Bacaan Ekaristi : Ams. 31:10-13,19-20,30-31; Mzm. 128:1-2,3,4-5; 1Tes. 5:1-6; Mat. 25:14-30.
Tiga orang mendapati diri mereka diberi
sejumlah besar uang, berkat kemurahan hati majikan mereka, yang akan bepergian melakukan perjalanan jauh. Sang tuan akan kembali suatu hari nanti dan memanggil para hambanya itu, percaya bahwa ia akan bersukacita bersama mereka atas upaya mereka telah melipatgandakan hartanya dan menghasilkan buah. Perumpamaan yang baru saja kita dengarkan (bdk. Mat 25:14-30) mengajak kita untuk merenungkan dua perjalanan : perjalanan Yesus dan perjalanan hidup kita.
Perjalanan
Yesus. Pada awal perumpamaan ini, Tuhan berbicara tentang “seorang yang mau
bepergian. Ia memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada
mereka” (ayat 14). “Perjalanan” ini mengingatkan kita pada perjalanan Kristus
sendiri, dalam penjelmaan, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke surga. Kristus,
yang turun dari Bapa untuk tinggal di antara kita, melalui kematian-Nya
menghancurkan kematian dan setelah bangkit dari kematian, kembali kepada Bapa.
Maka, pada akhir perutusan-Nya di bumi, Yesus melakukan “perjalanan pulang”
kepada Bapa. Tetapi sebelum berangkat, Ia meninggalkan kita harta-Nya, sebuah
“modal” yang sesungguhnya. Ia meninggalkan kita diri-Nya dalam Ekaristi. Ia
meninggalkan kita sabda kehidupan-Nya, Ia memberi kita Bunda-Nya yang kudus
untuk menjadi Bunda kita, dan Ia membagikan karunia-karunia Roh Kudus agar kita
dapat melanjutkan karya-Nya di bumi. Bacaan Injil memberitahu kita bahwa
“talenta-talenta” ini diberikan “menurut kesanggupan masing-masing” (ayat 15)
dan dengan demikian untuk perutusan pribadi yang dipercayakan Tuhan kepada kita
dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam masyarakat dan Gereja. Rasul Paulus
mengatakan hal yang sama : “Tetapi, kepada kita masing-masing telah diberikan
anugerah menurut ukuran pemberian Kristus. Itulah sebabnya dikatakan, 'Tatkala
Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan; Ia memberikan
pemberian-pemberian kepada manusia'” (Ef. 4:7-8).
Marilah
kita melihat sekali lagi kepada Yesus, yang menerima segala sesuatu dari tangan
Bapa, tetapi tidak menyimpan harta ini untuk diri-Nya sendiri : “Ia tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba” (Fil 2:6-7). Ia mengenakan kemanusiaan kita yang lemah. Sebagai orang
Samaria yang baik hati, Ia menuangkan minyak ke atas luka kita. Ia menjadi
miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor. 8:9), dan ditinggikan di kayu salib.
“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita' (2 Kor
5:21). Karena kita. Yesus hidup untuk kita, karena kita. Itulah tujuan
perjalanan-Nya di dunia, sebelum kembali kepada Bapa.
Perumpamaan
hari ini juga memberitahu kita bahwa “lama sesudah itu pulanglah tuan
hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan mereka” (Mat 25:19).
Perjalanan pertama Yesus menuju Bapa akan diikuti oleh perjalanan lainnya, di
akhir zaman, ketika Ia akan kembali dalam kemuliaan dan menemui kita sekali
lagi, untuk “mengadakan perhitungan” sejarah dan membawa kita ke dalam sukacita
kehidupan kekal. Maka kita perlu bertanya pada diri kita sendiri : Dalam
keadaan apa Tuhan akan mendapati kita ketika Ia datang kembali? Bagaimana aku
akan menghadap-Nya pada waktu yang ditentukan?
Pertanyaan
ini membawa kita pada permenungan kedua: perjalanan hidup kita. Jalan mana yang
akan kita ambil dalam hidup kita: jalan Yesus, yang hidup-Nya sungguh merupakan
karunia, atau jalan keegoisan? Jalan dengan tangan terbuka memberi kepada orang
lain, memberikan diri kita, atau tangan tertutup agar kita punya lebih banyak
harta benda dan hanya peduli pada diri kita sendiri? Perumpamaan tersebut
memberitahu kita bahwa, menurut kesanggupan dan kemungkinan, kita masing-masing
telah menerima “talenta” tertentu. Agar kita tidak disesatkan oleh istilah
umum, kita perlu menyadari bahwa “talenta” itu bukan merupakan kesanggupan
kita, melainkan sebagaimana telah kita katakan, karunia Tuhan yang ditinggalkan
Kristus kepada kita ketika Ia kembali kepada Bapa. Bersama dengan karunia
tersebut, Ia telah memberikan kepada kita Roh-Nya, yang di dalamnya kita
menjadi anak-anak Allah dan berkat Roh itulah kita dapat menghabiskan hidup
kita dengan memberikan kesaksian tentang Injil dan bekerja demi kedatangan
kerajaan Allah. “Modal” yang sangat besar yang kita simpan adalah kasih Tuhan,
landasan hidup dan sumber kekuatan kita dalam perjalanan kita.
