadi pusat perhatian, menganggap diri kita lebih baik dan menghalangi orang lain mendekat. Itulah yang dimaksud dengan Gereja sinodal : setiap orang memiliki peran untuk dimainkan, tidak ada individu yang menggantikan individu lain atau berada di atas individu lain. Tidak ada orang Kristiani kelas satu atau dua; semua orang telah dipanggil.

 

Ikut serta juga berarti melakukan “pertandingan yang baik” yang dibicarakan Paulus. Karena merupakan sebuah “pertarungan”, karena pemberitaan Injil tidak pernah netral – semoga Tuhan membebaskan kita dari mengencerkan Injil menjadi netral – pemberitaan Injil tidak pernah netral, tidak membiarkan hal-hal sebagaimana adanya; pemberitaan Injil tidak berkompromi dengan pemikiran dunia ini, melainkan menyalakan api kerajaan Allah di tengah permainan kekuasaan manusiawi, kejahatan, kekerasan, korupsi, ketidakadilan dan marginalisasi. Sejak Yesus bangkit dari antara orang mati, dan menjadi titik balik sejarah, “mulai ada pertarungan besar antara kehidupan dan kematian, antara harapan dan keputusasaan, antara pasrah terhadap yang terburuk dan berjuang untuk yang terbaik. Pertarungan yang tidak akan mengenal gencatan senjata sampai kekalahan definitif dari segenap kuasa kebencian dan kehancuran (C.M. Martini, Homili Paskah, 4 April 1999).

 

Lalu pertanyaan kedua : Apa yang dapat kita lakukan bersama, sebagai Gereja, untuk membuat dunia tempat kita hidup semakin manusiawi, adil dan bersetia kawan, semakin terbuka kepada Allah dan persaudaraan di antara manusia? Tentu saja kita tidak boleh mundur ke dalam lingkaran gerejawi kita dan tetap terpaku pada beberapa perdebatan kita yang sia-sia. Marilah kita berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam klerikalisme, karena klerikalisme adalah penyimpangan. Seorang pemangku jabatan yang klerikal, yang memiliki sikap klerikal, telah mengambil jalan yang salah; bahkan lebih buruk lagi adalah umat awam yang klerikal. Marilah kita waspada terhadap penyimpangan ini yaitu klerikalisme. Marilah kita saling membantu untuk menjadi ragi dalam adonan dunia ini. Bersama-sama kita dapat dan harus terus peduli terhadap kehidupan manusia, perlindungan ciptaan, martabat pekerjaan, masalah keluarga, perawatan orang tua dan semua orang yang ditinggalkan, ditolak atau diperlakukan dengan penghinaan. Singkatnya, kita dipanggil untuk menjadi Gereja yang mempromosikan budaya kepedulian, kelembutan dan kasih sayang terhadap kaum yang rentan. Gereja yang memerangi segala bentuk kerusakan dan pembusukan, termasuk kota-kota kita dan tempat-tempat yang sering kita kunjungi, sehingga dalam kehidupan setiap orang, sukacita Injil dapat bersinar. Inilah "pertarungan" kita, dan inilah tantangan kita. Godaan untuk berdiri terpaku sangat besar; godaan nostalgia yang membuat penglihatan kita memandang waktu lain lebih baik. Semoga kita tidak jatuh ke dalam godaan untuk “menoleh ke belakang”, yang dewasa ini menjadi mode di dalam Gereja.

 

Saudara-saudari hari ini, menurut tradisi yang baik, saya telah memberkati pallium untuk Uskup Agung Metropolitan yang baru saja diangkat, banyak dari mereka hadir pada perayaan kita. Dalam persekutuan dengan Petrus, mereka dipanggil untuk “segera bangun”, tidak tidur, dan melayani sebagai penjaga yang waspada atas domba-domba mereka. Bangun dan “mengakhiri pertandingan yang baik”, tidak pernah sendirian, tetapi bersama-sama dengan seluruh umat Allah yang kudus dan setia. Dan sebagai gembala yang baik, berdiri di depan umat, di antara umat, dan di belakang umat, tetapi selalu dengan umat Allah yang kudus dan setia, karena mereka sendiri juga bagian dari Umat Allah yang kudus dan setia.

 

Dengan hormat saya menyambut Delegasi Patriarkat Ekumenis yang diutus oleh saudara saya yang terkasih Bartholomew. Terima kasih atas kehadiranmu dan pesan yang kamu bawa dari Bartholomew! Terima kasih telah berjalan bersama-sama karena hanya dengan bersama-sama kita dapat menjadi benih Injil dan saksi persaudaraan.

 

Semoga Petrus dan Paulus menjadi perantara kita, perantara Kota Roma, perantara Gereja dan perantara seluruh dunia kita. Amin.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.