Bacaan
Ekaristi : Why. 7:2-4,9-14; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; 1Yoh. 3:1-3; Mat. 5:1-12a.
Pada
Hari Raya Semua Orang Kudus ini, mengikutsertakan Santo John Henry Newman dalam
jajaran Pujangga Gereja, dan, pada saat yang sama, pada kesempatan Yubileum
Dunia Pendidikan, mengangkatnya, bersama Santo Thomas Aquino, sebagai pelindung
misi pendidikan Gereja, sungguh merupakan sukacita yang besar. Kedudukan
spiritual dan budaya Newman yang mengesankan pasti akan menjadi inspirasi bagi
generasi-generasi baru yang hatinya haus akan ketakterhinggaan, dan yang,
melalui penelitian dan pengetahuan, bersedia menempuh perjalanan yang, seperti
kata nenek moyang, membawa kita per aspera ad astra, melewati kesulitan menuju
bintang-bintang.
Kisah
hidup para kudus mengajarkan kita bahwa kita dapat hidup penuh semangat di
tengah kerumitan masa kini, tanpa mengabaikan mandat apostolik untuk
"bercahaya seperti bintang-bintang di dunia" (Flp. 2:15). Pada
kesempatan hari raya ini, saya ingin menyampaikan kepada para guru dan lembaga
pendidikan: "Hari ini bercahayalah seperti bintang-bintang di dunia"
melalui komitmen sejatimu untuk mencari kebenaran bersama dan membagikannya
dengan kemurahan hati dan integritas. Sungguh, kamu melakukannya melalui
pelayananmu kepada kaum muda, terutama kaum miskin, dan kesaksian harianmu
tentang fakta bahwa "kasih Kristiani bersifat profetis: ia menghasilkan
mukjizat" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 120).
Yubileum
adalah peziarahan pengharapan, dan kamu semua, di bidang pendidikan yang luar
biasa, tahu betul betapa pengharapan merupakan benih yang tak tergantikan!
Ketika saya melakukan refleksi tentang sekolah dan universitas, saya
menganggapnya sebagai laboratorium nubuat, tempat pengharapan dihayati, dan
terus-menerus dibahas serta didorong.
Inilah
pula makna Sabda Bahagia yang diwartakan dalam Bacaan Injil hari ini. Sabda
Bahagia membawa penafsiran baru atas kenyataan. Sabda Bahagia merupakan jalan
sekaligus pesan Yesus, Sang Guru. Sekilas, tampaknya mustahil untuk menyatakan berbahagia
orang yang miskin, atau orang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang
dianiaya karena kebenaran, atau orang yang membawa damai. Namun, apa yang
tampaknya tak terbayangkan dalam pemikiran dunia, justru dipenuhi makna dan
terang ketika dikaitkan dengan Kerajaan Allah. Dalam diri para kudus, kita
melihat kerajaan ini mendekat dan hadir di antara kita. Santo Matius dengan
tepat menyajikan Sabda Bahagia sebagai sebuah ajaran, menggambarkan Yesus
sebagai seorang Guru, yang menyampaikan sudut pandang baru tentang segala
sesuatu, yang tercermin dalam perjalanan-Nya sendiri. Namun, Sabda Bahagia
bukan sekadar ajaran lain; melainkan ajaran yang par excellence. Dengan cara yang sama, Tuhan Yesus bukan sekadar
salah satu dari sekian banyak guru, Ia adalah Sang Guru par excellence. Lebih dari itu, Ia adalah Pendidik par excellence. Kita adalah
murid-murid-Nya dan berada di "sekolah"-Nya. Kita belajar bagaimana
menemukan dalam hidup-Nya, khususnya dalam perjalanan yang telah Ia tempuh,
sebuah cakrawala makna yang mampu menerangi segala bentuk pengetahuan. Semoga
sekolah dan universitas kita senantiasa menjadi tempat mendengarkan Injil dan
mengamalkannya!
Menanggapi
tantangan masa kini terkadang terasa di luar kemampuan kita, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Jangan biarkan pesimisme mengalahkan kita! Saya
teringat apa yang ditegaskan oleh pendahulu saya tercinta, Paus Fransiskus,
dalam Pidatonya di Sidang Pleno Pertama Departemen Kebudayaan dan Pendidikan:
bahwa kita harus bekerja sama untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan
nihilisme yang melingkupi, yang mungkin merupakan penyakit paling berbahaya
dalam budaya masa kini, karena mengancam untuk "membatalkan"
pengharapan.[1]
Rujukan terhadap kegelapan yang melingkupi kita ini menggemakan salah satu teks
Santo John Henry Newman yang paling terkenal, madah "Tuntunlah, Terang
yang Baik." Dalam doa yang indah itu, kita menyadari bahwa kita jauh dari
rumah, langkah kita goyah, kita tidak dapat memahami dengan jelas jalan di
depan. Namun, semua ini tidak menghalangi kita, karena kita telah menemukan
Penuntun kita: "Tuntunlah, Terang yang baik, di tengah kegelapan yang
melingkupi, tuntunlah aku;" “Tuntunlah, Terang yang baik, malam ini gelap,
dan aku jauh dari rumah, tuntunlah aku.”
