Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN I DI VOLKSWAGEN ARENA, ISTANBUL, TURKI 29 November 2025

Bacaan Ekaristi : Yes. 2:1-5; Mzm. 122:1-2,4-5,6-7,8-9; Rm. 13:11-14a; Mat. 24:37-44.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Kita merayakan Misa ini menjelang hari di mana Gereja memperingati Santo Andreas, rasul dan pelindung negeri ini. Bersamaan dengan itu, kita memulai Masa Adven, masa mempersiapkan diri untuk menghayati kembali misteri Yesus, Putra Allah, yang "dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa" (Syahadat Nicea-Konstantinopel), sebagaimana dideklarasikan secara khidmat 1.700 tahun yang lalu oleh para Bapa Konsili Nicea.

 

Dalam konteks ini, Bacaan Pertama (Yes 2:1-5) Misa hari ini berasal dari salah satu bagian terindah dalam kitab Nabi Yesaya, di mana ajakan bergema, memanggil semua orang untuk naik ke gunung Tuhan (bdk. ayat 3), tempat terang dan damai. Oleh karena itu, saya ingin merenungkan bersama apa artinya menjadi bagian dari Gereja dengan merefleksikan beberapa gambaran yang disajikan dalam teks ini.

 

Gambaran pertama adalah gunung yang "akan tegak melampaui puncak gunung-gunung" (bdk. Yes 2:2). Gambaran ini mengingatkan kita bahwa buah dari tindakan Allah dalam hidup kita adalah anugerah bukan hanya bagi kita, tetapi bagi semua orang. Sion adalah kota yang terletak di atas gunung dan simbol komunitas yang terlahir kembali dalam kesetiaan. Keindahannya adalah mercusuar cahaya bagi orang-orang dari segala tempat, dan berfungsi sebagai pengingat bahwa sukacita kebaikan itu menjangkiti. Kehidupan banyak orang kudus menegaskan hal ini. Santo Petrus bertemu Yesus berkat antusiasme Andreas, saudaranya (bdk. Yoh 1:40-42), yang dituntun kepada Tuhan, bersama Rasul Yohanes, berkat semangat Yohanes Pembaptis. Santo Agustinus, berabad-abad kemudian, datang kepada Kristus berkat khotbah Santo Ambrosius yang bersemangat dan masih banyak contoh serupa.

 

Di sini kita menemukan ajakan untuk memperbarui kekuatan kesaksian iman kita. Santo Yohanes Krisostomus, seorang gembala agung Gereja ini, berbicara tentang daya tarik kekudusan sebagai tanda yang jauh lebih mengesankan ketimbang banyak mukjizat. Ia berkata, “Mukjizat terjadi dan berlalu, tetapi kehidupan Kristiani tetap ada dan terus-menerus membangun” (Ulasan Injil Matius, 43, 5). Sebagai penutup, ia menasihati, “Karena itu marilah kita menjaga diri kita, agar kita juga dapat memberi manfaat kepada orang lain” (idem). Sahabat-sahabat terkasih, jika kita sungguh ingin membantu orang-orang yang kita jumpai, marilah kita “berjaga-jaga”, sebagaimana dianjurkan Bacaan Injil (bdk. Mat 24:42) dengan membina iman kita melalui doa dan sakramen-sakramen, mengamalkannya secara konsisten dalam kasih, dan menanggalkan — sebagaimana dikatakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua — perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang (bdk. Rm 13:12). Tuhan, yang kita nanti-nantikan dalam kemuliaan di akhir zaman, datang setiap hari untuk mengetuk pintu kita. Marilah kita siap sedia menyambut kedatangan-Nya (bdk. Mat 24:44), dengan sungguh-sungguh berkomitmen untuk menjalani hidup yang baik, mengikuti teladan banyak orang kudus, orang-orang, yang telah tinggal di negeri ini sepanjang masa.

 

Gambaran kedua yang kita peroleh dari Nabi Yesaya adalah dunia yang damai. Ia menggambarkannya demikian: "Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang melawan bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belajar perang" (Yes 2:4). Betapa mendesaknya panggilan ini bagi kita saat ini! Betapa besar kebutuhan akan perdamaian, kesatuan, dan rekonsiliasi di sekitar kita, di dalam diri kita, dan di antara kita! Apa kontribusi kita sebagai tanggapannya?

 

Untuk lebih memahami hal ini, marilah kita lihat logo perjalanan ini, di mana salah satu gambar yang dipilih adalah sebuah jembatan. Logo perjalanan ini juga dapat mengingatkan kita pada jembatan yang terkenal di kota ini, yang melintasi Selat Bosporus dan menyatukan dua benua: Asia dan Eropa. Seiring berjalannya waktu, dua penyeberangan lainnya telah dibangun, sehingga kini terdapat tiga titik penghubung antara kedua benua. Ketiga struktur komunikasi, pertukaran, dan perjumpaan yang luar biasa ini sungguh mengesankan, namun sangat kecil dan rapuh dibandingkan dengan luasnya wilayah yang dihubungkan.

 

Jembatan tiga dimensi yang membentang melintasi selat ini mengingatkan kita akan pentingnya upaya bersama kita untuk membangun jembatan kesatuan di tiga tingkatan: di dalam komunitas, dalam hubungan ekumenis dengan anggota denominasi kristiani lain, dan dalam perjumpaan kita dengan saudara-saudari yang beragama lain. Memelihara ketiga ikatan ini, memperkuat dan memperluasnya dengan segala cara yang mungkin, merupakan bagian dari panggilan kita untuk menjadi kota yang terletak di atas gunung (bdk. Mat 5:14-16).

