Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVI DI GEREJA KATEDRAL ALBANO 20 Juli 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 18:1-10a; Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5; Kol. 1:24-28; Luk. 10:38-42.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini saya sangat bahagia berada di sini, di Gereja Katedral yang indah ini, untuk merayakan Ekaristi. Sebagaimana kamu ketahui, saya seharusnya berada di sini pada tanggal 12 Mei, tetapi Roh Kudus bekerja dengan cara yang berbeda. Namun, saya sungguh senang berada bersamamu serta dalam semangat persaudaraan dan sukacita kristiani, saya menyapa kamu semua yang hadir di sini, Yang Mulia, serta para uskup Keuskupan, dan para pemimpin yang hadir.

 

Dalam Misa ini, baik Bacaan Pertama maupun Bacaan Injil mengajak kita untuk merenungkan keramahtamahan, pelayanan, dan mendengarkan (bdk. Kej 18:1-10; Luk 10:38-42).

 

Pertama, Allah mengunjungi Abraham dalam sosok "tiga orang" yang tiba di kemahnya "pada saat hari panas terik" (bdk. Kej 18:1-2). Adegannya mudah dibayangkan: cahaya matahari yang menyengat, keheningan padang gurun, panas terik, dan ketiga orang asing yang mencari perlindungan. Abraham duduk "di pintu kemahnya," posisi tuan rumah, dan sungguh menggugah melihat bagaimana ia menjalankan peran ini. Menyadari kehadiran Allah dalam diri para tamu, ia bangkit, berlari menyongsong mereka, dan bersujud sampai ke tanah memohon agar mereka tetap tinggal. Dengan demikian, seluruh adegan menjadi hidup. Keheningan senja dipenuhi dengan gestur kasih yang tidak hanya melibatkan Sang Bapa Bangsa, tetapi juga istrinya, Sara, dan para hamba. Abraham tidak lagi duduk, tetapi berdiri “di bawah pohon di dekat mereka” (Kej 18:8), dan di sanalah Allah memberinya kabar terbaik yang mungkin ia harapkan: “Sara, istrimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki” (Kej 18:10).

 

Dinamika perjumpaan ini membawa kita untuk merenungkan bagaimana Allah memilih jalan keramahtamahan untuk masuk ke dalam kehidupan Sara dan Abraham serta menyampaikan bahwa mereka akan memiliki seorang anak, yang telah lama mereka dambakan meski mereka telah putus asa. Setelah mengunjungi mereka sebelumnya dalam banyak momen penuh rahmat, Allah kembali mengetuk pintu mereka, memohon keramahtamahan dan kepercayaan. Pasutri yang telah lanjut usia itu menanggapi dengan positif, meskipun belum memahami apa yang akan terjadi. Mereka menyadari berkat dan kehadiran Allah dalam diri para tamu misterius itu, dan menawarkan apa yang mereka miliki: makanan, kebersamaan, pelayanan, dan naungan pohon. Sebagai balasannya, mereka menerima janji kehidupan baru dan keturunan.

 

Meskipun situasinya berbeda, Bacaan Injil juga mengajarkan kita tentang cara Allah bertindak. Di sini pun, Yesus menampakkan diri sebagai tamu di rumah Marta dan Maria. Namun, kali ini, Ia bukanlah orang asing: Ia datang ke rumah sahabat-sahabat-Nya di tengah suasana pesta. Salah satu saudari menyambut-Nya dengan melayani-Nya, sementara yang lain duduk di kaki-Nya, mendengarkan seperti seorang murid mendengarkan gurunya. Sebagaimana kita ketahui, Yesus menanggapi keluhan saudari pertama yang membutuhkan bantuan untuk tugas-tugas yang ada dengan mengajaknya untuk menyadari pentingnya mendengarkan (bdk. Luk 10:41-42).

 

Akan tetapi, tidaklah tepat jika kita menganggap kedua sikap ini saling eksklusif, atau membandingkan jasa kedua perempuan ini. Melayani dan mendengarkan, sesungguhnya, merupakan dimensi kembar dari keramahtamahan.

