Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.
Kata-kata
yang baru saja kita dengar dapat membangkitkan perasaan sedih, padahal
kata-kata itu sebenarnya adalah pernyataan pengharapan yang besar. Seraya Ia
tampaknya menggambarkan keadaan pikiran orang-orang yang telah menyaksikan
kehancuran Yerusalem dan berpikir bahwa kesudahan telah tiba, Yesus mengumumkan
sesuatu yang luar biasa: tepat pada saat kegelapan dan kehancuran, tepat ketika
segala sesuatu tampaknya runtuh, Allah datang, Allah mendekat, Allah
mengumpulkan kita bersama-sama untuk menyelamatkan kita.
Yesus
mengundang kita untuk melihat lebih dalam, memiliki mata yang mampu
"membaca secara batiniah" peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan cara
ini, kita menemukan bahwa bahkan dalam kesedihan hati kita dan zaman kita,
pengharapan yang tak tergoyahkan bersinar terang. Pada Hari Orang Miskin
Sedunia ini, marilah kita berhenti sejenak untuk menelaah dua kenyataan yang
selalu berkecamuk di medan perang hati kita: kesedihan dan pengharapan.
Pertama-tama,
kesedihan. Perasaan sedih tersebar luas di zaman kita, mengingat media sosial
memperbesar masalah dan luka, membuat dunia semakin tidak aman dan masa depan
semakin tidak pasti. Bahkan Bacaan Injil hari ini dibuka dengan gambaran yang
tampaknya memproyeksikan kesengsaraan manusia di atas alam semesta melalui
penggunaan bahasa apokaliptik: "matahari akan menjadi gelap dan bulan
tidak akan memancarkan sinarnya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit
dan kuasa-kuasa langit akan guncang ..." dan seterusnya (Mrk 13:24-25).
Jika
kita membatasi pandangan kita pada narasi peristiwa, kita membiarkan kesedihan
menguasai. Sungguh, bahkan hari ini kita melihat "matahari menjadi
gelap" dan "bulan memudar" ketika kita merenungkan kelaparan
yang menimpa begitu banyak saudara-saudari kita yang tidak memiliki makanan
untuk dimakan, dan ketika kita melihat kengerian perang atau melihat kematian
orang-orang yang tidak bersalah. Menghadapi skenario ini, kita berisiko jatuh
ke dalam keputusasaan dan gagal mengenali kehadiran Allah dalam drama sejarah.
Dengan berbuat demikian, kita mengutuki diri kita hingga tak berdaya. Kita
menyaksikan penderitaan yang semakin besar di sekitar kita yang disebabkan oleh
penderitaan orang miskin, bahkan kita tergelincir ke dalam kepasrahan cara
berpikir seperti orang-orang yang, digerakkan oleh kenyamanan atau kemalasan,
berpikir “begitulah hidup” dan “tidak ada yang dapat saya lakukan untuk itu”.
Dengan demikian, iman Kristiani itu sendiri dimerosotkan menjadi pengabdian
yang tidak berbahaya karena tidak mengganggu para pemegang kekuasaan dan tidak
mampu menghasilkan komitmen serius untuk beramal. Seraya satu bagian dunia
dikutuk untuk hidup di daerah kumuh sejarah, seraya kesenjangan tumbuh dan
ekonomi menghukum yang terlemah, seraya masyarakat mengabdikan diri pada pemujaan
uang dan konsumsi, dengan sendirinya orang miskin dan terpinggirkan tidak punya
pilihan selain terus menunggu (lih. Evangelii
Gaudium, 54).
Namun,
justru di sinilah, di tengah-tengah pemandangan apokaliptik itu, Yesus
menyalakan pengharapan. Ia membuka cakrawala, memperluas pandangan kita,
sehingga bahkan dalam ketidakpastian dan penderitaan dunia, kita dapat belajar
memahami kehadiran kasih Allah, yang datang mendekati kita, tidak meninggalkan
kita, dan bertindak untuk keselamatan kita. Bahkan, seperti matahari yang
menjadi gelap dan bulan tidak memancarkan sinarnya serta bintang-bintang
berjatuhan dari langit, Bacaan Injil mengatakan, "Pada waktu itu orang
akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan kuasa yang besar dan
kemuliaan. Pada waktu itu juga Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat dan
akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung
bumi sampai ke ujung langit" (Mrk 13:26-27).
Dengan
kata-kata ini, Yesus menyinggung wafat-Nya yang akan terjadi segera setelah
itu. Memang, di Kalvari matahari akan memudar dan malam akan turun ke atas
dunia. Namun, pada saat itu juga, Anak Manusia akan terlihat di atas awan-awan,
karena kuasa kebangkitan-Nya akan memutuskan belenggu kematian, kehidupan kekal
Allah akan muncul dari kegelapan dan dunia baru akan lahir dari puing-puing
sejarah yang diporak-porandakan oleh kejahatan.