Akibatnya,
kita harus bertanya pada diri kita : Apa yang kulakukan dengan “talenta” ini
dalam perjalanan hidupku? Perumpamaan tersebut menceritakan kepada kita bahwa
dua hamba yang pertama melipatgandakan nilai pemberian yang telah mereka
terima, sedangkan hamba yang ketiga, bukannya mempercayai tuannya yang telah
memberinya talenta, malahan menjadi takut, dilumpuhkan oleh rasa takut. Menolak
mengambil risiko, tidak mempertaruhkan diri, ia akhirnya mengubur talentanya.
Hal ini juga berlaku bagi kita. Kita bisa melipatgandakan harta yang telah
diberikan kepada kita, dan menjadikan hidup kita sebagai persembahan kasih demi
sesama. Atau kita bisa menjalani kehidupan kita yang dihalangi oleh gambaran palsu
tentang Allah, dan karena takut mengubur harta yang kita terima, hanya
memikirkan diri kita, tidak peduli pada apa pun kecuali kenyamanan dan
kepentingan kita, tetap tidak berkomitmen dan tidak terlibat. Pertanyaannya
sangat jelas: dua hamba pertama mengambil risiko melalui transaksi mereka. Dan
pertanyaan yang harus kita ajukan adalah : “Apakah aku mengambil risiko dalam
hidupku? Apakah aku mengambil risiko melalui kekuatan imanku? Sebagai seorang
kristiani, apakah aku tahu cara mengambil risiko atau apakah aku menutup diri
karena takut atau pengecut?
Saudara-saudari,
pada Hari Orang Miskin Sedunia ini perumpamaan tentang talenta merupakan sebuah
panggilan untuk menelaah semangat kita dalam menghadapi perjalanan hidup kita.
Kita telah menerima dari Tuhan karunia kasih-Nya dan kita dipanggil untuk
menjadi karunia bagi orang lain. Kasih Yesus yang merawat kita, balsem belas
kasihan-Nya, kasih sayang-Nya yang merawat luka-luka kita, nyala Roh yang
memenuhi hati kita dengan sukacita dan harapan – semua ini adalah harta yang
tidak bisa kita simpan begitu saja untuk diri kita, digunakan untuk tujuan kita
sendiri atau dikubur di bawah tanah. Dicurahi dengan karunia, pada gilirannya
kita dipanggil untuk menjadikan diri kita karunia. Kita yang sudah menerima banyak
karunia harus menjadikan diri kita sebagai karunia bagi orang lain. Gambaran
yang digunakan dalam perumpamaan ini sangat jelas: jika kita tidak menyebarkan
kasih ke sekeliling kita, hidup kita akan tenggelam dalam kegelapan; jika kita
tidak memanfaatkan talenta yang kita terima dengan baik, hidup kita akan
terkubur di dalam tanah, seolah-olah kita sudah mati (bdk. ayat 25.30).
Saudara-saudara, begitu banyak umat kristiani yang “terkubur di bawah tanah”!
Banyak umat kristiani yang menghayati iman mereka seolah-olah mereka hidup di
bawah tanah!
Maka
marilah kita berpikir tentang semua bentuk kemiskinan material, budaya dan
spiritual yang ada di dunia kita, tentang penderitaan besar yang terjadi di
kota-kota kita, tentang orang-orang miskin yang terlupakan yang jeritan
penderitaannya tidak terdengar dalam ketidakpedulian pada umumnya dari
masyarakat yang sibuk dan terbagi-bagi perhatiannya. Ketika kita berpikir
tentang kemiskinan, kita tidak boleh melupakan keleluasaannya: kemiskinan
bersifat tersendiri; kemiskinan menyembunyikan dirinya. Kita harus berani pergi
dan mencarinya. Marilah kita memikirkan mereka yang tertindas, letih atau
terpinggirkan, para korban perang dan mereka yang terpaksa meninggalkan tanah
air mereka dengan mempertaruhkan nyawa, mereka yang kelaparan dan mereka yang
tidak memiliki pekerjaan dan tanpa harapan. Begitu banyak kemiskinan setiap
hari: bukan hanya satu, dua, atau tiga, melainkan banyak sekali. Jumlah
penduduk miskin sangat banyak. Ketika kita memikirkan betapa banyaknya orang miskin
di tengah-tengah kita, pesan Bacaan Injil hari ini jelas: janganlah kita
menguburkan harta Tuhan! Marilah kita menebarkan harta amal kasih, berbagi roti
dan memperbanyak kasih kita! Kemiskinan adalah sebuah skandal. Ketika Tuhan
datang kembali, Ia akan melakukan perhitungan dengan kita dan – seperti
kata-kata Santo Ambrosius – Ia akan berkata kepada kita: “Mengapa kamu
membiarkan begitu banyak orang miskin mati kelaparan padahal kamu memiliki emas
untuk membeli makanan bagi mereka? Mengapa begitu banyak budak yang dijual dan
dianiaya oleh musuh, tanpa ada yang berusaha menebusnya?” (De Officiis: PL 16,
148-149).
Marilah
kita berdoa agar kita masing-masing, sesuai dengan karunia yang kita terima dan
perutusan yang dipercayakan kepada kita, dapat berusaha “membuat amal kasih
membuahkan hasil” dan mendekatkan diri kepada orang miskin. Marilah kita berdoa
agar di akhir perjalanan kita, setelah menyambut Kristus dalam diri
saudara-saudari kita yang dengan mereka Ia menyatakan diri-Nya (bdk. Mat
25:40), kita juga dapat mendengarnya dikatakan kepada kita: “Bagus,
hai hambaku yang baik dan setia ... Masuklah ke dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21).
______
(Peter Suriadi - Bogor, 20 November 2023)