Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI EXPO GROUNDS, NUR-SULTAN (KAZAKHSTAN) 14 September 2022 : ULAR YANG MEMAGUT DAN ULAR YANG MENYELAMATKAN

Bacaan Ekaristi : Bil. 21:4-9; Mzm. 78:1-2,34-35,36-37,38; Flp. 2:6-11; Yoh. 3:13-17.

 

Salib adalah tiang gantung kematian. Namun hari ini kita merayakan peninggian salib Kristus, karena di kayu salib itu Yesus menanggung sendiri semua dosa kita dan kejahatan dunia kita, serta mengalahkannya dengan kasih-Nya. Itulah sebabnya kita merayakan Pesta hari ini. Sabda Allah yang baru saja kita dengar memberitahu kita jalannya, dengan membandingkan ular yang memagut dengan ular yang menyelamatkan. Marilah kita renungkan kedua gambar ini.

 

Pertama, ular yang memagut. Ular-ular ini menyerang orang-orang yang telah jatuh kembali ke dalam dosa karena berbicara menentang Allah. Berbicara menentang Allah seperti itu lebih dari sekadar menggerutu dan berkeluh-kesah; pada tingkat yang lebih dalam, tanda bahwa di dalam hati mereka, orang-orang Israel telah kehilangan kepercayaan kepada-Nya dan janji-janji-Nya. Saat umat Allah berjalan melalui padang gurun menuju tanah perjanjian, mereka menjadi lelah dan tidak dapat lagi menahan hati (bdk. Bil 21:4). Mereka menjadi putus asa; mereka kehilangan harapan, dan, pada titik tertentu, mereka bahkan tampak melupakan janji Tuhan. Mereka bahkan tidak memiliki kekuatan untuk percaya bahwa Tuhan sendiri yang sedang membimbing mereka menuju tanah kelimpahan.

 

Bukan suatu kebetulan bahwa orang-orang yang tidak lagi percaya kepada Allah dipagut ular tedung. Kita diingatkan akan ular pertama yang disebutkan dalam Kitab Suci, dalam Kitab Kejadian : si penggoda, yang meracuni hati Adam dan Hawa serta membuat mereka meragukan Allah. Iblis, dalam bentuk ular, menipu mereka dan menabur benih ketidakpercayaan kepada mereka, meyakinkan mereka bahwa Allah tidak baik, dan bahkan iri terhadap kebebasan dan kebahagiaan mereka. Sekarang, di padang gurun, ular muncul kembali, kali ini sebagai "ular-ular tedung" (ayat 6). Dengan kata lain, dosa asal kembali : orang Israel meragukan Allah; mereka tidak percaya kepada-Nya; mereka bersungut-sungut dan memberontak terhadap Dia yang memberi mereka kehidupan, serta dengan demikian mereka menemui ajal mereka. Di situlah hati yang tidak percaya berakhir!

 

Saudara-saudari terkasih, bagian pertama narasi ini meminta kita untuk memeriksa dengan cermat saat-saat dalam kehidupan pribadi dan komunitas kita ketika kepercayaan kita kepada Tuhan dan satu sama lain telah gagal. Seberapa sering kita menjadi kering, berkecil hati dan tidak sabar di padang gurun pribadi kita, dan kehilangan tujuan perjalanan kita! Di sini juga, di negara yang luas ini, ada padang gurun. Seluruh keindahan alamnya yang luar biasa juga dapat mengingatkan kita akan keletihan dan kegersangan yang kadang-kadang kita tanggung di dalam hati kita. Saat letih dan mengalami pencobaan, ketika kita tidak lagi memiliki kekuatan untuk menengadah kepada Allah. Situasi dalam hidup kita ketika, sebagai individu, sebagai Gereja dan sebagai masyarakat, kita dapat dipagut oleh ular ketidakpercayaan, diracuni oleh kekecewaan dan keputusasaan, pesimisme dan kepasrahan, dan hanya terjebak dengan diri kita sendiri, kurang antusias.