 

Hubungan kita dengan Allah adalah yang utama. Meskipun benar bahwa kita harus menghidupi iman kita melalui tindakan nyata, dengan setia menjalankan tugas kita sesuai dengan status hidup dan panggilan kita, penting bagi kita untuk melakukannya hanya setelah merenungkan Sabda Allah dan mendengarkan apa yang dikatakan Roh Kudus dalam hati kita. Untuk tujuan ini, kita hendaknya menyisihkan saat-saat hening, saat-saat doa, saat-saat di mana, dengan meredam kebisingan dan gangguan, kita merenungkan diri kita di hadapan Allah dalam kesederhanaan hati. Inilah dimensi kehidupan kristiani yang khususnya perlu kita pulihkan saat ini, baik sebagai nilai bagi individu maupun komunitas, maupun sebagai tanda kenabian bagi zaman kita. Kita harus menyediakan ruang untuk hening, untuk mendengarkan Bapa yang berbicara dan "melihat yang tersembunyi" (Mat. 6:6). Musim panas dapat menjadi waktu yang tepat untuk mengalami keindahan dan pentingnya hubungan kita dengan Allah, dan betapa hal itu dapat membantu kita menjadi lebih terbuka, lebih ramah terhadap orang lain.

 

Selama musim panas, kita memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan merenung, serta bepergian dan menghabiskan waktu bersama. Marilah kita manfaatkan waktu ini sebaik-baiknya, dengan meninggalkan hiruk-pikuk komitmen dan kekhawatiran untuk menikmati sejenak kedamaian, refleksi, dan meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat lain serta ambil bagian dalam sukacita bertemu orang lain — seperti yang saya lakukan di sini hari ini. Marilah kita jadikan musim panas sebagai kesempatan untuk peduli terhadap sesama, saling mengenal, dan menawarkan nasihat serta mendengarkan, karena semua itu adalah ungkapan kasih, dan itulah yang kita semua butuhkan. Marilah kita melakukannya dengan berani. Dengan demikian, melalui solidaritas, dalam berbagi iman dan kehidupan, kita akan membantu mempromosikan budaya damai, membantu orang-orang di sekitar kita mengatasi perpecahan dan permusuhan, serta membangun persekutuan antarindividu, bangsa, dan agama.

 

Paus Fransiskus berkata, “Jika kita ingin menikmati hidup dengan sukacita, kita harus mengaitkan dua pendekatan ini: di satu sisi, ‘berada di kaki’ Yesus, untuk mendengarkan-Nya saat Ia menyingkapkan rahasia segala sesuatu kepada kita; di sisi lain, bersikap penuh perhatian dan siap sedia dalam keramahtamahan, ketika Ia lewat dan mengetuk pintu kita, dengan wajah seorang sahabat yang membutuhkan waktu istirahat dan persaudaraan” (Doa Malaikat Tuhan, 21 Juli 2019). Kata-kata ini diucapkan hanya beberapa bulan sebelum pandemi melanda; pengalaman panjang dan sulit itu, yang masih kita ingat, mengajarkan kita banyak hal tentang kebenarannya.

 

Tentu saja semua ini membutuhkan usaha. Melayani dan mendengarkan tidak selalu mudah; keduanya membutuhkan kerja keras dan kemampuan untuk berkorban. Misalnya, dibutuhkan usaha dalam mendengarkan dan melayani agar dapat menjadi ibu dan ayah yang setia dan penuh kasih dalam membesarkan keluarga, demikian juga dibutuhkan usaha bagi anak-anak untuk menanggapi kerja keras orang tua mereka di rumah dan di sekolah. Juga dibutuhkan usaha untuk saling memahami ketika terjadi perselisihan, mengampuni ketika seseorang berbuat salah, menolong ketika seseorang sakit, dan saling menghibur di saat sedih. Namun, justru dengan berusaha, sesuatu yang berharga dapat dibangun dalam hidup; itulah satu-satunya cara untuk membentuk dan memelihara hubungan yang kuat dan tulus antarmanusia. Dengan demikian, dengan fondasi kehidupan sehari-hari, Kerajaan Allah bertumbuh dan menyatakan kehadirannya (bdk. Luk 7:18-22).

