Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH MGR. RINO FISICHELLA) DALAM MISA HARI MINGGU BIASA VII (YUBILEUM DIAKON) 23 Februari 2025: PENGAMPUNAN, PELAYANAN TANPA PAMRIH, DAN PERSEKUTUAN

Bacaan Ekaristi : 1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23; Mzm. 103:1-2,3-4,8,10,12-13; 1Kor. 15:45-49; Luk. 6:27-38.

 

Pesan bacaan hari ini dapat dirangkum dalam satu kata: "kemurahan hati". Kata tersebut pasti kamu sayangi sebagai diakon, yang berkumpul di sini untuk perayaan Yubileum. Jadi, marilah kita merenungkan tiga aspek khusus dari dimensi dasariah kehidupan kristiani ini secara umum dan pelayananmu secara khusus: pengampunan, pelayanan tanpa pamrih, dan persekutuan.

 

Pertama: pengampunan. Pewartaan pengampunan adalah bagian penting dari pelayananmu sebagai diakon. Sesungguhnya pengampunan adalah unsur yang tak terpisahkan dari setiap panggilan gerejawi dan persyaratan setiap hubungan manusia. Yesus menunjukkan perlunya dan pentingnya hal itu ketika Ia berkata, "Kasihilah musuh-musuhmu" (Luk 6:27). Hal ini tentu saja benar: jika kita ingin bertumbuh bersama dan saling ambil bagian dalam kekuatan dan kelemahan, pencapaian dan kegagalan, kita harus mampu mengampuni dan memohon pengampunan, membangun kembali hubungan dan bahkan memilih untuk tidak menahan kasih kita terhadap mereka yang menyakiti atau mengkhianati kita. Dunia yang tidak merasakan apa pun kecuali kebencian terhadap musuh-musuhnya adalah dunia tanpa harapan dan masa depan, yang ditakdirkan untuk peperangan, perpecahan, dan dendam yang tak berkesudahan. Sayangnya, inilah yang kita saksikan hari ini, di berbagai tingkatan dan di seluruh belahan dunia. Pengampunan berarti mempersiapkan masa depan yang ramah dan aman bagi kita dan komunitas kita. Para diakon, yang secara pribadi ditugasi dengan pelayanan yang membawa mereka ke pinggiran dunia kita, berkomitmen untuk melihat – dan mengajar orang lain untuk melihat – dalam diri setiap orang, bahkan dalam diri mereka yang berbuat salah kepada kita dan menyebabkan kita menderita, saudara-saudari yang terluka, dan karenanya lebih membutuhkan rekonsiliasi, bimbingan, dan bantuan daripada siapa pun.

 

Bacaan pertama hari ini berbicara tentang keterbukaan hati ini, yang menghadirkan kepada kita kasih setia Daud yang tanpa pamrih terhadap Saul, raja sekaligus penganiayanya (bdk. 1 Sam 26:2, 7-9, 12-13, 22-23). ​​Kita kembali melihat hal ini dalam kematian keteladanan diakon Stefanus, yang mengampuni orang-orang yang melemparinya dengan batu (bdk. Kis 7:60). Terutama, kita menemukannya diteladankan dalam diri Yesus, model seluruh diakonia, yang, dengan "mengosongkan" diri-Nya sendiri hingga menyerahkan nyawa-Nya bagi kita di kayu salib (bdk. Flp 2:7), mendoakan mereka yang menyalibkan-Nya dan membuka gerbang Firdaus bagi penjahat yang baik (bdk. Luk 23:34, 43).

 

Ini membawa kita pada poin kedua: pelayanan tanpa pamrih. Tuhan menggambarkannya dalam Injil dengan kata-kata yang sederhana dan jelas: "Berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun" (Luk 6:35). Sebuah frasa yang singkat, tetapi membangkitkan keindahan persahabatan. Pertama, persahabatan Allah dengan kita, tetapi juga persahabatan kita sendiri. Bagi kamu sebagai diakon, pelayanan tanpa pamrih bukanlah aspek sekunder kegiatanmu, tetapi dimensi penting keberadaanmu. Sesungguhnya, melalui pelayanan-Mu, kamu mengabdikan diri untuk menjadi "pemahat" dan "pelukis" wajah Bapa yang penuh belas kasihan, dan saksi misteri Allah Tritunggal.

