Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM (HARI ORANG MUDA SEDUNIA KE-39) 24 November 2024 : TUDUHAN, PERSETUJUAN, DAN KEBENARAN

Bacaan Ekaristi : Dan. 7:13-14; Mzm. 93:1ab,1c-2,5; Why. 1:5-8; Yoh. 8:33b-37.


Pada akhir tahun liturgi, Gereja merayakan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Perayaan ini mengajak kita untuk mengalihkan pandangan kepada-Nya, Tuhan, sumber dan penggenapan segala sesuatu (bdk. Kol 1:16-17), yang “kerajaan-Nya tidak akan musnah” (Dan 7:14).

 

Saat kita merenungkan Kristus Raja, kita terangkat dan tergerak. Namun, apa yang kita lihat di sekitar kita sangat berbeda, dan kontras ini mungkin menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu di dalam hati kita. Apa yang harus kita lakukan dengan begitu banyak perang, kekerasan yang terus-menerus, dan bencana alam? Apa yang dapat dikatakan tentang banyaknya masalah yang harus kamu, orang-orang muda terkasih, hadapi saat kamu menatap masa depan: kelangkaan kesempatan kerja, ketidakpastian keadaan ekonomi, munculnya kesenjangan yang memecah belah masyarakat kita? Mengapa semua ini terjadi? Dan bagaimana keterlandaan dapat kita hindari? Memang benar, selain menantang, pertanyaan-pertanyaan ini penting.

 

Hari ini, saat Gereja merayakan Hari Orang Muda Sedunia, saya ingin mendorongmu untuk melakukan refleksi, dalam terang Sabda Allah, berkenaan dengan tiga gagasan yang dapat membantu kita berani menghadapi tantangan-tantangan ini. Ketiga gagasan ini adalah tuduhan, persetujuan, dan kebenaran.

 

Pertama: tuduhan. Dalam Bacaan Injil hari ini, Yesus dituduh (lih. Yoh 18:33-37). Ia, sebagaimana dikatakan orang, "berada di mimbar kesaksian" di pengadilan. Pilatus, seorang pejabat Kekaisaran Romawi, sedang menginterogasi Yesus. Ini dapat dianggap sebagai gambaran yang mewakili seluruh penguasa kejam yang telah menindas orang-orang sepanjang sejarah. Meskipun secara pribadi sang pejabat tidak berkepentingan dengan Yesus, ia juga tahu bahwa orang-orang mengikuti Dia, memercayai Dia sebagai seorang pembimbing, seorang guru, Sang Mesias. Pilatus tidak dapat membiarkan gangguan atau kekacauan apa pun mengancam "perdamaian yang dipaksakan" di wilayahnya, maka ia memutuskan untuk menenangkan musuh-musuh yang kuat dari sang nabi yang tidak berdaya ini. Ia mengadili Yesus dan mengancam akan menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya. Tuhan, yang selalu mengajarkan keadilan, belas kasihan, dan pengampunan, tidak takut. Ia tidak membiarkan diri-Nya diintimidasi; Ia tidak memberontak. Yesus setia pada kebenaran yang Ia wartakan, setia sampai mengurbankan nyawa-Nya.

 

Orang muda terkasih, mungkin kamu juga terkadang merasa "dituduh" karena mengikuti Yesus. Di sekolah, atau di antara teman-teman dan kenalanmu, beberapa orang mungkin mencoba membuatmu berpikir bahwa kesetiaanmu kepada Injil dan nilai-nilainya adalah suatu kesalahan, karena menghalangimu menyesuaikan diri dengan orang banyak dan berbaur dengan orang lain. Jangan takut dengan "tuduhan" mereka! Jangan khawatir; cepat atau lambat, kritik mereka akan gagal, tuduhan mereka akan terbukti keliru, dan nilai-nilai mereka yang dangkal akan terungkap apa adanya: khayalan. Orang muda terkasih, berhati-hatilah jangan sampai terbawa oleh khayalan. Tolong, bersikaplah apa adanya karena kenyataan apa adanya juga. Waspadalah terhadap khayalan.