 

Namun negeri ini telah mengalami "pagutan" lain yang menyakitkan dalam sejarahnya. Saya memikirkan ular-ular tedung kekerasan, penganiayaan ateis dan seluruh masa sulit ketika kebebasan orang-orang terancam dan martabat mereka dihina. Sebaiknya kita tetap menghidupkan ingatan akan penderitaan itu dan tidak melupakan saat-saat suram tertentu; jika tidak, kita dapat menganggap semuanya itu sebagai air di bawah jembatan dan berpikir bahwa sekarang, segera dan untuk selamanya, kita berada di jalan yang benar. Tidak. Perdamaian tidak pernah tercapai sekali dan untuk selamanya; sebagaimana pembangunan seutuhnya, keadilan sosial dan hidup berdampingan yang rukun dari berbagai kelompok etnis dan tradisi agama harus kembali dicapai setiap hari. Semua pihak dituntut untuk berkomitmen jika Kazakhstan ingin terus bertumbuh dalam “persaudaraan, dialog, dan pemahaman… membangun jembatan kesetiakawanan dan kerjasama dengan orang-orang, bangsa-bangsa, dan budaya-budaya lainnya” (Santo Yohanes Paulus II, Wejangan pada Upacara Penyambutan, 22 September 2001). Namun bahkan sebelum itu, kita perlu memperbarui iman kita kepada Tuhan : menengadah, memandang kepada-Nya dan belajar dari kasih-Nya yang bersifat semesta dan tersalib.

 

Maka kita sampai pada gambar kedua : ular yang menyelamatkan. Ketika banyak orang mati karena terpagut ular tedung, Allah mendengar doa pengantaraan Musa dan mengatakan kepadanya : “Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup” (Bil 21:8). Dan memang, “jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup” (ayat 9). Namun, kita mungkin bertanya : Mengapa Allah tidak membinasakan ular-ular tedung itu saja daripada memberikan petunjuk terperinci ini kepada Musa? Cara Allah bertindak mengungkapkan kepada kita cara-Nya menghadapi kejahatan, dosa, dan ketidakpercayaan umat manusia. Kemudian, seperti sekarang, dalam pertempuran rohani besar yang terus berlanjut sepanjang sejarah, Allah tidak menghancurkan hal-hal yang keji dan tidak berharga yang menjadi dipilih untuk dikejar oleh manusia. Ular tedung tidak menghilang; mereka selalu ada, menunggu, selalu siap memagut. Kemudian apa yang telah berubah, apa yang dilakukan Allah?

 

Yesus memberitahu kita dalam Bacaan Injil : “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:14-15). Ini adalah perubahan yang menentukan : ular yang menyelamatkan sekarang telah datang di antara kita. Yesus, yang ditinggikan di tiang salib, tidak memperkenankan ular tedung yang menyerang kita menyebabkan kematian. Menghadapi kesengsaraan kita, Allah memberi kita cakrawala baru : jika kita tetap menatap Yesus, sengat kejahatan tidak bisa lagi menguasai kita, karena di kayu salib Ia mengambil racun dosa dan kematian, serta menghancurkan kekuasaannya. Itulah tanggapan Bapa terhadap penyebaran kejahatan di dunia : Ia memberi kita Yesus, yang mendekat kepada kita dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2 Kor 5:21). Begitulah keagungan belas kasih ilahi yang tak terbatas : Yesus “menjadi dosa” karena kita. Yesus, dapat kita katakan, di kayu salib “menjadi seekor ular”, sehingga dengan memandang kepada-Nya kita dapat menahan pagutan berbisa dari ular-ular jahat yang menyerang kita.

