Bacaan Ekaristi : Kej. 14:18-20; Mzm. 110:1,2,3,4; 1Kor. 11:23-26; Luk. 9:11b-17.
Saudara-saudari
terkasih, sungguh luar biasa berada di hadirat Yesus. Bacaan Injil yang baru
saja kita dengar membuktikan hal ini; Bacaan Injil menceritakan bagaimana orang
banyak menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan Dia berbicara tentang
Kerajaan Allah dan melihat Dia menyembuhkan orang sakit (bdk. Luk 9:11). Belas
kasihan Yesus terhadap penderitaan menunjukkan kepada kita kedekatan Allah yang
penuh kasih, yang datang ke dunia kita untuk menyelamatkan kita. Di mana Allah
berkuasa, kita dibebaskan dari segala kejahatan. Namun bahkan bagi mereka yang
menerima kabar baik yang dibawa oleh Yesus, saat pencobaan pun datang. Di
tempat yang sunyi itu, di mana orang banyak mendengarkan Sang Guru, hari sudah
malam dan tidak ada yang bisa dimakan (bdk. ayat 12). Kelaparan orang-orang dan
terbenamnya matahari berbicara kepada kita tentang batas yang membayangi dunia
dan setiap ciptaan: hari berakhir, seperti halnya kehidupan setiap manusia.
Pada saat penuh kebutuhan dan kumpulan bayangan itu, Yesus tetap hadir di
tengah-tengah kita.
Tepatnya
ketika hari hampir berakhir dan rasa lapar mulai terasa, ketika para Rasul
sendiri meminta-Nya untuk membubarkan orang banyak, Kristus mengejutkan kita
dengan belas kasihan-Nya. Ia merasa kasihan kepada mereka yang lapar dan Ia
mengundang para murid-Nya untuk menyediakan bagi mereka. Rasa lapar bukanlah
hal yang asing bagi pemberitaan Kerajaan Allah dan pesan keselamatan.
Sebaliknya, rasa lapar berbicara kepada kita tentang hubungan kita dengan
Allah. Pada saat yang sama, lima roti dan dua ikan tampaknya sama sekali tidak
cukup untuk memberi makan orang banyak. Perhitungan para murid, yang tampaknya
sangat masuk akal, mengungkapkan kurangnya iman mereka. Karena di mana Tuhan
hadir, kita menemukan semua yang kita butuhkan untuk memberi kekuatan dan makna
bagi hidup kita.
Yesus
menanggapi permintaan rasa lapar dengan tanda berbagi: Ia menengadah,
mengucapkan syukur, memecah-mecahkan roti, dan memberi makan semua yang hadir
(bdk. ayat 16). Tindakan Tuhan bukan semacam ritual magis yang rumit; tindakan
itu hanya menunjukkan rasa syukur-Nya kepada Bapa, doa-Nya sebagai anak, dan
persekutuan persaudaraan yang ditopang oleh Roh Kudus. Yesus menggandakan roti dan
ikan dengan membagikan apa yang tersedia. Hasilnya, cukup untuk semua orang.
Bahkan, lebih dari cukup. Setelah semua orang makan sampai kenyang, terkumpul
dua belas bakul penuh (bdk. ayat 17).
Begitulah
cara Yesus memuaskan rasa lapar orang banyak: Ia melakukan apa yang dilakukan
Allah, dan Ia mengajar kita untuk melakukan hal yang sama. Dewasa ini, sebagai
ganti orang banyak yang disebutkan dalam Bacaan Injil, seluruh bangsa lebih
menderita sebagai akibat dari keserakahan orang lain daripada karena rasa lapar
mereka. Sangat kontras dengan kemiskinan yang dialami banyak orang, penimbunan
kekayaan oleh segelintir orang merupakan tanda ketidakpedulian yang arogan yang
menghasilkan penderitaan dan ketidakadilan. Alih-alih berbagi, malah
menghambur-hamburkan hasil bumi dan kerja manusia. Khususnya di Tahun Yubileum
ini, teladan Tuhan menjadi tolok ukur yang seharusnya membimbing tindakan dan
pelayanan kita: kita dipanggil untuk berbagi roti, menggandakan harapan dan
mewartakan kedatangan Kerajaan Allah.