 

Dalam banyak bagian Injil, Yesus berbicara tentang diri-Nya dalam terang ini. Ia melakukannya dengan Filipus, di Ruang Atas, ketika, tak lama setelah membasuh kaki kedua belas Rasul, Ia berkata, "Siapa yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yoh 14:9). Dan kembali, ketika Ia menetapkan Ekaristi, Ia berkata, "Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan" (Luk 22:27). Namun, bahkan sebelumnya, dalam perjalanan ke Yerusalem, ketika para murid-Nya memperdebatkan di antara mereka tentang siapa yang terbesar, Ia telah menjelaskan bahwa "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (bdk. Mrk 10:45).

 

Saudara-saudara diakon, pekerjaan "tanpa pamrih" yang kamu lakukan sebagai ungkapan pengabdianmu kepada amal kasih Kristus dengan demikian menjadi pewartaan utamamu akan sabda Allah, sumber keyakinan dan sukacita bagi mereka yang berjumpa denganmu. Sesering mungkin, laksanakanlah dengan senyuman, tanpa mengeluh dan tanpa mencari pengakuan, saling mendukung, juga dalam hubunganmu dengan para uskup dan imam, “sebagai ungkapan Gereja yang berkomitmen untuk bertumbuh dalam pelayanan Kerajaan Allah dengan menghargai semua tingkatan pelayanan kaum tertahbis” (Konferensi Wali Gereja Italia, Diakon Tetap dalam Gereja di Italia. Pedoman dan Norma, 1993, 55). Melalui kerja sama dan kemurahan hatimu, kamu akan menjadi jembatan yang menghubungkan altar dengan jalanan dan Ekaristi dengan kehidupan sehari-hari umat. Amal kasih akan menjadi liturgimu yang paling indah dan liturgi akan menjadi pelayananmu yang paling sederhana.

 

Sekarang, kita sampai pada pokok terakhir: kemurahan hati sebagai sumber persekutuan. Memberi dan tidak mengharapkan imbalan apa pun mempersatukan; menciptakan ikatan karena mengungkapkan dan membina kebersamaan yang tidak memiliki tujuan lain selain pemberian diri dan kebaikan sesama. Santo Laurensius, pelindungmu, ketika diminta oleh para pendakwanya untuk menyerahkan harta Gereja, memperlihatkan orang-orang miskin kepada mereka dan berkata, "Ini adalah harta kami!" Begitulah persekutuan dibangun: dengan memberitahu saudara-saudarimu melalui perkataanmu tetapi terutama melalui perbuatanmu, baik secara individu maupun sebagai sebuah komunitas: "Kamu penting bagi kami;" "Kami mengasihimu;" "Kami ingin kamu menjadi bagian dari perjalanan dan kehidupan kami." Inilah tepatnya yang kamu lakukan. Kamu yang tidak menjadi diakon tetap melakukannya sebagai suami, ayah, dan kakek-nenek yang, melalui pelayananmu, memilih untuk memperluas keluargamu mencakup orang-orang yang membutuhkan di semua tempat di mana pun kamu tinggal. Para diakon terkasih, perutusanmu memisahkanmu dari masyarakat hanya untuk kemudian dibenamkan kembali di dalamnya agar masyarakat dapat menjadi tempat yang semakin terbuka dan ramah bagi semua orang. Itulah salah satu ungkapan terbaik Gereja sinodal, Gereja yang “bergerak maju.”

 

Segera, beberapa dari kamu, dengan menerima sakramen tahbisan suci, akan “menuruni” langkah-langkah pelayanan. Saya sengaja mengatakan “turun,” dan bukan “naik,” karena ditahbiskan bukanlah pendakian, melainkan penurunan, yang dengannya kita membuat diri kita kecil. Kita merendahkan dan menanggalkan diri. Dalam kata-kata Santo Paulus, melalui pelayanan, kita meninggalkan “manusia duniawi,” dan mengenakan, dalam kasih, “manusia surgawi” (lihat 1 Kor 15:45-49).