 

Ikatan kesatuan pertama yang baru saja saya sebutkan adalah ikatan di dalam Gereja ini, yang di negeri ini terdiri dari empat tradisi liturgi yang berbeda — Latin, Armenia, Kaldean, dan Suriah. Masing-masing tradisi menyumbangkan kekayaan spiritual, historis, dan gerejawi. Ambil bagian dalam perbedaan-perbedaan ini dengan jelas menunjukkan salah satu ciri terindah dari wajah Mempelai Kristus: kekatolikan yang mempersatukan. Kesatuan yang mengikat kita bersama di sekitar altar adalah karunia Allah. Karena itu, kesatuan tersebut kuat dan tak terkalahkan, karena merupakan karya rahmat-Nya. Namun, pada saat yang sama, perwujudan kesatuan ini pada waktunya dipercayakan kepada kita, kepada usaha kita. Karena alasan ini, seperti jembatan di atas Selat Bosporus, kesatuan membutuhkan kepedulian, perhatian, dan "pemeliharaan," agar fondasinya tetap kokoh dan tidak melemah oleh waktu dan perubahan. Dengan mata kita tertuju kepada gunung yang dijanjikan, gambaran Yerusalem surgawi, tujuan dan ibu kita (bdk. Gal 4:26), marilah kita berupaya semaksimal mungkin untuk memelihara dan memperkuat ikatan yang mempersatukan kita, sehingga kita dapat saling memperkaya dan menjadi tanda yang dapat dipercaya di hadapan dunia akan kasih Tuhan yang universal dan tak terbatas.

 

Ikatan kesatuan kedua yang disiratkan oleh liturgi ini adalah ekumenisme. Hal ini juga dibuktikan dengan kehadiran para perwakilan dari pengakuan iman kristiani lainnya, yang saya sambut dengan hangat. Sungguh, iman yang sama kepada Yesus, Juruselamat kita, tidak hanya mempersatukan kita yang berada di dalam Gereja Katolik, tetapi juga semua saudara dan saudari kita yang tergabung dalam Gereja kristiani lainnya. Kita mengalami hal ini kemarin dalam doa kita di İznik. Ini juga merupakan jalan yang telah kita tempuh bersama selama beberapa waktu. Santo Yohanes XXIII, yang terhubung dengan tanah ini melalui ikatan kasih sayang yang mendalam, adalah seorang promotor besar, dan saksi, bagi persekutuan ekumenis. Oleh karena itu, seraya kita memohon dalam kata-kata Paus Yohanes agar “misteri agung kesatuan yang dimohonkan Kristus Yesus kepada Bapa surgawi dengan doa-doa yang sungguh-sungguh pada malam pengorbanan-Nya dapat digenapi” (Wejangan Pembukaan Konsili Ekumenis Vatikan II, 11 Oktober 1962, 8.2), hari ini kita memperbarui “ya” kita untuk kesatuan, “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21), ut unum sint.

 

Ikatan kesatuan ketiga, yang kepadanya sabda Allah memanggil kita, adalah ikatan dengan anggota komunitas nonkristiani. Kita hidup di dunia di mana agama terlalu sering digunakan untuk membenarkan peperangan dan kekejaman. Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Konsili Vatikan II, "hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: Siapa yang tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah (1Yoh 4:8)" (Nostra Aetate, 5). Oleh karena itu, kita ingin berjalan bersama dengan menghargai apa yang mempersatukan kita, meruntuhkan tembok prasangka dan ketidakpercayaan, mengembangkan saling pengertian dan saling menghargai agar dapat menyampaikan pesan pengharapan yang kuat dan ajakan untuk menjadi "orang yang membawa damai" (Mat 5:9).

 

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita jadikan nilai-nilai ini sebagai resolusi kita untuk Masa Adven, dan terlebih lagi untuk kehidupan pribadi dan bersama kita. Kita berjalan seolah-olah di atas jembatan yang menghubungkan bumi dengan surga, jembatan yang telah dibangun Tuhan bagi kita. Marilah kita senantiasa mengarahkan pandangan kita ke surga dan bumi, agar kita dapat mengasihi Allah dan saudara-saudari kita dengan segenap hati sehingga dapat berjalan bersama dan suatu hari nanti menemukan diri kita bersatu di rumah Bapa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 30 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM (MISA YUBILEUM PADUAN SUARA) 23 November 2025

Bacaan Ekaristi : 2Sam. 5:1-3; Mzm. 122:1-2,4-5; Kol. 1:12-20; Luk. 23:35-43.

 

Saudari-saudari terkasih,

 

Dalam Mazmur Tanggapan, kita telah menyanyikan, "Mari kita pergi ke Rumah Tuhan dengan sukacita" (bdk. Mzm. 122). Oleh karena itu, liturgi hari ini mengajak kita untuk berjalan bersama dalam pujian dan sukacita menuju perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus, Raja Semesta Alam, Penguasa yang lemah lembut dan rendah hati, Dia yang adalah awal dan akhir segala sesuatu. Kuasa-Nya adalah kasih, takhta-Nya adalah salib, dan melalui salib Kerajaan-Nya bersinar di atas dunia. "Dari kayu Ia berkuasa" (bdk. Madah Vexilla Regis) sebagai Raja Damai dan Raja Keadilan yang, dalam sengsara-Nya, menyatakan kepada dunia belas kasih Allah yang tak terhingga. Kasih ini juga menjadi inspirasi dan motivasi nyanyianmu.

