Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS 22 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 14:18-20; Mzm. 110:1,2,3,4; 1Kor. 11:23-26; Luk. 9:11b-17.


Saudara-saudari terkasih, sungguh luar biasa berada di hadirat Yesus. Bacaan Injil yang baru saja kita dengar membuktikan hal ini; Bacaan Injil menceritakan bagaimana orang banyak menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan Dia berbicara tentang Kerajaan Allah dan melihat Dia menyembuhkan orang sakit (bdk. Luk 9:11). Belas kasihan Yesus terhadap penderitaan menunjukkan kepada kita kedekatan Allah yang penuh kasih, yang datang ke dunia kita untuk menyelamatkan kita. Di mana Allah berkuasa, kita dibebaskan dari segala kejahatan. Namun bahkan bagi mereka yang menerima kabar baik yang dibawa oleh Yesus, saat pencobaan pun datang. Di tempat yang sunyi itu, di mana orang banyak mendengarkan Sang Guru, hari sudah malam dan tidak ada yang bisa dimakan (bdk. ayat 12). Kelaparan orang-orang dan terbenamnya matahari berbicara kepada kita tentang batas yang membayangi dunia dan setiap ciptaan: hari berakhir, seperti halnya kehidupan setiap manusia. Pada saat penuh kebutuhan dan kumpulan bayangan itu, Yesus tetap hadir di tengah-tengah kita.

 

Tepatnya ketika hari hampir berakhir dan rasa lapar mulai terasa, ketika para Rasul sendiri meminta-Nya untuk membubarkan orang banyak, Kristus mengejutkan kita dengan belas kasihan-Nya. Ia merasa kasihan kepada mereka yang lapar dan Ia mengundang para murid-Nya untuk menyediakan bagi mereka. Rasa lapar bukanlah hal yang asing bagi pemberitaan Kerajaan Allah dan pesan keselamatan. Sebaliknya, rasa lapar berbicara kepada kita tentang hubungan kita dengan Allah. Pada saat yang sama, lima roti dan dua ikan tampaknya sama sekali tidak cukup untuk memberi makan orang banyak. Perhitungan para murid, yang tampaknya sangat masuk akal, mengungkapkan kurangnya iman mereka. Karena di mana Tuhan hadir, kita menemukan semua yang kita butuhkan untuk memberi kekuatan dan makna bagi hidup kita.

 

Yesus menanggapi permintaan rasa lapar dengan tanda berbagi: Ia menengadah, mengucapkan syukur, memecah-mecahkan roti, dan memberi makan semua yang hadir (bdk. ayat 16). Tindakan Tuhan bukan semacam ritual magis yang rumit; tindakan itu hanya menunjukkan rasa syukur-Nya kepada Bapa, doa-Nya sebagai anak, dan persekutuan persaudaraan yang ditopang oleh Roh Kudus. Yesus menggandakan roti dan ikan dengan membagikan apa yang tersedia. Hasilnya, cukup untuk semua orang. Bahkan, lebih dari cukup. Setelah semua orang makan sampai kenyang, terkumpul dua belas bakul penuh (bdk. ayat 17).

 

Begitulah cara Yesus memuaskan rasa lapar orang banyak: Ia melakukan apa yang dilakukan Allah, dan Ia mengajar kita untuk melakukan hal yang sama. Dewasa ini, sebagai ganti orang banyak yang disebutkan dalam Bacaan Injil, seluruh bangsa lebih menderita sebagai akibat dari keserakahan orang lain daripada karena rasa lapar mereka. Sangat kontras dengan kemiskinan yang dialami banyak orang, penimbunan kekayaan oleh segelintir orang merupakan tanda ketidakpedulian yang arogan yang menghasilkan penderitaan dan ketidakadilan. Alih-alih berbagi, malah menghambur-hamburkan hasil bumi dan kerja manusia. Khususnya di Tahun Yubileum ini, teladan Tuhan menjadi tolok ukur yang seharusnya membimbing tindakan dan pelayanan kita: kita dipanggil untuk berbagi roti, menggandakan harapan dan mewartakan kedatangan Kerajaan Allah.

 

Dengan menyelamatkan orang banyak dari kelaparan, Yesus menyatakan bahwa Ia akan menyelamatkan semua orang dari kematian. Itulah misteri iman, yang kita rayakan dalam sakramen Ekaristi. Karena sama seperti kelaparan merupakan tanda kebutuhan mendasar kita dalam hidup ini, memecah-mecahkan roti merupakan tanda karunia keselamatan Allah.

 

Sahabat-sahabat terkasih, Kristus adalah jawaban Allah atas rasa lapar manusiawi kita, karena tubuh-Nya adalah roti kehidupan kekal: Ambillah ini dan makanlah, kamu semua! Undangan Yesus mencerminkan pengalaman kita sehari-hari: agar tetap hidup, kita perlu memelihara diri kita dengan kehidupan, mengambilnya dari tumbuhan dan hewan. Namun memakan sesuatu yang mati mengingatkan kita bahwa kita juga, tidak peduli seberapa banyak kita makan, suatu hari akan mati. Di sisi lain, ketika kita mengambil bagian dari Yesus, Roti yang hidup dan sejati, kita hidup untuk-Nya. Dengan mempersembahkan diri-Nya sepenuhnya, Tuhan yang tersalib dan bangkit menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan kita, dan kita menyadari bahwa kita diciptakan untuk mengambil bagian dari Allah. Sifat lapar kita menunjukkan tanda kebutuhan yang dipuaskan oleh rahmat Ekaristi. Sebagaimana ditulis Santo Agustinus, Kristus benar-benar “panis qui reficit, et non deficit; panis qui sumi potest, consumi non potest” (Serm. 130, 2): Dia adalah roti yang memulihkan dan tidak akan habis; roti yang dapat dimakan tetapi tidak akan habis. Ekaristi, sesungguhnya, adalah kehadiran Juruselamat yang sejati, nyata, dan hakiki (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1413), yang mengubah roti menjadi diri-Nya untuk mengubah kita menjadi diri-Nya. Corpus Domini yang hidup dan memberi hidup menjadikan kita, Gereja itu sendiri, tubuh Tuhan.

 

Karena alasan ini, dengan menggemakan Rasul Paulus (bdk. 1 Kor 10:17), Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “dalam sakramen roti Ekaristi, kesatuan umat beriman, yang membentuk satu tubuh dalam Kristus, diungkapkan dan dicapai. Semua orang dipanggil kepada persatuan ini dengan Kristus, yang adalah terang dunia, dari-Nya kita berasal, melalui-Nya kita hidup, dan kepada-Nya kita mengarahkan hidup kita” (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 3). Perarakan yang akan kita lakukan adalah tanda perjalanan itu. Bersama-sama, sebagai gembala dan kawanan domba, kita akan menyantap Sakramen Mahakudus, menyembah dan membawa-Nya melalui jalan-jalan. Dengan melakukan hal itu, kita akan menghadirkan-Nya di hadapan mata dan hati nurani umat. Kepada hati mereka yang percaya, sehingga mereka dapat semakin percaya teguh; kepada hati mereka yang tidak percaya, sehingga mereka dapat merenungkan rasa lapar yang ada di dalam diri mereka dan roti yang hanya dapat memuaskannya.

 

Dikuatkan oleh makanan yang diberikan Allah kepada kita, marilah kita membawa Yesus ke dalam hati semua orang, karena Yesus melibatkan setiap orang dalam karya keselamatan-Nya dengan memanggil kita masing-masing untuk duduk di meja-Nya. Berbahagialah orang-orang yang dipanggil, karena mereka menjadi saksi kasih ini!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Juni 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.