 

Marilah kita semua merenungkan apa yang akan kita lakukan, bahkan saat kita mempercayakan diri kita kepada Perawan Maria, hamba Tuhan, dan kepada Santo Laurensius, pelindungmu. Semoga mereka membantu kita untuk mengalami setiap ungkapan pelayanan kita dengan rendah hati dan penuh kasih, dan menjadi, dengan "tanpa pamrih," rasul pengampunan, hamba yang tidak mementingkan diri sendiri demi saudara-saudari kita, dan pembangun persekutuan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Februari 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH JOSÉ TOLENTINO KARDINAL DE MENDONÇA) DALAM MISA HARI MINGGU BIASA VI (YUBILEUM PARA SENIMAN DAN DUNIA KEBUDAYAAN) 16 Februari 2025

Bacaan Ekaristi : Yer. 17:5-8; Mzm. 1:1-2,3,4,6; 1Kor. 15:12,16-20; Luk. 6:17,20-26.


Dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar, Yesus menyampaikan Sabda Bahagia kepada para murid-Nya dan banyak orang. Kita telah mendengarnya berkali-kali, namun Sabda Bahagia tidak pernah berhenti membuat kita takjub: “Berbahagialah, hai Kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai Kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai Kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa” (Luk 6:20–21). Kata-kata ini menjungkirbalikkan mentalitas duniawi kita dan mengajak kita untuk melihat kenyataan dengan mata baru, dengan tatapan Allah, sehingga kita dapat melihat melampaui penampilan dan mengenali keindahan bahkan di tengah-tengah kelemahan dan penderitaan.

 

Bagian kedua Bacaan Injil berisi kata-kata yang keras dan menegur: "Celakalah kamu, hai Kamu yang kaya, karena kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis" (Luk 6:24-25). Kontras antara "berbahagialah kamu" dan "celakalah kamu" mengingatkan kita tentang pentingnya membedakan di mana kita menemukan keamanan kita.

 

Sebagai seniman dan perwakilan dunia budaya, kamu dipanggil untuk menjadi saksi visi revolusioner Sabda Bahagia. Perutusanmu bukan hanya untuk menciptakan keindahan, tetapi mengungkapkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tersembunyi di balik lipatan sejarah, menyuarakan orang-orang yang tak bersuara, mengubah rupa penderitaan menjadi pengharapan.

 

Kita hidup di masa krisis finansial dan sosial yang rumit, tetapi krisis kita terutama adalah krisis spiritual, krisis makna. Marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri tentang waktu dan tujuan. Apakah kita peziarah atau pengembara? Apakah perjalanan kita memiliki tujuan, atau apakah kita tanpa arah? Seniman memiliki tugas untuk membantu umat manusia agar tidak tersesat dan tetap memiliki pandangan yang penuh pengharapan.

 

Namun, ketahuilah bahwa pengharapan bukanlah sesuatu yang mudah, dangkal, atau abstrak. Tidak! Pengharapan sejati terjalin dalam drama keberadaan manusia. Pengharapan bukanlah tempat berlindung yang nyaman, tetapi api yang membakar dan memancarkan cahaya, seperti sabda Allah. Itulah sebabnya seni yang autentik selalu mengungkapkan perjumpaan dengan misteri, dengan keindahan yang melampaui diri kita, dengan penderitaan yang menantang kita, dengan kebenaran yang memanggil kita. Jika tidak, "celakalah kita!" Peringatan Tuhan itu keras.