 

Apa yang bertahan, sebagaimana diajarkan Kristus kepada kita, sangat berbeda: karya kasih. Itulah yang bertahan dan membuat hidup menjadi indah! Selebihnya akan memudar. Kasih menjadi nyata dalam perbuatan. Karena itu, saya ulangi: jangan takut dengan "tuduhan" dunia. Teruslah mengasihi! Tetapi mengasihilah menurut terang Tuhan; dengan memberikan hidupmu untuk membantu orang lain.

 

Hal ini membawa kita pada poin kedua: persetujuan. Yesus berkata: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yoh 18:36). Apa yang dimaksudkan Yesus dengan pernyataan ini? “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini”. Mengapa Ia tidak melakukan apa pun untuk memastikan keberhasilan-Nya, mendapatkan dukungan dari pihak berwenang, mendapatkan persetujuan atas program-Nya? Mengapa Ia tidak melakukannya? Bagaimana Ia dapat berharap untuk mengubah keadaan jika Ia telah “dikalahkan”? Yesus berperilaku seperti ini karena Ia menolak mentalitas kekuasaan (lih. Mrk 10:42-45). Yesus bebas darinya!

 

Orang muda terkasih, kamu juga akan melakukan hal yang baik dengan mengikuti teladan-Nya. Jangan biarkan dirimu terseret oleh kebutuhan untuk dilihat, disetujui, dan dipuji. Mereka yang terjebak dalam kegilaan ini mengalami kecemasan. Mereka akhirnya mendorong orang lain, jatuh ke dalam persaingan, bersikap tidak jujur, menyerah pada tekanan teman sebaya, dan berkompromi hanya untuk mendapatkan sedikit pengakuan dan keterlihatan. Harap berhati-hati, martabatmu tidak untuk dijual. Martabatmu tidak untuk dijual! Berhati-hatilah.

 

Allah mengasihimu apa adanya, bukan apa yang terlihat. Di hadapan-Nya, kepolosan impianmu lebih berharga daripada kesuksesan dan ketenaran, dan ketulusan niatmu lebih berharga daripada pengakuan duniawi. Jangan tertipu oleh mereka yang berusaha memikatmu dengan janji-janji kosong, tetapi hanya ingin memanipulasi dan menggunakan dirimu untuk kepentingan mereka. Waspadalah terhadap eksploitasi. Berhati-hatilah jangan sampai dikondisikan. Bebaslah, tetapi bebaslah dalam keselarasan dengan martabatmu. Jangan puas menjadi "bintang sehari" di media sosial atau dalam konteks apa pun! Saya ingat suatu kejadian ketika seorang wanita muda ingin diperhatikan, meskipun ia cantik, ia merias diri sebelum pergi ke pesta. Saya berpikir, "setelah riasan, apa yang tersisa?" Jangan merias jiwamu dan jangan merias hatimu. Jadilah dirimu sendiri: tulus dan transparan. Jangan menjadi 'bintang sehari' di media sosial atau dalam konteks apa pun. Kamu dipanggil untuk bersinar di langit yang lebih luas. Di surga, kasih Bapa yang tak terbatas tercermin dalam banyak cahaya kecil. Kasih-Nya terungkap dalam diri kita melalui kasih setia suami istri, sukacita yang polos dari anak-anak, antusiasme orang muda, kepedulian terhadap orang tua, kemurahan hati para pelaku hidup bakti, amal yang ditunjukkan kepada orang miskin dan kejujuran yang dijunjung tinggi di lingkungan kerja. Pikirkanlah hal-hal yang akan membuatmu kuat. Cahaya-cahaya kecil ini: kasih setia suami istri - suatu hal yang indah -; sukacita yang polos dari anak-anak - ini adalah sukacita yang indah! -; antusiasme orang muda - antusiaslah, kamu semua! -; dan pedulilah kepada orang tua. Saya bertanya kepadamu: apakah kamu peduli kepada orang tua? Apakah kamu mengunjungi kakek-nenekmu? Bermurah hatilah dalam hidupmu dan bermurah hatilah kepada orang miskin, serta jujurlah dalam pekerjaanmu. Inilah cakrawala sejati tempat kita bercahaya seperti bintang-bintang di dunia (lih. Flp 2:15). Tolong jangan dengarkan mereka yang berbohong kepadamu! Tidak ada persetujuan yang kamu terima dapat menyelamatkan dunia atau membuatmu bahagia. Hanya karunia kasih tanpa pamrih yang dapat membawa kebahagiaan kepada kita. Yang menyelamatkan dunia adalah karunia kasih tanpa pamrih. Kasih tidak dapat dperjualibelikan: kasih itu cuma-cuma, kasih adalah pemberian diri kita.

