Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH MICHAEL KARDINAL CZERNY) DALAM MISA HARI MINGGU PRAPASKAH I (MISA YUBILEUM PEKERJA SUKARELA) 9 Maret 2025 : TIGA ASPEK PENCOBAAN

Bacaan Ekaristi : Ul. 26:4-10; Mzm. 91:1-2,10-11,12-13,14-15; Rm. 10:8-13; Luk. 4:1-13.

 

Yesus dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun (bdk. Luk 4:1). Setiap tahun, perjalanan Prapaskah kita dimulai dengan mengikuti Tuhan ke sana dan ambil bagian dalam pengalaman itu, yang Ia ubah rupa demi kebaikan kita. Ketika Yesus memasuki padang gurun, terjadilah perubahan yang menentukan: tempat yang sunyi menjadi tempat mendengarkan. Di padang gurun, kemampuan kita untuk mendengarkan diuji, karena suatu pilihan harus dibuat di antara dua suara yang sama sekali berbeda. Dalam hal ini, Bacaan Injil memberitahu kita perjalanan Yesus dimulai dengan tindakan mendengarkan dan ketaatan: Roh Kuduslah, kuasa Allah sendiri, yang membawa-Nya ke suatu tempat di mana tidak ada hal baik yang muncul dari tanah atau hujan yang turun dari langit. Di padang gurun, kita mengalami kemiskinan material dan spiritual, kebutuhan kita akan roti dan sabda Allah.

 

Yesus, sungguh  manusia, mengalami rasa lapar itu (lihat ayat 2). Ia dicobai selama empat puluh hari oleh firman yang bukan berasal dari Roh Kudus, melainkan dari si jahat, iblis. Setelah memulai empat puluh hari Prapaskah, marilah kita merenungkan fakta bahwa kita juga dicobai, tetapi kita tidak sendirian. Yesus bersama kita, membawa kita melewati padang gurun. Putra Allah yang menjadi manusia tidak sekadar memberi kita contoh tentang cara memerangi kejahatan. Ia memberi kita sesuatu yang jauh lebih besar: kekuatan untuk melawan serangannya dan bertahan dalam perjalanan kita.

 

Jadi, marilah kita membahas tiga aspek pencobaan Yesus dan kita : awalnya, bagaimana pencobaan itu terjadi, dan hasilnya. Dengan cara ini, kita akan menemukan inspirasi untuk perjalanan pertobatan kita.

 

Pertama, awal. Pencobaan Yesus adalah sebuah kesengajaan: Tuhan tidak pergi ke padang gurun untuk menunjukkan kekuatan kehendak-Nya, tetapi demi keterbukaan bakti-Nya kepada Roh Bapa, yang bimbingan-Nya Ia terima dengan siap sedia dan bebas. Pencobaan yang kita hadapi, di sisi lain, bukanlah sebuah kesengajaan: kejahatan mendahului kebebasan kita, menyerangnya dari dalam, seperti bayangan batin dan ancaman yang terus-menerus. Setiap kali kita memohon kepada Allah untuk tidak membawa kita ke dalam pencobaan (bdk. Mat 6:13), kita perlu mengingat bahwa Ia telah menjawab doa itu melalui Yesus, Sabda-Nya yang menjelma, yang senantiasa tinggal bersama kita. Tuhan dekat dengan kita dan peduli kepada kita, terutama di saat pencobaan dan ketidakpastian, ketika si penggoda memperdengarkan suaranya. Ia adalah bapa pendusta (bdk. Yoh 8:44), jahat dan suka melawan, karena ia mengetahui Sabda Allah tanpa memahaminya. Justru sebaliknya: sebagaimana yang telah dilakukan-Nya sejak zaman Adam di Taman Eden (lihat Kej 3:1-5), demikian pula yang dilakukan-Nya sekarang perihal Yesus, Adam baru, di padang gurun.

