Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (PENUTUPAN KONGRES NASIONAL EKARISTI KE-27) DI KOTA MATERA 25 September 2022 : ROTI HARUS DIBAGIKAN DI MEJA DUNIA

Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.


Tuhan mengumpulkan kita di sekeliling meja-Nya, menjadikan diri-Nya roti untuk kita : "Roti pesta di atas meja anak-anak, [...] menciptakan hal berbagi, memperkuat ikatan, memiliki citarasa persekutuan" (Madah Rohani XVII Kongres Nasional Ekaristi, Matera 2022). Namun, Bacaan Injil yang baru saja kita dengar memberitahu kita bahwa roti tidak selalu dibagikan di meja dunia : ini benar; aroma persekutuan tidak selalu terpancar; roti tidak selalu dipecah-pecahkan secara adil.

 

Ada baiknya kita berhenti di depan adegan dramatis yang digambarkan oleh Yesus dalam perumpamaan yang telah kita dengar ini : di satu sisi, orang kaya berpakaian jubah ungu dan kain halus, yang memamerkan kemewahan dan pesta poranya; di sisi lain, orang miskin, penuh dengan borok, yang berbaring di dekat pintu mengharapkan dapat memakan remah-remah yang jatuh dari meja orang kaya. Dan dalam menghadapi kontradiksi ini - yang kita lihat setiap hari - di hadapan kontradiksi ini kita bertanya pada diri kita : untuk apakah sakramen Ekaristi, sumber dan puncak kehidupan Kristiani, mengundang kita?


Pertama-tama, Ekaristi mengingatkan kita akan keutamaan Allah. Orang kaya dalam perumpamaan itu tidak terbuka terhadap hubungan dengan Allah : ia hanya memikirkan kesejahteraannya, memuaskan kebutuhannya, menikmati hidup. Dan dengan ini ia juga kehilangan nama. Bacaan Injil tidak mengatakan siapa namanya : Injil menamainya dengan kata sifat "kaya", sebaliknya orang miskin disebut namanya : Lazarus. Kekayaan membawamu ke sini, kekayaan juga melucuti dirimu dari namamu. Puas dengan dirinya sendiri, mabuk dengan uang, terpana oleh perkara kesia-siaan, tidak ada ruang bagi Allah dalam hidupnya karena ia hanya menyembah dirinya sendiri. Tidak mengherankan, namanya tidak disebutkan sehubungan dengan dirinya : kita menyebutnya "kaya", kita mendefinisikannya hanya dengan kata sifat karena ia sekarang telah kehilangan namanya, ia telah kehilangan jatidirinya yang hanya diberikan oleh barang yang dimilikinya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bahkan hari ini, ketika kita merancukan siapa diri kita dengan apa yang kita miliki, ketika kita menilai orang dari kekayaan yang mereka miliki, dengan gelar yang mereka tunjukkan, dengan peran yang mereka pegang atau dengan merek pakaian yang mereka kenakan. Agama yang berkenaan dengan memiliki dan penampilan, yang sering mendominasi pemandangan dunia ini, tetapi pada akhirnya meninggalkan kita dengan tangan kosong : selalu. Faktanya, orang kaya dalam Bacaan Injil ini bahkan tidak memiliki nama. Ia bukan siapa-siapa lagi. Sebaliknya, orang miskin itu bernama, Lazarus, yang berarti "Allah menolong". Bahkan dalam kondisi miskin dan terpinggirkan, ia dapat menjaga martabatnya tetap utuh karena ia hidup dalam hubungan dengan Allah. Dalam namanya terkandung sesuatu dari Allah dan Allah adalah harapan yang tak tergoyahkan dalam hidupnya.

 

Kemudian di sinilah tantangan tetap yang ditawarkan Ekaristi bagi hidup kita : menyembah Allah dan bukan diri kita, bukan diri kita. Menempatkan Allah sebagai pusat dan bukan kesombongan diri kita. Mengingatkan kita bahwa hanya di sinilah tantangan tetap yang ditawarkan Ekaristi bagi hidup kita : menyembah Allah dan bukan diri kita, bukan diri kita. Menempatkan Dia sebagai pusat dan bukan kesombongan diri kita. Mengingatkan kita bahwa hanya Tuhan adalah Allah dan segala sesuatu yang lainnya adalah rahmat-Nya bagi kita. Karena jika kita menyembah diri kita, kita mati dalam sesak napas kecilnya diri kita; jika kita menyembah kekayaan dunia ini, mereka menguasai dan memperbudak kita; jika kita menyembah ilah penampilan dan mabuk pemborosan, cepat atau lambat kehidupan itu sendiri akan menagih kita. Hidup selalu menagih kita. Di sisi lain, ketika kita menyembah Tuhan Yesus yang hadir dalam Ekaristi, kita juga menerima pandangan baru dalam hidup kita : aku bukan hal-hal yang kumiliki atau keberhasilan yang kuperoleh; nilai hidupku tidak tergantung pada seberapa banyak aku berhasil menunjukkannya dan juga tidak berkurang ketika aku menghadapi kegagalan demi kegagalan. Aku adalah anak terkasih, kita masing-masing adalah anak terkasih; aku diberkati oleh Allah; Ia ingin mendandaniku dengan kecantikan dan Ia ingin aku bebas, Ia ingin aku bebas dari segala perbudakan. Marilah kita ingat hal ini : siapa pun yang menyembah Allah tidak menjadi budak siapa pun : ia bebas. Marilah temukan kembali doa penyembahan, doa yang sering terlupakan.

 

Menyembah, doa penyembahan, marilah kita temukan kembali : doa penyembahan membebaskan kita dan memulihkan martabat kita sebagai anak-anak, bukan sebagai hamba.