 

Para anggota paduan suara dan pemusik terkasih, hari ini kamu merayakan Yubileum dan mengucap syukur kepada Tuhan atas karunia dan rahmat yang telah dianugerahkan-Nya kepadamu untuk melayani-Nya dengan mempersembahkan suara dan talentamun demi kemuliaan-Nya dan demi pembangunan rohani saudara-saudarimu (bdk. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 120). Tugasmu adalah mengajak orang lain untuk memuji Allah dan membantu mereka berpartisipasi lebih penuh dalam liturgi melalui nyanyian. Hari ini, kamu sepenuhnya mengungkapkan "iubilum"-mu, kegembiraanmu, yang mengalir dari hati yang meluap dengan sukacita rahmat.

 

Peradaban-peradaban besar telah menganugerahkan kita karunia musik untuk mengungkapkan apa yang kita simpan di lubuk hati dan apa yang tak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata. Musik dapat mengungkapkan seluruh rentang perasaan dan emosi yang muncul dalam diri kita dari hubungan yang hidup dengan kenyataan. Bernyanyi, khususnya, merupakan ungkapan alami dan luhur manusia: pikiran, perasaan, tubuh, dan jiwa bersatu untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa besar kehidupan. Sebagaimana diingatkan Santo Agustinus kepada kita: “Cantare amantis est” (bdk. Khotbah 336,1), artinya, “bernyanyi adalah milik mereka yang mengasihi.” Mereka yang bernyanyi mengungkapkan kasih, tetapi juga mengungkapkan kesukaran, kelembutan, dan kerinduan yang bersemayam di hati mereka, sementara pada saat yang sama, mengasihi orang-orang yang mereka tuju dengan nyanyian mereka (bdk. Enarrationes in Psalmos, 72,1).

 

Bagi umat Allah, nyanyian mengungkapkan permohonan dan pujian. Nyanyian adalah "lagu baru" yang dikumandangkan Kristus yang bangkit kepada Bapa, di mana semua orang yang dibaptis berpartisipasi sebagai satu tubuh yang dijiwai oleh kehidupan baru Roh Kudus. Di dalam Kristus, kita menjadi penyanyi rahmat, anak-anak Gereja yang menemukan dalam Kristus yang bangkit sumber pujian kita. Dengan demikian, musik liturgi menjadi sarana berharga yang melaluinya kita melaksanakan pelayanan pujian kita kepada Allah dan mengungkapkan sukacita kehidupan baru dalam Kristus.

 

Santo Agustinus kembali menasihati kita untuk bernyanyi sambil berjalan, seperti para pelancong yang lelah yang menemukan dalam nyanyian sebuah gambaran awal dari sukacita yang akan mereka alami ketika mereka mencapai tujuan. "Bernyanyilah, tetapi teruskan perjalananmu [...] majulah dalam kebajikan" (Khotbah 256, 3). Menjadi bagian dari paduan suara berarti maju bersama, oleh karena itu, menggandeng tangan saudara-saudari kita dan membantu mereka berjalan bersama kita. Bernyanyi berarti bersama-sama menyanyikan pujian bagi Allah, menghibur saudara-saudari kita yang sedang menderita, menyemangati mereka ketika mereka tampak menyerah terhadap kelelahan, dan menyemangati mereka ketika kesulitan tampaknya datang. Bernyanyi mengingatkan kita bahwa kita adalah Gereja yang sedang dalam perjalanan, sebuah kenyataan sinodal yang autentik yang mampu berbagi dengan semua orang panggilan untuk memuji dan bersukacita dalam peziarahan kasih dan pengharapan ini.

 

Santo Ignatius dari Antiokhia juga menggunakan kata-kata yang menyentuh untuk mengungkapkan hubungan antara nyanyian paduan suara dan kesatuan Gereja: “Dari kesatuan dan kasihmu yang selarah, bernyanyilah bagi Yesus Kristus. Dan biarlah masing-masing menjadi paduan suara, sehingga dengan selaras dalam aransemenmu dan menyanyikan nyanyian Allah dalam kesatuan, dengan satu suara kamu dapat bernyanyi bagi Bapa melalui Yesus Kristus, agar Ia dapat mendengar dan mengenalimu karena perbuatan baikmu” (Santo Ignatius dari Antiokhia, Ad Ephesios, IV). Sesungguhnya, aneka suara dalam paduan suara saling selaras, menghasilkan satu madah pujian, sebuah lambang Gereja yang bercahaya, yang menyatukan semua orang dalam kasih dalam satu melodi yang menyenangkan.

 

Kamu termasuk dalam paduan suara yang menjalankan pelayanan mereka terutama dalam konteks liturgis. Pelayananmu adalah pelayanan sejati yang membutuhkan persiapan, komitmen, saling pengertian, dan, yang terpenting, kehidupan rohani yang mendalam, sehingga ketika bernyanyi, kamu berdoa sekaligus membantu semua orang untuk berdoa. Pelayanan ini menuntut disiplin dan semangat melayani, terutama saat mempersiapkan liturgi khidmat atau acara penting dalam komunitasmu. Paduan suara adalah keluarga kecil yang dipersatukan oleh kecintaan mereka pada musik dan pelayanan yang mereka berikan. Namun, ingatlah bahwa komunitas adalah keluargamu yang lebih besar. Kamu tidak berada di atas panggung, melainkan bagian dari komunitas itu, berusaha membantunya bertumbuh dalam kesatuan dengan menginspirasi dan melibatkan para anggotanya. Seperti dalam semua keluarga, ketegangan atau kesalahpahaman kecil dapat muncul. Hal-hal ini normal ketika bekerja bersama dan berjuang untuk mencapai suatu tujuan. Kita dapat mengatakan sampai batas tertentu bahwa paduan suara melambangkan Gereja, yang, berjuang menuju tujuannya, berjalan melalui sejarah memuji Allah. Bahkan ketika perjalanan ini dipenuhi oleh kesulitan dan pencobaan dan saat-saat yang menyenangkan memberi jalan kepada saat-saat yang lebih menantang, bernyanyi membuat perjalanan lebih ringan, memberikan kelegaan dan penghiburan.