 

Hal ini membawa kita kepada poin ketiga: kebenaran. Kristus datang ke dunia “untuk bersaksi tentang kebenaran” (Yoh 18:37), dan Ia melakukannya dengan mengajar kita untuk mengasihi Allah dan saudara-saudari kita (lih. Mat 22:34-40; 1 Yoh 4:6-7). Hanya dalam kasih keberadaan kita menemukan terang dan makna (bdk. 1 Yoh 2:9-11). Jika tidak, kita akan tetap menjadi tawanan kebohongan besar. Apakah kebohongan besar ini? Kebohongan tentang kemandirian, ‘aku’ yang mandiri (bdk. Kej 3:4-5). Jenis keegoisan ini adalah akar dari semua ketidakadilan dan ketidakbahagiaan. ‘Aku’ itulah yang berbalik kepada dirinya sendiri - aku, diriku, bersamaku, selalu ‘diriku’ - dan ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat orang lain atau berbicara kepada mereka. Waspadalah terhadap wabah penyakit ‘aku’ yang berbalik kepada dirinya sendiri.

 

Kristus, yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (bdk. Yoh 14:6), dengan menanggalkan segala sesuatu dan wafat di kayu salib demi keselamatan kita, mengajarkan kita bahwa hanya dalam kasih kita dapat hidup, bertumbuh dan berkembang dalam martabat kita sepenuhnya (lih. Ef 4:15-16). Beato Pier Giorgio Frassati — seorang pemuda sepertimu — pernah menulis kepada seorang sahabatnya, mengatakan bahwa, tanpa kasih kita tidak lagi hidup, tetapi kita hanya bertahan hidup (bdk. Surat kepada Isidoro Bonini, 27 Februari 1925). Kita ingin hidup, bukan hanya bertahan hidup. Itulah sebabnya kita harus berusaha untuk menjadi saksi kebenaran dalam kasih, saling mengasihi seperti yang diajarkan Yesus kepada kita (bdk. Yoh 15:12).

 

Saudara-saudari, tidaklah benar, sebagaimana dipikirkan sebagian orang, peristiwa-peristiwa dunia telah “lolos” dari kendali Allah. Tidak benar sejarah ditulis oleh para penindas, para penguasa lalim, dan orang-orang yang angkuh. Meskipun banyak kejahatan yang menimpa kita adalah hasil pekerjaan manusia yang telah ditipu oleh Si Jahat, pada akhirnya segala sesuatu tunduk pada penghakiman Allah. Mereka yang menindas orang lain, yang membuat perang, seperti apakah wajah mereka ketika mereka berdiri di hadapan Tuhan? “Mengapa kamu memulai perang? Mengapa kamu melakukan pembunuhan?” Bagaimana mereka akan menanggapi? Marilah kita memikirkan hal itu, dan memikirkan diri kita juga. Kita tidak memulai perang dan kita tidak membunuh, tetapi aku melakukan dosa ini atau itu. Ketika Tuhan akan berkata kepada kita, “Tetapi mengapa kamu melakukan ini? Mengapa kamu berlaku tidak adil dengan cara ini? Mengapa kamu menghabiskan uang untuk kesombonganmu?” Tuhan juga akan menanyakan hal-hal ini kepada kita. Tuhan memberi kita kebebasan, tetapi Ia tidak meninggalkan kita. Ia mengoreksi kita ketika kita jatuh, tetapi Ia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Jika kita mau, Ia akan mengangkat kita sehingga kita dapat melanjutkan perjalanan kita dengan penuh sukacita.

 

Di akhir Ekaristi ini, orang muda Portugal akan mempercayakan kepada orang muda Korea lambang Hari Orang Muda Sedunia: salib dan ikon Maria Salus Populi Romani. Ini, juga, merupakan sebuah tanda. Undangan bagi kita semua untuk menghayati Injil dan menyebarkannya ke setiap bagian dunia, tanpa henti, tanpa putus asa, bangkit setelah setiap kali terjatuh dan tidak pernah berhenti berharap. Sesungguhnya, tema pesan untuk perayaan Hari Orang Muda Sedunia adalah: "Mereka yang Berharap kepada Tuhan, Berjalan Tanpa Lelah" (lih. Yes 40:31). Kamu, orang muda Korea, akan menerima Salib Tuhan kita, salib kehidupan, tanda kemenangan, tetapi kamu tidak sendirian: kamu akan menerimanya bersama Bunda kita. Marialah yang selalu menyertai kita dalam perjalanan kita menuju Yesus. Marialah yang di saat-saat sulit berada di samping salib kita untuk membantu kita, karena ia adalah Bunda kita, ia adalah ibu. Ingatlah Maria.