 

Sebagaimana ditulis oleh penyair Gerard Manley Hopkins, “Dunia dipenuhi dengan keagungan Allah. Dunia akan menyala, seperti kilauan kertas timah yang terkena cahaya”. Perutusan seniman adalah menemukan keagungan yang tersembunyi ini dan mengungkapkannya, membuatnya dapat dirasakan oleh mata dan hati kita. Sang penyair juga merasakan “gema kelam” dan “gema keemasan” dalam dunia. Seniman peka terhadap resonansi ini, dan melalui karya mereka, mereka terlibat dalam pembedaan berbagai gema peristiwa di dunia ini dan membantu sesamanya untuk melakukan hal yang sama. Orang-orang yang mewakili dunia budaya dipanggil untuk mengevaluasi gema ini, menjelaskannya kepada kita, dan menunjukkan kepada kita jalan mana yang dituntun oleh gema tersebut: apakah gema tersebut berupa lagu-lagu sirene yang menggoda atau seruan autentik bagi umat manusia. Kamu diminta untuk memberikan wawasan guna membantu membedakan antara apa yang seperti “sekam yang dihamburkan angin” dan apa yang kokoh, “seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air”, yang mampu menghasilkan buah (lihat Mzm 1:3-4).

 

Para seniman yang terkasih, saya melihat dalam dirimu para penjaga keindahan yang bersedia memperhatikan kehancuran dunia kita, mendengarkan jeritan mereka yang miskin, menderita, terluka, dipenjara, dianiaya, atau menjadi pengungsi. Saya melihat dalam dirimu para penjaga Sabda Bahagia! Kita hidup di masa ketika tembok-tembok baru sedang dibangun, ketika perbedaan menjadi dalih untuk memecah belah daripada kesempatan untuk saling memperkaya. Namun, kamu, orang-orang di dunia budaya, dipanggil untuk membangun jembatan, menciptakan ruang bagi perjumpaan dan dialog, mencerahkan pikiran dan menghangatkan hati.

 

Beberapa orang mungkin berkata, "Tetapi apa gunanya seni di dunia kita yang terluka ini? Bukankah ada hal-hal yang lebih mendesak, lebih praktis, dan lebih mendesak untuk dilakukan?". Namun, seni bukanlah kemewahan, tetapi sesuatu yang dibutuhkan jiwa. Seni bukanlah pelarian dari kenyataan, tetapi sebuah tuntutan, panggilan untuk bertindak, seruan, dan jeritan. Mendidik tentang keindahan sejati berarti mendidik tentang pengharapan. Dan pengharapan tidak pernah terpisah dari drama kehidupan; pengharapan mengalir melalui perjuangan kita sehari-hari, kesulitan hidup, dan tantangan zaman kita.

 

Dalam Bacaan Injil yang kita dengar hari ini, Yesus menyatakan bahwa mereka yang miskin, menderita, lemah lembut, dan teraniaya adalah orang-orang yang berbahagia. Sebuah perubahan mentalitas, revolusi sudut pandang. Seniman dipanggil untuk ambil bagian dalam revolusi ini. Dunia membutuhkan seniman yang kenabian, intelektual yang berani, dan pencipta budaya.

 

Perkenankanlah Injil Sabda Bahagia membimbingmu, dan semoga senimu menjadi pembawa berita sebuah dunia yang baru. Perkenankanlah kami melihat puisimu! Jangan pernah berhenti mencari, mempertanyakan, dan mengambil risiko. Seni sejati tidak pernah mudah; ia menawarkan kedamaian kegelisahan. Dan jangan lupa bahwa pengharapan bukanlah khayalan; keindahan bukanlah utopia. Karuniamu tidak acak, tetapi sebuah panggilan. Maka, tanggapilah dengan kemurahan hati, gairah, dan cinta.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 16 Februari 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA V (YUBILEUM ANGKATAN BERSENJATA, KEPOLISIAN DAN APARAT KEAMANAN) 9 Februari 2025 : YESUS MELIHAT, NAIK KE DALAM PERAHU DAN DUDUK

Bacaan Ekaristi : Yes. 6:1-2a,3-8; Mzm. 138:1-2a,2bc-3,4-5,7c-8; 1Kor. 15:1-11 (1Kor. 15:3-8,11); Luk. 5:1-11.

