Bacaan
Liturgi : Yes. 52:13-53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9;
Yoh. 18:1-19:42.
"Apabila
kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa AKULAH DIA” (Yoh
8:28). Inilah kata-kata yang diucapkan Yesus di akhir perselisihan sengit
dengan lawan-lawan-Nya. Ada peningkatan dibandingkan dengan “Akulah Dia”
sebelumnya yang diucapkan Yesus dalam Injil Yohanes. Ia tidak lagi berkata,
“AKULAH DIA” ini atau itu: roti hidup, terang dunia, kebangkitan dan hidup, dan
seterusnya. Ia hanya mengatakan “Akulah Dia” tanpa penjelasan lebih lanjut. Hal
ini menyampaikan pernyataan-Nya suatu dimensi metafisik yang mutlak.
Pernyataan-Nya sengaja mengingatkan kata-kata dalam Kel 3:14 dan Yes 43:10-12,
yang di dalamnya Allah sendiri menyatakan “AKULAH DIA” yang ilahi.
Hal
baru yang mengejutkan dari penegasan yang diucapkan Kristus ini hanya dapat
kita temukan jika kita memperhatikan apa yang mendahului penegasan diri
Kristus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa
AKULAH DIA.” Seolah-olah mau dikatakan: Siapakah Aku – dan oleh karena itu,
siapakah Allah itu! — hanya akan terwujud di kayu salib. (Sebagaimana kita
ketahui, dalam Injil Yohanes, ungkapan “ditinggikan” mengacu pada peristiwa salib!)
Kita
dihadapkan pada pembalikan sepenuhnya gagasan manusia tentang Allah dan,
sebagian juga gagasan Perjanjian Lama. Yesus tidak datang untuk memperbaiki dan
menyempurnakan gagasan manusia tentang Allah, tetapi, dalam arti tertentu,
menjungkirbalikkan gagasan tersebut dan menyingkapkan wajah Allah yang
sesungguhnya. Inilah apa yang pertama kali dipahami Santo Paulus. Ia menulis:
Sebab, karena dunia,
dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmat, Allah berkenan
menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil. Orang-orang
Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami
memberitakan Kristus yang disalibkan: Untuk orang-orang Yahudi suatu batu
sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk
mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus
adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. (1 Kor 1:21-24).
Dipahami
dalam sudut pandang ini, kata-kata Kristus memiliki makna universal yang
menantang mereka yang membacanya, di segala zaman dan situasi, termasuk zaman
kita. Kenyataannya, pembalikan gagasan tentang Allah itu selalu perlu
diperbarui. Sayangnya, dalam ketidaksadaran kita, kita terus menyampaikan
gagasan tentang Allah yang merasa perlu diubah oleh Yesus. Kita bisa berbicara
tentang sosok Allah yang sungguh roh, wujud tertinggi, dan seterusnya, tetapi
bagaimana kita bisa melihat Dia dalam kebinasaan kematian-Nya di kayu salib?
Allah itu mahakuasa, tidak perlu diragukan lagi, tetapi kuasa macam apa? Ketika
berhadapan dengan sosok-sosok manusiawi, Allah mendapati diri-Nya tidak
memiliki kemampuan apa pun, tidak hanya dipaksa, tetapi juga hanya bertahan. Ia
tidak bisa melakukan campur tangan dengan menggunakan kewenangan-Nya terhadap
mereka. Ia harus menghormati, sampai tingkat yang tak terhingga, kebebasan
memilih umat manusia.
Maka
Bapa mengungkapkan wajah kemahakuasaan-Nya yang sesungguhnya dalam diri
Putra-Nya yang berlutut di hadapan para murid untuk membasuh kaki mereka; di
dalam Dia yang mengalami ketidakberdayaan yang paling radikal di kayu salib dan
terus mengasihi dan mengampuni, tanpa menyalahkan siapa pun. Kemahakuasaan
Allah adalah kemahakuasaan kasih yang tak berdaya.
Dibutuhkan
sedikit kekuatan untuk pasang aksi; dibutuhkan banyak kekuatan untuk
mengesampingkan dan menyembunyikan diri. Allah adalah kekuatan penyembunyian
diri yang tak terbatas! Exinanivit semetipsum: Ia telah mengosongkan diri-Nya
sendiri (Flp 2:7). Terhadap “keinginan kita untuk berkuasa”, Allah menentang
ketidakberdayaan-Nya yang bersifat sukarela.
Sungguh
sebuah pelajaran bagi kita yang, sedikit banyak, secara sadar selalu ingin
pasang aksi. Sungguh sebuah pelajaran bagi para penguasa bumi! Atau setidaknya
bagi mereka yang bahkan tidak berpikir untuk melayani, tetapi hanya memikirkan
kekuasaan demi kekuasaan; mereka – sebagaimana dikatakan Yesus dalam Injil –
yang “menindas rakyat” dan, sebagai tambahan, “menyebut diri mereka pelindung”
(bdk. Mat 20:25; Luk 22:25).
*
* *
Tetapi
bukankah kemenangan Kristus dalam kebangkitan-Nya menjungkirbalikkan visi ini
dan memulihkan kemahakuasaan Allah yang tak terkalahkan? Ya, tetapi dalam arti
yang sangat berbeda dari apa yang biasanya kita pikirkan. Sangat berbeda dengan
“kemenangan” yang dirayakan sekembalinya kaisar dari kampanye kemenangan, di
sepanjang jalan yang masih disebut Via Trionfale di Roma saat ini.
