Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENUTUPAN PERTEMUAN KELUARGA X (HARI MINGGU BIASA XIII) 25 Juni 2022

Bacaan Ekaristi : 1Raj 19:16b,19-21; Mzm 16:1-2a,5,7-8,9-10,11; Gal 5:1,13-18; Luk. 9:51-62.

 

NB : berhubung Paus Fransiskus masih mengalami cedera kaki yang tidak memungkinkannya untuk berdiri lama, Misa dipersembahkan oleh Kevin Kardinal Farrell, Ketua Dikasteri untuk Awam, Keluarga dan Kehidupan.

 

Sebagai bagian dari Pertemuan Keluarga Sedunia X, inilah saat bersyukur. Dengan rasa syukur hari ini kita membawa ke hadapan Allah - laksana dalam persembahan agung - semua yang telah ditaburkan Roh Kudus di dalam dirimu, keluarga-keluarga terkasih. Beberapa dari kamu telah ikut serta dalam saat bercermin dan berbagi di sini di Vatikan; lainnya menjiwai dan menghayatinya di keuskupan masing-masing, dalam semacam pertemuan yang sangat besar. Saya membayangkan kekayaan pengalaman, ujud, impian, serta ada juga kekhawatiran dan ketidakpastian. Sekarang marilah kita mempersembahkan segalanya kepada Tuhan, dan memohon kepada-Nya untuk menopangmu dengan kekuatan dan kasih-Nya. Kamu adalah ayah, ibu, anak-anak, kakek-nenek, paman; kamu adalah orang dewasa, anak-anak, orang muda, orang tua; masing-masing dengan pengalaman keluarga yang berbeda, tetapi semua memanjatkan doa dengan harapan yang sama : semoga Allah memberkati dan melindungi keluargamu dan seluruh keluarga di dunia.

 

Dalam Bacaan Kedua, Santo Paulus berbicara kepada kita tentang kebebasan. Kebebasan adalah salah satu aset yang paling dihargai dan dicari oleh manusia modern masa kini.

 

Setiap orang ingin bebas, tidak dipersyaratkan, tidak dibatasi, dan oleh karena itu mereka bercita-cita untuk membebaskan diri dari segala jenis "penjara" : budaya, sosial, ekonomi. Tetapi, berapa banyak orang yang tidak memiliki kebebasan terbesar : kebebasan batin! Kebebasan terbesar adalah kebebasan batin. Rasul Paulus mengingatkan kita umat Kristiani bahwa hal ini terutama merupakan karunia, ketika ia berseru : "Kristus telah membebaskan kita untuk kebebasan!" (Gal 5:1). Kebebasan telah diberikan kepada kita. Kita semua dilahirkan dengan banyak persyaratan lahiriah dan rohaniah, dan terutama dengan berkecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, yaitu menempatkan diri kita sebagai pusat dan mengejar kepentingan kita. Tetapi dari perbudakan ini Kristus membebaskan kita. Untuk menghindari keraguan, Santo Paulus memperingatkan kita bahwa kebebasan yang diberikan kepada kita oleh Allah bukanlah kebebasan palsu dan kosong dari dunia, yang pada kenyataannya adalah "dalih untuk keinginan daging" (Gal 5:13). Tidak, kebebasan yang dibeli Kristus bagi kita dengan harga darah-Nya sepenuhnya berorientasi pada kasih, sehingga - sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus dan ia mengatakannya kepada kita hari ini - "layanilah seorang akan yang lain oleh kasih" (Gal 5:13).

 

Kamu semua para pasutri, dalam membentuk keluargamu, dengan rahmat Kristus telah membuat pilihan yang berani ini : tidak menggunakan kebebasan untuk diri sendiri, tetapi untuk mengasihi orang-orang yang telah ditempatkan Allah di sisimu. Alih-alih hidup sebagai "pulau", kamu telah menempatkan dirimu "untuk saling melayani". Beginilah kebebasan hidup dalam keluarga! Tidak ada "planet" atau "satelit" yang masing-masing bergerak dalam orbitnya sendiri. Keluarga adalah tempat perjumpaan, berbagi, keluar dari diri sendiri untuk menyambut orang lain dan berdiri di samping mereka. Keluarga adalah tempat pertama kamu belajar untuk mengasihi. Jangan pernah melupakan hal ini : keluarga adalah tempat pertama kamu belajar mengasihi.