 

Oleh karena itu, berusahalah agar paduan suaramu senantiasa selaras dan indah, serta menjadi gambaran Gereja yang lebih cemerlang dalam memuji Tuhannya. Pelajarilah Magisterium dengan saksama. Dokumen-dokumen konsili menetapkan norma-norma untuk melaksanakan pelayananmu sebaik mungkin. Terutama, baktikanlah dirimu untuk memfasilitasi partisipasi umat Allah, tanpa menyerah pada godaan pamer, yang menghalangi seluruh jemaat liturgi untuk berpartisipasi aktif dalam nyanyian. Dalam hal ini, jadilah tanda doa Gereja yang mengesankan, yang mengungkapkan kasihnya kepada Allah melalui keindahan musik. Jagalah agar kehidupan rohanimu senantiasa selaras dengan pelayanan yang kamu laksanakan, sehingga pelayananmu dapat secara autentik mengungkapkan rahmat liturgi.

 

Saya menempatkan kamu semua di bawah perlindungan Santa Sesilia, perawan dan martir yang telah melantunkan kidung kasih yang terindah melalui hidupnya di Roma, menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Kristus dan mempersembahkan teladan iman dan kasih yang cemerlang kepada Gereja. Marilah kita terus bernyanyi dan sekali lagi menjadikan undangan dari mazmur tanggapan hari ini sebagai mazmur kita: “Mari kita pergi ke rumah Tuhan dengan sukacita.”

______

(Peter Suriadi - Bogor, 24 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (MISA YUBILEUM ORANG MISKIN - HARI ORANG MISKIN SEDUNIA IX) 16 November 2025

Bacaan Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari-hari Minggu terakhir tahun liturgi mengundang kita untuk melihat akhir sejarah. Dalam Bacaan Pertama, Nabi Maleakhi melihat kedatangan "hari Tuhan" sebagai awal dari sebuah era baru. Hari itu digambarkan sebagai waktu Allah, ketika, bagaikan fajar yang memancarkan surya kebenaran, pengharapan orang-orang miskin dan rendah hati akan menerima jawaban akhir dan definitif dari Tuhan, dan perbuatan orang fasik serta ketidakadilan mereka, terutama terhadap orang-orang yang tak berdaya dan miskin, akan ditumpas dan dibakar seperti jerami.

 

Surya kebenaran yang terbit ini, sebagaimana kita ketahui, adalah Yesus sendiri. Hari Tuhan, sesungguhnya, bukan hanya hari terakhir sejarah; hari Tuhan adalah semakin mendekatnya Kerajaan Allah bagi setiap orang dalam kedatangan Putra Allah. Dalam Bacaan Injil, dengan menggunakan bahasa apokaliptik yang khas pada zaman-Nya, Yesus mewartakan dan menginagurasikan Kerajaan ini. Dia sendiri adalah kuasa Allah, yang hadir dan berperan aktif dalam peristiwa-peristiwa dramatis sejarah. Peristiwa-peristiwa ini hendaknya tidak menakutkan para murid, melainkan memampukan mereka untuk bertekun dalam kesaksian mereka, karena mereka tahu bahwa janji Yesus selalu hidup dan setia: "Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang" (Luk. 21:18).

 

Saudara-saudari, kita berlabuh dalam pengharapan ini, terlepas dari peristiwa-peristiwa kehidupan yang terkadang malang. Bahkan dewasa ini, "dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju. Gereja mewartakan salib dan wafat Tuhan, hingga Ia datang" (Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 8). Dan ketika segenap pengharapan manusia tampaknya padam, keyakinan ini, yang lebih teguh daripada langit dan bumi, menjadi semakin kuat, karena Tuhan tidak akan membiarkan sehelai pun dari rambut kepala kita hilang.

 

Di tengah penganiayaan, penderitaan, pergumulan, dan penindasan dalam kehidupan pribadi kita dan dalam masyarakat, Allah tidak meninggalkan kita. Ia menyatakan diri-Nya sebagai yang berada di pihak kita. Kitab Suci dijalin dengan benang emas yang menceritakan kisah Allah, yang selalu berpihak kepada orang kecil, anak yatim, pendatang, dan janda (bdk. Ul. 10:17-19). Dan dalam Yesus, Putra-Nya, kedekatan Allah mencapai puncak kasih. Karena itu, kehadiran dan sabda Kristus menjadi kegembiraan dan yubileum bagi orang yang paling miskin, karena Ia datang untuk mewartakan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (bdk. Luk 4:18-19).

