Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN SANTO PAULUS, RASUL 29 Juni 2024 : KITA MEMBUTUHKAN TUHAN UNTUK MEMBUKA PINTU HATI KITA

Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.

 

Marilah kita memandang dua rasul, Petrus dan Paulus: nelayan dari Galilea yang dijadikan penjala manusia oleh Yesus, dan orang Farisi yang menganiaya Gereja namun diubah rupa oleh anugerah menjadi penginjil bangsa-bangsa. Dalam terang sabda Allah, marilah kita mengambil inspirasi dari kisah mereka dan semangat kerasulan yang menandai kehidupan mereka. Dalam perjumpaan dengan Tuhan, mereka mengalami paskah yang sesungguhnya: mereka dibebaskan: pintu menuju kehidupan baru terbuka di hadapan mereka.

 

Saudara-saudari, menjelang Tahun Yubileum, marilah kita merenungkan gambaran pintu tersebut. Tahun Yubileum akan menjadi masa rahmat di mana kita akan membuka Pintu Suci agar setiap orang dapat melintasi ambang tempat kudus yang hidup yaitu Yesus dan, di dalam Dia, mengalami kasih Allah yang meneguhkan pengharapan kita dan memperbaharui sukacita kita. Dalam kisah Petrus dan Paulus, beberapa pintu terbuka.

 

Bacaan Pertama menceritakan tentang pembebasan Petrus dari penjara; bacaan dipenuhi dengan gambar-gambar yang mengingatkan Paskah. Peristiwa ini terjadi pada Hari Raya Roti Tak Beragi. Herodes mengenang sosok Firaun Mesir. Pembebasan terjadi pada malam hari, sebagaimana terjadi pada bangsa Israel. Malaikat memberikan petunjuk yang sama kepada Petrus yang pernah diberikan kepada Israel: ia menyuruh Petrus untuk segera bangun, bersiap dan memakai alas kaki (bdk. Kis 12:8; Kel 12:11). Jadi, kisahnya adalah keluaran baru. Allah membebaskan Gereja-Nya, membebaskan umat-Nya yang dirantai, dan sekali lagi menyatakan diri-Nya sebagai Allah kerahiman yang menopang perjalanan mereka.


Pada malam pembebasan itu, pintu-pintu penjara terbuka secara ajaib untuk pertama kalinya. Kemudian, kita diberitahu bahwa ketika Petrus dan malaikat yang menemaninya sampai ke pintu gerbang besi yang menuju ke kota, “pintu gerbang itu terbuka dengan sendirinya bagi mereka” (Kis 12:10). Mereka tidak membuka pintu; pintu terbuka dengan sendirinya. Allahlah yang membukakan pintu; Dialah yang membebaskan kita dan membukakan jalan bagi kita. Yesus, seperti yang kita dengar dalam Bacaan Injil, mempercayakan kunci Kerajaan Allah kepada Petrus, namun Petrus menyadari bahwa Tuhanlah yang membukakan pintu; Ia selalu mendahului kita. Titik ini penting: pintu-pintu penjara terbuka oleh kekuatan Tuhan, namun Petrus kemudian merasa sulit memasuki rumah komunitas kristiani. Perempuan yang pergi ke pintu mengiranya hantu dan tidak membukakan pintu (bdk. Kis 12:12-17). Berapa kali komunitas-komunitas tidak memahami kebijaksanaan tentang perlunya membuka pintu ini!

 

Perjalanan Rasul Paulus pada dasarnya juga merupakan pengalaman Paskah. Pertama, ia diubah oleh perjumpaannya dengan Tuhan yang bangkit di jalan menuju Damsyik dan kemudian, dengan sungguh-sungguh merenungkan Kristus yang disalibkan, menemukan anugerah kelemahan. Ketika kita lemah, katanya, saat itulah kita menjadi kuat, karena kita tidak lagi mengandalkan diri kita, tetapi Kristus (bdk. 2Kor 12:10). Ditangkap oleh Tuhan dan disalibkan bersamanya, Paulus dapat menulis, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20). Namun hal ini tidak mengarah pada keagamaan yang menghibur dan melihat ke dalam – sebagaimana ditemukan dalam beberapa gerakan dalam Gereja dewasa ini – sebaliknya, perjumpaan dengan Tuhan menyulut dalam kehidupan Paulus semangat yang membara untuk penginjilan. Sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Kedua, di akhir hidupnya, ia dapat berkata, “Tuhan mendampingi aku dan menguatkan aku, supaya dengan perantaraanku Injil diberitakan dengan sepenuhnya dan semua orang bukan Yahudi mendengarkannya” (2Tim 4:17) .

