Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA SANTO STEFANUS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN Rebibbia ROMA 26 Desember 2024

Bacaan Ekaristi : Kis. 6:8-10; 7:54-59; Mzm. 31:3cd-4,6,8ab,16bc,17; Mat. 10:17-22.

 

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi dan selamat Natal!

 

Saya ingin membuka pintu lebar-lebar, hari ini, di sini. Saya membuka pintu yang pertama di Basilika Santo Petrus, pintu yang kedua adalah pintumu. Membuka, membuka: membuka pintu merupakan suatu isyarat yang indah. Namun, yang lebih penting adalah apa artinya membuka hati. Hati yang terbuka. Dan inilah yang dilakukan persaudaraan. Hati yang tertutup dan keras tidak membantu kehidupan kita. Karena alasan ini, membuka, membuka dan, terutama, membuka hati terhadap pengharapan adalah rahmat Yubelium. Pengharapan tidak mengecewakan (lih. Rm 5:5), tidak pernah! Pikirkan baik-baik hal ini. Saya pun berpikir begitu, karena di masa sulit kita berpikir bahwa semuanya sudah berakhir, tidak ada yang dapat diselesaikan. Namun pengharapan tidak pernah mengecewakan.

 

Saya lebih suka membayangkan pengharapan sebagai jangkar yang berada di pantai dan kita berada di sana memegang tali, aman, karena pengharapan kita seperti jangkar di daratan kering (lih Ibr 6:17-20). Jangan kehilangan pengharapan. Inilah pesan yang ingin saya sampaikan kepadamu; kepada semua orang, kepada kita semua. Saya yang pertama. Setiap orang. Jangan kehilangan pengharapan. Pengharapan tidak pernah mengecewakan. Tidak pernah. Kadang kala tali itu kasar dan melukai tangan kita… tetapi dengan tali, selalu dengan tali di tangan, sambil melihat ke arah pantai, jangkar membawa kita maju. Selalu ada sesuatu yang baik, selalu ada sesuatu yang membuat kita terus maju.

 

Tali di tangan dan, kedua, jendela terbuka lebar, pintu terbuka lebar. Terutama pintu hati. Ketika hati tertutup, ia menjadi keras seperti batu; ia lupa tentang kelembutan. Bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun – kita masing-masing mempunyai situasi sendiri, lebih mudah, lebih sulit, saya memikirkanmu – selalu dengan hati terbuka; hati, yang justru menjadikan kita bersaudara. Bukalah lebar-lebar pintu hatimu. Semua orang tahu cara melakukannya. Semua orang tahu mana pintu yang tertutup atau setengah tertutup. Semua orang tahu.

 

Saya mengatakan kepadamu dua hal. Pertama: tali di tangan, dengan jangkar pengharapan. Kedua: bukalah pintu hatimu lebar-lebar. Kita telah membuka yang ini, tetapi ini adalah simbol pintu hati kita.

 

Saya mendoakan agar kamu merayakan Yubelium dengan meriah. Saya mendoakan agar kamu selalu damai sejahtera, damai sejahtera. Dan setiap hari saya mendoakanmu. Sungguh. Bukan kiasan. Saya memikirkan dan mendoakanmu. Dan kamu mendoakan saya. Terima kasih.

 

[Kata-kata spontan setelah berkat penutup]

 

Sekarang jangan lupakan dua hal yang harus kita lakukan dengan tangan kita. Pertama: berpegang teguh pada tali pengharapan, berpegang teguh pada jangkar, pada tali. Jangan pernah meninggalkannya. Kedua: bukalah hatimu lebar-lebar. Hati yang terbuka. Semoga Tuhan membantu kita dalam semua ini. Terima kasih.

 

[Kata-kata spontan di akhir Misa Kudus]

 

Sebelum mengakhiri, saya mengucapkan selamat tahun baru kepada semuanya. Semoga tahun depan lebih baik dari tahun ini. Setiap tahun harus lebih baik. Kemudian dari sini saya ingin menyapa para narapidana yang masih berada di dalam sel, yang tidak dapat hadir. Salam untuk kamu semua.

 

Dan jangan lupa: berpegangan pada jangkar. Tangan saling bertautan. Jangan lupakan hal tersebut. Selamat Tahun Baru untuk semuanya. Terima kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Desember 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL 24 Desember 2024 : PENGHARAPAN TIDAK MENGECEWAKAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

 

Malaikat Tuhan, bermandikan cahaya, menerangi malam dan membawa kabar baik bagi para gembala: "Sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk segala bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Mesias, Tuhan, di kota Daud" (Luk 2:10-11). Surga bersinar di bumi di tengah-tengah keheranan orang miskin dan nyanyian para malaikat. Allah telah menjadi salah seorang dari kita untuk menjadikan kita seperti diri-Nya; Ia telah turun kepada kita untuk mengangkat dan mengembalikan kita ke pelukan Bapa.

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan kita. Allah adalah Imanuel, Allah beserta kita. Yang Maha Besar telah menjadikan diri-Nya kecil; cahaya ilahi telah bersinar di tengah kegelapan dunia kita; kemuliaan surga telah muncul di bumi. Dan bagaimana? Sebagai seorang anak kecil. Jika Allah dapat mengunjungi kita, bahkan ketika hati kita tampak seperti palungan yang hina, kita dapat benar-benar berkata: Pengharapan tidak mati; pengharapan hidup dan merangkul hidup kita selamanya. Pengharapan tidak mengecewakan!

 

Saudara-saudari, dengan dibukanya Pintu Suci, kita telah meresmikan Yubileum baru, dan kita masing-masing dapat memasuki misteri peristiwa yang luar biasa ini. Malam ini, pintu pengharapan telah terbuka lebar bagi dunia. Malam ini, Allah berbicara kepada kita masing-masing dan berkata: ada pengharapan juga bagimu! Ada pengharapan bagi kita masing-masing. Dan jangan lupa, saudara-saudari, Allah mengampuni segalanya, Allah senantiasa mengampuni. Jangan lupakan ini, yang merupakan cara memahami pengharapan di dalam Tuhan.

 

Guna menerima karunia ini, kita dipanggil untuk berangkat bersama keheranan para gembala di padang Betlehem. Bacaan Injil memberitahu kita bahwa, setelah mendengar pesan malaikat, mereka “cepat-cepat berangkat” (Luk 2:16). Dengan cara yang sama, “cepat-cepat”, kita juga dipanggil untuk mengembalikan pengharapan yang hilang, memperbarui pengharapan itu di dalam hati kita, serta menabur benih pengharapan di tengah kesuraman zaman dan dunia kita. Dan ada begitu banyak kehancuran saat ini. Kita memikirkan perang, anak-anak yang ditembaki, pemboman di sekolah dan rumah sakit. Jangan menunda, jangan ragu, tetapi perkenankanlah dirimu ditarik oleh Kabar Baik.

 

Maka, marilah kita cepat-cepat berangkat memandang Tuhan yang lahir untuk kita, hati kita penuh sukacita dan perhatian, siap untuk bertemu dengan-Nya dan kemudian membawa pengharapan bagi cara kita menjalani kehidupan sehari-hari. Dan inilah tugas kita: membawa pengharapan ke dalam berbagai situasi kehidupan. Sebab, pengharapan kristiani bukan sebuah "akhir bahagia" sinematik yang kita nantikan secara pasif, melainkan sebuah janji, janji Tuhan, untuk disambut di sini dan saat ini di dunia kita yang penuh penderitaan dan keluh kesah. Pengharapan adalah panggilan untuk tidak menunda, tertahan oleh kebiasaan lama kita, atau berkubang dalam keadaan biasa-biasa saja atau kemalasan. Pengharapan memanggil kita – sebagaimana dikatakan Santo Agustinus – untuk terganggu dengan hal-hal yang salah dan menemukan keberanian untuk mengubahnya. Pengharapan memanggil kita untuk menjadi peziarah yang mengupayakan kebenaran, pemimpi yang tidak pernah lelah, manusia yang terbuka untuk ditantang oleh impian Allah, yaitu sebuah dunia baru di mana kedamaian dan keadilan berkuasa.

