Bacaan Ekaristi : Kol. 1:15-20, Mzm. 103:1-2a.5-6.10.12.24.35c; Mat 8:23-27.
Pada
hari yang indah ini, pertama-tama saya ingin mengajak semua orang, dimulai dari
diri saya sendiri, untuk mengalami apa yang sedang kita rayakan dalam keindahan
sebuah katedral yang dapat kita sebut "alami", dengan berbagai
tanaman dan begitu banyak unsur ciptaan yang telah mengumpulkan kita di sini
untuk merayakan Ekaristi, yang berarti mengucap syukur kepada Tuhan.
Ada
berbagai alasan untuk Ekaristi mengucap syukur kepada Tuhan ini: perayaan ini
dapat menjadi rumusan baru pertama untuk Misa Kudus peduli ciptaan, yang juga
merupakan hasil kerja beberapa dikasteri Vatikan.
Secara
pribadi, saya mengucapkan terima kasih kepada banyak orang yang hadir di sini yang
telah bekerja dalam hal ini untuk liturgi. Sebagaimana kamu ketahui, liturgi
melambangkan kehidupan, dan kamu adalah kehidupan Pusat Laudato Si’ ini. Saya
ingin mengucapkan terima kasih kepadamu pada saat ini, pada kesempatan ini,
atas semua yang kamu lakukan, mengikuti inspirasi yang indah dari Paus
Fransiskus, yang menyumbangkan ruang kecil ini, taman-taman ini, untuk
melanjutkan misi yang sangat penting yang, sepuluh tahun setelah penerbitan
Laudato Si’, terus mengingatkan kita akan perlunya peduli ciptaan, rumah kita
bersama.
Di
sini kita berada seperti di gereja-gereja kuno pada abad-abad awal, di mana
seseorang harus melewati kolam pembaptisan untuk memasuki gereja. Saya tidak
ingin dibaptis dalam air ini ... tetapi simbol melewati air, dibersihkan dari
dosa-dosa dan kelemahan kita untuk memasuki misteri agung Gereja, adalah
sesuatu yang juga kita jalani hari ini. Pada awal Misa, kita berdoa untuk
pertobatan, pertobatan kita. Saya ingin menambahkan bahwa kita harus berdoa
untuk pertobatan begitu banyak orang, di dalam dan di luar Gereja, yang masih
belum menyadari kemendesakan untuk merawat rumah kita bersama.
Begitu
banyak bencana alam yang masih kita saksikan di seluruh dunia, hampir setiap
hari, di begitu banyak tempat dan negara, sebagian disebabkan oleh gaya hidup
dan perilaku manusia yang berlebihan. Itulah sebabnya kita harus bertanya pada
diri sendiri, apakah kita sedang mengalami pertobatan ini. Betapa kita
membutuhkannya!
Karena
itu, saya juga telah mempersiapkan homili, yang akan saya bagikan sekarang.
Saya mohon kamu sedikit bersabar: homili ini mengandung beberapa unsur yang
sungguh membantu kita untuk terus merenungkan pagi ini, berbagi momen yang
akrab dan tenteram ini, di tengah dunia yang sedang terbakar, baik akibat
pemanasan global maupun pertikaian bersenjata. Hal ini membuat pesan Paus
Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si’ dan Fratelli Tutti semakin relevan.
Kita dapat mengenali diri kita dalam Bacaan Injil yang telah kita dengar ini,
merenungkan ketakutan para murid di tengah angin ribut, ketakutan yang juga
dialami oleh sebagian besar umat manusia. Namun, di hati Tahun Yubileum, kita
mengakui— dan kita dapat mengulanginya berkali-kali — ada pengharapan! Kita
telah menemukannya di dalam Yesus. Ia terus meredakan angin ribut. Kuasa-Nya
tidak menghancurkan, tetapi menciptakan; Ia tidak menghancurkan, tetapi memberi
kehidupan baru. Dan kita pun bertanya pada diri kita sendiri: "Orang
seperti apa Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mat
8:27).
Keajaiban
yang terungkap dalam pertanyaan ini adalah langkah pertama yang menuntun kita
melampaui rasa takut. Yesus hidup dan berdoa di sekitar Danau Galilea. Di sana,
Ia memanggil murid-murid-Nya yang pertama ke tempat-tempat kehidupan dan
pekerjaan mereka. Perumpamaan yang Ia gunakan untuk mewartakan Kerajaan Allah
mengungkapkan hubungan yang mendalam dengan tanah itu, dengan air itu, dengan
irama musim, dan dengan kehidupan ciptaan.
Penginjil
Matius menggambarkan angin ribut sebagai "gempa bumi" (ia menggunakan
kata seismós), istilah yang sama yang
akan ia gunakan untuk gempa bumi pada saat kematian Yesus dan pada fajar
kebangkitan-Nya. Di atas pergolakan ini, Kristus bangkit, berdiri: di sini
Bacaan Injil sudah menunjukkan kepada kita Tuhan yang bangkit, hadir dalam sejarah
kita yang penuh gejolak. Hardikan yang disampaikan Yesus kepada angin dan danau
menunjukkan kuasa hidup dan keselamatan-Nya, yang menguasai kekuatan-kekuatan
itu yang di hadapannya ciptaan merasa kehilangan.