 

Secara istimewa hari ini kita juga sedang berpartisipasi dalam tahun rahmat ini, saat kita merayakan Yubileum Orang Miskin pada Hari Orang Miskin Sedunia ini. Selagi seluruh Gereja bergembira dan bersukacita, khususnya kepadamu, saudara-saudari terkasih, saya ingin mewartakan sabda Tuhan Yesus sendiri yang tak terbantahkan: "Dilexi te, Aku mengasihi engkau" (Why 3:9). Ya, di hadapan kekecilan dan kemiskinan kita, Allah memandang kita tiada taranya dan mencintai kita dengan kasih yang kekal. Dan Gereja-Nya, bahkan hingga saat ini, mungkin khususnya di zaman kita, yang masih terluka oleh bentuk kemiskinan lama dan baru, berharap untuk menjadi "bunda orang miskin, tempat penyambutan dan keadilan" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 39).

 

Sangat banyak bentuk kemiskinan menindas dunia kita! Pertama dan terutama adalah bentuk-bentuk kemiskinan materi, tetapi ada juga banyak situasi kemiskinan moral dan spiritual, yang seringkali memengaruhi orang muda dengan cara tertentu. Tragedi yang melanda mereka semua adalah kesepian. Kita ditantang untuk memandang kemiskinan secara menyeluruh, karena meskipun terkadang memang perlu untuk menanggapi kebutuhan mendesak, kita juga harus mengembangkan budaya perhatian, justru untuk meruntuhkan tembok kesepian. Maka, marilah kita memperhatikan sesama, setiap orang, di mana pun kita berada, di mana pun kita tinggal, menularkan sikap ini dalam keluarga kita, menghidupinya di tempat kerja dan lingkungan akademis, di berbagai komunitas, di dunia digital, di mana pun, menjangkau mereka yang terpinggirkan dan menjadi saksi kelembutan Allah.

 

Dewasa ini, skenario perang, yang sayangnya terjadi di berbagai wilayah di dunia, tampaknya semakin menegaskan bahwa kita berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Namun, globalisasi ketidakberdayaan muncul dari sebuah kebohongan, dari keyakinan bahwa sejarah selalu seperti ini dan tidak dapat diubah. Bacaan Injil, di sisi lain, mengingatkan kita bahwa justru dalam pergolakan sejarahlah Tuhan datang untuk menyelamatkan kita. Dan dewasa ini, sebagai komunitas kristiani, bersama orang miskin, kita harus menjadi tanda yang hidup keselamatan ini.

 

Kemiskinan menantang umat kristiani, tetapi juga menantang semua orang yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Saya mendesak para kepala negara dan para pemimpin bangsa untuk mendengarkan jeritan orang yang paling miskin. Tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan, dan orang miskin mengingatkan kita akan hal ini dalam banyak cara, melalui migrasi maupun melalui jeritan mereka, yang seringkali diredam oleh mitos kesejahteraan dan kemajuan yang tidak mempertimbangkan semua orang, dan justru melupakan banyak individu, membiarkan mereka menghadapi nasib mereka sendiri.

 

Kepada para pekerja amal, begitu banyak relawan, dan orang-orang yang berupaya meringankan beban hidup orang-orang yang paling miskin, saya menyampaikan rasa terima kasih, sekaligus mendorong untuk terus menjadi suara hati yang kritis bagi masyarakat. Kamu semua tahu betul persoalan orang miskin berpangkal pada hakikat iman kita, karena mereka adalah daging Kristus sendiri dan bukan sekadar kategori sosiologis (bdk. Dilexi Te, 110). Karena itulah, “Gereja, bagaikan seorang ibu, mendampingi mereka yang sedang berjalan. Di mana dunia melihat ancaman, ia melihat anak-anak; di mana tembok dibangun, ia membangun jembatan” (idem, 75).

 

Marilah kita semua bersatu dalam komitmen ini. Sebagaimana ditulis Rasul Paulus kepada umat kristiani di Tesalonika (bdk. 2Tes. 3:6-13): sambil menantikan kedatangan Tuhan yang mulia, kita tidak boleh hidup tertutup, dalam keterasingan religius yang mengasing kita dari sesama dan sejarah. Sebaliknya, mencari Kerajaan Allah menyiratkan keinginan untuk mengubah hidup berdampingan manusiawi menjadi ruang persaudaraan dan martabat bagi semua orang, tanpa terkecuali. Selalu ada bahaya hidup seperti pendatang yang kehilangan arah, tidak peduli dengan tujuan akhir dan pada orang-orang yang ambil bagian dalam perjalanan bersama kita.

 

Dalam Yubileum Orang Miskin ini, marilah kita terinspirasi oleh kesaksian para kudus yang melayani Kristus dalam diri orang-orang yang paling membutuhkan dan mengikuti-Nya di jalan kerendahan hati dan penyangkalan diri. Secara khusus, saya ingin menyebut Santo Benediktus Joseph Labre, yang hidup sebagai "pengembara Allah", mencirikannya sebagai santo pelindung para tunawisma. Perawan Maria, melalui Magnificat-nya, terus mengingatkan kita akan pilihan-pilihan Allah dan telah menjadi suara bagi orang-orang yang tak bersuara. Semoga Maria membantu kita merangkul cara berpikir baru Kerajaan Allah, sehingga dalam kehidupan kristiani kita, kasih Allah, yang menyambut, membalut luka, mengampuni, menghibur, dan menyembuhkan, senantiasa hadir.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 16 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PERINGATAN WAJIB SANTO MARTINUS DARI TOURS (MISA 125 TAHUN PEMBERKATAN GEREJA SANTO ANSELMUS ROMA) 11 November 2025

Bacaan Ekaristi : Yeh 43:1-2,4-7a; 1Ptr 2:4-9; Mat. 16:13-20.