 

Marilah kita belajar dari para gembala. Pengharapan yang lahir malam ini tidak menoleransi ketidakpedulian orang-orang yang berpuas diri atau kelesuan orang-orang yang merasa cukup dengan kenyamanan mereka – dan banyak dari kita yang berada dalam bahaya menjadi terlalu nyaman; pengharapan tidak menerima kehati-hatian palsu dari orang-orang yang menolak untuk terlibat karena takut membuat kesalahan, atau dari orang-orang yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. Pengharapan tidak sesuai dengan sikap acuh tak acuh orang-orang yang menolak untuk menentang kejahatan dan ketidakadilan yang dilakukan dengan mengorbankan orang miskin. Di sisi lain, pengharapan kristiani, seraya mengundang kita untuk menunggu dengan sabar agar Kerajaan Allah tumbuh dan menyebar, juga menuntut kita, bahkan sekarang, berani, bertanggung jawab, dan tidak hanya itu, bahkan juga berbela rasa, dalam mengantisipasi penggenapan janji Tuhan. Dan di sini mungkin ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri tentang bela rasa: apakah aku memiliki bela rasa? Apakah aku mampu untuk menderita bersama? Marilah kita merenungkan hal ini.

 

Saat merenungkan seberapa sering kita menyesuaikan diri dengan dunia dan mengikuti cara berpikirnya, seorang imam dan penulis yang baik mendoakan Natal yang penuh berkat dengan kata-kata ini: “Tuhan, aku memohonkan kepada-Mu sedikit kekesalan, sedikit kegelisahan, sedikit penyesalan. Di hari Natal, aku ingin mendapati diriku tidak puas. Bahagia, tetapi tidak puas. Bahagia karena apa yang Engkau lakukan, tidak puas dengan kurangnya tanggapanku. Tolong, singkirkanlah rasa puas diri kami dan sembunyikan beberapa duri di bawah jerami ‘palungan’ kami yang terlalu penuh. Penuhilah kami dengan keinginan untuk sesuatu yang lebih besar” (a. pronzato, La novena di Natale). Keinginan untuk sesuatu yang lebih besar. Jangan diam saja. Janganlah kita lupa bahwa air yang tenang adalah yang pertama menjadi tersendat.

 

Pengharapan kristiani justru merupakan “sesuatu yang lebih besar”, yang seharusnya memacu kita untuk "cepat-cepat" berangkat. Sebagai murid Tuhan, kita dipanggil untuk menemukan pengharapan kita yang lebih besar di dalam Dia, dan kemudian, tanpa menunda, membawa pengharapan itu bersama kita, sebagai peziarah terang di tengah kegelapan dunia ini.

 

Saudara-saudari, inilah Yubileum. Inilah masa pengharapan di mana kita diundang untuk menemukan kembali sukacita bertemu Tuhan. Yubileum memanggil kita untuk memperbarui rohani dan komitmen kita akan transformasi dunia kita, sehingga tahun ini benar-benar menjadi saat yubileum. Sebuah yubileum untuk ibu Bumi kita, yang dirusak oleh eksploitasi; saat yubileum untuk negara-negara miskin yang terbebani utang yang tidak adil; saat yubelium untuk semua orang yang terbelenggu oleh berbagai bentuk perbudakan lama dan baru.

 

Kita semua telah menerima karunia dan tugas untuk membawa pengharapan di mana pun pengharapan telah hilang, kehidupan telah hancur, janji tidak ditepati, mimpi telah musnah dan hati telah diliputi oleh kesulitan. Kita dipanggil untuk membawa pengharapan kepada mereka yang lelah yang tidak memiliki kekuatan untuk terus maju, mereka yang kesepian yang tertekan oleh kepahitan kegagalan, dan semua orang yang patah hati. Membawa pengharapan kepada hari-hari yang tak berujung dan suram para narapidana, tempat tinggal yang dingin dan suram orang-orang miskin, dan semua tempat yang dinodai oleh perang dan kekerasan. Membawa harapan di sana, menabur pengharapan di sana.

 

Kini Yubileum telah dibuka, agar semua orang dapat menerima pengharapan, pengharapan Injil, pengharapan kasih dan pengharapan pengampunan.

 

Saat kita merenungkan palungan, saat kita menatapnya dan melihat kasih Allah yang lembut dalam wajah Kanak Yesus, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: “Apakah hati kita penuh dengan pengharapan? Apakah pengharapan ini menemukan tempatnya di sana? ... Saat kita merenungkan kebaikan kasih Allah yang mengatasi keraguan dan ketakutan kita, marilah kita juga merenungkan keagungan pengharapan yang menanti kita. ... Semoga visi pengharapan ini menerangi jalan kita setiap hari” (C.M. Martini, Homili Natal, 1980).

 

Saudara-saudari terkasih, pada malam ini "pintu suci" hati Allah terbuka di hadapanmu. Yesus, Allah beserta kita, lahir untukmu, untuk saya, untuk kita, untuk setiap manusia. Dan ingatlah bahwa bersama Dia, sukacita tumbuh subur; bersama Dia, hidup berubah; bersama-Nya, pengharapan tidak mengecewakan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN III DI PLACE D’AUSTERLITZ (U CASONE), AJACCIO, PRANCIS 15 Desember 2024 : DUA SIKAP ROHANI UNTUK MENANTIKAN KEDATANGAN MESIAS

Bacaan Ekaristi : Zef. 3:14-18a; MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6; Flp. 4:4-7; Luk. 3:10-18.

 

Orang banyak bertanya kepada Yohanes Pembaptis, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” (Luk 3:10). Apa yang harus kita perbuat? Kita harus mendengarkan pertanyaan ini dengan saksama, karena pertanyaan ini mengungkapkan keinginan untuk pembaruan rohani dan kehidupan yang lebih baik. Yohanes mewartakan kedatangan Mesias yang telah lama dinantikan, dan mereka yang mendengarkan khotbahnya ingin dipersiapkan untuk perjumpaan ini: perjumpaan dengan Mesias, perjumpaan dengan Yesus.

 

Injil Lukas memberitahu kita bahwa mereka yang mengungkapkan keinginan untuk bertobat adalah "orang luar". Mereka bukan orang yang secara umum dianggap paling dekat, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, tetapi orang yang paling jauh, para pemungut cukai, yang dianggap sebagai orang berdosa, dan para prajurit yang bertanya, "Guru, apakah yang harus kami perbuat?" (Luk 3:14). Ini adalah pertanyaan indah yang mungkin dapat kita doakan sebelum tidur malam ini: "Tuhan, apa yang harus kuperbuat untuk mempersiapkan hatiku untuk Natal?". Mereka yang menganggap diri mereka benar tidak diperbarui. Di sisi lain, mereka yang dianggap sebagai pendosa di muka umum, ingin meninggalkan kehidupan lama mereka yang penuh ketidakjujuran dan kekerasan, serta memulai kehidupan baru. Mereka yang jauh menjadi dekat setiap kali Kristus mendekat. Yohanes menanggapi para pemungut cukai dan para prajurit itu dengan mendesak mereka untuk bersikap adil, tidak licik, dan jujur (lih. Luk 3:13-14). Pemberitaan kedatangan Tuhan menggugah hati nurani. Pemberitaan tersebut terutama menarik bagi orang miskin dan orang yang tercampakkan, karena Ia datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk menyelamatkan mereka yang hilang (bdk. Luk 15:4-32). Cara terbaik untuk membuka hati kita terhadap keselamatan yang dibawa oleh Yesus adalah berkata jujur: "Tuhan, aku orang berdosa". Kita semua di sini hari ini adalah orang berdosa. Kita semua. "Tuhan, aku orang berdosa". Jadi, kita mendekati Yesus dalam kebenaran, bukan dengan kemewahan kebenaran palsu. Sesungguhnya, Ia datang justru untuk menyelamatkan orang berdosa.

 

Itulah sebabnya hari ini kita juga dapat mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan orang banyak kepada Yohanes Pembaptis. Di Masa Adven ini, marilah kita menemukan keberanian untuk bertanya tanpa rasa takut, "Lalu apa yang harus kuperbuat?", "Lalu apa yang harus kami perbuat?" untuk mempersiapkan hati yang sederhana, hati yang percaya untuk kedatangan Tuhan.

 

Kitab Suci yang telah kita dengar memaparkan kepada kita dua cara berbeda untuk menantikan Mesias: kita dapat menantikan dengan curiga atau dengan harapan yang penuh sukacita. Kita dapat menantikan keselamatan dengan dua sikap ini: dengan curiga atau dengan harapan yang penuh sukacita. Marilah kita merenungkan dua sikap rohani ini.