Saudara-saudari,
inilah pengharapan yang ingin diberikan Yesus kepada kita dan Ia melakukannya
melalui sebuah gambaran yang indah. Ia meminta kita untuk memikirkan pohon ara:
“Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim
panas sudah dekat” (Mrk 13:28). Kita juga dipanggil untuk menafsirkan
tanda-tanda kehidupan kita di bumi ini: di mana tampaknya hanya ada ketidakadilan,
penderitaan dan kemiskinan – dalam drama momen tersebut – Tuhan mendekat untuk
membebaskan kita dari perbudakan dan agar kehidupan bersinar (bdk. Mrk 13:29).
Ia mendekati sesama kita melalui kedekatan kristiani kita, persaudaraan
kristiani kita. Bukan soal melempar koin ke tangan seseorang yang membutuhkan.
Kepada orang yang memberi sedekah, saya menanyakan dua hal: “Apakah kamu
menyentuh tangannya atau apakah kamu melempar koin kepadanya tanpa
menyentuhnya? Apakah kamu menatap mata orang yang kamu bantu atau apakah kamu
mengalihkan pandangan?”.
Kita,
sebagai murid-murid-Nya, dapat menabur pengharapan di dunia ini melalui kuasa
Roh Kudus. Kita dapat dan harus menyalakan terang keadilan dan solidaritas
bahkan saat bayang-bayang dunia kita yang tertutup semakin dalam (lih. Fratelli Tutti, 9-55). Kitalah yang
harus membuat kasih karunia-Nya bersinar melalui kehidupan yang dipenuhi dengan
belarasa dan amal kasih yang menjadi tanda kehadiran Tuhan, yang selalu dekat
dengan penderitaan orang miskin untuk menyembuhkan luka-luka mereka dan
mengubah nasib mereka.
Saudara-saudari,
janganlah kita lupa bahwa pengharapan kristiani, yang tergenapi dalam diri
Yesus dan terwujud dalam kerajaan-Nya, membutuhkan diri kita dan komitmen kita,
membutuhkan iman kita yang terungkap dalam karya amal kasih, dan membutuhkan
orang-orang kristiani yang tidak mengalihkan pandangan. Saya sedang melihat
sebuah foto yang diambil oleh seorang fotografer Roma: sepasang suami istri
dewasa, yang sudah cukup tua, keluar dari sebuah restoran di musim dingin; sang
istri tertutup mantel bulu, begitu pula sang suami. Di ambang pintu, ada
seorang perempuan miskin, tergeletak di lantai, mengemis sedekah, dan keduanya
mengalihkan pandangan. Ini terjadi setiap hari. Marilah kita bertanya pada diri
kita: apakah aku mengalihkan pandangan ketika aku melihat kemiskinan,
kebutuhan, atau penderitaan sesamaku? Seorang teolog abad kedua puluh
mengatakan bahwa iman kristiani harus menghasilkan dalam diri kita
"mistisisme dengan mata terbuka," bukan spiritualitas yang melarikan
diri dari dunia tetapi - sebaliknya - iman yang membuka matanya terhadap
penderitaan dunia dan ketidakbahagiaan orang miskin untuk menunjukkan belarasa
Kristus. Apakah aku merasakan belarasa yang sama seperti Tuhan terhadap orang
miskin, terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan, yang tidak memiliki
makanan, yang terpinggirkan oleh masyarakat? Kita harus melihat bukan hanya
pada masalah besar kemiskinan dunia, tetapi juga pada hal-hal kecil yang dapat
kita semua lakukan setiap hari melalui gaya hidup kita; melalui perhatian dan
kepedulian kita terhadap lingkungan tempat kita tinggal; melalui pengupayaan
keadilan yang gigih; melalui berbagi kepunyaan kita dengan mereka yang lebih
miskin; melalui keterlibatan sosial dan politik untuk memperbaiki dunia di
sekitar kita. Mungkin ini tampak seperti hal kecil bagi kita, tetapi hal-hal
kecil yang kita lakukan akan seperti tunas pertama yang tumbuh di pohon ara,
tindakan-tindakan kecil kita akan menjadi awal dari musim panas yang sudah
dekat.
Sahabat-sahabat
terkasih, pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, saya ingin menyampaikan
peringatan dari Kardinal Martini. Ia menegaskan bahwa kita harus menghindari
memandang Gereja sebagai sesuatu yang terpisah dari orang miskin, seolah-olah
Gereja hadir sebagai kenyataan yang berdiri sendiri yang kemudian harus peduli
terhadap orang miskin. Kenyataannya, kita menjadi Gereja Yesus sejauh kita
melayani orang miskin, karena hanya dengan cara ini “Gereja ‘menjadi’ dirinya
sendiri, yaitu, Gereja menjadi rumah yang terbuka bagi semua orang, tempat
belarasa Allah bagi kehidupan setiap individu” (C.M. Martini, Città Senza Mura. Surat dan Pidato kepada Keuskupan
1984, Bologna 1985, 350).
Saya
menyampaikan hal ini kepada Gereja, pemerintah, dan organisasi internasional.
Saya katakan kepada semua orang: janganlah kita lupakan orang miskin.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 17 November 2024)