 

"Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku" (Mat 16:18). Saudara-saudari terkasih, kita telah mendengar sabda Yesus ini saat kita memperingati 125 tahun pemberkatan gereja ini, yang sangat dinantikan oleh Paus Leo XIII, yang mendukung pembangunannya.

 

Ia bermaksud agar bangunan ini, beserta bangunan Kolese Internasional yang diambil alih, berkontribusi dalam memperkuat kehadiran Benediktin dalam Gereja dan dunia, melalui persatuan yang semakin erat dalam Konfederasi Benediktin. Inilah tujuan dibentuknya pelayanan rahib utama. Ia percaya tarekatmu yang telah lama didirikan dapat memberikan pelayanan yang luar biasa bagi kesejahteraan seluruh umat Allah di masa yang penuh tantangan, seperti peralihan dari abad ke-19 menuju abad ke-20.

 

Memang, monastisisme, sejak awal, telah menjadi kenyataan "perbatasan", yang mendorong para manusia pemberani untuk mendirikan pusat doa, karya, dan amal di tempat-tempat paling terpencil dan sulit dijangkau, yang seringkali mengubah daerah-daerah terpencil menjadi tanah yang subur dan kaya, baik secara pertanian maupun ekonomi, tetapi terutama secara rohani. Dengan demikian, biara semakin menjadi tempat pertumbuhan, kedamaian, keramahtamahan, dan persatuan, bahkan di masa-masa tergelap dalam sejarah.

 

Zaman kita pun tak luput dari tantangan. Perubahan mendadak yang kita saksikan menantang dan mempertanyakan kita, memunculkan isu-isu yang sebelumnya tak terlihat. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa, seperti Rasul Petrus, dan bersamanya Benediktus dan begitu banyak orang lainnya, kita juga dapat menanggapi tuntutan panggilan yang telah kita terima hanya dengan menempatkan Kristus di pusat keberadaan dan perutusan kita, dimulai dengan tindakan iman yang membuat kita mengakui-Nya sebagai Juruselamat dan menerjemahkannya ke dalam doa, studi, dan komitmen untuk hidup kudus.

 

Di sini, semua ini dicapai dengan berbagai cara: pertama dalam liturgi, kemudian dalam lectio divina, dalam penelitian, dalam reksa pastoral, dengan melibatkan para rahib dari seluruh dunia dan dengan keterbukaan terhadap para klerus, biarawan dan biarawati, serta kaum awam dari berbagai latar belakang dan keadaan. Biara, Athenaeum, Institut Liturgi, dan kegiatan-kegiatan pastoral yang terkait dengan Gereja, sesuai dengan ajaran Santo Benediktus, harus semakin bertumbuh dalam sinergi sebagai "sekolah pelayanan kepada Allah" yang sejati (Santo Benediktus, Peraturan, Pendahuluan, 45).

 

Karena alasan ini, saya merenungkan kerumitan yang kita temukan sebagai kenyataan yang harus bercita-citakan menjadi jantung yang berdetak dalam tubuh agung dunia Benediktin, yang berpusat, menurut ajaran Santo Benediktus, pada Gereja.

 

Bacaan Pertama (bdk. Yeh 43:1-2,4-7a) menyajikan kepada kita gambaran sungai yang mengalir dari Bait Suci. Gambaran ini selaras dengan gambaran jantung yang memompa darah kehidupan ke seluruh tubuh, sehingga setiap anggota dapat menerima makanan dan kekuatan untuk kepentingan yang lain (bdk. 1Kor 12:20-27); serta dengan gambaran bangunan rohani yang dibicarakan dalam Bacaan Kedua, yang didirikan di atas batu karang yang kokoh yaitu Kristus (bdk. 1Ptr 2:4-9).

 

Dalam sarang Santo Anselmus yang penuh semangat, semoga inilah tempat dari mana segala sesuatu bermula dan ke mana segala sesuatu kembali untuk menemukan verifikasi, konfirmasi, dan pendalaman di hadapan Allah, sebagaimana dianjurkan Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Athenaeum Kepausan dalam rangka peringatan seratus tahun berdirinya. Merujuk pada santo pelindungnya, ia berkata: "Santo Anselmus mengingatkan semua orang [...] bahwa pengetahuan akan misteri ilahi bukanlah sekadar pencapaian kejeniusan manusia, melainkan anugerah yang diberikan Allah kepada orang-orang yang rendah hati dan umat beriman" (Pidato, 1 Juni 1986).

 

Sebagaimana telah disebutkan, ia merujuk pada ajaran Doktor Aosta, tetapi kita berharap bahwa ini juga akan menjadi pesan kenabian yang dibawa lembaga ini kepada Gereja dan dunia, sebagai pemenuhan misi yang telah kita semua terima, untuk menjadi umat yang diperoleh Allah agar kita dapat mewartakan karya-karya agung Dia yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (bdk. 1 Ptr 2:9).

 

Pemberkatan sebuah bangunan suci, yang di dalamnya ia dikuduskan sebagai tempat pertemuan antara ruang dan waktu, antara yang terbatas dan yang tak terbatas, antara manusia dan Allah: sebuah pintu terbuka menuju keabadian, tempat jiwa menemukan jawaban atas "tegangan antara segala kejadian saat ini dan cahaya waktu, cakrawala yang lebih luas [...] yang terbuka pada masa depan sebagai sebab akhir yang menarik kita pada dirinya" (Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 222) dalam perjumpaan antara kepenuhan dan keterbatasan yang menyertai perjalanan duniawi kita adalah momen khidmat dalam sejarah.