 

Saudara-saudari, seraya kita mengulangi hal ini dengan keyakinan yang besar, kita tahu betul bahwa kenyataannya tidak selalu demikian, karena berbagai alasan dan banyak situasi yang berbeda. Dan kemudian, saat kita menegaskan keindahan keluarga, kita merasa lebih dari sebelumnya bahwa kita harus mempertahankannya. Kita tidak membiarkannya tercemar oleh racun keegoisan, individualisme, budaya acuh tak acuh dan budaya membuang, sehingga kehilangan "DNA"-nya yaitu keramahan dan semangat melayani. Jejak keluarga : penerimaan, semangat pelayanan dalam keluarga.

 

Hubungan antara nabi Elia dan Elisa, yang disajikan dalam Bacaan Pertama, membuat kita berpikir tentang hubungan antargenerasi, tentang "penyerahan tongkat estafet" antara orangtua dan anak-anak. Hubungan di dunia sekarang ini tidak sederhana dan sering menimbulkan kekhawatiran. Orangtua takut bahwa anak-anak mereka tidak akan dapat menyesuaikan diri dalam kerumitan dan kebingungan masyarakat kita, di mana segala sesuatu tampak kacau, genting, dan pada akhirnya mereka akan tersesat. Ketakutan ini membuat sebagian orangtua cemas, sebagian lainnya overprotektif, dan terkadang malah menghalangi keinginan untuk menghadirkan kehidupan baru ke dunia.

 

Ada baiknya kita bercermin pada hubungan antara Elia dan Elisa. Elia, di saat krisis dan ketakutan akan masa depan, menerima perintah dari Allah untuk mengurapi Elisa sebagai penggantinya. Allah membuat Elia mengerti bahwa dunia tidak berakhir dengan dirinya dan memerintahkannya untuk menyerahkan perutusannya kepada orang lain. Inilah arti dari gerakan yang digambarkan dalam teks : Elia melemparkan jubahnya ke atas bahu Elisa, dan sejak saat itu sang murid akan menggantikan sang guru untuk melanjutkan pelayanan kenabiannya di Israel. Allah dengan demikian menunjukkan bahwa Ia percaya kepada Elisa yang masih muda. Elia yang sudah tua memberikan tugas, panggilan kenabian kepada Elisa. Ia memercayai seorang muda, ia memercayai masa depan. Dalam gerakan itu ada semua harapan, dan semoga melewati tongkat estafet.

 

Betapa pentingnya bagi orangtua untuk bercermin pada cara Allah bertindak! Allah mengasihi orang muda, tetapi ini tidak berarti bahwa Ia melindungi mereka dari setiap risiko, dari setiap tantangan dan dari setiap penderitaan. Allah tidak cemas dan overprotektif. Pikirkan baik-baik, hal ini : Allah tidak cemas dan overprotektif; sebaliknya, Ia memercayai orang muda dan memanggil mereka masing-masing untuk menakar kehidupan dan perutusan. Kita memikirkan Samuel yang masih kanak, Daud yang remaja, Yeremia yang muda; kita memikirkan terutama gadis itu, yang saat berusia enam belas, tujuh belas mengandung Yesus, Perawan Maria. Ia mempercayai seorang gadis. Orangtua yang terkasih, Sabda Allah menunjukkan jalan kepada kita : bukan untuk melindungi anak-anak dari setiap ketidaknyamanan dan penderitaan sekecil apa pun, tetapi untuk mencoba menyampaikan kepada mereka semangat hidup, menyalakan di dalam diri mereka keinginan untuk menemukan panggilan mereka dan merangkul perutusan agung yang telah dipikirkan Allah untuk mereka. Justru penemuan inilah yang membuat Elisa berani, berpendirian teguh dan menjadikannya dewasa. Perpisahan dari kedua orangtuanya dan penyembelihan lembu justru merupakan tanda bahwa Elisa mengerti bahwa sekarang "gilirannya", bahwa inilah saatnya untuk menerima panggilan Allah dan melanjutkan apa yang telah dilihatnya dilakukan oleh gurunya. Dan ia akan melakukannya dengan berani sampai akhir hayatnya. Orangtua yang terkasih, jika kamu membantu anak-anakmu untuk menemukan dan menerima panggilan mereka, kamu akan melihat bahwa mereka akan "direnggut" oleh perutusan ini serta akan memiliki kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan hidup.