 

Santo Agustinus, merenungkan kisah Marta dan Maria dalam salah satu homilinya, berkata: “Kedua perempuan ini melambangkan dua kehidupan: masa kini dan masa depan; kehidupan yang dijalani dengan jerih payah dan kehidupan yang penuh ketenangan; yang satu penuh masalah dan yang lainnya penuh berkat; yang satu sementara, yang lainnya abadi” (Khotbah 104, 4). Dan merenungkan pekerjaan Marta, Agustinus berkata, “Siapakah yang terbebas dari kewajiban merawat sesama? Siapakah yang dapat beristirahat dari tugas-tugas ini? Marilah kita berusaha melaksanakannya dengan kasih dan sedemikian rupa sehingga tak seorang pun akan dapat menemukan kesalahan pada kita... Kelelahan akan berlalu dan ketenangan akan datang, tetapi ketenangan hanya akan datang melalui usaha yang dilakukan. Perahu akan berlayar dan mencapai tanah airnya; tetapi tanah air tidak akan tercapai kecuali melalui perahu” (idem, 6-7).

 

Hari ini, Abraham, Marta, dan Maria mengingatkan kita bahwa mendengarkan dan melayani adalah dua sikap yang saling melengkapi yang memampukan kita untuk membuka diri dan hidup kita bagi berkat-berkat Tuhan. Teladan mereka mengajak kita untuk menyelaraskan kontemplasi dan tindakan, istirahat dan kerja keras, keheningan dan kesibukan hidup kita sehari-hari dengan kebijaksanaan dan keseimbangan, senantiasa menjadikan kasih Yesus sebagai ukuran kita, Sabda-Nya sebagai terang kita, dan anugerah-Nya sebagai sumber kekuatan kita, yang menopang kita melampaui batas kemampuan kita (bdk. Flp. 4:13).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Juli 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XV DI PAROKI KEPAUSAN SANTO THOMAS DARI VILLANOVA (CASTEL GANDOLFO) 13 JulI 2025

Bacaan Ekaristi : Ul. 30:10-14; Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37 atau Mzm. 19:8,9,10,11; Kol. 1:15-20; Luk. 10:25-37.

 

Saudara-saudari,

 

Saya bersukacita merayakan Ekaristi ini bersamamu. Saya menyapa semua yang hadir, komunitas paroki, para imam, dan yang mulia, para uskup keuskupan, serta para pejabat sipil dan militer.

 

Dalam Injil hari Minggu ini, kita telah mendengar salah satu perumpamaan Yesus yang paling indah dan menggerakkan. Kita semua tahu perumpamaan tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Luk 10:25-37).

 

Perumpamaan itu senantiasa menantang kita untuk merenungkan hidup kita sendiri. Perumpamaan itu menyusahkan hati nurani kita yang terlena atau terganggu, dan memperingatkan kita tentang risiko iman yang berpuas diri, yang puas dengan ketaatan lahiriah terhadap Hukum Taurat tetapi tidak mampu merasakan dan bertindak dengan belas kasihan yang murah hati seperti Allah.

 

Perumpamaan itu sesungguhnya tentang belas kasihan. Memang, kisah Injil berbicara tentang belas kasihan yang menggerakkan seorang Samaria untuk bertindak, tetapi pertama-tama kisah itu berbicara tentang bagaimana orang lain memandang orang yang terluka yang tergeletak di pinggir jalan setelah diserang penyamun. Kita diberitahu bahwa ketika seorang imam dan seorang Lewi "melihat orang itu, ia melewatinya" (ayat 32). Namun, tentang orang Samaria itu, Bacaan Injil mengatakan, "Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan" (ayat 33).

 

Saudara-saudari terkasih, cara kita memandang orang lainlah yang terpenting, karena itu menunjukkan isi hati kita. Kita bisa melihat dan melewati begitu saja, atau kita bisa melihat dan tersentuh oleh belas kasihan. Ada jenis cara melihat yang dangkal, teralihkan, dan tergesa-gesa, cara melihat sambil berpura-pura tidak melihat. Kita bisa melihat tanpa tersentuh atau tertantang oleh penglihatan itu. Lalu, ada pula cara melihat dengan mata hati, melihat lebih dekat, berempati dengan orang lain, ambil bagian dalam pengalamannya, membiarkan diri kita tersentuh dan tertantang. Cara melihat ini mempertanyakan cara kita menjalani hidup dan tanggung jawab yang kita rasakan terhadap orang lain.

