Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20 - 6:2; Mat. 6:1-6,16-18.
"Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari
ini adalah hari penyelamatan itu!” (2 Kor 6:2). Dengan kata-kata ini, Rasul
Paulus membantu kita memasuki semangat Masa Prapaskah. Masa Prapaskah memang
merupakan “waktu perkenanan” untuk kembali kepada apa yang penting, melepaskan
diri kita dari segala yang membebani kita, berdamai dengan Allah, dan
menyalakan kembali api Roh Kudus yang tersembunyi di bawah abu kemanusiaan kita
yang rapuh. Kembali kepada apa yang penting. Masa rahmat adalah masa ketika
kita melaksanakan apa yang diminta Tuhan dari kita di awal Bacaan Pertama hari
ini : “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu” (Yl 2:12). Kembali kepada
apa yang penting : kembali kepada Tuhan.
Ritus
penerimaan abu berfungsi sebagai awal perjalanan kembali ini. Ritus penerimaan
abu menasihati kita untuk melakukan dua hal : kembali kepada kebenaran tentang
diri kita serta kembali kepada Allah dan saudara-saudari kita.
Pertama, kembali kepada kebenaran tentang diri kita. Abu mengingatkan kita
siapa kita dan dari mana kita berasal. Abu membawa kita kembali kepada
kebenaran hakiki kehidupan kita : Tuhan adalah satu-satunya Allah dan kita
adalah buatan tangan-Nya. Itulah kebenaran tentang siapa kita. Kita memiliki
kehidupan, sedangkan Allah adalah kehidupan. Ia adalah Sang Pencipta, sedangkan
kita adalah tanah liat yang rapuh yang dibuat oleh tangan-Nya. Kita berasal
dari bumi dan membutuhkan surga; kita membutuhkan-Nya. Bersama Allah, kita akan
bangkit dari abu kita, tetapi tanpa Dia, kita hanyalah debu. Ketika kita dengan
rendah hati menundukkan kepala untuk menerima abu, kita diingatkan akan
kebenaran ini : kita adalah milik Tuhan; kita adalah milik-Nya. Karena Allah
“membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya” (Kej 2:7); kita ada karena Ia menghembuskan nafas hidup ke dalam
diri kita. Sebagai Bapa yang lembut dan penuh belas kasihan, Allah juga
mengalami Masa Prapaskah, karena Ia memperhatikan kita; Ia menunggu kita; Ia
menunggu kita kembali. Dan Ia terus-menerus mendesak kita untuk tidak berputus
asa, bahkan ketika kita terbaring dalam debu kelemahan dan dosa kita, sebab
"Ia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Mzm 103:14).
Marilah kita kembali mendengarkan kata-kata tersebut : Dia ingat, bahwa kita
ini debu. Allah tahu hal ini; tetapi kita sering melupakannya, dan berpikir
bahwa kita memadai, kuat dan tak terkalahkan tanpa Dia. Kita berdandan dan
berpikir kita lebih baik dari diri kita yang sebenarnya. Kita adalah debu.
Jadi,
Masa Prapaskah adalah waktu untuk mengingatkan kita siapa Sang Pencipta dan
siapa ciptaan. Waktu untuk mewartakan bahwa Allah satu-satunya Tuhan,
menyingkirkan kepura-puraan memadai dan kebutuhan untuk menempatkan diri kita
sebagai pusat segala sesuatu, menjadi yang teratas, berpikir bahwa dengan
kemampuan kita, kita dapat berhasil dalam kehidupan dan mengubah rupa dunia di
sekitar kita. Sekarang adalah waktu perkenanan untuk bertobat, berhenti melihat
diri kita dan mulai melihat ke dalam diri kita. Berapa banyak gangguan dan
hal-hal sepele yang mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang benar-benar
penting! Seberapa sering kita terjebak dalam keinginan dan kebutuhan kita,
kehilangan pokok persoalan, dan gagal memahami makna sebenarnya dari kehidupan
kita di dunia ini! Masa Prapaskah adalah masa kebenaran, masa untuk melepaskan
topeng yang kita kenakan setiap hari agar tampil sempurna di mata dunia. Masa
Prapaskah adalah masa, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, untuk
menentang kebohongan dan kemunafikan : bukan kebohongan dan kemunafikan sesama,
tetapi kebohongan dan kemunafikan kita : Kita menatap mata kebohongan dan kemunafikan
serta menentangnya.
Tetapi
ada langkah kedua : abu mengundang kita juga untuk kembali kepada Allah dan kepada
saudara-saudari kita. Begitu kita kembali kepada kebenaran tentang diri kita
dan mengingatkan diri kita bahwa kita tidak memadai, kita menyadari bahwa kita
ada hanya melalui hubungan : hubungan primordial kita dengan Tuhan dan hubungan
vital kita dengan sesama. Abu yang kita terima sore ini memberitahu kita bahwa
setiap anggapan memadai keliru dan pemujaan diri merusak, memenjarakan kita
dalam keterasingan dan kesepian : kita melihat cermin dan percaya bahwa kita
sempurna, pusat dunia. Sebaliknya, kehidupan adalah sebuah hubungan : kita
menerimanya dari Allah dan kedua orangtua kita, serta kita selalu dapat
menghidupkan dan memperbaruinya berkat Tuhan dan orang-orang yang Ia tempatkan
di samping kita. Maka, Masa Prapaskah adalah masa rahmat ketika kita dapat
membangun kembali hubungan kita dengan Allah dan sesama, membuka hati kita
dalam keheningan doa dan bangkit dari benteng memadai kita. Masa Prapaskah
adalah waktu perkenanan ketika kita dapat memutuskan belenggu individualisme
dan keterasingan kita, serta menemukan kembali, melalui perjumpaan dan
mendengarkan, rekan-rekan perjalanan kita setiap hari. Dan belajar sekali lagi
untuk mengasihi mereka sebagai saudara dan saudari.