 

Saya juga ingin menambahkan bahwa, bagi seorang pendidik, cara terbaik untuk membantu orang lain mengikuti panggilannya adalah dengan merangkul panggilannya sendiri dengan setia mengasihi. Inilah yang dilakukan oleh para murid yang dilihat Yesus, dan Bacaan Injil hari ini menunjukkan kepada kita saat simbolis, ketika Yesus membuat "keputusan tegas untuk pergi ke Yerusalem" (Luk 9:51), mengetahui sepenuhnya bahwa Ia akan dihukum di sana. dan dibunuh. Dan dalam perjalanan ke Yerusalem, Yesus menderita penolakan oleh penduduk Samaria, penolakan yang membangkitkan reaksi amarah Yakobus dan Yohanes, tetapi justru Ia terima sebagai bagian dari panggilan-Nya : pada awalnya Ia ditolak di Nazaret - marilah kita pikirkan pada hari itu di rumah ibadat Nazaret (bdk. Mat 13:53-58) -, sekarang di Samaria, dan pada akhirnya Ia akan ditolak di Yerusalem. Yesus menerima semua ini karena Ia datang untuk menanggung dosa kita ke atas diri-Nya. Demikian pula, tidak ada yang lebih membesarkan hati bagi anak-anak selain melihat orangtua mereka menjalani pernikahan dan keluarga sebagai perutusan, dengan kesetiaan dan kesabaran, terlepas dari segala kesulitan, saat-saat sedih dan pencobaan. Dan apa yang terjadi pada Yesus di Samaria terjadi dalam setiap panggilan Kristiani, bahkan panggilan keluarga. Kita semua tahu itu : ada saat-saat ketika seseorang harus menanggung sendiri penolakan, keterasingan, kesalahpahaman yang datang dari hati manusia dan, dengan rahmat Kristus, mengubahnya menjadi penerimaan orang lain, menjadi kasih tanpa pamrih.

 

Dan dalam perjalanan ke Yerusalem, segera setelah kisah ini, yang menggambarkan dalam arti tertentu "panggilan Yesus", Injil menyajikan kepada kita tiga panggilan lain, tiga panggilan dari sebanyak mungkin calon murid Yesus. Yang pertama diundang untuk tidak mencari tempat tinggal yang langgeng, penginapan yang aman mengikuti Sang Guru. Memang, Ia "tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya" (Luk 9:58). Mengikuti Yesus berarti bergerak dan selalu tetap bergerak, selalu "berjalan" bersama-Nya melalui peristiwa-peristiwa kehidupan. Alangkah benarnya hal ini bagi kamu yang sudah menikah! Kamu juga, menerima panggilan untuk pernikahan dan keluarga, telah meninggalkan "sarang"-mu dan telah memulai perjalanan, di mana kamu sebelumnya tidak dapat mengetahui semua tahapan, dan yang membuatmu terus bergerak, dengan situasi yang selalu baru, peristiwa yang tak terduga, kejutan, beberapa menyakitkan. Begitu juga perjalanan bersama Tuhan. Bersifat dinamis, tidak dapat diduga, dan selalu merupakan penemuan yang luar biasa. Marilah kita ingat bahwa selebihnya setiap murid Yesus justru melakukan kehendak Allah setiap hari, apapun itu.

