NB : berhubung Paus
Fransiskus masih mengalami cedera kaki yang tidak memungkinkannya untuk berdiri
lama, Misa dipersembahkan oleh Kevin Kardinal Farrell, Ketua Dikasteri untuk
Awam, Keluarga dan Kehidupan.
Sebagai
bagian dari Pertemuan Keluarga Sedunia X, inilah saat bersyukur. Dengan rasa
syukur hari ini kita membawa ke hadapan Allah - laksana dalam persembahan agung
- semua yang telah ditaburkan Roh Kudus di dalam dirimu, keluarga-keluarga
terkasih. Beberapa dari kamu telah ikut serta dalam saat bercermin dan berbagi
di sini di Vatikan; lainnya menjiwai dan menghayatinya di keuskupan
masing-masing, dalam semacam pertemuan yang sangat besar. Saya membayangkan
kekayaan pengalaman, ujud, impian, serta ada juga kekhawatiran dan
ketidakpastian. Sekarang marilah kita mempersembahkan segalanya kepada Tuhan,
dan memohon kepada-Nya untuk menopangmu dengan kekuatan dan kasih-Nya. Kamu
adalah ayah, ibu, anak-anak, kakek-nenek, paman; kamu adalah orang dewasa,
anak-anak, orang muda, orang tua; masing-masing dengan pengalaman keluarga yang
berbeda, tetapi semua memanjatkan doa dengan harapan yang sama : semoga Allah
memberkati dan melindungi keluargamu dan seluruh keluarga di dunia.
Dalam
Bacaan Kedua, Santo Paulus berbicara kepada kita tentang kebebasan. Kebebasan
adalah salah satu aset yang paling dihargai dan dicari oleh manusia modern masa
kini.
Setiap
orang ingin bebas, tidak dipersyaratkan, tidak dibatasi, dan oleh karena itu
mereka bercita-cita untuk membebaskan diri dari segala jenis
"penjara" : budaya, sosial, ekonomi. Tetapi, berapa banyak orang yang
tidak memiliki kebebasan terbesar : kebebasan batin! Kebebasan terbesar adalah
kebebasan batin. Rasul Paulus mengingatkan kita umat Kristiani bahwa hal ini
terutama merupakan karunia, ketika ia berseru : "Kristus telah membebaskan
kita untuk kebebasan!" (Gal 5:1). Kebebasan telah diberikan kepada kita.
Kita semua dilahirkan dengan banyak persyaratan lahiriah dan rohaniah, dan
terutama dengan berkecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, yaitu
menempatkan diri kita sebagai pusat dan mengejar kepentingan kita. Tetapi dari
perbudakan ini Kristus membebaskan kita. Untuk menghindari keraguan, Santo
Paulus memperingatkan kita bahwa kebebasan yang diberikan kepada kita oleh
Allah bukanlah kebebasan palsu dan kosong dari dunia, yang pada kenyataannya
adalah "dalih untuk keinginan daging" (Gal 5:13). Tidak, kebebasan
yang dibeli Kristus bagi kita dengan harga darah-Nya sepenuhnya berorientasi
pada kasih, sehingga - sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus dan ia
mengatakannya kepada kita hari ini - "layanilah seorang akan yang lain
oleh kasih" (Gal 5:13).
Kamu
semua para pasutri, dalam membentuk keluargamu, dengan rahmat Kristus telah
membuat pilihan yang berani ini : tidak menggunakan kebebasan untuk diri
sendiri, tetapi untuk mengasihi orang-orang yang telah ditempatkan Allah di
sisimu. Alih-alih hidup sebagai "pulau", kamu telah menempatkan
dirimu "untuk saling melayani". Beginilah kebebasan hidup dalam
keluarga! Tidak ada "planet" atau "satelit" yang
masing-masing bergerak dalam orbitnya sendiri. Keluarga adalah tempat
perjumpaan, berbagi, keluar dari diri sendiri untuk menyambut orang lain dan
berdiri di samping mereka. Keluarga adalah tempat pertama kamu belajar untuk
mengasihi. Jangan pernah melupakan hal ini : keluarga adalah tempat pertama
kamu belajar mengasihi.