 

Sikap pertama, yaitu kecurigaan, penuh dengan ketidakpercayaan dan kecemasan. Ketika kita terus-menerus memikirkan diri dan kebutuhan kita, kita kehilangan roh sukacita. Alih-alih menantikan masa depan dengan harapan, kita melihatnya dengan keraguan. Terjebak dalam kekhawatiran duniawi, kita tidak terbuka terhadap cara kerja pemeliharaan Allah. Kita tidak tahu bagaimana menanti dengan harapan yang dibawa Roh Kudus kepada kita. Perkataan Santo Paulus dapat berfungsi sebagai penawar untuk membangkitkan kita dari kelesuan: "Janganlah khawatir tentang apa pun juga" (Flp 4:6). Ketika menguasai kita, kesedihan menghancurkan kita. Penderitaan, baik penderitaan fisik maupun luka yang disebabkan oleh tragedi keluarga, adalah satu hal, tetapi kesedihan yang sangat berbeda. Sebagai orang kristiani, kita tidak boleh diliputi oleh kesedihan. Berhentilah tertekan, kecewa, atau sedih. Betapa meluasnya penyakit rohani ini saat ini, terutama di tempat-tempat di mana konsumerisme merajalela! Saya telah melihat begitu banyak orang di jalanan Roma akhir-akhir ini yang pergi berbelanja, sedang berbelanja, diliputi oleh kecemasan konsumerisme yang kemudian menghilang dan meninggalkan kehampaan dalam dirimu. Masyarakat yang hidup dengan konsumerisme menjadi tua; mereka tetap tidak puas, karena mereka tidak lagi tahu bagaimana memberi. Jika kita hidup hanya untuk diri kita sendiri, kita tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Jika kita hidup seperti ini (tangan terkepal) dan tidak seperti ini (tangan yang terbuka) kita tidak akan bahagia. Saya pikir jika kita hidup dengan tangan kita seperti ini (terkepal), alih-alih menggunakan tangan kita untuk memberi, membantu dan berbagi, kita tidak akan pernah bahagia. Ini adalah kejahatan yang dapat menimpa kita semua, segenap umat kristiani, bahkan para imam, para uskup dan para kardinal, kita semua, bahkan Paus.

 

Rasul Paulus mengusulkan solusi yang efektif ketika ia menulis, “Nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Flp 4:6). Beriman kepada Allah memberi harapan! Kongres yang baru saja berlangsung di Ajaccio menekankan pentingnya menumbuhkan iman dan menghargai pentingnya kesalehan populer. Marilah kita mengambil contoh doa Rosario. Mengambil Rosario dan mendoakannya dengan baik melatih kita untuk menjaga hati kita terpusat pada Yesus Kristus dengan ambil bagian dalam tatapan kontemplatif Maria. Kita juga dapat memikirkan persaudaraan amal tradisional, yang mengajarkan banyak hal kepada kita tentang melayani sesama dengan murah hati melalui karya belas kasih rohani dan jasmani. Perkumpulan amal umat beriman ini, yang begitu kaya dalam sejarah, secara aktif berpartisipasi dalam liturgi dan doa Gereja, yang mereka perkaya dengan lagu dan devosi populer. Saya mendorong para anggota persaudaraan amal untuk semakin hadir, terutama bagi mereka yang sangat membutuhkan, dan dengan cara ini mempraktikkan iman mereka melalui tindakan amal. Persaudaraan amal yang mempunyai devosi khusus ini hadir bagi setiap orang, hadir untuk menolong sesama mereka.

 

Hal ini membawa kita kepada sikap kedua: harapan yang penuh sukacita. Sikap pertama adalah menunggu dengan curiga. Bagi saya ini berarti menunggu dengan tangan terkepal. Sikap kedua adalah harapan yang penuh sukacita. Tidak mudah untuk bersukacita. Sukacita kristiani bukan sukacita yang dangkal atau fana, seperti sukacita yang berasal dari kepergian ke pasar malam. Tidak, tidak seperti itu. Sebaliknya, sukacita kristiani adalah sukacita yang berakar di dalam hati dan dibangun di atas landasan yang kokoh. Dalam pengertian ini, Nabi Zefanya dapat memberitahu orang-orang yang mendengarkannya untuk bersukacita, karena "Tuhan, Allahmu ada di tengah-tengahmu. Dialah pejuang yang memberikan kemenangan" (Zef. 3:17). Percayalah kepada Tuhan yang ada di tengah-tengah kita, yang tinggal di antara kita. Kita sering melupakan hal ini: Ia ada di tengah-tengah kita ketika kita berbuat baik, ketika kita mendidik anak-anak kita, ketika kita merawat kaum tua. Namun, Ia tidak ada di tengah-tengah kita ketika kita bergosip atau ketika kita berbicara buruk tentang orang lain. Tuhan tidak hadir di sana, hanya kita yang hadir. Kedatangan Tuhan membawa keselamatan kepada kita: itulah alasan sukacita kita. Allah itu “perkasa”, Kitab Suci memberitahu kita. Ia dapat menebus hidup kita karena Ia mampu menggenapi apa yang Ia janjikan! Sukacita kita bukan penghiburan sesaat yang membantu kita melupakan kesedihan hidup. Tidak, sukacita kita bukan penghiburan sesaat. Sukacita kita adalah buah Roh Kudus, yang lahir dari iman kepada Kristus Sang Juruselamat, yang mengetuk pintu hati kita serta membebaskan kita dari kesedihan dan kelesuan. Kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita adalah alasan untuk bersukacita; kehadiran-Nya memenuhi masa depan setiap orang dengan harapan. Dalam persekutuan dengan Yesus, kita menemukan sukacita hidup yang sejati dan kita menjadi tanda-tanda harapan yang sangat dicari oleh dunia kita.

 

Dan tanda pertama dari harapan itu adalah kedamaian. Dia yang datang adalah Imanuel, Allah beserta kita, yang menganugerahkan kedamaian kepada mereka yang berkenan kepada Tuhan (lih. Luk 2:14). Dan saat kita bersiap menyambut Yesus selama Masa Adven ini, semoga komunitas kita bertumbuh dalam kemampuan mereka untuk mendampingi setiap orang, khususnya kaum muda yang mempersiapkan diri untuk Sakramen Baptis dan sakramen-sakramen lainnya. Dan khususnya, kaum tua juga. Kaum tua adalah kebijaksanaan suatu umat. Jangan pernah melupakan hal itu! Dan kita masing-masing dapat bertanya kepada diri kita: bagaimana reaksiku terhadap kaum tua? Apakah aku berusaha merawat mereka? Apakah aku meluangkan waktu bersama mereka? Apakah aku mendengarkan mereka? "Oh tidak, cerita-cerita mereka sangat membosankan!". Apakah aku menelantarkan mereka? Berapa banyak anak yang menelantarkan kedua orang tua mereka di panti jompo! Saya ingat suatu kali, di keuskupan lain, saya pergi mengunjungi panti jompo. Dan ada seorang wanita di sana yang memiliki tiga atau empat anak. Saya bertanya kepadanya: "Bagaimana kabar anak-anakmu?" - "Mereka baik-baik saja! Saya punya banyak cucu" - "Dan apakah mereka datang untuk menjengukmu?" – “Ya, mereka selalu datang”. Ketika saya meninggalkan ruangan, perawat berkata, “Mereka datang setahun sekali”. Namun sang ibu menutupi kekurangan anak-anaknya. Begitu banyak orang menelantarkan kaum tua. Mereka mengucapkan Selamat Natal atau Paskah melalui telepon! Rawatlah kaum tua; mereka adalah kebijaksanaan suatu umat.

 

Marilah kita memikirkan kaum muda yang sedang mempersiapkan diri untuk Sakramen Baptis dan sakramen-sakramen lainnya. Di Corsica, syukurlah, mereka banyak! Dan selamat! Saya belum pernah melihat begitu banyak anak-anak seperti di sini! Karunia Allah! Dan saya hanya melihat dua ekor anjing kecil. Saudara-saudari terkasih, milikilah anak! Milikilah anak! Mereka akan menjadi sukacitamu, penghiburanmu di masa depan. Saya mengatakan yang sebenarnya: Saya belum pernah melihat begitu banyak anak. Saya hanya melihat sebanyak ini di Timor-Leste, tetapi tidak di tempat lain. Inilah sukacita dan kemuliaanmu.

 

Sabda Tuhan tidak pernah gagal untuk menyemangati kita. Meskipun penderitaan yang menimpa bangsa-bangsa dan negara-negara, Gereja mewartakan harapan yang tak tergoyahkan yang tidak mengecewakan, karena Tuhan telah datang dan tinggal di tengah-tengah kita. Dan dalam kedatangan-Nya, upaya kita untuk bekerja demi perdamaian dan keadilan menemukan kekuatan yang tak ada habisnya.