 

Perumpamaan ini berbicara kepada kita pertama-tama tentang cara Allah memandang kita, sehingga kita pada gilirannya dapat belajar bagaimana melihat situasi dan orang-orang dengan mata-Nya, yang penuh kasih dan belas kasihan. Orang Samaria yang murah hati sungguh merupakan gambaran Yesus, Putra kekal yang diutus Bapa ke dalam sejarah kita justru karena Ia memandang umat manusia dengan belas kasihan dan tidak melewati begitu saja. Seperti orang dalam Bacaan Injil yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, umat manusia sedang terjerumus ke jurang kematian; di zaman kita juga, kita harus menghadapi kegelapan kejahatan, penderitaan, kemiskinan, dan teka-teki kematian. Namun, Allah telah memandang kita dengan belas kasihan; Ia ingin menapaki jalan yang sama dan turun di antara kita. Dalam diri Yesus, Orang Samaria yang murah hati, Ia datang untuk menyembuhkan luka-luka kita serta mencurahkan balsem kasih dan kemurahhatian-Nya kepada kita.

 

Paus Fransiskus, yang sering mengingatkan kita bahwa Allah adalah kemurahan hati dan belas kasihan, pernah menyebut Yesus sebagai "belas kasihan Bapa kepada kita" (Doa Malaikat Tuhan, 14 Juli 2029). Santo Agustinus memberitahu kita bahwa, sebagai Orang Samaria yang murah hati yang datang menolong kita, Yesus "ingin dikenal sebagai sesama kita. Sungguh, Tuhan Yesus Kristus menyadarkan kita bahwa Dialah yang peduli kepada orang yang hampir meninggal karena dipukuli para penyamun dan ditinggalkan di pinggir jalan (De Doctrina Christiana, I, 30.33).

 

Maka, kita dapat memahami mengapa perumpamaan ini begitu menantang bagi kita masing-masing. Jika Kristus menunjukkan kepada kita wajah Allah yang penuh belas kasihan, maka percaya kepada-Nya dan menjadi murid-Nya berarti membiarkan diri kita diubah dan memiliki perasaan yang sama seperti Dia. Itu berarti belajar memiliki hati yang tergerak, mata yang melihat dan tak berpaling, tangan yang membantu orang lain dan menyembuhkan luka mereka, bahu yang memikul beban mereka yang membutuhkan.

 

Dalam Bacaan Pertama hari ini, kita mendengar perkataan Musa, yang memberitahu kita bahwa menaati perintah-perintah Tuhan serta mengarahkan pikiran dan hati kita kepada-Nya tidak berarti memperbanyak tindakan lahiriah, melainkan melihat ke dalam hati kita dan menemukan bahwa di sanalah Allah telah menuliskan hukum kasih-Nya. Jika kita menyadari jauh di lubuk hati bahwa Kristus, Orang Samaria yang murah hati, mengasihi kita dan peduli kepada kita, kita juga akan tergerak untuk mengasihi dengan cara yang sama dan menjadi penuh belas kasihan seperti Dia. Setelah kita disembuhkan dan dikasihi oleh Kristus, kita juga dapat menjadi saksi kasih dan belas kasihan-Nya di dunia kita.

 

Saudara-saudari, hari ini kita membutuhkan "revolusi kasih" ini. Hari ini, jalan yang membentang dari Yerusalem ke Yerikho adalah jalan yang dilalui oleh semua orang yang jatuh ke dalam dosa, penderitaan, dan kemiskinan. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang terbebani oleh masalah atau terluka oleh kehidupan. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang jatuh, kehilangan arah, dan mencapai titik terendah. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang dilucuti, dirampok, dan dijarah, korban sistem politik tirani, ekonomi yang memaksa mereka jatuh miskin, dan perang yang menghancurkan impian dan kehidupan mereka.