 

Konsili Vatikan II menggambarkan semua ini dalam salah satu bagian terindahnya, ketika mendefinisikan Gereja bersifat "sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir […] sedemikian rupa sehingga dalam Gereja apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari" (Sacrosanctum Concilium, 2).

 

Itulah pengalaman hidup kita dan hidup manusia di dunia ini, dalam pencarian jawaban hakiki dan mendasar yang dapat dinyatakan "bukan oleh daging maupun darah", melainkan hanya oleh Bapa yang di surga (bdk. Mat 16:17); yang pada akhirnya membutuhkan Yesus, "Kristus, Anak Allah yang hidup" (ayat 16). Kita dipanggil untuk mencari Dia dan kepada-Nya kita dipanggil untuk membawa semua orang yang kita jumpai, bersyukur atas karunia yang telah Ia berikan kepada kita, dan terutama atas kasih yang telah lebih dulu Ia berikan kepada kita (bdk. Rm 5:6). Bait suci ini kemudian akan semakin menjadi tempat sukacita, tempat kita mengalami keindahan berbagi dengan orang lain apa yang telah kita terima dengan cuma-cuma (bdk. Mat 10:8).

______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PESTA PEMBERKATAN BASILIKA LATERAN 9 November 2025

Bacaan Ekaristi : Yeh. 47:1-2.8-9,12; Mzm. 46:2-3,5-6,8-9; 1Kor. 3:9c-11,16-17; Luk. 19:1-10.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Pesta Pemberkatan Basilika Santo Yohanes Lateran, yang berlangsung pada abad keempat oleh Paus Silvester I. Basilika ini, yang kemudian dikenal sebagai Katedral Roma, dibangun atas perintah Kaisar Konstantinus, setelah ia memberikan kebebasan kepada umat kristiani untuk menganut iman dan menjalankan agama mereka pada tahun 313.

 

Mengapa kita memperingati peristiwa ini hingga saat ini? Tentu saja untuk mengenang, dengan penuh sukacita dan rasa syukur, sebuah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi kehidupan Gereja, tetapi ini bukan satu-satunya alasan. Basilika ini, sesungguhnya, "Bunda segala Gereja," lebih dari sekadar monumen atau tugu peringatan bersejarah. Basilika ini adalah "tanda Gereja yang hidup, yang dibangun dengan batu-batu pilihan dan berharga di dalam Kristus Yesus, sang batu penjuru (bdk. 1 Ptr 2:4-5)" (Konferensi Wali Gereja Italia, Ritus Pemberkatan Minyak dan Pemberkatan Gereja dan Altar, Pendahuluan). Dengan demikian, Basilika ini mengingatkan kita bahwa kita juga bagaikan "batu-batu yang hidup dibangun di dunia ini ... yang dibangun menjadi" bait rohani (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 6). Karena alasan ini, sebagaimana dicatat Santo Paulus VI, komunitas kristen perdana segera mulai menerapkan "nama Gereja, yang berarti perkumpulan umat beriman, terhadap bait yang menghimpun mereka" (Doa Malaikat Tuhan, 9 November 1969). Komunitas gerejawi, "Gereja, persekutuan umat beriman, [yang] memberi Basilika Santo Yohanes Lateran struktur eksternalnya yang paling kokoh dan mencolok" (idem). Oleh karena itu, saat kita memandang bangunan ini, marilah kita merenungkan apa artinya menjadi Gereja dalam terang bacaan-bacaan hari ini.

 

Pertama-tama, marilah kita membahas dasarnya. Pentingnya dasar ini jelas, bahkan agak meresahkan. Jika para pembangun tidak menggali cukup dalam untuk menemukan dasar yang kokoh untuk membangun sisanya, seluruh bangunan pasti sudah runtuh sejak lama atau berisiko runtuh kapan saja, yang akan menempatkan kita dalam bahaya besar. Untungnya, para pendahulu kita telah meletakkan dasar yang kokoh bagi Katedral kita, menggali dalam-dalam dengan susah payah sebelum membangun tembok-tembok yang menyambut kita, dan ini membuat kita merasa jauh lebih tenang.

 

Hal ini patut direnungkan. Sebagai pekerja di dalam Gereja yang hidup, kita juga harus terlebih dahulu menggali dalam-dalam diri kita dan di sekitar kita sebelum kita dapat membangun struktur yang mengesankan. Kita harus menyingkirkan material yang tidak stabil yang akan menghalangi kita mencapai batu karang Kristus yang kokoh (bdk. Mat. 7:24-27). Inilah tepatnya yang dibicarakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua ketika ia berkata bahwa "tidak seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus" (1Kor. 3:11). Ini berarti senantiasa kembali kepada Yesus dan Injil-Nya serta taat kepada karya Roh Kudus. Jika tidak, kita berisiko membebani bangunan dengan struktur berat karena penopang dasarnya terlalu lemah.

 

Saudara-saudari terkasih, seraya kita giat melayani Kerajaan Allah, marilah kita tidak tergesa-gesa atau dangkal. Marilah kita menggali lebih dalam, tanpa terhalang oleh kriteria duniawi, yang terlalu sering menuntut hasil instan dan mengabaikan kebijaksanaan menunggu. Sejarah Gereja selama seribu tahun mengajarkan kita bahwa dengan pertolongan Allah, komunitas iman sejati hanya dapat dibangun dengan kerendahan hati dan kesabaran. Komunitas semacam itu mampu menyebarkan kasih, mengembangkan misi, mewartakan, merayakan, dan melayani Magisterium Apostolik yang bait suci ini merupakan pusatnya (bdk. Doa Malaikat Tuhan, 9 November 1969).