 

Marilah kita tetap menatap Yesus, salib-Nya, dan Maria, Bunda kita. Dengan cara ini, bahkan di tengah kesulitan, kita akan menemukan kekuatan untuk terus maju, tanpa takut dituduh, tanpa perlu persetujuan, berdasarkan martabatmu, dengan rasa amanmu karena diselamatkan dan ditemani oleh Bunda Maria. Tanpa membuat kompromi dan tanpa riasan rohani. Martabatmu tidak perlu riasan. Marilah kita terus maju, berbahagia karena hidup bagi orang lain, mengasihi, dan menjadi saksi kebenaran. Tolong jangan kehilangan sukacitamu. Terima kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 24 November 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA) 17 November 2024 : DUA KENYATAAN YANG SELALU BERKECAMUK DI MEDAN PERANG HATI KITA


Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.

 

Kata-kata yang baru saja kita dengar dapat membangkitkan perasaan sedih, padahal kata-kata itu sebenarnya adalah pernyataan pengharapan yang besar. Seraya Ia tampaknya menggambarkan keadaan pikiran orang-orang yang telah menyaksikan kehancuran Yerusalem dan berpikir bahwa kesudahan telah tiba, Yesus mengumumkan sesuatu yang luar biasa: tepat pada saat kegelapan dan kehancuran, tepat ketika segala sesuatu tampaknya runtuh, Allah datang, Allah mendekat, Allah mengumpulkan kita bersama-sama untuk menyelamatkan kita.

 

Yesus mengundang kita untuk melihat lebih dalam, memiliki mata yang mampu "membaca secara batiniah" peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan cara ini, kita menemukan bahwa bahkan dalam kesedihan hati kita dan zaman kita, pengharapan yang tak tergoyahkan bersinar terang. Pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, marilah kita berhenti sejenak untuk menelaah dua kenyataan yang selalu berkecamuk di medan perang hati kita: kesedihan dan pengharapan.

 

Pertama-tama, kesedihan. Perasaan sedih tersebar luas di zaman kita, mengingat media sosial memperbesar masalah dan luka, membuat dunia semakin tidak aman dan masa depan semakin tidak pasti. Bahkan Bacaan Injil hari ini dibuka dengan gambaran yang tampaknya memproyeksikan kesengsaraan manusia di atas alam semesta melalui penggunaan bahasa apokaliptik: "matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak akan memancarkan sinarnya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan guncang ..." dan seterusnya (Mrk 13:24-25).

 

Jika kita membatasi pandangan kita pada narasi peristiwa, kita membiarkan kesedihan menguasai. Sungguh, bahkan hari ini kita melihat "matahari menjadi gelap" dan "bulan memudar" ketika kita merenungkan kelaparan yang menimpa begitu banyak saudara-saudari kita yang tidak memiliki makanan untuk dimakan, dan ketika kita melihat kengerian perang atau melihat kematian orang-orang yang tidak bersalah. Menghadapi skenario ini, kita berisiko jatuh ke dalam keputusasaan dan gagal mengenali kehadiran Allah dalam drama sejarah. Dengan berbuat demikian, kita mengutuki diri kita hingga tak berdaya. Kita menyaksikan penderitaan yang semakin besar di sekitar kita yang disebabkan oleh penderitaan orang miskin, bahkan kita tergelincir ke dalam kepasrahan cara berpikir seperti orang-orang yang, digerakkan oleh kenyamanan atau kemalasan, berpikir “begitulah hidup” dan “tidak ada yang dapat saya lakukan untuk itu”. Dengan demikian, iman Kristiani itu sendiri dimerosotkan menjadi pengabdian yang tidak berbahaya karena tidak mengganggu para pemegang kekuasaan dan tidak mampu menghasilkan komitmen serius untuk beramal. Seraya satu bagian dunia dikutuk untuk hidup di daerah kumuh sejarah, seraya kesenjangan tumbuh dan ekonomi menghukum yang terlemah, seraya masyarakat mengabdikan diri pada pemujaan uang dan konsumsi, dengan sendirinya orang miskin dan terpinggirkan tidak punya pilihan selain terus menunggu (lih. Evangelii Gaudium, 54).