 

Murid kedua diundang untuk tidak "pergi dahulu menguburkan orang mati" (ayat 59-60). Undangan ini bukan masalah melanggar perintah keempat, yang selalu tetap berlaku dan merupakan perintah yang sangat menguduskan kita; sebaliknya merupakan undangan untuk mematuhi pertama-tama perintah pertama : mengasihi Allah di atas segalanya. Hal ini juga terjadi pada murid ketiga, yang dipanggil untuk mengikuti Kristus dengan tegas dan dengan segenap hatinya, tanpa "menoleh ke belakang", bahkan tidak pamitan dahulu dengan keluarganya (bdk. ayat 61-62).

 

Keluarga terkasih, kamu juga diundang untuk tidak memiliki prioritas lain, "tidak menoleh ke belakang", yaitu, tidak menyesali kehidupan sebelumnya, kebebasan sebelumnya, dengan khayalan yang memperdaya : kehidupan menjadi fosil ketika tidak menyambut kebaruan panggilan Allah, menyesali masa lalu. Dan cara menyesali masa lalu dan tidak menerima berita yang disampaikan Allah kepada kita, selalu membuat kita menjadi fosil; membuat kita kaku, tidak membuat kita manusiawi. Ketika Yesus memanggil, bahkan untuk menikah dan berkeluarga, Ia meminta kita untuk melihat ke depan dan selalu mendahului kita dalam perjalanan, selalu mendahului kita dalam kasih dan pelayanan. Mereka yang mengikuti-Nya tidak akan kecewa!

 

Saudara-saudari terkasih, bacaan-bacaan liturgi hari ini semuanya berbicara tentang panggilan, yang justru menjadi tema Pertemuan Keluarga Sedunia X ini : "Kasih keluarga : panggilan dan jalan menuju kekudusan". Dengan kekuatan Sabda Kehidupan ini, saya mendorongmu untuk melanjutkan perjalanan kasih keluarga dengan tekad, berbagi sukacita panggilan ini dengan seluruh anggota keluarga. Dan itu bukan jalan yang mudah, bukan jalan yang mudah : akan ada saat-saat gelap, saat-saat sulit di mana kita akan berpikir bahwa semuanya sudah berakhir. Semoga kasih yang kamu jalani di antaramu selalu terbuka, ramah, mampu "menjamah" orang-orang yang paling lemah dan terluka yang kamu temui di sepanjang jalan : orang-orang yang rapuh jiwa dan raga. Sesungguhnya, kasih keluarga bahkan dimurnikan dan dikuatkan ketika diberikan.

 

Keberanian untuk mempertaruhkan kasih keluarga : dibutuhkan keberanian untuk menikah. Kita melihat banyak anak muda yang tidak berani menikah, dan berkali-kali beberapa ibu mengatakan kepada saya : "Lakukan sesuatu, bicaralah dengan anakku, yang belum menikah, ia sudah berusia 37 tahun!" - "Tetapi, nyonya, jangan menyetrikakan bajunya, kamu mulai sedikit mengusirnya, biarkan ia keluar dari sarangnya". Karena kasih keluarga mendorong anak-anak untuk terbang, mengajari mereka terbang dan mendorong mereka untuk terbang. Kasih keluarga tidak posesif : berasal dari kebebasan, selalu. Dan kemudian, di saat-saat sulit, dalam krisis - semua keluarga mengalami krisis - tolong jangan mengambil jalan mudah : "Aku akan kembali kepada ibuku". Tidak. Silakan dengan taruhan yang berani ini. Akan ada masa-masa sulit, akan ada masa-masa sulit, tetapi majulah, selalu. Suamimu, istrimu memiliki percikan kasih yang kamu rasakan di awal : biarkanlah keluar dari hati, temukan kembali kasih. Dan ini akan sangat membantu di saat krisis.

 

Gereja bersamamu, sungguh, Gereja ada di dalam dirimu! Gereja, pada kenyataannya, lahir dari sebuah keluarga, yaitu keluarga Nazaret, dan sebagian besar terdiri dari keluarga. Semoga Tuhan membantumu setiap hari untuk tetap dalam kesatuan, dalam damai, dalam sukacita dan juga dalam ketekunan di saat-saat sulit, setia dalam ketekunan yang membuat kita hidup lebih baik dan menunjukkan kepada semua orang bahwa Allah adalah kasih dan persekutuan hidup.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Juni 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.