 

Tindakan Yesus di Danau Genesaret dijelaskan oleh Penginjil Lukas dengan tiga kata kerja: ia melihat, ia naik ke dalam perahu dan ia duduk. Yesus melihat, Yesus naik ke dalam perahu dan Yesus duduk. Yesus tidak berurusan dengan pamer kepada orang banyak, melakukan suatu pekerjaan, mengikuti jadwal dalam melaksanakan perutusan-Nya. Berjumpa sesama, berhubungan dengan mereka, serta bersimpati dengan pergumulan dan rintangan yang sering membebani hati dan mengenyahkan harapan justru selalu menjadi prioritas-Nya.

 

Itulah sebabnya Yesus, pada hari itu, melihat, naik ke dalam kapal dan duduk.

 

Pertama, Yesus melihat. Ia memiliki tatapan tajam yang, bahkan di tengah kerumunan orang banyak, membuat-Nya mampu melihat dua perahu mendekati pantai dan melihat kekecewaan di wajah para nelayan itu, yang sekarang sedang membasuh jala mereka yang kosong setelah sepanjang malam bekerja tanpa hasil. Yesus memandang dengan bela rasa kepada orang-orang itu. Janganlah kita pernah melupakan hal ini: bela rasa Allah. Tiga sikap Allah adalah kedekatan, bela rasa, dan kelembutan. Janganlah kita lupa: Allah dekat, Allah lembut, dan Allah selalu berbela rasa. Yesus memandang dengan bela rasa terhadap ungkapan orang-orang itu, merasakan keputusasaan dan frustrasi mereka setelah bekerja sepanjang malam dan tidak menangkap apa pun, hati mereka kosong seperti jala yang mereka tarik.

 

Maafkan saya, sekarang saya akan meminta pemimpin [Perayaan Liturgi] untuk melanjutkan membaca karena saya kesulitan bernapas.

 

Melihat keputusasaan mereka, Yesus naik ke dalam perahu. Ia meminta Simon untuk menepi tidak jauh dari pantai dan Simon pun naik ke dalam perahu. Dengan cara ini, Ia masuk ke dalam kehidupan Simon dan ikut merasakan kekecewaan dan kesia-siaannya. Ini penting: Yesus tidak hanya berdiri diam dan melihat segala sesuatunya berjalan buruk, seperti yang sering kita lakukan, lalu mengeluh dengan getir. Sebaliknya, Ia mengambil prakarsa, Ia mendekati Simon, menghabiskan waktu bersamanya pada saat-saat sulit itu dan memilih untuk menaiki perahu kehidupannya, yang malam itu tampaknya penuh dengan kegagalan.

 

Kemudian, setelah naik ke dalam perahu, Yesus duduk. Dalam keempat Injil, hal ini merupakan ciri khas seorang guru, seseorang yang mengajar orang lain. Memang, Bacaan Injil menyatakan bahwa Yesus duduk dan mengajar. Melihat sekilas di mata dan hati para nelayan itu rasa frustrasi karena sepanjang malam bekerja keras tanpa hasil, Yesus naik ke dalam perahu untuk mewartakan kabar baik, membawa terang pada malam gelap kekecewaan, menceritakan keindahan Allah bahkan di tengah pergumulan hidup, dan menegaskan kembali bahwa pengharapan tetap ada bahkan ketika semuanya tampak sirna.

 

Kemudian terjadilah mukjizat: ketika Tuhan naik ke dalam perahu kehidupan kita untuk membawa kabar baik tentang kasih Allah yang senantiasa menyertai dan menopang kita, kehidupan dimulai kembali, pengharapan lahir kembali, semangat bangkit kembali, dan kita dapat kembali menebarkan jala ke danau.

 

Saudara-saudari, pesan pengharapan ini menyertai kita hari ini saat kita merayakan Yubileum Angkatan Bersenjata, Kepolisian, dan Aparat Keamanan. Saya mengucapkan terima kasih kepada kamu sekalian atas pengabdianmu, dan saya menyapa semua otoritas, lembaga dan akademi militer, serta ordinaris dan imam militer yang hadir. Kamu sekalian telah dipercayakan dengan perutusan luhur yang mencakup berbagai aspek kehidupan sosial dan politik: membela negara kita, menjaga keamanan, menegakkan legalitas dan keadilan. Kamu hadir di lembaga pemasyarakatan dan berada di garis depan dalam memerangi kejahatan dan berbagai bentuk kekerasan yang mengancam mengganggu kehidupan masyarakat. Saya juga memikirkan semua orang yang terlibat dalam upaya bantuan pascabencana alam, upaya menjaga lingkungan, upaya penyelamatan di laut, perlindungan terhadap mereka yang rentan, dan upaya menggalakkan perdamaian.