Saudara-saudari,
seraya kita mengulangi hal ini dengan keyakinan yang besar, kita tahu betul
bahwa kenyataannya tidak selalu demikian, karena berbagai alasan dan banyak
situasi yang berbeda. Dan kemudian, saat kita menegaskan keindahan keluarga,
kita merasa lebih dari sebelumnya bahwa kita harus mempertahankannya. Kita
tidak membiarkannya tercemar oleh racun keegoisan, individualisme, budaya acuh
tak acuh dan budaya membuang, sehingga kehilangan "DNA"-nya yaitu
keramahan dan semangat melayani. Jejak keluarga : penerimaan, semangat
pelayanan dalam keluarga.
Hubungan
antara nabi Elia dan Elisa, yang disajikan dalam Bacaan Pertama, membuat kita
berpikir tentang hubungan antargenerasi, tentang "penyerahan tongkat
estafet" antara orangtua dan anak-anak. Hubungan di dunia sekarang ini
tidak sederhana dan sering menimbulkan kekhawatiran. Orangtua takut bahwa
anak-anak mereka tidak akan dapat menyesuaikan diri dalam kerumitan dan
kebingungan masyarakat kita, di mana segala sesuatu tampak kacau, genting, dan
pada akhirnya mereka akan tersesat. Ketakutan ini membuat sebagian orangtua
cemas, sebagian lainnya overprotektif, dan terkadang malah menghalangi
keinginan untuk menghadirkan kehidupan baru ke dunia.
Ada
baiknya kita bercermin pada hubungan antara Elia dan Elisa. Elia, di saat
krisis dan ketakutan akan masa depan, menerima perintah dari Allah untuk
mengurapi Elisa sebagai penggantinya. Allah membuat Elia mengerti bahwa dunia
tidak berakhir dengan dirinya dan memerintahkannya untuk menyerahkan
perutusannya kepada orang lain. Inilah arti dari gerakan yang digambarkan dalam
teks : Elia melemparkan jubahnya ke atas bahu Elisa, dan sejak saat itu sang
murid akan menggantikan sang guru untuk melanjutkan pelayanan kenabiannya di
Israel. Allah dengan demikian menunjukkan bahwa Ia percaya kepada Elisa yang
masih muda. Elia yang sudah tua memberikan tugas, panggilan kenabian kepada
Elisa. Ia memercayai seorang muda, ia memercayai masa depan. Dalam gerakan itu
ada semua harapan, dan semoga melewati tongkat estafet.
Betapa
pentingnya bagi orangtua untuk bercermin pada cara Allah bertindak! Allah
mengasihi orang muda, tetapi ini tidak berarti bahwa Ia melindungi mereka dari
setiap risiko, dari setiap tantangan dan dari setiap penderitaan. Allah tidak
cemas dan overprotektif. Pikirkan baik-baik, hal ini : Allah tidak cemas dan
overprotektif; sebaliknya, Ia memercayai orang muda dan memanggil mereka
masing-masing untuk menakar kehidupan dan perutusan. Kita memikirkan Samuel
yang masih kanak, Daud yang remaja, Yeremia yang muda; kita memikirkan terutama
gadis itu, yang saat berusia enam belas, tujuh belas mengandung Yesus, Perawan
Maria. Ia mempercayai seorang gadis. Orangtua yang terkasih, Sabda Allah
menunjukkan jalan kepada kita : bukan untuk melindungi anak-anak dari setiap
ketidaknyamanan dan penderitaan sekecil apa pun, tetapi untuk mencoba
menyampaikan kepada mereka semangat hidup, menyalakan di dalam diri mereka
keinginan untuk menemukan panggilan mereka dan merangkul perutusan agung yang
telah dipikirkan Allah untuk mereka. Justru penemuan inilah yang membuat Elisa
berani, berpendirian teguh dan menjadikannya dewasa. Perpisahan dari kedua
orangtuanya dan penyembelihan lembu justru merupakan tanda bahwa Elisa mengerti
bahwa sekarang "gilirannya", bahwa inilah saatnya untuk menerima
panggilan Allah dan melanjutkan apa yang telah dilihatnya dilakukan oleh
gurunya. Dan ia akan melakukannya dengan berani sampai akhir hayatnya. Orangtua
yang terkasih, jika kamu membantu anak-anakmu untuk menemukan dan menerima
panggilan mereka, kamu akan melihat bahwa mereka akan "direnggut"
oleh perutusan ini serta akan memiliki kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi
kesulitan hidup.