 

Apa yang kita lakukan? Apakah kita hanya melihat dan berjalan melewati, atau apakah kita membuka hati kita kepada orang lain, seperti orang Samaria itu? Apakah kita terkadang hanya puas melakukan tugas kita, atau menganggap sebagai sesama kita hanya mereka yang merupakan bagian dari kelompok kita, yang berpikir seperti kita, yang memiliki kebangsaan atau agama yang sama dengan kita? Yesus menjungkirbalikkan cara berpikir ini dengan menyajikan dirinya kepada kita sebagai seorang Samaria, orang asing atau orang yang tidak seagama, yang bertindak sebagai sesama bagi orang yang terluka itu. Dan Ia meminta kita melakukan hal yang sama.

 

Orang Samaria, tulis Benediktus XVI, “tidak bertanya sejauh mana kewajiban solidaritasnya. Ia juga tidak bertanya tentang jasa yang dibutuhkan untuk kehidupan kekal. Sesuatu yang lain terjadi: hatinya terluka... Jika diajukan pertanyaan ‘Apakah orang Samaria juga sesamaku?’ kepadanya, ia pasti menjawab tidak, mengingat situasi saat itu. Namun Yesus kini membalikkan seluruh masalah: orang Samaria, orang asing itu, menjadikan dirinya sesama dan menunjukkan kepada saya bahwa saya harus belajar menjadi sesama di lubuk hati dan bahwa saya sudah memiliki jawabannya dalam diri saya. Saya harus menjadi seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, seseorang yang hatinya terbuka diguncang oleh kebutuhan orang lain” (Yesus dari Nazaret, 197).

 

Memandang tanpa berjalan, menghentikan laju kehidupan kita yang sangat menggelisahkan, membiarkan kehidupan orang lain, siapa pun mereka, dengan kebutuhan dan masalah mereka, menyentuh hati kita. Itulah yang menjadikan kita sesama bagi satu sama lain, yang melahirkan persaudaraan sejati dan meruntuhkan tembok serta penghalang. Pada akhirnya, kasih menang, dan terbukti lebih berkuasa daripada kejahatan dan maut.

 

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita memandang Kristus, Orang Samaria yang murah hati. Marilah kita mendengarkan kembali suara-Nya hari ini. Karena Ia berkata kepada kita masing-masing, "Pergilah dan perbuatlah demikian" (ayat 37).

 

[Kata-kata Bapa Suci di akhir Misa Kudus]

 

Pada saat ini, saya ingin mempersembahkan sebuah hadiah kecil kepada pastor paroki kepausan ini, untuk mengenang perayaan kita hari ini. Patena dan sibori yang kita gunakan untuk merayakan Ekaristi adalah sarana persekutuan, dan keduanya dapat menjadi undangan bagi kita semua untuk hidup dalam persekutuan, dan sungguh-sungguh mengembangkan persaudaraan ini, persekutuan yang kita hidupi dalam Yesus Kristus ini.

_____________________

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juli 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PEDULI CIPTAAN DI BORGO LAUDATO SI’, CASTEL GANDOLFO 9 Juli 2025

Bacaan Ekaristi : Kol. 1:15-20, Mzm. 103:1-2a.5-6.10.12.24.35c; Mat 8:23-27.

 

Pada hari yang indah ini, pertama-tama saya ingin mengajak semua orang, dimulai dari diri saya sendiri, untuk mengalami apa yang sedang kita rayakan dalam keindahan sebuah katedral yang dapat kita sebut "alami", dengan berbagai tanaman dan begitu banyak unsur ciptaan yang telah mengumpulkan kita di sini untuk merayakan Ekaristi, yang berarti mengucap syukur kepada Tuhan.

 

Ada berbagai alasan untuk Ekaristi mengucap syukur kepada Tuhan ini: perayaan ini dapat menjadi rumusan baru pertama untuk Misa Kudus peduli ciptaan, yang juga merupakan hasil kerja beberapa dikasteri Vatikan.

