Liturgical Calendar

HOMILI RANIERO KARDINAL CANTALAMESSA, OFMCAP DALAM IBADAT JUMAT AGUNG DI BASILIKA SANTO PETRUS VATIKAN 29 Maret 2024 : AKULAH DIA

Bacaan Liturgi : Yes. 52:13-53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42.


"Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa AKULAH DIA” (Yoh 8:28). Inilah kata-kata yang diucapkan Yesus di akhir perselisihan sengit dengan lawan-lawan-Nya. Ada peningkatan dibandingkan dengan “Akulah Dia” sebelumnya yang diucapkan Yesus dalam Injil Yohanes. Ia tidak lagi berkata, “AKULAH DIA” ini atau itu: roti hidup, terang dunia, kebangkitan dan hidup, dan seterusnya. Ia hanya mengatakan “Akulah Dia” tanpa penjelasan lebih lanjut. Hal ini menyampaikan pernyataan-Nya suatu dimensi metafisik yang mutlak. Pernyataan-Nya sengaja mengingatkan kata-kata dalam Kel 3:14 dan Yes 43:10-12, yang di dalamnya Allah sendiri menyatakan “AKULAH DIA” yang ilahi.

 

Hal baru yang mengejutkan dari penegasan yang diucapkan Kristus ini hanya dapat kita temukan jika kita memperhatikan apa yang mendahului penegasan diri Kristus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa AKULAH DIA.” Seolah-olah mau dikatakan: Siapakah Aku – dan oleh karena itu, siapakah Allah itu! — hanya akan terwujud di kayu salib. (Sebagaimana kita ketahui, dalam Injil Yohanes, ungkapan “ditinggikan” mengacu pada peristiwa salib!)

 

Kita dihadapkan pada pembalikan sepenuhnya gagasan manusia tentang Allah dan, sebagian juga gagasan Perjanjian Lama. Yesus tidak datang untuk memperbaiki dan menyempurnakan gagasan manusia tentang Allah, tetapi, dalam arti tertentu, menjungkirbalikkan gagasan tersebut dan menyingkapkan wajah Allah yang sesungguhnya. Inilah apa yang pertama kali dipahami Santo Paulus. Ia menulis:

 

Sebab, karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmat, Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil. Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: Untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. (1 Kor 1:21-24).

 

Dipahami dalam sudut pandang ini, kata-kata Kristus memiliki makna universal yang menantang mereka yang membacanya, di segala zaman dan situasi, termasuk zaman kita. Kenyataannya, pembalikan gagasan tentang Allah itu selalu perlu diperbarui. Sayangnya, dalam ketidaksadaran kita, kita terus menyampaikan gagasan tentang Allah yang merasa perlu diubah oleh Yesus. Kita bisa berbicara tentang sosok Allah yang sungguh roh, wujud tertinggi, dan seterusnya, tetapi bagaimana kita bisa melihat Dia dalam kebinasaan kematian-Nya di kayu salib? Allah itu mahakuasa, tidak perlu diragukan lagi, tetapi kuasa macam apa? Ketika berhadapan dengan sosok-sosok manusiawi, Allah mendapati diri-Nya tidak memiliki kemampuan apa pun, tidak hanya dipaksa, tetapi juga hanya bertahan. Ia tidak bisa melakukan campur tangan dengan menggunakan kewenangan-Nya terhadap mereka. Ia harus menghormati, sampai tingkat yang tak terhingga, kebebasan memilih umat manusia.

 

Maka Bapa mengungkapkan wajah kemahakuasaan-Nya yang sesungguhnya dalam diri Putra-Nya yang berlutut di hadapan para murid untuk membasuh kaki mereka; di dalam Dia yang mengalami ketidakberdayaan yang paling radikal di kayu salib dan terus mengasihi dan mengampuni, tanpa menyalahkan siapa pun. Kemahakuasaan Allah adalah kemahakuasaan kasih yang tak berdaya.

 

Dibutuhkan sedikit kekuatan untuk pasang aksi; dibutuhkan banyak kekuatan untuk mengesampingkan dan menyembunyikan diri. Allah adalah kekuatan penyembunyian diri yang tak terbatas! Exinanivit semetipsum: Ia telah mengosongkan diri-Nya sendiri (Flp 2:7). Terhadap “keinginan kita untuk berkuasa”, Allah menentang ketidakberdayaan-Nya yang bersifat sukarela.

 

Sungguh sebuah pelajaran bagi kita yang, sedikit banyak, secara sadar selalu ingin pasang aksi. Sungguh sebuah pelajaran bagi para penguasa bumi! Atau setidaknya bagi mereka yang bahkan tidak berpikir untuk melayani, tetapi hanya memikirkan kekuasaan demi kekuasaan; mereka – sebagaimana dikatakan Yesus dalam Injil – yang “menindas rakyat” dan, sebagai tambahan, “menyebut diri mereka pelindung” (bdk. Mat 20:25; Luk 22:25).