Marilah
kita bertanya lagi kepada diri kita sendiri: "Orang seperti apa Dia ini,
sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mat 8:27). Madah pujian
dari Surat kepada Jemaat di Kolose yang telah kita dengar tampaknya menjawab
pertanyaan ini: "Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung,
lebih utama daripada segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah
diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi" (Kol
1:15-16). Para murid, pada hari itu, di tengah badai, belum dapat mengakui
pengetahuan tentang Yesus ini. Hari ini kita, dalam iman yang telah kita
terima, dapat melanjutkan: "Dialah kepala tubuh, yaitu gereja. Dialah yang
sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih
utama dalam segala sesuatu" (ayat 18). Ini adalah kata-kata yang mengikat
kita sepanjang sejarah, yang menjadikan kita tubuh yang hidup, yang kepalanya
adalah Kristus. Misi kita untuk melindungi ciptaan, mendatangkan kedamaian dan
rekonsiliasi, adalah misi-Nya: misi yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita.
Kita mendengar jeritan bumi, kita mendengar jeritan orang miskin, karena
jeritan itu telah mencapai hati Allah. Kemarahan kita adalah kemarahan-Nya,
pekerjaan kita adalah pekerjaan-Nya.
Nyanyian
pemazmur memberi inspirasi kepada kita: "Suara Tuhan di atas air, Allah
yang mulia mengguntur, Tuhan di atas air yang besar. Suara Tuhan penuh
kekuatan, suara Tuhan penuh semarak" (Mzm 29:3-4). Suara ini membuat
Gereja berkomitmen untuk bernubuat, bahkan saat ia menuntut keberanian untuk
menentang kekuatan menghancurkan para penguasa dunia ini. Perjanjian yang tidak
dapat dihancurkan antara Sang Pencipta dan ciptaan menggerakkan pikiran dan
upaya kita untuk mengubah kejahatan menjadi kebaikan, ketidakadilan menjadi
keadilan, dan keserakahan menjadi persekutuan.
Dengan
kasih yang tak terbatas, Allah yang esa menciptakan segala sesuatu, memberi
kita kehidupan: inilah sebabnya Santo Fransiskus dari Asisi menyebut ciptaan
sebagai saudara, saudari, dan ibu. Hanya tatapan kontemplatif yang dapat
mengubah hubungan kita dengan ciptaan dan menyelamatkan kita dari krisis
ekologis, yang disebabkan oleh putusnya hubungan dengan Allah, sesama, dan
bumi, yang disebabkan oleh dosa (bdk. Paus Fransiskus, Laudato Si’, 66).
Saudara-saudari
terkasih, Borgo Laudato Si’, tempat kiita berada, bertujuan untuk dijadikan,
sesuai intuisi Paus Fransiskus, sebuah "laboratorium" tempat kita
dapat menghidupi harmoni dengan ciptaan yang bagi kita merupakan penyembuhan
dan rekonsiliasi, mengembangkan cara-cara baru dan efektif untuk menjaga alam
yang dipercayakan kepada kita. Kepadamu, yang dengan penuh dedikasi
mendedikasikan diri untuk mewujudkan proyek ini, saya memastikan doa dan
dorongan saya.
Ekaristi
yang sedang kita rayakan memberi makna dan menopang pekerjaan kita. Sebagaiman
ditulis Paus Fransiskus, “Dalam Ekaristi, dunia ciptaan menemukan keagungannya
yang terbesar. Anugerah yang biasanya menyatakan diri secara konkret,
diungkapkan secara luar biasa ketika Allah yang telah menjadi manusia,
menjadikan diri-Nya santapan bagi makhluk ciptaan-Nya. Tuhan, pada puncak
misteri Inkarnasi, hendak menggapai lubuk hati kita melalui sepotong materi;
bukan dari atas tapi dari dalam, sehingga kita dapat menjumpai-Nya dalam dunia
kita sendiri.” (Paus Fransiskus, Laudato Si’, 236). Dari tempat ini saya ingin
mengakhiri refleksi ini, memercayakan kepadamu kata-kata yang dengannya Santo
Agustinus, di halaman terakhir "Pengakuan-pengakuan"-nya, mengaitkan
segenap ciptaan dan manusia dalam pujian kosmis: “Karya-karya-Mu memuji Engkau
sehingga kami dapat menngasihi-Mu, dan kami mengasihi-Mu sehingga
karya-karya-Mu memuji Engkau” (Pengakuan-pengakuan, XIII, 33, 48). Semoga ini menjadi harmoni
yang kita sebarkan ke seluruh dunia.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 10 Juli 2025)