Saya
juga ingin menambahkan bahwa, bagi seorang pendidik, cara terbaik untuk
membantu orang lain mengikuti panggilannya adalah dengan merangkul panggilannya
sendiri dengan setia mengasihi. Inilah yang dilakukan oleh para murid yang
dilihat Yesus, dan Bacaan Injil hari ini menunjukkan kepada kita saat simbolis,
ketika Yesus membuat "keputusan tegas untuk pergi ke Yerusalem" (Luk
9:51), mengetahui sepenuhnya bahwa Ia akan dihukum di sana. dan dibunuh. Dan
dalam perjalanan ke Yerusalem, Yesus menderita penolakan oleh penduduk Samaria,
penolakan yang membangkitkan reaksi amarah Yakobus dan Yohanes, tetapi justru
Ia terima sebagai bagian dari panggilan-Nya : pada awalnya Ia ditolak di
Nazaret - marilah kita pikirkan pada hari itu di rumah ibadat Nazaret (bdk. Mat
13:53-58) -, sekarang di Samaria, dan pada akhirnya Ia akan ditolak di
Yerusalem. Yesus menerima semua ini karena Ia datang untuk menanggung dosa kita
ke atas diri-Nya. Demikian pula, tidak ada yang lebih membesarkan hati bagi
anak-anak selain melihat orangtua mereka menjalani pernikahan dan keluarga
sebagai perutusan, dengan kesetiaan dan kesabaran, terlepas dari segala
kesulitan, saat-saat sedih dan pencobaan. Dan apa yang terjadi pada Yesus di
Samaria terjadi dalam setiap panggilan Kristiani, bahkan panggilan keluarga.
Kita semua tahu itu : ada saat-saat ketika seseorang harus menanggung sendiri
penolakan, keterasingan, kesalahpahaman yang datang dari hati manusia dan,
dengan rahmat Kristus, mengubahnya menjadi penerimaan orang lain, menjadi kasih
tanpa pamrih.
Dan
dalam perjalanan ke Yerusalem, segera setelah kisah ini, yang menggambarkan
dalam arti tertentu "panggilan Yesus", Injil menyajikan kepada kita
tiga panggilan lain, tiga panggilan dari sebanyak mungkin calon murid Yesus.
Yang pertama diundang untuk tidak mencari tempat tinggal yang langgeng,
penginapan yang aman mengikuti Sang Guru. Memang, Ia "tidak mempunyai
tempat untuk meletakkan kepala-Nya" (Luk 9:58). Mengikuti Yesus berarti
bergerak dan selalu tetap bergerak, selalu "berjalan" bersama-Nya
melalui peristiwa-peristiwa kehidupan. Alangkah benarnya hal ini bagi kamu yang
sudah menikah! Kamu juga, menerima panggilan untuk pernikahan dan keluarga,
telah meninggalkan "sarang"-mu dan telah memulai perjalanan, di mana
kamu sebelumnya tidak dapat mengetahui semua tahapan, dan yang membuatmu terus
bergerak, dengan situasi yang selalu baru, peristiwa yang tak terduga, kejutan,
beberapa menyakitkan. Begitu juga perjalanan bersama Tuhan. Bersifat dinamis,
tidak dapat diduga, dan selalu merupakan penemuan yang luar biasa. Marilah kita
ingat bahwa selebihnya setiap murid Yesus justru melakukan kehendak Allah
setiap hari, apapun itu.
Murid
kedua diundang untuk tidak "pergi dahulu menguburkan orang mati"
(ayat 59-60). Undangan ini bukan masalah melanggar perintah keempat, yang
selalu tetap berlaku dan merupakan perintah yang sangat menguduskan kita;
sebaliknya merupakan undangan untuk mematuhi pertama-tama perintah pertama :
mengasihi Allah di atas segalanya. Hal ini juga terjadi pada murid ketiga, yang
dipanggil untuk mengikuti Kristus dengan tegas dan dengan segenap hatinya,
tanpa "menoleh ke belakang", bahkan tidak pamitan dahulu dengan keluarganya
(bdk. ayat 61-62).