 

Di sini kita melihat jalan yang luar biasa yang ditempuh Kristus ketika dicobai, yaitu, melalui hubungan-Nya dengan Allah, Bapa-Nya. Iblis memisahkan dan memecah-belah, sedangkan Yesus mempersatukan Allah dan manusia, sang perantara. Dalam penyelewengannya, iblis ingin menghancurkan ikatan itu dan membuat Yesus mengeksploitasi kedudukan-Nya. Ia berkata, "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah batu ini menjadi roti" (Luk 4:3), dan sekali lagi, "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah" (ayat 9) dari bubungan Bait Allah. Dalam menanggapi godaan-godaan ini, Yesus, Anak Allah, yang dibawa oleh Roh, memilih cara yang bisa menjadikan-Nya menjalani hubungan bakti terhadap Bapa. Inilah apa yang dipilih Tuhan: hubungan-Nya yang unik dan eksklusif dengan Allah, sebagai Putra-Nya yang tunggal, menjadi hubungan yang merangkul semua orang, tanpa mengecualikan siapa pun. Hubungan Yesus dengan Bapa bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan (lihat Flp. 2:6) atau dibanggakan demi meraih kesuksesan dan menarik pengikut, justru karunia yang Ia bagikan kepada dunia demi keselamatan kita.

 

Kita juga tergoda dalam hubungan kita dengan Allah, tetapi dengan cara yang sama sekali berbeda. Iblis membisikkan ke telinga kita bahwa Allah bukan Bapa kita yang sebenarnya, bahwa Ia telah meninggalkan kita. Iblis mencoba meyakinkan kita bahwa tidak ada roti untuk orang yang lapar, apalagi yang berasal dari batu, bahwa malaikat tidak akan datang menolong kita ketika kita jatuh, dan dunia berada di tangan kekuatan jahat yang menghancurkan bangsa-bangsa dengan rencana semena-mena mereka dan kebrutalan perang. Namun, tepat ketika iblis menginginkan kita percaya bahwa Allah jauh dari kita, dan akan menggoda kita untuk putus asa, Allah semakin mendekati kita, memberikan nyawa-Nya untuk menebus dunia.

 

Aspek ketiga adalah hasil pencobaan ini. Yesus, yang diurapi Allah, mengalahkan kejahatan; Ia mengusir iblis, yang meskipun demikian akan kembali untuk mencobai-Nya, sambil menunggu "kesempatan lain" (ayat 13). Demikianlah Injil memberitahu kita, dan kita akan mengingat hal ini ketika, di Golgota, Yesus dicobai lagi, "Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu" (Mat 27:40; bdk. Luk 23:35). Di padang gurun, Sang Penggoda dikalahkan, namun kemenangan Kristus belum definitif, sebagaimana yang akan terjadi dalam misteri Paskah wafat dan kebangkitan-Nya.

 

Saat kita bersiap untuk merayakan ini, misteri utama iman kita, kita menyadari bahwa hasil pencobaan kita berbeda. Dalam menghadapi pencobaan, kita terkadang jatuh; kita semua adalah orang berdosa. Namun, kekalahan kita tidaklah definitif, karena setelah setiap kejatuhan kita, Allah mengangkat kita kembali dengan kasih dan pengampunan-Nya yang tak terbatas. Pencobaan kita tidak berakhir dengan kegagalan, karena di dalam Kristus, kita ditebus dari kejahatan. Saat kita berjalan melalui padang gurun bersama-Nya, kita mengikuti jalan yang belum pernah dilalui sebelumnya: Yesus sendiri membuka jalan baru pembebasan dan penebusan di hadapan kita. Dengan mengikuti Tuhan dalam iman, kita berubah dari pengembara menjadi peziarah.