Tugas
pendidikan justru menawarkan Terang yang baik ini kepada orang-orang yang
mungkin akan tetap terpenjara oleh bayang-bayang pesimisme dan ketakutan yang
begitu berbahaya. Karena alasan ini, saya ingin mengatakan kepadamu: marilah
kita melucuti alasan-alasan palsu untuk menyerah dan tidak berdaya, dan marilah
kita berbagi alasan-alasan besar untuk berharap di dunia dewasa ini. Marilah
kita merenungkan dan menunjukkan kepada orang lain "rasi" yang
memancarkan terang dan tuntunan di masa sekarang ini, yang digelapkan oleh
begitu banyak ketidakadilan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, saya
mendorongmu untuk memastikan sekolah, universitas, dan setiap konteks
pendidikan, bahkan yang informal atau berbasis jalanan, senantiasa menjadi
pintu gerbang menuju peradaban dialog dan perdamaian. Melalui hidupmu,
perkenankanlah "kumpulan besar orang banyak" bersinar, yang
dibicarakan Kitab Wahyu dalam liturgi hari ini, dan yang "tidak dapat
dihitung jumlahnya, dari segala bangsa, suku, umat, dan bahasa," dan yang
berdiri "di hadapan Anak Domba" (7:9).
Dalam
teks biblis, salah seorang dari antara tua-tua yang mengamati kumpulan besar
orang banyak bertanya, "Siapakah mereka itu ... dan dari manakah mereka
datang" (Why 7:13). Dalam hal ini, di bidang pendidikan pun, pandangan
kristiani tertuju pada mereka yang telah "keluar dari kesusahan yang
besar" (ayat 14) dan mengenali di dalam diri mereka wajah begitu banyak
saudara dan saudari dari setiap bahasa dan budaya yang, melalui pintu sempit
Yesus, telah masuk ke dalam kepenuhan hidup. Maka, sekali lagi, kita harus
bertanya pada diri kita sendiri: "Apakah ini berarti bahwa mereka yang
kurang dikaruniai bukanlah manusia? Atau bahwa mereka yang lemah tidak memiliki
martabat yang sama dengan kita? Apakah mereka yang lahir dengan lebih sedikit kesempatan
memiliki nilai yang lebih rendah sebagai manusia? Haruskah mereka membatasi
diri hanya untuk bertahan hidup? Nilai masyarakat kita, dan masa depan kita
sendiri, bergantung pada jawaban yang kita berikan atas pertanyaan-pertanyaan
ini" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 95). Kita juga dapat mengatakan bahwa
nilai injili dari pendidikan kita juga bergantung pada jawaban yang kita
berikan.
Warisan
abadi Santo John Henry Newman mencakup beberapa kontribusi yang sangat penting
bagi teori dan praktik pendidikan. Ia menulis, “Allah telah menciptakanku untuk
melakukan pelayanan tertentu kepada-Nya; Ia telah mempercayakan beberapa
pekerjaan kepadaku yang belum Ia percayakan kepada orang lain. Aku memiliki
misi — aku mungkin tidak akan pernah mengetahuinya dalam hidup ini, tetapi aku
akan diberitahu di kehidupan selanjutnya” (Meditasi dan Devosi, III, I, 2).
Dalam kata-kata ini, kita menemukan misteri martabat setiap manusia yang
diungkapkan dengan indah, dan juga beragam karunia yang dilimpahkan Allah.
Hidup
bersinar terang bukan karena kita kaya, cantik, atau berkuasa. Sebaliknya,
hidup bersinar ketika kita menemukan dalam diri kita kebenaran bahwa kita
dipanggil oleh Allah, memiliki panggilan, memiliki misi, bahwa hidup kita
melayani sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Setiap makhluk
memiliki peran untuk dimainkan. Kontribusi yang dapat diberikan setiap orang
sangatlah berharga, dan tugas komunitas pendidikan adalah mendorong dan
menghargai kontribusi tersebut. Janganlah kita lupa bahwa di jantung perjalanan
pendidikan, kita tidak menemukan individu-individu yang abstrak, melainkan
manusia nyata, terutama mereka yang tampaknya berkinerja buruk menurut
parameter ekonomi yang mengecualikan atau bahkan membunuh mereka. Kita
dipanggil untuk membentuk manusia, agar mereka dapat bercahaya seperti bintang
dalam martabat mereka yang utuh.
Maka,
dapat kita mengatakan bahwa dari sudut pandang kristiani, pendidikan membantu
setiap orang menjadi orang kudus. Tidak ada yang kurang dari itu. Paus
Benediktus XVI, dalam perjalanan apostoliknya ke Britania Raya pada bulan
September 2010, di mana ia membeatifikasi John Henry Newman, mengundang kaum
muda untuk menjadi orang kudus dengan kata-kata ini: “Apa yang paling
diinginkan Allah bagi kamu masing-masing adalah agar kamu menjadi kudus. Ia
mengasihimu jauh melebihi yang dapat kamu bayangkan.”[2]
Inilah panggilan universal menuju kekudusan yang merupakan bagian penting pesan
Konsili Vatikan II (bdk. Lumen Gentium, Bab V). Dan kekudusan ditujukan bagi
setiap orang, tanpa terkecuali, sebagai perjalanan pribadi dan komunal yang
ditandai oleh Sabda Bahagia.
Saya
berdoa agar pendidikan Katolik dapat membantu setiap orang menemukan panggilan
mereka menuju kekudusan. Santo Agustinus, yang sangat dikagumi oleh Santo John
Henry Newman, pernah berkata bahwa kita adalah sesama pelajar yang memiliki
satu Guru, yang sekolahnya ada di bumi dan kursinya ada di surga (bdk. Khotbah
292,1).
____
(Peter Suriadi - Bogor,
1 November 2025)

Print this page