 

Namun, justru di sinilah, di tengah-tengah pemandangan apokaliptik itu, Yesus menyalakan pengharapan. Ia membuka cakrawala, memperluas pandangan kita, sehingga bahkan dalam ketidakpastian dan penderitaan dunia, kita dapat belajar memahami kehadiran kasih Allah, yang datang mendekati kita, tidak meninggalkan kita, dan bertindak untuk keselamatan kita. Bahkan, seperti matahari yang menjadi gelap dan bulan tidak memancarkan sinarnya serta bintang-bintang berjatuhan dari langit, Bacaan Injil mengatakan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan kuasa yang besar dan kemuliaan. Pada waktu itu juga Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat dan akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ke ujung langit" (Mrk 13:26-27).

 

Dengan kata-kata ini, Yesus menyinggung wafat-Nya yang akan terjadi segera setelah itu. Memang, di Kalvari matahari akan memudar dan malam akan turun ke atas dunia. Namun, pada saat itu juga, Anak Manusia akan terlihat di atas awan-awan, karena kuasa kebangkitan-Nya akan memutuskan belenggu kematian, kehidupan kekal Allah akan muncul dari kegelapan dan dunia baru akan lahir dari puing-puing sejarah yang diporak-porandakan oleh kejahatan.

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan yang ingin diberikan Yesus kepada kita dan Ia melakukannya melalui sebuah gambaran yang indah. Ia meminta kita untuk memikirkan pohon ara: “Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim panas sudah dekat” (Mrk 13:28). Kita juga dipanggil untuk menafsirkan tanda-tanda kehidupan kita di bumi ini: di mana tampaknya hanya ada ketidakadilan, penderitaan dan kemiskinan – dalam drama momen tersebut – Tuhan mendekat untuk membebaskan kita dari perbudakan dan agar kehidupan bersinar (bdk. Mrk 13:29). Ia mendekati sesama kita melalui kedekatan kristiani kita, persaudaraan kristiani kita. Bukan soal melempar koin ke tangan seseorang yang membutuhkan. Kepada orang yang memberi sedekah, saya menanyakan dua hal: “Apakah kamu menyentuh tangannya atau apakah kamu melempar koin kepadanya tanpa menyentuhnya? Apakah kamu menatap mata orang yang kamu bantu atau apakah kamu mengalihkan pandangan?”.

 

Kita, sebagai murid-murid-Nya, dapat menabur pengharapan di dunia ini melalui kuasa Roh Kudus. Kita dapat dan harus menyalakan terang keadilan dan solidaritas bahkan saat bayang-bayang dunia kita yang tertutup semakin dalam (lih. Fratelli Tutti, 9-55). Kitalah yang harus membuat kasih karunia-Nya bersinar melalui kehidupan yang dipenuhi dengan belarasa dan amal kasih yang menjadi tanda kehadiran Tuhan, yang selalu dekat dengan penderitaan orang miskin untuk menyembuhkan luka-luka mereka dan mengubah nasib mereka.

 