 

Saudari-saudari terkasih, saya mengundangmu untuk memulai perjalanan Prapaskah dengan cara ini. Dan karena, di sepanjang jalan, kita membutuhkan “kehendak baik” yang selalu ditopang oleh Roh Kudus dalam diri kita, dengan senang hati saya menyapa semua “tenaga sukarela" yang hadir di sini di Roma hari ini untuk peziarahan Yubileum mereka. Sahabat-sahabat terkasih, dengan sepenuh hati saya berterima kasih karena, mengikuti teladan Yesus, kamu melayani sesama tanpa henti. Di jalan dan rumah, bersama orang sakit, orang yang menderita dan yang dipenjara, bersama orang muda dan orang tua, kemurahan hati dan komitmenmu menawarkan pengharapan bagi seluruh masyarakat kita. Di padang gurun kemiskinan dan kesepian, semua gerakan kecil itu membantu membuat kemanusiaan baru berkembang di taman yang merupakan impian Allah, selalu dan di mana pun, demi kita semua.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Maret 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH ANGELO KARDINAL DE DONATIS) DALAM MISA HARI RABU ABU DI BASILIKA SANTA SABINA 5 Maret 2025

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.

 

Petang ini, kita menerima abu suci. Hal ini mengingatkan kita tentang apakah kita, tetapi juga pengharapan tentang akan menjadi apakah kita nantinya. Abu mengingatkan kita bahwa kita ini debu, sekaligus membawa kita pada perjalanan menuju pengharapan yang menjadi tujuan panggilan kita. Karena Yesus turun ke dalam debu tanah dan, melalui kebangkitan-Nya, telah menarik kita bersama-Nya ke dalam hati Bapa.

 

Maka perjalanan Prapaskah menuju Paskah terbentang di tengah ingatan akan kerapuhan kita dan pengharapan bahwa, di ujung jalan, Tuhan yang bangkit sedang menanti kita.

 

Pertama, kita harus ingat. Kita menundukkan kepala untuk menerima abu seolah-olah kita melihat diri kita, melihat ke dalam diri kita. Memang, abu membantu mengingatkan kita bahwa hidup kita rapuh dan tidak berarti: kita adalah debu, kita diciptakan dari debu, dan kita akan kembali menjadi debu. Selain itu, ada begitu banyak waktu ketika, melihat diri kita atau pada kenyataan yang mengelilingi kita, kita menyadari bahwa "Betapa fananya aku [...] Manusia hanya meributkan yang sia-sia. Ia menimbun, tetapi tidak tahu siapa yang meraupnya nanti" (Mzm 39:5-6).

 

Kita mempelajarinya terutama melalui pengalaman kerapuhan kita: kelelahan kita, kelemahan yang harus kita hadapi, ketakutan yang ada dalam diri kita, kegagalan yang menggerogoti kita, sekejabnya impian kita dan kesadaran bahwa apa yang kita miliki bersifat sementara. Terbuat dari abu dan tanah, kita mengalami kerapuhan melalui penyakit, kemiskinan, dan kesulitan yang tiba-tiba dapat menimpa kita dan keluarga kita. Kita juga mengalaminya ketika, dalam kenyataan sosial dan politik zaman kita, kita mendapati diri kita terpapar "debu halus" yang mencemari dunia kita: pertentangan ideologis, penyalahgunaan kekuasaan, munculnya kembali ideologi lama yang didasarkan pada jatidiri yang menganjurkan pengucilan, eksploitasi sumber daya bumi, kekerasan dalam segala bentuknya dan perang antarmanusia. "Debu beracun" ini mengaburkan udara planet kita yang menghalangi hidup berdampingan secara damai, sementara ketidakpastian dan ketakutan akan masa depan terus meningkat.

 

Lebih jauh, kondisi rapuh mengingatkan kita pada tragedi kematian. Dalam banyak hal, kita mencoba mengusir kematian dari masyarakat kita, yang sangat bergantung pada penampilan, dan bahkan menyingkirkannya dari bahasa kita. Namun, kematian memaksakan dirinya sebagai kenyataan yang harus kita hadapi, sebuah tanda ketidakpastian dan singkatnya hidup kita.

 

Meskipun kita mengenakan topeng dan berbagai taktik cerdik yang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian kita, abu mengingatkan kita tentang siapa diri kita. Ini baik untuk kita. Abu membentuk kita kembali, mengurangi keparahan narsisme kita, membawa kita kembali ke kenyataan dan membuat kita semakin rendah hati dan terbuka terhadap satu sama lain: tidak seorang pun dari kita adalah Allah; kita semua sedang dalam perjalanan.