Bagaimana
kita bisa melakukan hal ini? Untuk melakukan perjalanan ini, kembali kepada
kebenaran tentang diri kita serta kembali kepada Allah dan sesama, kita
dianjurkan untuk menempuh tiga jalan agung : sedekah, doa dan puasa. Ketiganya
adalah cara tradisional, dan tidak memerlukan hal-hal baru. Yesus mengatakannya
dengan jelas : sedekah, doa dan puasa. Ketiganya tidak hanya tentang ritus
lahiriah, ketiganya harus menjadi tindakan yang mengungkapkan pembaharuan hati
kita. Sedekah bukan tindakan tergesa-gesa yang dilakukan untuk menenangkan hati
nurani kita, mengimbangi ketidakseimbangan batin kita; sebaliknya, sedekah
adalah cara menjamah penderitaan kaum miskin dengan tangan dan hati kita. Doa
bukan ritual, tetapi dialog yang jujur dan penuh kasih dengan Bapa. Puasa bukan
devosi yang pelik, tetapi isyarat yang kuat untuk mengingatkan diri kita apa
yang benar-benar penting dan apa yang hanya sesaat. Yesus memberikan “nasihat
yang tetap mempertahankan nilai yang bermanfaat bagi kita : isyarat lahiriah
harus selalu diimbangi dengan hati yang tulus dan perilaku yang konsisten. Sungguh,
apa gunanya mengoyak pakaian kita jika hati kita tetap jauh dari Tuhan, yaitu
dari kebaikan dan keadilan?” (Benediktus XVI, Homili Hari Rabu Abu, 1 Maret
2006). Terlalu sering, perilaku tubuh dan ritus kita tidak berdampak pada
kehidupan kita; keduanya tetap dangkal. Mungkin kita melakukannya hanya untuk
mendapatkan kekaguman atau penghargaan dari orang lain. Marilah kita mengingat
hal ini : dalam kehidupan pribadi kita, seperti dalam kehidupan Gereja,
tampilan lahiriah, penilaian manusiawi dan persetujuan dunia tidak berarti
apa-apa; satu-satunya hal yang benar-benar penting adalah kebenaran dan kasih
yang dipandang Allah semata.
Jika
kita berdiri dengan rendah hati di hadapan tatapan-Nya, maka sedekah, doa dan
puasa tidak hanya akan menjadi tampilan lahiriah, tetapi akan mengungkapkan
siapa diri kita yang sebenarnya : anak-anak Allah, saling bersaudara. Sedekah,
amal, akan menjadi tanda belas kasihan kita terhadap mereka yang membutuhkan,
dan membantu kita untuk kembali kepada sesama. Doa akan menyuarakan keinginan
kita yang mendalam untuk berjumpa dengan Bapa, dan akan membawa kita kembali
kepada-Nya. Puasa akan menjadi tempat latihan rohani di mana kita dengan senang
hati meninggalkan hal-hal berlebihan yang membebani kita, bertumbuh dalam
kebebasan batin dan kembali kepada kebenaran tentang diri kita. Berjumpa Bapa,
kebebasan batin, belas kasihan.
Saudara-saudari
terkasih, marilah kita menundukkan kepala, menerima abu, dan meringankan hati
kita. Marilah kita berangkat di jalan amal. Kita telah diberikan empat puluh
hari, “waktu perkenanan” untuk mengingatkan diri kita bahwa dunia lebih besar
daripada kebutuhan pribadi kita yang sempit, dan menemukan kembali sukacita,
bukan berupa mengumpulkan benda-benda materi, tetapi peduli terhadap orang
miskin dan menderita. Maka, marilah kita berangkat di jalan doa dan menggunakan
empat puluh hari ini untuk memulihkan keutamaan Allah dalam kehidupan kita dan
berdialog dengan-Nya dari hati, dan tidak hanya di saat-saat senggang. Marilah
kita memulai jalan puasa dan mempergunakan empat puluh hari ini untuk memeriksa
diri kita, membebaskan diri kita dari kediktatoran jadwal yang padat, agenda
yang sibuk dan kebutuhan yang dangkal, serta memilih hal-hal yang benar-benar
penting.
Saudara-saudari,
marilah kita tidak mengabaikan rahmat masa suci ini, tetapi mengarahkan
pandangan kita pada salib dan berangkat, menanggapi dengan murah hati dorongan
kuat Masa Prapaskah. Di akhir perjalanan, kita akan berjumpa dengan Tuhan sang
empunya kehidupan dengan sukacita yang lebih besar, kita akan bertemu dengan
Dia, satu-satunya yang dapat membangkitkan kita dari abu kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 23 Februari 2023)