 

* * *

 

Tetapi bukankah kemenangan Kristus dalam kebangkitan-Nya menjungkirbalikkan visi ini dan memulihkan kemahakuasaan Allah yang tak terkalahkan? Ya, tetapi dalam arti yang sangat berbeda dari apa yang biasanya kita pikirkan. Sangat berbeda dengan “kemenangan” yang dirayakan sekembalinya kaisar dari kampanye kemenangan, di sepanjang jalan yang masih disebut Via Trionfale di Roma saat ini.

 

Tentu saja ada kemenangan dalam kasus Kristus, dan kemenangan yang pasti dan tidak dapat diubah! Tetapi bagaimana kemenangan ini mewujudkan dirinya? Kebangkitan terjadi dalam misteri, tanpa saksi. Kematian-Nya – yang kita dengar dalam kisah Sengsara – telah dilihat oleh banyak orang dan melibatkan para pemuka agama dan politik. Setelah dibangkitkan, Yesus hanya muncul di hadapan beberapa murid, tanpa sorotan.

 

Dengan cara ini Ia ingin memberitahu kita bahwa setelah menderita, kita hendaknya tidak mengharapkan kemenangan yang lahiriah dan kasat mata, seperti kemuliaan duniawi. Kemenangan diberikan secara tidak kasat mata dan merupakan tatanan yang jauh lebih unggul karena bersifat kekal! Para martir di masa lalu dan hari ini adalah contohnya.

 

Yesus yang bangkit mewujudkan diri-Nya melalui penampakan-penampakan-Nya, yang cukup untuk memberikan landasan iman yang kuat bagi mereka yang sejak awal tidak menolak untuk percaya. Tetapi mempermalukan lawan-lawannya bukan tindakan balas dendam. Ia tidak muncul di tengah-tengah mereka untuk membuktikan bahwa mereka salah atau untuk mengejek kemarahan mereka yang tunadaya. Balas dendam seperti itu tidak sesuai dengan kasih yang ingin dipersaksikan Kristus dalam sengsara-Nya.

 

Seperti dalam kebinasaan-Nya di Kalvari, Ia berperilaku rendah hati dalam kemuliaan kebangkitan. Perhatian Yesus yang telah bangkit bukan untuk membingungkan musuh-musuh-Nya, tetapi pergi dan meyakinkan murid-murid-Nya yang kecewa serta, di hadapan mereka, para perempuan yang tidak pernah berhenti percaya kepada-Nya.

 

* * *

 

Di masa lalu, kita dengan senang hati berbicara tentang “kemenangan Gereja yang kudus”. Umat mendoakannya serta pencapaian dan alasan sejarah dengan rela diingat. Tetapi kemenangan seperti apa yang ada dalam pikiran kita? Hari ini kita menyadari betapa berbedanya kemenangan tersebut dengan kemenangan Yesus. Tetapi jangan menilai masa lalu. Selalu ada risiko bersikap tidak adil ketika kita menilai masa lalu dari sudut pandang masa kini.

 

Sebaliknya, marilah kita menerima undangan yang disampaikan Yesus kepada dunia dari salib-Nya: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Undangan tersebut hampir dianggap sebagai ironi dan ejekan! Orang yang tidak memiliki batu untuk meletakkan kepalanya, orang yang telah ditolak oleh bangsanya, dijatuhi hukuman mati, orang yang “di hadapannya akan menutup mukanya agar tidak dapat melihatnya” (bdk. Yes 53:3), berani menyapa seluruh umat manusia, di mana pun dan kapan pun, dan berkata: “Marilah kepada-Ku, kamu semua, Aku akan memberi kelegaan kepadamu!”.

 

Marilah kepada-Ku, kamu yang sudah tua, sakit, dan sendirian, kamu yang dibiarkan dunia mati dalam kemiskinan, kelaparan, atau di bawah pemboman; kamu yang mendekam di sel penjara oleh karena imanmu kepada-Ku, atau perjuanganmu demi kebebasan, marilah kepada-Ku, kamu para perempuan korban kekerasan. Singkatnya, semua orang, tanpa kecuali: Marilah kepada-Ku, dan Aku akan memberi kelegaan kepadamu! Bukankah Aku telah berjanji kepadamu: “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh 12:32)?

 

“Tetapi kelegaan apa yang bisa Engkau berikan kepada kami, hai manusia salib, yang lebih terlantar dan letih lesu dibandingkan mereka yang ingin Kauhibur?” “Ya, marilah kepada-Ku, karena AKULAH DIA! Aku adalah Allah! Aku telah menolak gagasanmu tentang kemahakuasaan, tetapi Aku tetap mempertahankan kemahakuasaan-Ku yang merupakan kemahakuasaan kasih. Ada tertulis bahwa 'yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia' (1 Kor 1:25). Aku mampu menghibur dan memberimu kelegaan meski tanpa menghilangkan penat dan letih lesu di dunia ini. Tanyakanlah kepada mereka yang pernah mengalaminya!"

 

Ya, ya Tuhan yang disalibkan, dengan hati kami yang penuh rasa syukur, pada hari kami memperingati sengsara dan wafat-Mu, kami mewartakan dengan lantang bersama rasul Paulus:

 

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesengsaraan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? [...] Tetapi, dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, melalui Dia yang telah mengasihi kita. Sebab, aku yakin bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun suatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm 8:35-39).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 30 Maret 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.