 

Saudara-saudari, di setiap waktu dan di tengah setiap penderitaan, Kristus tetap hadir; Kristus adalah sumber sukacita kita. Ia bersama kita dalam setiap kesengsaraan untuk menolong kita melewatinya dan memberi kita sukacita. Marilah kita selalu menumbuhkan sukacita ini di dalam hati kita, keyakinan bahwa Kristus menyertai kita, berjalan bersama kita. Janganlah kita lupakan ini! Maka, dengan sukacita ini, dengan keyakinan bahwa Yesus menyertai kita, kita akan berbahagia dan membuat orang lain berbahagia. Inilah yang harus menjadi kesaksian kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Desember 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PESTA MARÍA DARI GUADALUPE 12 Desember 2024 : TILMA, IBU, DAN MAWAR

Bacaan Ekaristi: Gal 4:4-7; Luk 1:39-48.

 

Pandanglah gambar Maria, Maria dari Guadalupe yang sedang mengandung, yang memberitakan kelahiran Sang Juruselamat, sebagai seorang ibu.

 

Dengan kelembutan apa ia berkata kepada seorang Indian: "Janganlah takut, bukankah aku di sini, siapa ibumu?" (Nican Mopohua, 118-119). Di sini keibuan Maria terungkap. Dan mengenai misteri Guadalupe ini, yang sayangnya ingin dimanfaatkan oleh banyak ideologi untuk mendapatkan keuntungan ideologis, ada tiga hal sederhana yang terlintas dalam pikiran, namun menambah pesan: tilma, ibu, dan mawar. Hal yang sangat sederhana.

 

Keibuan Maria terekam dalam tilma sederhana. Keibuan Maria ditunjukkan dengan keindahan bunga mawar yang ditemukan dan dibawa oleh orang Indian; dan berperan sebagai ibu Maria melakukan mukjizat dengan membawa iman ke dalam hati para wali Gereja yang sedikit tidak percaya.

 

Tilma, mawar, Indian. Segala sesuatu yang dikatakan tentang misteri Guadalupe, lebih dari itu, adalah kebohongan, mereka ingin menggunakannya untuk ideologi. Misteri Guadalupe adalah menghormatinya, dan mendengar di telinga kita: "Bukankah aku di sini, siapakah ibumu?" Dan itu wajib didengar di semua momen kehidupan: berbagai momen sulit dalam kehidupan, momen bahagia dalam kehidupan, momen kehidupan sehari-hari. “Janganlah takut, bukankah aku di sini, siapa ibumu?” Dan inilah pesan Guadalupe. Selebihnya ideologi.

 

Kita berangkat dengan gambar Bunda Maria di tilma orang Indian; dan dengarkanlah, seperti dalam sebuah lagu, yang dengan suara berulang-ulang memberitahu kita: "Janganlah takut, bukankah aku di sini, siapakah ibumu?" Semoga demikian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Desember 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIKANDUNG TANPA NODA 8 Desember 2024 : MARIA SEBAGAI ANAK PEREMPUAN, MEMPELAI PEREMPUAN, DAN IBU

Bacaan Ekaristi : Kej. 3:9-15,20; Mzm. 98:1,2-3ab,3bc-4; Ef. 1:3-6,11-12; Luk. 1:26-38.

 

“Salam, hai Engkau yang dikaruniai” (Luk 1:28). Dengan kata-kata salam ini di rumah sederhana di Nazaret, Malaikat menyingkapkan kepada Maria misteri hatinya yang tak bernoda, “terpelihara bebas dari segala noda dosa asal” sejak saat ia dikandung (Beato Pius IX, Ineffabilis Deus, 8 Desember 1854). Dengan berbagai cara, selama berabad-abad, umat kristiani telah berusaha menggambarkan karunia itu dalam kata dan gambar, menekankan kelembutan dan rahmat Bunda Maria, “yang terberkati di antara semua perempuan” (lih. Luk 1:42), dengan menggambarkannya dengan ciri dan kekhasan sejumlah orang dan budaya pribumi yang berbeda.

 

Sebagaimana diamati Santo Paulus VI, Bunda Allah menunjukkan kepada kita “apa yang kita semua miliki di lubuk hati kita: gambaran sejati umat manusia... tak berdosa dan suci... Keberadaan Maria adalah keselarasan, kejujuran, kesederhanaan murni; keberadaan Maria adalah transparansi, kebaikan, kesempurnaan penuh; keberadaan Maria adalah keindahan yang tak terlukiskan” (Homili pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, 8 Desember 1963). Maria adalah keselarasan, kejujuran, dan kesederhanaan murni.

 

Marilah kita berhenti sejenak untuk merenungkan kecantikan Maria dalam terang Sabda Allah, dengan berfokus pada tiga aspek kehidupannya yang mengingatkan kita akan kedekatannya dengan kita. Apakah ketiga aspek ini? Maria sebagai anak perempuan, mempelai perempuan, dan ibu.

 

Pertama, marilah kita membahas Perawan yang Tak Bernoda sebagai seorang anak perempuan. Kitab Suci tidak berbicara tentang masa kanak-kanak Maria. Injil memperkenalkannya kepada kita saat ia memasuki panggung sejarah: seorang gadis belia dengan iman yang dalam, rendah hati dan sederhana. Maria adalah "perawan" (lih. Luk 1:27) yang tatapannya mencerminkan kasih Bapa. Di dalam hati Maria yang murni, kasih dan rasa syukurnya yang murah hati memberi warna dan keharuman pada kekudusannya. Bunda Maria muncul di hadapan kita sebagai bunga yang indah yang tumbuh tanpa disadari hingga akhirnya mekar dalam pemberian diri. Kehidupan Maria adalah pemberian diri yang terus-menerus.

 

Hal ini membawa kita kepada aspek kedua kecantikan Maria: kecantikan seorang mempelai perempuan, yang dipilih oleh Allah sebagai pendamping bagi rencana keselamatan-Nya (bdk. Lumen Gentium, 61). Inilah yang dikatakan Konsili: Allah telah memilih Maria. Ia telah memilih seorang perempuan sebagai penolong-Nya untuk melaksanakan rencana keselamatan. Tidak ada keselamatan tanpa seorang perempuan karena Gereja sendiri juga seorang perempuan. Gereja menjawab “Ya” dengan mengatakan, “Aku ini hamba Tuhan” (Luk 1:38). Ia adalah seorang “hamba” bukan dalam arti “budak” dan “direndahkan”, tetapi dalam arti ia “dipercaya” dan “dihargai” sebagai orang yang dipercayakan Tuhan harta-Nya yang paling berharga dan perutusan-Nya yang paling penting. Kecantikan Maria, yang beraneka ragam seperti berlian, menyingkapkan wajah baru: wajah kesetiaan, bakti dan perhatian yang penuh kasih, yang semuanya merupakan ciri khas kasih yang saling menguntungkan di antara suami istri. Santo Yohanes Paulus II memahami hal ini dengan menuliskan Perawan Tak Bernoda “menerima pemilihannya sebagai Bunda Putra Allah, dibimbing oleh kasih suami istri, kasih yang sepenuhnya ‘menguduskan’ manusia bagi Allah” (Redemptoris Mater, 39).

 

Kini kita sampai pada aspek ketiga kecantikan Maria. Apakah aspek ketiga ini? Maria sebagai ibu. Ia paling sering digambarkan sebagai seorang ibu dengan Kanak Yesus dalam pelukannya atau membaringkan Putra Allah di palungan (bdk. Luk 2:7). Ia hadir di samping Putranya sepanjang hidup-Nya, senantiasa dekat dalam kepedulian keibuannya namun tersembunyi dalam kerendahan hatinya. Kita menyaksikan kedekatan ini di Kana, di mana ia menjadi perantara bagi kedua mempelai (bdk. Yoh 2:3-5), di Kapernaum, di mana ia dipuji karena mendengarkan Sabda Allah (bdk. Luk 11:27-28) dan akhirnya di kaki salib – ibu dari seorang terhukum –, di mana Yesus sendiri memberikannya kepada kita sebagai ibu kita (bdk. Yoh 19:25-27). Di sana, di kaki salib, Perawan yang Tak Bernoda tampak cantik dalam kelimpahannya, karena ia menyadari bahwa ia harus mati bagi dirinya sendiri agar dapat memberi kehidupan, melupakan dirinya sendiri agar dapat peduli terhadap orang-orang miskin dan rentan yang datang kepadanya.