Tentu
saja ada kemenangan dalam kasus Kristus, dan kemenangan yang pasti dan tidak
dapat diubah! Tetapi bagaimana kemenangan ini mewujudkan dirinya? Kebangkitan
terjadi dalam misteri, tanpa saksi. Kematian-Nya – yang kita dengar dalam kisah
Sengsara – telah dilihat oleh banyak orang dan melibatkan para pemuka agama dan
politik. Setelah dibangkitkan, Yesus hanya muncul di hadapan beberapa murid,
tanpa sorotan.
Dengan
cara ini Ia ingin memberitahu kita bahwa setelah menderita, kita hendaknya
tidak mengharapkan kemenangan yang lahiriah dan kasat mata, seperti kemuliaan
duniawi. Kemenangan diberikan secara tidak kasat mata dan merupakan tatanan
yang jauh lebih unggul karena bersifat kekal! Para martir di masa lalu dan hari
ini adalah contohnya.
Yesus
yang bangkit mewujudkan diri-Nya melalui penampakan-penampakan-Nya, yang cukup
untuk memberikan landasan iman yang kuat bagi mereka yang sejak awal tidak
menolak untuk percaya. Tetapi mempermalukan lawan-lawannya bukan tindakan balas
dendam. Ia tidak muncul di tengah-tengah mereka untuk membuktikan bahwa mereka
salah atau untuk mengejek kemarahan mereka yang tunadaya. Balas dendam seperti
itu tidak sesuai dengan kasih yang ingin dipersaksikan Kristus dalam
sengsara-Nya.
Seperti
dalam kebinasaan-Nya di Kalvari, Ia berperilaku rendah hati dalam kemuliaan
kebangkitan. Perhatian Yesus yang telah bangkit bukan untuk membingungkan
musuh-musuh-Nya, tetapi pergi dan meyakinkan murid-murid-Nya yang kecewa serta,
di hadapan mereka, para perempuan yang tidak pernah berhenti percaya kepada-Nya.
*
* *
Di
masa lalu, kita dengan senang hati berbicara tentang “kemenangan Gereja yang
kudus”. Umat mendoakannya serta pencapaian dan alasan sejarah dengan rela
diingat. Tetapi kemenangan seperti apa yang ada dalam pikiran kita? Hari ini
kita menyadari betapa berbedanya kemenangan tersebut dengan kemenangan Yesus.
Tetapi jangan menilai masa lalu. Selalu ada risiko bersikap tidak adil ketika
kita menilai masa lalu dari sudut pandang masa kini.
Sebaliknya,
marilah kita menerima undangan yang disampaikan Yesus kepada dunia dari
salib-Nya: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku
akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Undangan tersebut hampir dianggap
sebagai ironi dan ejekan! Orang yang tidak memiliki batu untuk meletakkan
kepalanya, orang yang telah ditolak oleh bangsanya, dijatuhi hukuman mati,
orang yang “di hadapannya akan menutup mukanya agar tidak dapat melihatnya”
(bdk. Yes 53:3), berani menyapa seluruh umat manusia, di mana pun dan kapan
pun, dan berkata: “Marilah kepada-Ku, kamu semua, Aku akan memberi kelegaan
kepadamu!”.
Marilah
kepada-Ku, kamu yang sudah tua, sakit, dan sendirian, kamu yang dibiarkan dunia
mati dalam kemiskinan, kelaparan, atau di bawah pemboman; kamu yang mendekam di
sel penjara oleh karena imanmu kepada-Ku, atau perjuanganmu demi kebebasan,
marilah kepada-Ku, kamu para perempuan korban kekerasan. Singkatnya, semua
orang, tanpa kecuali: Marilah kepada-Ku, dan Aku akan memberi kelegaan
kepadamu! Bukankah Aku telah berjanji kepadamu: “Apabila Aku ditinggikan dari
bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32)?
“Tetapi
kelegaan apa yang bisa Engkau berikan kepada kami, hai manusia salib, yang
lebih terlantar dan letih lesu dibandingkan mereka yang ingin Kauhibur?” “Ya,
marilah kepada-Ku, karena AKULAH DIA! Aku adalah Allah! Aku telah menolak
gagasanmu tentang kemahakuasaan, tetapi Aku tetap mempertahankan
kemahakuasaan-Ku yang merupakan kemahakuasaan kasih. Ada tertulis bahwa 'yang
lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia' (1 Kor 1:25). Aku mampu menghibur
dan memberimu kelegaan meski tanpa menghilangkan penat dan letih lesu di dunia
ini. Tanyakanlah kepada mereka yang pernah mengalaminya!"
Ya,
ya Tuhan yang disalibkan, dengan hati kami yang penuh rasa syukur, pada hari
kami memperingati sengsara dan wafat-Mu, kami mewartakan dengan lantang bersama
rasul Paulus:
Siapakah yang akan
memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesengsaraan atau
penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?
[...] Tetapi, dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang,
melalui Dia yang telah mengasihi kita. Sebab, aku yakin bahwa baik maut maupun
hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada
sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun
yang di bawah, ataupun suatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita
dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm 8:35-39).
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 30 Maret 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.