Saudara-saudari, janganlah kita lupa bahwa pengharapan kristiani, yang tergenapi dalam diri Yesus dan terwujud dalam kerajaan-Nya, membutuhkan diri kita dan komitmen kita, membutuhkan iman kita yang terungkap dalam karya amal kasih, dan membutuhkan orang-orang kristiani yang tidak mengalihkan pandangan. Saya sedang melihat sebuah foto yang diambil oleh seorang fotografer Roma: sepasang suami istri dewasa, yang sudah cukup tua, keluar dari sebuah restoran di musim dingin; sang istri tertutup mantel bulu, begitu pula sang suami. Di ambang pintu, ada seorang perempuan miskin, tergeletak di lantai, mengemis sedekah, dan keduanya mengalihkan pandangan. Ini terjadi setiap hari. Marilah kita bertanya pada diri kita: apakah aku mengalihkan pandangan ketika aku melihat kemiskinan, kebutuhan, atau penderitaan sesamaku? Seorang teolog abad kedua puluh mengatakan bahwa iman kristiani harus menghasilkan dalam diri kita "mistisisme dengan mata terbuka," bukan spiritualitas yang melarikan diri dari dunia tetapi - sebaliknya - iman yang membuka matanya terhadap penderitaan dunia dan ketidakbahagiaan orang miskin untuk menunjukkan belarasa Kristus. Apakah aku merasakan belarasa yang sama seperti Tuhan terhadap orang miskin, terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan, yang tidak memiliki makanan, yang terpinggirkan oleh masyarakat? Kita harus melihat bukan hanya pada masalah besar kemiskinan dunia, tetapi juga pada hal-hal kecil yang dapat kita semua lakukan setiap hari melalui gaya hidup kita; melalui perhatian dan kepedulian kita terhadap lingkungan tempat kita tinggal; melalui pengupayaan keadilan yang gigih; melalui berbagi kepunyaan kita dengan mereka yang lebih miskin; melalui keterlibatan sosial dan politik untuk memperbaiki dunia di sekitar kita. Mungkin ini tampak seperti hal kecil bagi kita, tetapi hal-hal kecil yang kita lakukan akan seperti tunas pertama yang tumbuh di pohon ara, tindakan-tindakan kecil kita akan menjadi awal dari musim panas yang sudah dekat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, saya ingin menyampaikan peringatan dari Kardinal Martini. Ia menegaskan bahwa kita harus menghindari memandang Gereja sebagai sesuatu yang terpisah dari orang miskin, seolah-olah Gereja hadir sebagai kenyataan yang berdiri sendiri yang kemudian harus peduli terhadap orang miskin. Kenyataannya, kita menjadi Gereja Yesus sejauh kita melayani orang miskin, karena hanya dengan cara ini “Gereja ‘menjadi’ dirinya sendiri, yaitu, Gereja menjadi rumah yang terbuka bagi semua orang, tempat belarasa Allah bagi kehidupan setiap individu” (C.M. Martini, Città Senza Mura. Surat dan Pidato kepada Keuskupan 1984, Bologna 1985, 350).

 

Saya menyampaikan hal ini kepada Gereja, pemerintah, dan organisasi internasional. Saya katakan kepada semua orang: janganlah kita lupakan orang miskin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 November 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENGENANGAN ARWAH PARA KARDINAL DAN USKUP YANG MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR 4 November 2024 : YESUS, INGATLAH AKU!

“Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu” (Luk 23:42). Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan kepada Tuhan oleh salah seorang dari dua orang yang disalibkan bersama-Nya. Bukan kata-kata salah seorang murid Yesus yang telah mengikuti-Nya di sepanjang jalan Galilea dan berbagi roti dengan-Nya pada Perjamuan Terakhir. Sebaliknya, orang yang mengucapkan kata-kata itu kepada Tuhan adalah seorang penjahat, seorang yang baru bertemu dengan-Nya di akhir hayatnya, seorang yang namanya bahkan tidak kita ketahui.

 

Namun, dalam Bacaan Injil, kata-kata terakhir "orang luar" ini mengawali dialog yang penuh kebenaran. Bahkan ketika Yesus "terhitung di antara pemberontak" (Yes 53:12) sebagaimana telah dinubuatkan Yesaya, sebuah suara yang tak terduga terdengar, berkata, "Kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah" (Luk 23:41). Begitulah adanya. Penjahat yang dihukum itu mewakili kita semua; kita masing-masing dapat mengganti namanya dengan nama kita. Namun yang lebih penting lagi, kita dapat menjadikan permohonannya sebagai permohonan kita: "Yesus, ingatlah aku". Jagalah aku tetap hidup dalam ingatan-Mu. "Jangan melupakan aku".