 

Semua hal ini terkandung dalam hati Maria yang murni, hati yang bebas dari dosa, taat pada karya Roh Kudus (bdk. Redemptoris Mater, 13) dan siap untuk mempersembahkan kepada Allah, karena kasih, “penyerahan sepenuhnya akal budi dan kehendak” (Dei Verbum, 5; bdk. Dei Filius, 3).

 

Akan tetapi, ada risiko menganggap bahwa kecantikan Maria jauh, tak terjangkau, dan tak dapat diraih. Bukan itu masalahnya. Kita juga telah menerima kecantikan ini sebagai karunia dalam Baptisan, saat kita dibebaskan dari dosa dan menjadi putra dan putri Allah. Seperti Perawan Maria, kita dipanggil untuk menumbuhkan kecantikan ini dengan cinta bakti, cinta suami istri, dan cinta keibuan. Seperti dia, semoga kita bersyukur atas apa yang telah kita terima dan murah hati dalam apa yang kita berikan kembali. Semoga kita menjadi manusia yang siap untuk mengatakan "Terima kasih" dan "Ya", bukan hanya dengan kata-kata kita, tetapi terutama dengan tindakan kita – sungguh indah menemukan manusia yang mengatakan "Terima kasih" dan "Ya" melalui tindakan mereka – selalu siap memberi ruang bagi Tuhan dalam rencana dan aspirasi kita, ingin merangkul dengan kelembutan keibuan saudara-saudari yang kita temui dalam perjalanan kita. Perawan yang Tak Bernoda bukanlah mitos, ajaran abstrak atau cita-cita yang mustahil. Ia adalah model rencana yang indah dan nyata, teladan sempurna kemanusiaan kita. Semoga kita semua, dengan rahmat Allah, dapat meneladaninya dan membantu mengubah dunia kita menjadi lebih baik.

 

Sungguh menyedihkan, jika kita melihat sekeliling kita, kita menyadari bahwa anggapan bahwa kita dapat menjadi “seperti Allah” (lih. Kej 3:1-6), yang menyebabkan dosa pertama, terus melukai keluarga manusia kita. Baik cinta maupun kebahagiaan tidak dapat muncul dari anggapan tentang kemandirian ini. Mereka yang melihat penolakan terhadap ikatan yang stabil dan langgeng dalam hidup sebagai kemajuan tidak memberikan kebebasan. Mereka yang merampas rasa hormat dari ayah dan ibu, mereka yang tidak menginginkan anak, mereka yang merendahkan orang lain menjadi objek belaka atau memperlakukan mereka sebagai pengganggu, mereka yang menganggap berbagi dengan orang lain sebagai pemborosan, dan solidaritas sebagai pemiskinan, tidak dapat menyebarkan sukacita atau membangun masa depan. Apa gunanya memiliki rekening bank yang penuh, rumah yang nyaman, hubungan virtual yang tidak nyata, jika hati kita tetap dingin, kosong, dan tertutup? Apa gunanya mencapai pertumbuhan keuangan yang besar di negara-negara tertentu jika separuh dunia kelaparan atau dirusak oleh perang, dan negara-negara lainnya melihat dengan acuh tak acuh? Apa gunanya bepergian keliling dunia jika setiap pertemuan hanya menjadi kesan sesaat atau foto yang tidak akan diingat siapa pun dalam beberapa hari atau bulan?

 

Saudara-saudari, marilah kita memandang Maria yang Tak Bernoda dan memohon kepadanya untuk menaklukkan kita melalui hatinya yang penuh kasih. Semoga ia menobatkan kita dan menjadikan kita sebuah komunitas di mana kasih bakti, kasih suami istri dan kasih keibuan akan menjadi aturan dan kriteria kehidupan. Hanya dengan demikian keluarga akan bersatu, suami istri akan benar-benar berbagi segalanya, orang tua akan hadir secara fisik dan dekat dengan anak-anak mereka dan anak-anak akan peduli orang tua mereka. Itulah kecantikan yang kita lihat dalam diri Perawan yang Tak Bernoda; itulah “kecantikan yang menyelamatkan dunia”. Seperti Maria, kita juga ingin menanggapi dengan berkata kepada Tuhan: “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38).

 

Kita sedang merayakan Ekaristi ini bersama para kardinal baru. Saya telah meminta mereka, saudara-saudaraku, untuk membantu saya dalam pelayanan pastoral saya bagi Gereja Universal. Mereka datang dari pelbagai belahan dunia, membawa kebijaksanaan yang luar biasa, untuk memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan penyebaran Kerajaan Allah. Marilah kita sekarang mempercayakan mereka secara khusus kepada perantaraan Bunda Sang Juruselamat kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 8 Desember 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM (HARI ORANG MUDA SEDUNIA KE-39) 24 November 2024 : TUDUHAN, PERSETUJUAN, DAN KEBENARAN

Bacaan Ekaristi : Dan. 7:13-14; Mzm. 93:1ab,1c-2,5; Why. 1:5-8; Yoh. 8:33b-37.


Pada akhir tahun liturgi, Gereja merayakan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Perayaan ini mengajak kita untuk mengalihkan pandangan kepada-Nya, Tuhan, sumber dan penggenapan segala sesuatu (bdk. Kol 1:16-17), yang “kerajaan-Nya tidak akan musnah” (Dan 7:14).

 

Saat kita merenungkan Kristus Raja, kita terangkat dan tergerak. Namun, apa yang kita lihat di sekitar kita sangat berbeda, dan kontras ini mungkin menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu di dalam hati kita. Apa yang harus kita lakukan dengan begitu banyak perang, kekerasan yang terus-menerus, dan bencana alam? Apa yang dapat dikatakan tentang banyaknya masalah yang harus kamu, orang-orang muda terkasih, hadapi saat kamu menatap masa depan: kelangkaan kesempatan kerja, ketidakpastian keadaan ekonomi, munculnya kesenjangan yang memecah belah masyarakat kita? Mengapa semua ini terjadi? Dan bagaimana keterlandaan dapat kita hindari? Memang benar, selain menantang, pertanyaan-pertanyaan ini penting.

 

Hari ini, saat Gereja merayakan Hari Orang Muda Sedunia, saya ingin mendorongmu untuk melakukan refleksi, dalam terang Sabda Allah, berkenaan dengan tiga gagasan yang dapat membantu kita berani menghadapi tantangan-tantangan ini. Ketiga gagasan ini adalah tuduhan, persetujuan, dan kebenaran.

 

Pertama: tuduhan. Dalam Bacaan Injil hari ini, Yesus dituduh (lih. Yoh 18:33-37). Ia, sebagaimana dikatakan orang, "berada di mimbar kesaksian" di pengadilan. Pilatus, seorang pejabat Kekaisaran Romawi, sedang menginterogasi Yesus. Ini dapat dianggap sebagai gambaran yang mewakili seluruh penguasa kejam yang telah menindas orang-orang sepanjang sejarah. Meskipun secara pribadi sang pejabat tidak berkepentingan dengan Yesus, ia juga tahu bahwa orang-orang mengikuti Dia, memercayai Dia sebagai seorang pembimbing, seorang guru, Sang Mesias. Pilatus tidak dapat membiarkan gangguan atau kekacauan apa pun mengancam "perdamaian yang dipaksakan" di wilayahnya, maka ia memutuskan untuk menenangkan musuh-musuh yang kuat dari sang nabi yang tidak berdaya ini. Ia mengadili Yesus dan mengancam akan menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya. Tuhan, yang selalu mengajarkan keadilan, belas kasihan, dan pengampunan, tidak takut. Ia tidak membiarkan diri-Nya diintimidasi; Ia tidak memberontak. Yesus setia pada kebenaran yang Ia wartakan, setia sampai mengurbankan nyawa-Nya.

 

Orang muda terkasih, mungkin kamu juga terkadang merasa "dituduh" karena mengikuti Yesus. Di sekolah, atau di antara teman-teman dan kenalanmu, beberapa orang mungkin mencoba membuatmu berpikir bahwa kesetiaanmu kepada Injil dan nilai-nilainya adalah suatu kesalahan, karena menghalangimu menyesuaikan diri dengan orang banyak dan berbaur dengan orang lain. Jangan takut dengan "tuduhan" mereka! Jangan khawatir; cepat atau lambat, kritik mereka akan gagal, tuduhan mereka akan terbukti keliru, dan nilai-nilai mereka yang dangkal akan terungkap apa adanya: khayalan. Orang muda terkasih, berhati-hatilah jangan sampai terbawa oleh khayalan. Tolong, bersikaplah apa adanya karena kenyataan apa adanya juga. Waspadalah terhadap khayalan.