 

Dengan menggambarkan bagaimana Tuhan memberinya begitu banyak kesempatan untuk memberitakan Injil, Paulus menggunakan gambar pintu yang terbuka. Ia melakukan perjalanan ke Antiokhia bersama Barnabas, dan kita membaca bahwa “Setibanya di situ mereka memanggil jemaat berkumpul, lalu mereka menceritakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka, dan bahwa Ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman” (Kis 14:27) . Dengan cara serupa, ketika menulis kepada jemaat di Korintus, ia berkata, “Sebab semakin terbuka lebar kesempatan bagiku untuk mengerjakan pekerjaan besar” (1 Kor. 16:9). Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus mendesak mereka: “Berdoa jugalah untuk kami, supaya Allah membuka untuk pemberitaan kami, sehingga kami dapat berbicara tentang rahasia Kristus” (Kol. 4:3).

 

Saudara-saudari, Rasul Petrus dan Paulus sama-sama mengalami anugerah ini. Mereka memberi kesaksian secara langsung karya Allah, yang membuka pintu-pintu penjara diri mereka dan juga penjara-penjara yang sebenarnya yang ke dalamnya mereka dijebloskan karena Injil. Tuhan juga membukakan mereka pintu penginjilan, agar mereka dapat merasakan sukacita berjumpa saudara-saudari mereka di dalam komunitas-komunitas pemula dan membawa harapan Injil kepada semua orang. Kini, tahun ini kita juga sedang bersiap membuka Pintu Suci.

 

Saudara-saudari, hari ini para uskup agung metropolitan yang diangkat tahun lalu menerima pallium. Dalam persekutuan dengan Petrus dan mengikuti teladan Kristus, pintu bagi domba-domba (bdk. Yoh 10:7), mereka dipanggil untuk menjadi gembala yang bersemangat yang membuka pintu Injil dan, melalui pelayanan mereka, membantu membangun Gereja dan masyarakat pintu terbuka.

 

Dengan kasih sayang persaudaraan, saya menyapa delegasi Patriarkat Ekumenis, yang saya ucapkan terima kasih karena telah datang guna mewujudkan keinginan bersama untuk persekutuan penuh di antara Gereja-Gereja kita. Saya juga menyapa dengan hangat dan tulus saudara saya yang tercinta, Bartholomew.

 

Semoga Santo Petrus dan Santo Paulus membantu kita membuka pintu kehidupan kita bagi Tuhan Yesus. Semoga mereka menjadi perantara kita, Kota Roma ini, dan seluruh dunia. Amin.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS DI BASILIKA SANTO YOHANES LATERAN 2 Juni 2024 : UCAPAN SYUKUR, KENANGAN, DAN KEHADIRAN

Bacaan Ekaristi : Kel. 24:3-8; Mzm. 116:12-13,15,16bc,17-18; Ibr. 9:11-15; Mrk. 14:12-16,22-26.



“Yesus mengambil roti, mengucap syukur” (Mrk 14:22). Dengan cara ini, Injil Santo Markus memulai kisah tentang penetapan Ekaristi. Berangkat dari sikap Yesus yang mengucap syukur atas roti ini, kita dapat merenungkan tiga aspek misteri yang sedang kita rayakan: ucapan syukur, kenangan, dan kehadiran.

 

Pertama, ucapan syukur. Memang benar, kata “Ekaristi” berarti “syukur”: “mengucap syukur” kepada Allah atas karunia-karunia-Nya. Jadi, tanda roti itu penting, karena merupakan santapan kehidupan sehari-hari, dan dengannya kita membawa ke altar seluruh keberadaan kita dan seluruh yang kita miliki: kehidupan, pekerjaan, keberhasilan, dan juga kegagalan kita. Dalam beberapa kebudayaan hal ini dilambangkan dengan kebiasaan yang indah memungut dan mencium roti ketika roti itu jatuh ke tanah, untuk mengingatkan kita bahwa roti terlalu berharga untuk dibuang, bahkan setelah jatuh. Maka, Ekaristi mengajarkan kita untuk selalu mengucap syukur, menyambut dan menghargai karunia-karunia Allah sebagai sebuah tindakan syukur; tidak hanya dalam perayaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