 

Secara pribadi, saya mengucapkan terima kasih kepada banyak orang yang hadir di sini yang telah bekerja dalam hal ini untuk liturgi. Sebagaimana kamu ketahui, liturgi melambangkan kehidupan, dan kamu adalah kehidupan Pusat Laudato Si’ ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepadamu pada saat ini, pada kesempatan ini, atas semua yang kamu lakukan, mengikuti inspirasi yang indah dari Paus Fransiskus, yang menyumbangkan ruang kecil ini, taman-taman ini, untuk melanjutkan misi yang sangat penting yang, sepuluh tahun setelah penerbitan Laudato Si’, terus mengingatkan kita akan perlunya peduli ciptaan, rumah kita bersama.

 

Di sini kita berada seperti di gereja-gereja kuno pada abad-abad awal, di mana seseorang harus melewati kolam pembaptisan untuk memasuki gereja. Saya tidak ingin dibaptis dalam air ini ... tetapi simbol melewati air, dibersihkan dari dosa-dosa dan kelemahan kita untuk memasuki misteri agung Gereja, adalah sesuatu yang juga kita jalani hari ini. Pada awal Misa, kita berdoa untuk pertobatan, pertobatan kita. Saya ingin menambahkan bahwa kita harus berdoa untuk pertobatan begitu banyak orang, di dalam dan di luar Gereja, yang masih belum menyadari kemendesakan untuk merawat rumah kita bersama.

 

Begitu banyak bencana alam yang masih kita saksikan di seluruh dunia, hampir setiap hari, di begitu banyak tempat dan negara, sebagian disebabkan oleh gaya hidup dan perilaku manusia yang berlebihan. Itulah sebabnya kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sedang mengalami pertobatan ini. Betapa kita membutuhkannya!

 

Karena itu, saya juga telah mempersiapkan homili, yang akan saya bagikan sekarang. Saya mohon kamu sedikit bersabar: homili ini mengandung beberapa unsur yang sungguh membantu kita untuk terus merenungkan pagi ini, berbagi momen yang akrab dan tenteram ini, di tengah dunia yang sedang terbakar, baik akibat pemanasan global maupun pertikaian bersenjata. Hal ini membuat pesan Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si’ dan Fratelli Tutti semakin relevan. Kita dapat mengenali diri kita dalam Bacaan Injil yang telah kita dengar ini, merenungkan ketakutan para murid di tengah angin ribut, ketakutan yang juga dialami oleh sebagian besar umat manusia. Namun, di hati Tahun Yubileum, kita mengakui— dan kita dapat mengulanginya berkali-kali — ada pengharapan! Kita telah menemukannya di dalam Yesus. Ia terus meredakan angin ribut. Kuasa-Nya tidak menghancurkan, tetapi menciptakan; Ia tidak menghancurkan, tetapi memberi kehidupan baru. Dan kita pun bertanya pada diri kita sendiri: "Orang seperti apa Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mat 8:27).

 

Keajaiban yang terungkap dalam pertanyaan ini adalah langkah pertama yang menuntun kita melampaui rasa takut. Yesus hidup dan berdoa di sekitar Danau Galilea. Di sana, Ia memanggil murid-murid-Nya yang pertama ke tempat-tempat kehidupan dan pekerjaan mereka. Perumpamaan yang Ia gunakan untuk mewartakan Kerajaan Allah mengungkapkan hubungan yang mendalam dengan tanah itu, dengan air itu, dengan irama musim, dan dengan kehidupan ciptaan.

 

Penginjil Matius menggambarkan angin ribut sebagai "gempa bumi" (ia menggunakan kata seismós), istilah yang sama yang akan ia gunakan untuk gempa bumi pada saat kematian Yesus dan pada fajar kebangkitan-Nya. Di atas pergolakan ini, Kristus bangkit, berdiri: di sini Bacaan Injil sudah menunjukkan kepada kita Tuhan yang bangkit, hadir dalam sejarah kita yang penuh gejolak. Hardikan yang disampaikan Yesus kepada angin dan danau menunjukkan kuasa hidup dan keselamatan-Nya, yang menguasai kekuatan-kekuatan itu yang di hadapannya ciptaan merasa kehilangan.