 

Tuhan juga memintamu untuk melakukan apa yang Ia lakukan: melihat, naik ke dalam kapal, dan duduk. Melihat, karena kamu dipanggil untuk selalu membuka mata, waspada terhadap ancaman terhadap kebaikan bersama, terhadap bahaya yang mengancam kehidupan sesama warga negara, dan terhadap risiko lingkungan, sosial, dan politik yang kita hadapi. Naik ke dalam perahu, karena seragammu, disiplin yang telah membentukmu, keberanian yang menjadi ciri khasmu, sumpah yang telah kamu ucapkan — semua ini adalah hal-hal yang mengingatkanmu tentang pentingnya tidak hanya melihat kejahatan untuk dilaporkan, tetapi juga naik ke dalam perahu yang diterjang badai dan bekerja untuk memastikan bahwa perahu itu tidak kandas. Karena itu melayani kebaikan, kebebasan, dan keadilan juga merupakan bagian dari perutusanmu. Kemudian, akhirnya, duduk, karena kehadiranmu di kota-kota dan lingkungan sekitar kita untuk menegakkan hukum dan ketertiban, dan keikutsertaanmu dalam pihak yang tidak berdaya, dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Semua itu mengajarkan kita bahwa kebaikan dapat menang atas segalanya. Kebaikan mengajarkan kita bahwa keadilan, kewajaran, dan tanggung jawab sipil tetap diperlukan saat ini seperti sebelumnya. Kebaikan mengajarkan kita bahwa kita dapat menciptakan dunia yang lebih manusiawi, adil, dan bersaudara, meskipun ada kekuatan jahat yang menentang.

 

Dalam melaksanakan tugasmu, yang mencakup seluruh hidupmu, kamu didampingi oleh para imam, kehadiran mereka di tengah-tengahmu penting. Tugas mereka bukanlah — seperti yang kadang-kadang terjadi dalam sejarah — untuk memberkati tindakan perang yang menyimpang. Tidak. Mereka berada di tengah-tengahmu sebagai kehadiran Kristus, yang ingin berjalan di sampingmu, menyendengkan telinga yang mendengarkan dan bersimpati, mendorongmu untuk memulai hidup baru dan mendukungmu dalam pelayananmu sehari-hari. Sebagai sumber dukungan moral dan spiritual, mereka mendampingimu di setiap langkah dan membantumu untuk melaksanakan perutusanmu dalam terang Injil dan mengupayakan kebaikan bersama.

 

Saudara-saudari terkasih, kami bersyukur atas apa yang kamu lakukan, kadang-kadang dengan risiko pribadi yang besar. Terima kasih karena dengan naik ke dalam perahu kami yang diterjang badai, kamu menawarkan perlindungan kepada kami dan mendorong kami untuk tetap pada tujuan kami. Pada saat yang sama, saya ingin mendorongmu untuk jangan pernah melupakan tujuan pelayanan dan semua kegiatanmu, yaitu mengembangkan kehidupan, menyelamatkan nyawa, menjadi pembela kehidupan yang terus-menerus. Dan saya mohon kepadamu, mohon, untuk waspada. Waspadalah terhadap godaan menumbuhkan untuk semangat perang. Waspadalah agar tidak terperdaya oleh khayalan kekuasaan dan gemuruh senjata. Waspadalah agar kamu tidak diracuni oleh propaganda yang menanamkan kebencian, yang memecah belah dunia menjadi kawan yang harus dibela dan seteru yang harus dilawan. Sebaliknya, beranilah bersaksi akan kasih Allah Bapa kita, yang menghendaki kita semua menjadi saudara dan saudari. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berangkat untuk menjadi perajin era baru perdamaian, keadilan, dan persaudaraan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Februari 2025)