 

Namun, Masa Prapaskah juga merupakan undangan untuk menyalakan kembali pengharapan kita. Meskipun kita menerima abu dengan kepala tertunduk untuk mengenang siapa diri kita, Masa Prapaskah tidak berakhir di sana. Sebaliknya, kita diundang untuk mengangkat mata kita kepada Dia yang bangkit dari kedalaman kematian dan membawa kita dari abu dosa dan kematian menuju kemuliaan kehidupan kekal.

 

Abu mengingatkan kita akan pengharapan yang kita miliki dalam Yesus, Putra Allah, yang telah mengambil debu tanah dan mengangkatnya ke tempat yang tinggi di surga. Ia turun ke jurang debu, wafat untuk kita dan mendamaikan kita dengan Bapa, sebagaimana kita dengar dari Santo Paulus: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2Kor 5:21).

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan yang menghidupkan kembali "abu" kehidupan kita. Tanpa pengharapan seperti itu, kita ditakdirkan untuk secara pasif menanggung kerapuhan kondisi manusiawi kita. Terutama ketika dihadapkan dengan pengalaman kematian, ketiadaan pengharapan dapat membuat kita jatuh ke dalam kesedihan dan kehancuran, dan kita akhirnya bernalar seperti orang bodoh: "Singkat dan menyedihkan hidup kita, dan tidak ada obatnya ketika kehidupan berakhir [...] tubuh akan berubah menjadi abu, dan roh akan hancur seperti udara kosong" (Keb 2:1-3). Namun pengharapan Paskah yang kita tuju meyakinkan kita akan pengampunan Allah. Bahkan ketika tenggelam dalam abu dosa, pengharapan membuka kita terhadap pengakuan hidup yang penuh sukacita: "Tetapi, aku tahu Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas bumi" (Ayb 19:25). Marilah kita mengingat hal ini: “Manusia itu debu dan akan kembali menjadi debu, tetapi debu berharga di mata Allah, sebab Allah menciptakan manusia dan menentukannya untuk keabadian” (Benediktus XVI, Audiensi Umum, 17 Februari 2010).

 

Saudara-saudari, setelah menerima abu, kita melangkah menuju pengharapan Paskah. Marilah kita berbalik kepada Allah. Marilah kita berbalik kepada-Nya dengan segenap hati (bdk. Yoel 2:12). Marilah kita menempatkan Dia di pusat kehidupan kita, sehingga kenangan akan siapa kita — rapuh dan fana seperti abu yang diterbangkan angin — akhirnya dapat dipenuhi dengan pengharapan akan Tuhan yang bangkit. Marilah kita mengarahkan hidup kita kepada-Nya, menjadi tanda pengharapan bagi dunia. Marilah kita belajar dari sedekah untuk melampaui diri kita, saling berbagi kebutuhan dan memelihara pengharapan akan dunia yang lebih adil. Marilah kita belajar dari doa untuk menemukan kebutuhan kita akan Allah atau, sebagaimana dikatakan Jacques Maritain, bahwa kita adalah "pengemis surga", dan dengan demikian menumbuhkan pengharapan bahwa di balik kelemahan kita ada seorang Bapa yang menunggu kita dengan tangan terbuka di akhir peziarahan duniawi kita. Akhirnya, marilah kita belajar dari puasa bahwa kita hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita, melainkan juga haus akan kasih dan kebenaran, hanya kasih kepada Allah dan kasih kepada satu sama lain yang dapat benar-benar memuaskan kita dan memberi kita pengharapan untuk masa depan yang lebih baik.

 

Marilah kita bertekun dalam keyakinan bahwa sejak Tuhan mengambil abu umat manusia, “sejarah bumi adalah sejarah surga. Allah dan manusia terikat bersama dalam satu takdir” (C. Carretto, Il deserto nella città, Roma 1986, 55), dan Ia akan selamanya menyapu bersih abu kematian dan membuat kita bersinar dengan kehidupan yang baru.

 

Dengan pengharapan ini di dalam hati kita, marilah kita memulai perjalanan kita. Marilah kita berdamai dengan Allah.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Maret 2025)