Dengan
menyelamatkan orang banyak dari kelaparan, Yesus menyatakan bahwa Ia akan
menyelamatkan semua orang dari kematian. Itulah misteri iman, yang kita rayakan
dalam sakramen Ekaristi. Karena sama seperti kelaparan merupakan tanda
kebutuhan mendasar kita dalam hidup ini, memecah-mecahkan roti merupakan tanda
karunia keselamatan Allah.
Sahabat-sahabat
terkasih, Kristus adalah jawaban Allah atas rasa lapar manusiawi kita, karena
tubuh-Nya adalah roti kehidupan kekal: Ambillah ini dan makanlah, kamu semua!
Undangan Yesus mencerminkan pengalaman kita sehari-hari: agar tetap hidup, kita
perlu memelihara diri kita dengan kehidupan, mengambilnya dari tumbuhan dan
hewan. Namun memakan sesuatu yang mati mengingatkan kita bahwa kita juga, tidak
peduli seberapa banyak kita makan, suatu hari akan mati. Di sisi lain, ketika
kita mengambil bagian dari Yesus, Roti yang hidup dan sejati, kita hidup
untuk-Nya. Dengan mempersembahkan diri-Nya sepenuhnya, Tuhan yang tersalib dan
bangkit menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan kita, dan kita menyadari bahwa
kita diciptakan untuk mengambil bagian dari Allah. Sifat lapar kita menunjukkan
tanda kebutuhan yang dipuaskan oleh rahmat Ekaristi. Sebagaimana ditulis Santo
Agustinus, Kristus benar-benar “panis qui reficit, et non deficit; panis qui
sumi potest, consumi non potest” (Serm. 130, 2): Dia adalah roti yang
memulihkan dan tidak akan habis; roti yang dapat dimakan tetapi tidak akan
habis. Ekaristi, sesungguhnya, adalah kehadiran Juruselamat yang sejati, nyata,
dan hakiki (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1413), yang mengubah roti menjadi
diri-Nya untuk mengubah kita menjadi diri-Nya. Corpus Domini yang hidup dan
memberi hidup menjadikan kita, Gereja itu sendiri, tubuh Tuhan.
Karena
alasan ini, dengan menggemakan Rasul Paulus (bdk. 1 Kor 10:17), Konsili Vatikan
II mengajarkan bahwa “dalam sakramen roti Ekaristi, kesatuan umat beriman, yang
membentuk satu tubuh dalam Kristus, diungkapkan dan dicapai. Semua orang
dipanggil kepada persatuan ini dengan Kristus, yang adalah terang dunia, dari-Nya
kita berasal, melalui-Nya kita hidup, dan kepada-Nya kita mengarahkan hidup
kita” (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 3). Perarakan yang akan kita lakukan
adalah tanda perjalanan itu. Bersama-sama, sebagai gembala dan kawanan domba,
kita akan menyantap Sakramen Mahakudus, menyembah dan membawa-Nya melalui
jalan-jalan. Dengan melakukan hal itu, kita akan menghadirkan-Nya di hadapan
mata dan hati nurani umat. Kepada hati mereka yang percaya, sehingga mereka
dapat semakin percaya teguh; kepada hati mereka yang tidak percaya, sehingga
mereka dapat merenungkan rasa lapar yang ada di dalam diri mereka dan roti yang
hanya dapat memuaskannya.
Dikuatkan
oleh makanan yang diberikan Allah kepada kita, marilah kita membawa Yesus ke
dalam hati semua orang, karena Yesus melibatkan setiap orang dalam karya
keselamatan-Nya dengan memanggil kita masing-masing untuk duduk di meja-Nya.
Berbahagialah orang-orang yang dipanggil, karena mereka menjadi saksi kasih ini!
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 22 Juni 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.