 

Contohnya, kita tidak menyia-nyiakan milik dan talenta yang diberikan Tuhan kepada kita. Demikian pula, kita harus mengampuni dan mendukung mereka yang melakukan kesalahan dan terjatuh oleh karena kelemahan atau kesalahan, mengakui bahwa segala sesuatu adalah sebuah karunia dan tidak ada yang boleh hilang, tidak ada seorang pun yang boleh ditinggalkan, dan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk bangkit. Kita dapat melakukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari, melaksanakan pekerjaan kita dengan kasih, ketelitian, dan perhatian, mengakuinya sebagai karunia dan perutusan. Dan selalu membantu mereka yang telah terjatuh: jangan sekali pun kita memandang rendah seseorang: bantulah mereka bangkit kembali. Ini adalah perutuan kita.

 

Tentunya, kita bisa menambahkan banyak hal lain yang layak kita syukuri. Ini adalah sikap “Ekaristis” yang penting karena mengajarkan kita untuk menghargai nilai dari apa yang sedang kita lakukan dan persembahkan.

 

Pertama, ucapan syukur. Lalu, kedua, “mengucap syukur atas roti” artinya mengenang. Apa yang kita kenang? Bagi Israel kuno, ini berarti mengenang kembali pembebasan dari perbudakan Mesir dan awal keluaran menuju Tanah Terjanji. Bagi kita, ini berarti mengenang Paskah Kristus, sengsara dan kebangkitan-Nya, yang melaluinya Ia membebaskan kita dari dosa dan maut. Artinya mengenang kehidupan, keberhasilan, kesalahan kita, uluran tangan Tuhan yang selalu membantu kita bangkit kembali, kehadiran Tuhan dalam hidup kita.

 

Ada yang mengatakan bahwa kebebasan sejati berarti hanya memikirkan diri sendiri, menikmati hidup dengan melakukan apa pun yang kita inginkan tanpa peduli terhadap orang lain. Ini bukan kebebasan, namun suatu bentuk perbudakan yang tersembunyi, sebuah perbudakan yang semakin memperbudak kita.

 

Namun kebebasan tidak ditemukan dalam brankas milik orang-orang yang menimbun kekayaan untuk diri mereka sendiri, atau sofa orang-orang yang bermalas-malasan menikmati pelepasan diri dan individualisme. Kebebasan ditemukan di Ruang Atas di mana, hanya dimotivasi oleh kasih, kita membungkuk untuk melayani sesama, menawarkan hidup kita sebagai orang-orang yang “diselamatkan”.

 

Ketiga, roti Ekaristi adalah kehadiran nyata. Hal ini berbicara kepada kita tentang Allah yang tidak jauh, yang tidak cemburu, namun dekat dan bersetia kawan dengan umat manusia; sesosok Allah yang tidak meninggalkan kita tetapi selalu mencari, menunggu, dan menyertai kita, bahkan sampai menyerahkan diri-Nya, tak berdaya, ke dalam tangan kita. Dan kehadiran-Nya yang nyata juga mengajak kita untuk dekat dengan saudara-saudari kita di manapun kasih memanggil kita.

 

Saudara-saudari, dunia kita sangat membutuhkan roti ini, dengan keharuman dan aromanya, yang mengenal rasa syukur, kebebasan dan kedekatan! Setiap hari kita melihat terlalu banyak jalan yang dulunya dipenuhi semerbak roti yang baru dipanggang, namun kini menjadi puing-puing karena perang, keegoisan, dan ketidakpedulian! Kita perlu segera membawa kembali kepada dunia kita aroma roti kasih yang baik dan segar, terus berharap tanpa kenal lelah dan membangun kembali apa yang dihancurkan oleh kebencian.

 

Hal ini juga merupakan makna dari isyarat yang akan segera kita lakukan dalam Perarakan Ekaristi. Mulai dari altar, kita akan membawa Tuhan ke seluruh rumah di kota kita. Kita melakukan ini bukan untuk pamer, atau memamerkan iman kita, melainkan untuk mengajak semua orang ikut serta, dalam Roti Ekaristi, dalam kehidupan baru yang telah diberikan Yesus kepada kita. Marilah kita melakukan perarakan dengan semangat ini. Terima kasih.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Juni 2024)