 

Marilah kita bertanya lagi kepada diri kita sendiri: "Orang seperti apa Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mat 8:27). Madah pujian dari Surat kepada Jemaat di Kolose yang telah kita dengar tampaknya menjawab pertanyaan ini: "Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama daripada segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi" (Kol 1:15-16). Para murid, pada hari itu, di tengah badai, belum dapat mengakui pengetahuan tentang Yesus ini. Hari ini kita, dalam iman yang telah kita terima, dapat melanjutkan: "Dialah kepala tubuh, yaitu gereja. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu" (ayat 18). Ini adalah kata-kata yang mengikat kita sepanjang sejarah, yang menjadikan kita tubuh yang hidup, yang kepalanya adalah Kristus. Misi kita untuk melindungi ciptaan, mendatangkan kedamaian dan rekonsiliasi, adalah misi-Nya: misi yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Kita mendengar jeritan bumi, kita mendengar jeritan orang miskin, karena jeritan itu telah mencapai hati Allah. Kemarahan kita adalah kemarahan-Nya, pekerjaan kita adalah pekerjaan-Nya.

 

Nyanyian pemazmur memberi inspirasi kepada kita: "Suara Tuhan di atas air, Allah yang mulia mengguntur, Tuhan di atas air yang besar. Suara Tuhan penuh kekuatan, suara Tuhan penuh semarak" (Mzm 29:3-4). Suara ini membuat Gereja berkomitmen untuk bernubuat, bahkan saat ia menuntut keberanian untuk menentang kekuatan menghancurkan para penguasa dunia ini. Perjanjian yang tidak dapat dihancurkan antara Sang Pencipta dan ciptaan menggerakkan pikiran dan upaya kita untuk mengubah kejahatan menjadi kebaikan, ketidakadilan menjadi keadilan, dan keserakahan menjadi persekutuan.

 

Dengan kasih yang tak terbatas, Allah yang esa menciptakan segala sesuatu, memberi kita kehidupan: inilah sebabnya Santo Fransiskus dari Asisi menyebut ciptaan sebagai saudara, saudari, dan ibu. Hanya tatapan kontemplatif yang dapat mengubah hubungan kita dengan ciptaan dan menyelamatkan kita dari krisis ekologis, yang disebabkan oleh putusnya hubungan dengan Allah, sesama, dan bumi, yang disebabkan oleh dosa (bdk. Paus Fransiskus, Laudato Si’, 66).

 

Saudara-saudari terkasih, Borgo Laudato Si’, tempat kiita berada, bertujuan untuk dijadikan, sesuai intuisi Paus Fransiskus, sebuah "laboratorium" tempat kita dapat menghidupi harmoni dengan ciptaan yang bagi kita merupakan penyembuhan dan rekonsiliasi, mengembangkan cara-cara baru dan efektif untuk menjaga alam yang dipercayakan kepada kita. Kepadamu, yang dengan penuh dedikasi mendedikasikan diri untuk mewujudkan proyek ini, saya memastikan doa dan dorongan saya.

 

Ekaristi yang sedang kita rayakan memberi makna dan menopang pekerjaan kita. Sebagaiman ditulis Paus Fransiskus, “Dalam Ekaristi, dunia ciptaan menemukan keagungannya yang terbesar. Anugerah yang biasanya menyatakan diri secara konkret, diungkapkan secara luar biasa ketika Allah yang telah menjadi manusia, menjadikan diri-Nya santapan bagi makhluk ciptaan-Nya. Tuhan, pada puncak misteri Inkarnasi, hendak menggapai lubuk hati kita melalui sepotong materi; bukan dari atas tapi dari dalam, sehingga kita dapat menjumpai-Nya dalam dunia kita sendiri.” (Paus Fransiskus, Laudato Si’, 236). Dari tempat ini saya ingin mengakhiri refleksi ini, memercayakan kepadamu kata-kata yang dengannya Santo Agustinus, di halaman terakhir "Pengakuan-pengakuan"-nya, mengaitkan segenap ciptaan dan manusia dalam pujian kosmis: “Karya-karya-Mu memuji Engkau sehingga kami dapat menngasihi-Mu, dan kami mengasihi-Mu sehingga karya-karya-Mu memuji Engkau” (Pengakuan-pengakuan, XIII, 33, 48). Semoga ini menjadi harmoni yang kita sebarkan ke seluruh dunia.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Juli 2025)