 

Apa yang bertahan, sebagaimana diajarkan Kristus kepada kita, sangat berbeda: karya kasih. Itulah yang bertahan dan membuat hidup menjadi indah! Selebihnya akan memudar. Kasih menjadi nyata dalam perbuatan. Karena itu, saya ulangi: jangan takut dengan "tuduhan" dunia. Teruslah mengasihi! Tetapi mengasihilah menurut terang Tuhan; dengan memberikan hidupmu untuk membantu orang lain.

 

Hal ini membawa kita pada poin kedua: persetujuan. Yesus berkata: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yoh 18:36). Apa yang dimaksudkan Yesus dengan pernyataan ini? “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini”. Mengapa Ia tidak melakukan apa pun untuk memastikan keberhasilan-Nya, mendapatkan dukungan dari pihak berwenang, mendapatkan persetujuan atas program-Nya? Mengapa Ia tidak melakukannya? Bagaimana Ia dapat berharap untuk mengubah keadaan jika Ia telah “dikalahkan”? Yesus berperilaku seperti ini karena Ia menolak mentalitas kekuasaan (lih. Mrk 10:42-45). Yesus bebas darinya!

 

Orang muda terkasih, kamu juga akan melakukan hal yang baik dengan mengikuti teladan-Nya. Jangan biarkan dirimu terseret oleh kebutuhan untuk dilihat, disetujui, dan dipuji. Mereka yang terjebak dalam kegilaan ini mengalami kecemasan. Mereka akhirnya mendorong orang lain, jatuh ke dalam persaingan, bersikap tidak jujur, menyerah pada tekanan teman sebaya, dan berkompromi hanya untuk mendapatkan sedikit pengakuan dan keterlihatan. Harap berhati-hati, martabatmu tidak untuk dijual. Martabatmu tidak untuk dijual! Berhati-hatilah.

 

Allah mengasihimu apa adanya, bukan apa yang terlihat. Di hadapan-Nya, kepolosan impianmu lebih berharga daripada kesuksesan dan ketenaran, dan ketulusan niatmu lebih berharga daripada pengakuan duniawi. Jangan tertipu oleh mereka yang berusaha memikatmu dengan janji-janji kosong, tetapi hanya ingin memanipulasi dan menggunakan dirimu untuk kepentingan mereka. Waspadalah terhadap eksploitasi. Berhati-hatilah jangan sampai dikondisikan. Bebaslah, tetapi bebaslah dalam keselarasan dengan martabatmu. Jangan puas menjadi "bintang sehari" di media sosial atau dalam konteks apa pun! Saya ingat suatu kejadian ketika seorang wanita muda ingin diperhatikan, meskipun ia cantik, ia merias diri sebelum pergi ke pesta. Saya berpikir, "setelah riasan, apa yang tersisa?" Jangan merias jiwamu dan jangan merias hatimu. Jadilah dirimu sendiri: tulus dan transparan. Jangan menjadi 'bintang sehari' di media sosial atau dalam konteks apa pun. Kamu dipanggil untuk bersinar di langit yang lebih luas. Di surga, kasih Bapa yang tak terbatas tercermin dalam banyak cahaya kecil. Kasih-Nya terungkap dalam diri kita melalui kasih setia suami istri, sukacita yang polos dari anak-anak, antusiasme orang muda, kepedulian terhadap orang tua, kemurahan hati para pelaku hidup bakti, amal yang ditunjukkan kepada orang miskin dan kejujuran yang dijunjung tinggi di lingkungan kerja. Pikirkanlah hal-hal yang akan membuatmu kuat. Cahaya-cahaya kecil ini: kasih setia suami istri - suatu hal yang indah -; sukacita yang polos dari anak-anak - ini adalah sukacita yang indah! -; antusiasme orang muda - antusiaslah, kamu semua! -; dan pedulilah kepada orang tua. Saya bertanya kepadamu: apakah kamu peduli kepada orang tua? Apakah kamu mengunjungi kakek-nenekmu? Bermurah hatilah dalam hidupmu dan bermurah hatilah kepada orang miskin, serta jujurlah dalam pekerjaanmu. Inilah cakrawala sejati tempat kita bercahaya seperti bintang-bintang di dunia (lih. Flp 2:15). Tolong jangan dengarkan mereka yang berbohong kepadamu! Tidak ada persetujuan yang kamu terima dapat menyelamatkan dunia atau membuatmu bahagia. Hanya karunia kasih tanpa pamrih yang dapat membawa kebahagiaan kepada kita. Yang menyelamatkan dunia adalah karunia kasih tanpa pamrih. Kasih tidak dapat dperjualibelikan: kasih itu cuma-cuma, kasih adalah pemberian diri kita.

 

Hal ini membawa kita kepada poin ketiga: kebenaran. Kristus datang ke dunia “untuk bersaksi tentang kebenaran” (Yoh 18:37), dan Ia melakukannya dengan mengajar kita untuk mengasihi Allah dan saudara-saudari kita (lih. Mat 22:34-40; 1 Yoh 4:6-7). Hanya dalam kasih keberadaan kita menemukan terang dan makna (bdk. 1 Yoh 2:9-11). Jika tidak, kita akan tetap menjadi tawanan kebohongan besar. Apakah kebohongan besar ini? Kebohongan tentang kemandirian, ‘aku’ yang mandiri (bdk. Kej 3:4-5). Jenis keegoisan ini adalah akar dari semua ketidakadilan dan ketidakbahagiaan. ‘Aku’ itulah yang berbalik kepada dirinya sendiri - aku, diriku, bersamaku, selalu ‘diriku’ - dan ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat orang lain atau berbicara kepada mereka. Waspadalah terhadap wabah penyakit ‘aku’ yang berbalik kepada dirinya sendiri.

 

Kristus, yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (bdk. Yoh 14:6), dengan menanggalkan segala sesuatu dan wafat di kayu salib demi keselamatan kita, mengajarkan kita bahwa hanya dalam kasih kita dapat hidup, bertumbuh dan berkembang dalam martabat kita sepenuhnya (lih. Ef 4:15-16). Beato Pier Giorgio Frassati — seorang pemuda sepertimu — pernah menulis kepada seorang sahabatnya, mengatakan bahwa, tanpa kasih kita tidak lagi hidup, tetapi kita hanya bertahan hidup (bdk. Surat kepada Isidoro Bonini, 27 Februari 1925). Kita ingin hidup, bukan hanya bertahan hidup. Itulah sebabnya kita harus berusaha untuk menjadi saksi kebenaran dalam kasih, saling mengasihi seperti yang diajarkan Yesus kepada kita (bdk. Yoh 15:12).

 

Saudara-saudari, tidaklah benar, sebagaimana dipikirkan sebagian orang, peristiwa-peristiwa dunia telah “lolos” dari kendali Allah. Tidak benar sejarah ditulis oleh para penindas, para penguasa lalim, dan orang-orang yang angkuh. Meskipun banyak kejahatan yang menimpa kita adalah hasil pekerjaan manusia yang telah ditipu oleh Si Jahat, pada akhirnya segala sesuatu tunduk pada penghakiman Allah. Mereka yang menindas orang lain, yang membuat perang, seperti apakah wajah mereka ketika mereka berdiri di hadapan Tuhan? “Mengapa kamu memulai perang? Mengapa kamu melakukan pembunuhan?” Bagaimana mereka akan menanggapi? Marilah kita memikirkan hal itu, dan memikirkan diri kita juga. Kita tidak memulai perang dan kita tidak membunuh, tetapi aku melakukan dosa ini atau itu. Ketika Tuhan akan berkata kepada kita, “Tetapi mengapa kamu melakukan ini? Mengapa kamu berlaku tidak adil dengan cara ini? Mengapa kamu menghabiskan uang untuk kesombonganmu?” Tuhan juga akan menanyakan hal-hal ini kepada kita. Tuhan memberi kita kebebasan, tetapi Ia tidak meninggalkan kita. Ia mengoreksi kita ketika kita jatuh, tetapi Ia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Jika kita mau, Ia akan mengangkat kita sehingga kita dapat melanjutkan perjalanan kita dengan penuh sukacita.