 

Saudara-saudari, inilah jalan, jalan menuju keselamatan kita, kelahiran kembali dan kebangkitan kita : melihat Yesus yang disalibkan. Dari ketinggian salib, kita dapat melihat hidup kita dan sejarah bangsa kita secara baru. Karena dari salib Kristus kita belajar kasih, bukan kebencian; belas kasihan, bukan ketidakpedulian; pengampunan, bukan balas dendam. Tangan Yesus yang terentang adalah pelukan kasih yang lembut yang dengannya Allah ingin memeluk kita. Semua menunjukkan kepada kita panggilan kasih persaudaraan yang harus kita memiliki satu sama lain dan terhadap semua orang. Semua menunjukkan kepada kita jalan, jalan Kristiani. Bukan suatu jalan pembebanan dan pemaksaan, kekuasaan dan status; tidak pernah mengacung-acungkan salib Kristus terhadap saudara-saudari kita yang demi mereka Ia memberikan nyawa-Nya! Jalan Yesus, jalan keselamatan berbeda : jalan Yesus adalah jalan kasih yang bersifat semesta dan berlimpah kerendahan hati, tanpa "seandainya", "dan" atau "tetapi".

 

Ya, karena di kayu salib Kristus, bisa ular kejahatan menyingkir. Maka, menjadi seorang Kristiani, berarti hidup tanpa racun : tidak saling memagut, tidak berkeluh-kesah, menyalahkan dan memfitnah, tidak menyebarkan kejahatan, tidak mencemari bumi dengan dosa dan ketidakpercayaan yang berasal dari si jahat. Saudara-saudari, kita telah dilahirkan kembali dari lambung tertikam Yesus yang disalibkan. Semoga kita bebas dari racun maut (bdk. Keb 1:14), dan berdoa agar berkat rahmat Allah kita dapat menjadi semakin kristiani sepenuhnya : saksi-saksi kehidupan baru, kasih dan damai yang penuh sukacita.

 

[Ucapan terima kasih pada akhir Misa Kudus]

 

Terima kasih, Uskup Agung Peta, atas sambutan ramahmu baik. Terima kasih juga atas segala upaya yang dilakukan untuk persiapan perayaan ini dan kunjungan saya. Saya juga kembali mengungkapkan terima kasih saya yang tulus kepada otoritas sipil dan agama di negara ini. Saya menyapa kamu semua, saudara dan saudari, dan khususnya kamu yang datang dari negara-negara lain di Asia Tengah dan dari negara-negara yang jauh dari negeri yang luas ini. Dengan kasih sayang yang besar, saya memberkati orang tua dan orang sakit, anak-anak dan orang muda.

 

Hari ini, pada Pesta Salib Suci ini, kita merasa bersatu secara rohani dengan Tempat Suci Nasional Ratu Damai di Oziornoje. Uskup Tomash mengingatkan kita akan salibnya yang besar, bertuliskan kata-kata : "Terima kasih kepada Rakyat Kazakhstan" dan "Damai bagi Umat Manusia". Rasa syukur kepada Tuhan atas umat Allah yang kudus yang tinggal di negara besar ini, digabungkan dengan rasa syukur atas komitmennya untuk mempromosikan dialog, memohonkan perdamaian, perdamaian yang sangat dirindukan dunia kita.

 

Pikiran saya tertuju ke semua wilayah yang dilanda perang di dunia kita, dan khususnya Ukraina tercinta. Semoga kita tidak pernah terbiasa dengan perang, atau menyerah pada keniscayaan. Marilah kita datang untuk membantu mereka yang menderita dan bersikeras bahwa upaya tulus dilakukan untuk mencapai perdamaian. Apa yang masih perlu terjadi, dan berapa banyak kematian masih akan dibutuhkan, sebelum pertikaian menghasilkan dialog untuk kebaikan orang, bangsa dan seluruh umat manusia? Satu-satunya solusi adalah perdamaian dan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian adalah melalui dialog. Saya sedih mengetahui bahwa pada jam-jam ini telah terjadi ketegangan baru di wilayah Kaukasus. Marilah kita terus berdoa agar, di negeri-negeri ini juga, diskusi damai dan kerukunan akan menang atas ketidaksepakatan. Semoga dunia kita belajar bagaimana membangun perdamaian, paling tidak dengan membatasi perlombaan senjata dan mengubah jumlah besar yang dihabiskan untuk perang menjadi bantuan nyata bagi masyarakat. Saya berterima kasih kepada semua orang yang percaya akan hal ini; saya berterima kasih kepada kamu semua, serta semua pria dan wanita yang menjadi pembawa perdamaian dan persatuan!
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 14 September 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.