Keluarga
terkasih, kamu juga diundang untuk tidak memiliki prioritas lain, "tidak
menoleh ke belakang", yaitu, tidak menyesali kehidupan sebelumnya,
kebebasan sebelumnya, dengan khayalan yang memperdaya : kehidupan menjadi fosil
ketika tidak menyambut kebaruan panggilan Allah, menyesali masa lalu. Dan cara
menyesali masa lalu dan tidak menerima berita yang disampaikan Allah kepada
kita, selalu membuat kita menjadi fosil; membuat kita kaku, tidak membuat kita
manusiawi. Ketika Yesus memanggil, bahkan untuk menikah dan berkeluarga, Ia
meminta kita untuk melihat ke depan dan selalu mendahului kita dalam
perjalanan, selalu mendahului kita dalam kasih dan pelayanan. Mereka yang mengikuti-Nya
tidak akan kecewa!
Saudara-saudari
terkasih, bacaan-bacaan liturgi hari ini semuanya berbicara tentang panggilan,
yang justru menjadi tema Pertemuan Keluarga Sedunia X ini : "Kasih
keluarga : panggilan dan jalan menuju kekudusan". Dengan kekuatan Sabda
Kehidupan ini, saya mendorongmu untuk melanjutkan perjalanan kasih keluarga
dengan tekad, berbagi sukacita panggilan ini dengan seluruh anggota keluarga.
Dan itu bukan jalan yang mudah, bukan jalan yang mudah : akan ada saat-saat
gelap, saat-saat sulit di mana kita akan berpikir bahwa semuanya sudah
berakhir. Semoga kasih yang kamu jalani di antaramu selalu terbuka, ramah, mampu
"menjamah" orang-orang yang paling lemah dan terluka yang kamu temui
di sepanjang jalan : orang-orang yang rapuh jiwa dan raga. Sesungguhnya, kasih
keluarga bahkan dimurnikan dan dikuatkan ketika diberikan.
Keberanian
untuk mempertaruhkan kasih keluarga : dibutuhkan keberanian untuk menikah. Kita
melihat banyak anak muda yang tidak berani menikah, dan berkali-kali beberapa
ibu mengatakan kepada saya : "Lakukan sesuatu, bicaralah dengan anakku,
yang belum menikah, ia sudah berusia 37 tahun!" - "Tetapi, nyonya,
jangan menyetrikakan bajunya, kamu mulai sedikit mengusirnya, biarkan ia keluar
dari sarangnya". Karena kasih keluarga mendorong anak-anak untuk terbang,
mengajari mereka terbang dan mendorong mereka untuk terbang. Kasih keluarga
tidak posesif : berasal dari kebebasan, selalu. Dan kemudian, di saat-saat
sulit, dalam krisis - semua keluarga mengalami krisis - tolong jangan mengambil
jalan mudah : "Aku akan kembali kepada ibuku". Tidak. Silakan dengan
taruhan yang berani ini. Akan ada masa-masa sulit, akan ada masa-masa sulit,
tetapi majulah, selalu. Suamimu, istrimu memiliki percikan kasih yang kamu
rasakan di awal : biarkanlah keluar dari hati, temukan kembali kasih. Dan ini
akan sangat membantu di saat krisis.
Gereja
bersamamu, sungguh, Gereja ada di dalam dirimu! Gereja, pada kenyataannya,
lahir dari sebuah keluarga, yaitu keluarga Nazaret, dan sebagian besar terdiri
dari keluarga. Semoga Tuhan membantumu setiap hari untuk tetap dalam kesatuan,
dalam damai, dalam sukacita dan juga dalam ketekunan di saat-saat sulit, setia
dalam ketekunan yang membuat kita hidup lebih baik dan menunjukkan kepada semua
orang bahwa Allah adalah kasih dan persekutuan hidup.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 26 Juni 2022)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.