 

Di akhir Ekaristi ini, orang muda Portugal akan mempercayakan kepada orang muda Korea lambang Hari Orang Muda Sedunia: salib dan ikon Maria Salus Populi Romani. Ini, juga, merupakan sebuah tanda. Undangan bagi kita semua untuk menghayati Injil dan menyebarkannya ke setiap bagian dunia, tanpa henti, tanpa putus asa, bangkit setelah setiap kali terjatuh dan tidak pernah berhenti berharap. Sesungguhnya, tema pesan untuk perayaan Hari Orang Muda Sedunia adalah: "Mereka yang Berharap kepada Tuhan, Berjalan Tanpa Lelah" (lih. Yes 40:31). Kamu, orang muda Korea, akan menerima Salib Tuhan kita, salib kehidupan, tanda kemenangan, tetapi kamu tidak sendirian: kamu akan menerimanya bersama Bunda kita. Marialah yang selalu menyertai kita dalam perjalanan kita menuju Yesus. Marialah yang di saat-saat sulit berada di samping salib kita untuk membantu kita, karena ia adalah Bunda kita, ia adalah ibu. Ingatlah Maria.

 

Marilah kita tetap menatap Yesus, salib-Nya, dan Maria, Bunda kita. Dengan cara ini, bahkan di tengah kesulitan, kita akan menemukan kekuatan untuk terus maju, tanpa takut dituduh, tanpa perlu persetujuan, berdasarkan martabatmu, dengan rasa amanmu karena diselamatkan dan ditemani oleh Bunda Maria. Tanpa membuat kompromi dan tanpa riasan rohani. Martabatmu tidak perlu riasan. Marilah kita terus maju, berbahagia karena hidup bagi orang lain, mengasihi, dan menjadi saksi kebenaran. Tolong jangan kehilangan sukacitamu. Terima kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 24 November 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA) 17 November 2024 : DUA KENYATAAN YANG SELALU BERKECAMUK DI MEDAN PERANG HATI KITA


Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.

 

Kata-kata yang baru saja kita dengar dapat membangkitkan perasaan sedih, padahal kata-kata itu sebenarnya adalah pernyataan pengharapan yang besar. Seraya Ia tampaknya menggambarkan keadaan pikiran orang-orang yang telah menyaksikan kehancuran Yerusalem dan berpikir bahwa kesudahan telah tiba, Yesus mengumumkan sesuatu yang luar biasa: tepat pada saat kegelapan dan kehancuran, tepat ketika segala sesuatu tampaknya runtuh, Allah datang, Allah mendekat, Allah mengumpulkan kita bersama-sama untuk menyelamatkan kita.

 

Yesus mengundang kita untuk melihat lebih dalam, memiliki mata yang mampu "membaca secara batiniah" peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan cara ini, kita menemukan bahwa bahkan dalam kesedihan hati kita dan zaman kita, pengharapan yang tak tergoyahkan bersinar terang. Pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, marilah kita berhenti sejenak untuk menelaah dua kenyataan yang selalu berkecamuk di medan perang hati kita: kesedihan dan pengharapan.

 

Pertama-tama, kesedihan. Perasaan sedih tersebar luas di zaman kita, mengingat media sosial memperbesar masalah dan luka, membuat dunia semakin tidak aman dan masa depan semakin tidak pasti. Bahkan Bacaan Injil hari ini dibuka dengan gambaran yang tampaknya memproyeksikan kesengsaraan manusia di atas alam semesta melalui penggunaan bahasa apokaliptik: "matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak akan memancarkan sinarnya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan guncang ..." dan seterusnya (Mrk 13:24-25).

 

Jika kita membatasi pandangan kita pada narasi peristiwa, kita membiarkan kesedihan menguasai. Sungguh, bahkan hari ini kita melihat "matahari menjadi gelap" dan "bulan memudar" ketika kita merenungkan kelaparan yang menimpa begitu banyak saudara-saudari kita yang tidak memiliki makanan untuk dimakan, dan ketika kita melihat kengerian perang atau melihat kematian orang-orang yang tidak bersalah. Menghadapi skenario ini, kita berisiko jatuh ke dalam keputusasaan dan gagal mengenali kehadiran Allah dalam drama sejarah. Dengan berbuat demikian, kita mengutuki diri kita hingga tak berdaya. Kita menyaksikan penderitaan yang semakin besar di sekitar kita yang disebabkan oleh penderitaan orang miskin, bahkan kita tergelincir ke dalam kepasrahan cara berpikir seperti orang-orang yang, digerakkan oleh kenyamanan atau kemalasan, berpikir “begitulah hidup” dan “tidak ada yang dapat saya lakukan untuk itu”. Dengan demikian, iman Kristiani itu sendiri dimerosotkan menjadi pengabdian yang tidak berbahaya karena tidak mengganggu para pemegang kekuasaan dan tidak mampu menghasilkan komitmen serius untuk beramal. Seraya satu bagian dunia dikutuk untuk hidup di daerah kumuh sejarah, seraya kesenjangan tumbuh dan ekonomi menghukum yang terlemah, seraya masyarakat mengabdikan diri pada pemujaan uang dan konsumsi, dengan sendirinya orang miskin dan terpinggirkan tidak punya pilihan selain terus menunggu (lih. Evangelii Gaudium, 54).

 

Namun, justru di sinilah, di tengah-tengah pemandangan apokaliptik itu, Yesus menyalakan pengharapan. Ia membuka cakrawala, memperluas pandangan kita, sehingga bahkan dalam ketidakpastian dan penderitaan dunia, kita dapat belajar memahami kehadiran kasih Allah, yang datang mendekati kita, tidak meninggalkan kita, dan bertindak untuk keselamatan kita. Bahkan, seperti matahari yang menjadi gelap dan bulan tidak memancarkan sinarnya serta bintang-bintang berjatuhan dari langit, Bacaan Injil mengatakan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan kuasa yang besar dan kemuliaan. Pada waktu itu juga Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat dan akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ke ujung langit" (Mrk 13:26-27).

 

Dengan kata-kata ini, Yesus menyinggung wafat-Nya yang akan terjadi segera setelah itu. Memang, di Kalvari matahari akan memudar dan malam akan turun ke atas dunia. Namun, pada saat itu juga, Anak Manusia akan terlihat di atas awan-awan, karena kuasa kebangkitan-Nya akan memutuskan belenggu kematian, kehidupan kekal Allah akan muncul dari kegelapan dan dunia baru akan lahir dari puing-puing sejarah yang diporak-porandakan oleh kejahatan.

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan yang ingin diberikan Yesus kepada kita dan Ia melakukannya melalui sebuah gambaran yang indah. Ia meminta kita untuk memikirkan pohon ara: “Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim panas sudah dekat” (Mrk 13:28). Kita juga dipanggil untuk menafsirkan tanda-tanda kehidupan kita di bumi ini: di mana tampaknya hanya ada ketidakadilan, penderitaan dan kemiskinan – dalam drama momen tersebut – Tuhan mendekat untuk membebaskan kita dari perbudakan dan agar kehidupan bersinar (bdk. Mrk 13:29). Ia mendekati sesama kita melalui kedekatan kristiani kita, persaudaraan kristiani kita. Bukan soal melempar koin ke tangan seseorang yang membutuhkan. Kepada orang yang memberi sedekah, saya menanyakan dua hal: “Apakah kamu menyentuh tangannya atau apakah kamu melempar koin kepadanya tanpa menyentuhnya? Apakah kamu menatap mata orang yang kamu bantu atau apakah kamu mengalihkan pandangan?”.

 

Kita, sebagai murid-murid-Nya, dapat menabur pengharapan di dunia ini melalui kuasa Roh Kudus. Kita dapat dan harus menyalakan terang keadilan dan solidaritas bahkan saat bayang-bayang dunia kita yang tertutup semakin dalam (lih. Fratelli Tutti, 9-55). Kitalah yang harus membuat kasih karunia-Nya bersinar melalui kehidupan yang dipenuhi dengan belarasa dan amal kasih yang menjadi tanda kehadiran Tuhan, yang selalu dekat dengan penderitaan orang miskin untuk menyembuhkan luka-luka mereka dan mengubah nasib mereka.