 

Selain keutamaan Allah, Ekaristi memanggil kita untuk mengasihi saudara kita. Roti ini terutama adalah sakramen kasih. Kristuslah yang menawarkan diri-Nya dan kelegaan bagi kita serta meminta kita untuk melakukan hal yang sama, sehingga hidup kita menjadi gandum pokok dan menjadi roti yang memberi makan saudara-saudara kita. Orang kaya dalam Bacaan Injil gagal dalam tugas ini; ia hidup dalam kemewahan, berpesta pora bahkan tanpa memperhatikan tangisan sunyi Lazarus yang malang, yang terbaring kelelahan di depan pintunya. Hanya pada akhir hidupnya, ketika Allah membalikkan nasibnya, ia akhirnya melihat Lazarus, tetapi Abraham mengatakan kepadanya : "Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi" (Luk 16:26). Tetapi kamu menetapkanya : kamu sendiri. Ini adalah kita, ketika dalam keegoisan kita membelalak pada jurang. Orang kayalah yang menggali jurang antara dirinya dan Lazarus selama hidupnya di dunia dan sekarang, dalam kehidupan abadi, jurang itu tetap ada. Karena masa depan kekal kita bergantung pada kehidupan sekarang ini : jika sekarang kita menggali sebuah jurang dengan saudara-saudari kita -, kita “menggali kubur” untuk alam baka; jika sekarang kita membangun tembok melawan saudara-saudari kita, kita tetap terpenjara dalam kesepian dan kematian bahkan setelahnya.

 

Saudara-saudari yang terkasih, sungguh menyakitkan melihat perumpamaan ini masih menjadi sejarah di zaman kita : ketidakadilan, kesenjangan, sumber daya bumi yang disalurkan secara tidak merata, yang kuat menyalahgunakan yang lemah, ketidakpedulian terhadap jeritan orang miskin, jurang yang kita gali setiap hari dengan menghasilkan marginalisasi, tidak bisa - semua ini - meninggalkan kita acuh tak acuh. Maka hari ini, bersama-sama, kita mengakui bahwa Ekaristi adalah nubuat tentang dunia baru, kehadiran Yesus meminta kita untuk berkomitmen agar terjadi pertobatan yang efektif : pertobatan dari ketidakpedulian menjadi belas kasih, pertobatan dari pemborosan menjadi berbagi, pertobatan dari keegoisan menjadi kasih, pertobatan dari individualisme menjadi persaudaraan.

 

Saudara-saudara, kita bermimpi. Kita memimpikan sebuah Gereja seperti ini : Gereja Ekaristis. Terdiri dari pria dan wanita yang dipecah seperti roti untuk semua orang yang mengunyah kesepian dan kemiskinan, untuk mereka yang haus akan kelembutan dan kasih sayang, untuk mereka yang hidupnya hancur karena ragi harapan yang baik telah gagal. Sebuah Gereja yang berlutut di hadapan Ekaristi dan menyembah Tuhan hadir dalam rupa roti dengan keheranan; tetapi yang juga tahu bagaimana membungkuk dengan belas kasih dan kelembutan di depan luka-luka orang-orang yang menderita, membebaskan orang-orang miskin, mengeringkan air mata orang-orang yang menderita, menjadikan diri mereka roti harapan dan sukacita bagi semua orang. Karena tidak ada ibadat Ekaristi sejati tanpa belas kasihan bagi banyak "Lazarus" yang bahkan hari ini berjalan di samping kita. Banyak!

 

Saudara, saudari, dari kota Matera ini, "kota roti", saya ingin memberitahumu : marilah kembali kepada Yesus, marilah kembali kepada Ekaristi. Marilah kita kembali kepada citarasa roti, karena sementara kita haus akan kasih dan harapan, atau kita hancur oleh kesulitan dan penderitaan hidup, Yesus menjadi santapan yang memberi kita makan dan menyembuhkan kita. Marilah kita kembali kepada citarasa roti, karena sementara ketidakadilan dan diskriminasi terhadap orang miskin terus dikonsumsi di dunia, Yesus memberi kita Roti berbagi dan mengutus kita setiap hari sebagai rasul persaudaraan, rasul keadilan, rasul perdamaian. Marilah kita kembali kepada citarasa roti untuk menjadi Gereja Ekaristis, yang menempatkan Yesus sebagai pusat dan menjadi roti kelembutan, roti rahmat bagi semua orang. Marilah kita kembali kepada citarasa roti untuk mengingat bahwa, sementara keberadaan duniawi kita sedang dikonsumsi, Ekaristi mengantisipasi janji kebangkitan dan membimbing kita menuju kehidupan baru yang mengalahkan kematian.

 

Hari ini marilah kita memikirkan dengan sungguh-sungguh orang kaya dan Lazarus. Ini terjadi setiap hari. Dan berkali-kali juga - biarlah kita malu - perjuangan ini terjadi di dalam diri kita, di antara kita, di dalam masyarakat. Dan ketika harapan padam dan kita merasakan dalam diri kita kesepian hati, kelelahan batin, siksaan dosa, ketakutan tidak tergantikan, kita kembali lagi kepada citarasa roti. Kita semua adalah orang berdosa: kita masing-masing membawa dosa kita sendiri. Tetapi, orang-orang berdosa, marilah kita kembali kepada citarasa Ekaristi, citarasa roti. Marilah kita kembali kepada Yesus, kita menyembah Yesus, kita menyambut Yesus. Karena hanya Dia yang mengalahkan maut dan selalu memperbaharui hidup kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 25 September 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.