 

Marilah kita merenungkan kata itu: mengingat. Mengingat berarti "menuntun kembali ke hati", membawa dalam hati. Orang itu, yang disalibkan di samping Yesus, mengubah kesakitannya yang mengerikan menjadi sebuah doa: "Yesus, bawalah aku dalam hati-Mu". Kata-katanya tidak mencerminkan kesedihan dan kekalahan, tetapi harapan. Penjahat ini, yang meninggal sebagai murid di saat-saat terakhir, hanya menginginkan satu hal: menemukan hati yang menyambut. Itulah satu-satunya hal yang penting baginya saat ia mendapati dirinya tak berdaya menghadapi kematian. Tuhan mendengar doa orang berdosa, bahkan di saat-saat terakhir, sebagaimana selalu Ia lakukan. Hati Kristus – hati yang terbuka, bukan hati yang tertutup – yang tertikam oleh rasa sakit, dibuka untuk menyelamatkan dunia. Saat menghadapi ajal, Ia terbuka terhadap suara orang yang sedang menghadapi ajal. Yesus wafat bersama kita karena Ia wafat untuk kita.

 

Disalibkan meskipun tidak bersalah, Yesus menjawab doa seorang yang disalibkan karena kesalahannya, "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Luk 23:43). Ingatan akan Yesus efektif karena kaya akan belas kasihan. Saat kehidupan seseorang berakhir, kasih Allah menganugerahkan kebebasan dari kematian. Orang yang dihukum kini ditebus. Orang luar menjadi teman seperjalanan; perjumpaan singkat di kayu salib menuntun pada kedamaian abadi. Hal ini membuat kita merenung sejenak. Bagaimana aku berjumpa Yesus? Atau lebih baik lagi, bagaimana aku membiarkan diriku dijumpai oleh Yesus? Apakah aku membiarkan diriku dijumpai atau apakah aku menutup diri dalam keegoisanku, dalam penderitaanku, dalam kecukupan diriku? Apakah aku memiliki kesadaran akan keberdosaanku yang memungkinkanku dijumpai oleh Tuhan, atau apakah aku merasa benar dan berkata: "Engkau tidak di sini untuk melayani Aku. Teruslah berjalan"?

 

Yesus mengingat mereka yang disalibkan di samping-Nya. Belas kasihan-Nya hingga akhir hayat-Nya membuat kita menyadari bahwa ada berbagai cara untuk mengingat orang dan berbagai hal. Kita dapat mengingat kesalahan kita, urusan yang belum selesai, teman dan musuh kita. Saudara-saudari, hari ini marilah kita bertanya kepada diri kita di hadapan kisah Injil ini: bagaimana kita membawa orang-orang di dalam hati kita? Bagaimana kita mengingat mereka yang berada di samping kita dalam berbagai peristiwa dalam hidup kita? Apakah aku menghakimi? Apakah aku memecah belah? Atau apakah aku menyambut mereka?

 

Saudara-saudari terkasih, dengan berpaling kepada hati Allah, pria dan wanita masa kini dan segala zaman dapat menemukan harapan akan keselamatan, bahkan jika “di mata orang bodoh tampaknya mereka sudah mati” (Keb 3:2). Seluruh sejarah tersimpan dalam ingatan Tuhan. Ingatan adalah penyimpanan yang aman. Ia adalah hakimnya yang penuh belas kasihan dan kerahiman. Tuhan dekat dengan kita sebagai hakim; Ia dekat, penuh belas kasih dan kerahiman. Inilah tiga sikap Tuhan. Apakah aku dekat dengan umat? Apakah aku memiliki hati yang penuh belas kasihan? Apakah aku penuh kerahiman? Dengan keyakinan ini, kita mendoakan para kardinal dan uskup yang meninggal dalam dua belas bulan terakhir. Hari ini, ingatan kita menjadi doa pengantaraan bagi saudara-saudari kita yang terkasih. Para anggota terpilih Umat Allah, mereka dibaptis dalam kematian Kristus (lih. Rm 6:3) untuk bangkit bersama-Nya. Mereka adalah para gembala dan teladan bagi kawanan domba Tuhan (lih. 1 Ptr 5:3). Setelah memecah-mecahkan roti kehidupan di bumi, semoga mereka sekarang menikmati sebuah tempat duduk di meja-Nya. Mereka mengasihi Gereja, dengan cara masing-masing, tetapi mereka semua mengasihi Gereja. Marilah kita berdoa agar mereka dapat bersukacita dalam persekutuan kekal dengan para kudus. Dengan harapan yang teguh, marilah kita menantikan untuk bersukacita bersama mereka di surga. Dan bersama-sama saya mengundangmu tiga kali mengucapkan: “Yesus, ingatlah kami!”, “Yesus, ingatlah kami!”, “Yesus, ingatlah kami!”.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2024)