 

Saudara-saudari, janganlah kita lupa bahwa pengharapan kristiani, yang tergenapi dalam diri Yesus dan terwujud dalam kerajaan-Nya, membutuhkan diri kita dan komitmen kita, membutuhkan iman kita yang terungkap dalam karya amal kasih, dan membutuhkan orang-orang kristiani yang tidak mengalihkan pandangan. Saya sedang melihat sebuah foto yang diambil oleh seorang fotografer Roma: sepasang suami istri dewasa, yang sudah cukup tua, keluar dari sebuah restoran di musim dingin; sang istri tertutup mantel bulu, begitu pula sang suami. Di ambang pintu, ada seorang perempuan miskin, tergeletak di lantai, mengemis sedekah, dan keduanya mengalihkan pandangan. Ini terjadi setiap hari. Marilah kita bertanya pada diri kita: apakah aku mengalihkan pandangan ketika aku melihat kemiskinan, kebutuhan, atau penderitaan sesamaku? Seorang teolog abad kedua puluh mengatakan bahwa iman kristiani harus menghasilkan dalam diri kita "mistisisme dengan mata terbuka," bukan spiritualitas yang melarikan diri dari dunia tetapi - sebaliknya - iman yang membuka matanya terhadap penderitaan dunia dan ketidakbahagiaan orang miskin untuk menunjukkan belarasa Kristus. Apakah aku merasakan belarasa yang sama seperti Tuhan terhadap orang miskin, terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan, yang tidak memiliki makanan, yang terpinggirkan oleh masyarakat? Kita harus melihat bukan hanya pada masalah besar kemiskinan dunia, tetapi juga pada hal-hal kecil yang dapat kita semua lakukan setiap hari melalui gaya hidup kita; melalui perhatian dan kepedulian kita terhadap lingkungan tempat kita tinggal; melalui pengupayaan keadilan yang gigih; melalui berbagi kepunyaan kita dengan mereka yang lebih miskin; melalui keterlibatan sosial dan politik untuk memperbaiki dunia di sekitar kita. Mungkin ini tampak seperti hal kecil bagi kita, tetapi hal-hal kecil yang kita lakukan akan seperti tunas pertama yang tumbuh di pohon ara, tindakan-tindakan kecil kita akan menjadi awal dari musim panas yang sudah dekat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, saya ingin menyampaikan peringatan dari Kardinal Martini. Ia menegaskan bahwa kita harus menghindari memandang Gereja sebagai sesuatu yang terpisah dari orang miskin, seolah-olah Gereja hadir sebagai kenyataan yang berdiri sendiri yang kemudian harus peduli terhadap orang miskin. Kenyataannya, kita menjadi Gereja Yesus sejauh kita melayani orang miskin, karena hanya dengan cara ini “Gereja ‘menjadi’ dirinya sendiri, yaitu, Gereja menjadi rumah yang terbuka bagi semua orang, tempat belarasa Allah bagi kehidupan setiap individu” (C.M. Martini, Città Senza Mura. Surat dan Pidato kepada Keuskupan 1984, Bologna 1985, 350).

 

Saya menyampaikan hal ini kepada Gereja, pemerintah, dan organisasi internasional. Saya katakan kepada semua orang: janganlah kita lupakan orang miskin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 November 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENGENANGAN ARWAH PARA KARDINAL DAN USKUP YANG MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR 4 November 2024 : YESUS, INGATLAH AKU!

“Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu” (Luk 23:42). Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan kepada Tuhan oleh salah seorang dari dua orang yang disalibkan bersama-Nya. Bukan kata-kata salah seorang murid Yesus yang telah mengikuti-Nya di sepanjang jalan Galilea dan berbagi roti dengan-Nya pada Perjamuan Terakhir. Sebaliknya, orang yang mengucapkan kata-kata itu kepada Tuhan adalah seorang penjahat, seorang yang baru bertemu dengan-Nya di akhir hayatnya, seorang yang namanya bahkan tidak kita ketahui.

 

Namun, dalam Bacaan Injil, kata-kata terakhir "orang luar" ini mengawali dialog yang penuh kebenaran. Bahkan ketika Yesus "terhitung di antara pemberontak" (Yes 53:12) sebagaimana telah dinubuatkan Yesaya, sebuah suara yang tak terduga terdengar, berkata, "Kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah" (Luk 23:41). Begitulah adanya. Penjahat yang dihukum itu mewakili kita semua; kita masing-masing dapat mengganti namanya dengan nama kita. Namun yang lebih penting lagi, kita dapat menjadikan permohonannya sebagai permohonan kita: "Yesus, ingatlah aku". Jagalah aku tetap hidup dalam ingatan-Mu. "Jangan melupakan aku".

 

Marilah kita merenungkan kata itu: mengingat. Mengingat berarti "menuntun kembali ke hati", membawa dalam hati. Orang itu, yang disalibkan di samping Yesus, mengubah kesakitannya yang mengerikan menjadi sebuah doa: "Yesus, bawalah aku dalam hati-Mu". Kata-katanya tidak mencerminkan kesedihan dan kekalahan, tetapi harapan. Penjahat ini, yang meninggal sebagai murid di saat-saat terakhir, hanya menginginkan satu hal: menemukan hati yang menyambut. Itulah satu-satunya hal yang penting baginya saat ia mendapati dirinya tak berdaya menghadapi kematian. Tuhan mendengar doa orang berdosa, bahkan di saat-saat terakhir, sebagaimana selalu Ia lakukan. Hati Kristus – hati yang terbuka, bukan hati yang tertutup – yang tertikam oleh rasa sakit, dibuka untuk menyelamatkan dunia. Saat menghadapi ajal, Ia terbuka terhadap suara orang yang sedang menghadapi ajal. Yesus wafat bersama kita karena Ia wafat untuk kita.

 

Disalibkan meskipun tidak bersalah, Yesus menjawab doa seorang yang disalibkan karena kesalahannya, "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Luk 23:43). Ingatan akan Yesus efektif karena kaya akan belas kasihan. Saat kehidupan seseorang berakhir, kasih Allah menganugerahkan kebebasan dari kematian. Orang yang dihukum kini ditebus. Orang luar menjadi teman seperjalanan; perjumpaan singkat di kayu salib menuntun pada kedamaian abadi. Hal ini membuat kita merenung sejenak. Bagaimana aku berjumpa Yesus? Atau lebih baik lagi, bagaimana aku membiarkan diriku dijumpai oleh Yesus? Apakah aku membiarkan diriku dijumpai atau apakah aku menutup diri dalam keegoisanku, dalam penderitaanku, dalam kecukupan diriku? Apakah aku memiliki kesadaran akan keberdosaanku yang memungkinkanku dijumpai oleh Tuhan, atau apakah aku merasa benar dan berkata: "Engkau tidak di sini untuk melayani Aku. Teruslah berjalan"?

 

Yesus mengingat mereka yang disalibkan di samping-Nya. Belas kasihan-Nya hingga akhir hayat-Nya membuat kita menyadari bahwa ada berbagai cara untuk mengingat orang dan berbagai hal. Kita dapat mengingat kesalahan kita, urusan yang belum selesai, teman dan musuh kita. Saudara-saudari, hari ini marilah kita bertanya kepada diri kita di hadapan kisah Injil ini: bagaimana kita membawa orang-orang di dalam hati kita? Bagaimana kita mengingat mereka yang berada di samping kita dalam berbagai peristiwa dalam hidup kita? Apakah aku menghakimi? Apakah aku memecah belah? Atau apakah aku menyambut mereka?

 

Saudara-saudari terkasih, dengan berpaling kepada hati Allah, pria dan wanita masa kini dan segala zaman dapat menemukan harapan akan keselamatan, bahkan jika “di mata orang bodoh tampaknya mereka sudah mati” (Keb 3:2). Seluruh sejarah tersimpan dalam ingatan Tuhan. Ingatan adalah penyimpanan yang aman. Ia adalah hakimnya yang penuh belas kasihan dan kerahiman. Tuhan dekat dengan kita sebagai hakim; Ia dekat, penuh belas kasih dan kerahiman. Inilah tiga sikap Tuhan. Apakah aku dekat dengan umat? Apakah aku memiliki hati yang penuh belas kasihan? Apakah aku penuh kerahiman? Dengan keyakinan ini, kita mendoakan para kardinal dan uskup yang meninggal dalam dua belas bulan terakhir. Hari ini, ingatan kita menjadi doa pengantaraan bagi saudara-saudari kita yang terkasih. Para anggota terpilih Umat Allah, mereka dibaptis dalam kematian Kristus (lih. Rm 6:3) untuk bangkit bersama-Nya. Mereka adalah para gembala dan teladan bagi kawanan domba Tuhan (lih. 1 Ptr 5:3). Setelah memecah-mecahkan roti kehidupan di bumi, semoga mereka sekarang menikmati sebuah tempat duduk di meja-Nya. Mereka mengasihi Gereja, dengan cara masing-masing, tetapi mereka semua mengasihi Gereja. Marilah kita berdoa agar mereka dapat bersukacita dalam persekutuan kekal dengan para kudus. Dengan harapan yang teguh, marilah kita menantikan untuk bersukacita bersama mereka di surga. Dan bersama-sama saya mengundangmu tiga kali mengucapkan: “Yesus, ingatlah kami!”, “Yesus, ingatlah kami!”, “Yesus, ingatlah kami!”.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2024)