 

Adegan yang disajikan kepada kita dalam Bacaan Injil hari ini (Luk 19:1-10) terutama mencerahkan dalam hal ini: Zakheus, orang yang kaya dan berkuasa, tergerak untuk bertemu Yesus. Namun, ia menyadari bahwa ia terlalu pendek untuk bertemu Yesus sehingga memutuskan untuk memanjat pohon. Ini adalah tindakan yang tidak biasa dan tidak pantas bagi seseorang dengan kedudukannya yang terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkannya di kantor cukai seolah-olah itu adalah haknya. Namun kali ini, jalannya lebih panjang dan memanjat dahan pohon berarti Zakheus menyadari keterbatasannya dan mengatasi hambatan kesombongannya. Dengan demikian, ia dapat bertemu Yesus, yang berkata kepadanya, "Hari ini Aku harus menumpang di rumahmu" (ayat 5). Perjumpaan itu menandai awal kehidupan baru bagi Zakheus (bdk. ayat 8).

 

Ketika Yesus memanggil kita untuk ambil bagian dalam rancangan besar Allah, Ia mengubah kita dengan membentuk kita secara terampil sesuai dengan rencana keselamatan-Nya. Dalam beberapa tahun terakhir, gambaran "lokasi pembangunan" sering digunakan untuk menggambarkan perjalanan gerejawi kita. Gambaran indah ini berbicara tentang aktivitas, kreativitas, dan dedikasi, serta kerja keras dan terkadang masalah rumit yang harus dipecahkan. Gambaran ini menangkap upaya nyata dan kasat mata dari komunitas kita yang bertumbuh setiap hari, membagikan karisma mereka di bawah bimbingan para gembala mereka. Gereja Roma, khususnya, menjadi saksi akan hal ini dalam tahap pelaksanaan Sinode saat ini. Apa yang telah matang selama bertahun-tahun kerja kini perlu diuji dan dievaluasi "di lapangan." Ini menyiratkan perjalanan yang berat, tetapi kita tidak boleh berkecil hati. Sebaliknya, kita harus terus melanjutkan dengan keyakinan dalam upaya kita untuk bertumbuh bersama.

 

Pembangunan gedung megah tempat kita berada ini telah mengalami banyak momen kritis, penundaan, dan perubahan terhadap rencana awal. Namun, berkat kegigihan para pendahulu kita, kini kita dapat berkumpul di tempat yang luar biasa ini. Di Roma, kebaikan yang luar biasa sedang bertumbuh berkat upaya banyak orang. Janganlah kita biarkan kelelahan menghalangi kita untuk mengakui dan merayakan kebaikan ini, agar kita dapat memelihara dan memperbarui antusiasme kita. Bagaimanapun, melalui amal kasih dalam tindakan wajah Gereja kita dibentuk, membuatnya semakin jelas bagi semua orang bahwa ia adalah seorang "ibu", "ibu dari semua Gereja", atau bahkan seorang "ibu", sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II ketika berbicara kepada anak-anak pada pesta ini (bdk. Wejangan pada Pesta Pemberkatan Basilika Santo Yohanes Lateran, 9 November 1986).

 

Akhirnya, saya ingin menyebutkan aspek hakiki misi Katedral: liturgi. Liturgi adalah "puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya" (Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10). Di dalamnya, kita menemukan tema-tema yang sama yang telah kita sebutkan: kita dibangun sebagai kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai kita mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk. idem, 2). Oleh karena itu, pemeliharaan liturgi, khususnya di sini di Takhta Petrus, haruslah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi teladan bagi seluruh umat Allah. Liturgi harus selaras dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, memperhatikan perbedaan kepekaan para peserta, dan berpegang teguh pada prinsip inkulturasi yang bijaksana (bdk. idem, 37-38). Pada saat yang sama, ia harus tetap setia pada kesederhanaan khidmat yang khas tradisi Romawi, yang dapat mendatangkan begitu banyak kebaikan bagi jiwa-jiwa mereka yang berpartisipasi aktif di dalamnya (bdk. idem, 14). Hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar keindahan ritus-ritus yang sederhana mengungkapkan nilai ibadat bagi pertumbuhan yang harmonis seluruh tubuh Tuhan. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, "keindahan tak lain adalah kasih, dan kasih adalah hidup" (Kuliah 365, 1). Kebenaran ini diwujudkan secara istimewa dalam liturgi, dan saya berharap orang-orang yang mendekati altar Katedral Roma pulang dengan dipenuhi rahmat untuk melimpahi dunia sesuai kehendak Tuhan (bdk. Yeh. 47:1-2, 8-9, 12).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA ARWAH PAUS FRANSISKUS, PARA KARDINAL, DAN PARA USKUP YANG TELAH MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR 3 November 2025

Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; 1Tes. 4:13-18; Luk. 24:13-35

 

Saudara-saudara terkasih, para kardinal dan para uskup,

Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini kita memperbarui tradisi yang indah, dalam rangka Pengenangan Arwah Semua Orang Beriman, merayakan Ekaristi guna mengenang para kardinal dan para uskup yang telah meninggalkan kita setahun terakhir, dan kita mempersembahkannya dengan penuh kasih sayang bagi jiwa terpilih Paus Fransiskus, yang wafat setelah membuka Pintu Suci dan menyampaikan berkat Paskah kepada Roma dan dunia. Berkat Yubileum ini, perayaan ini – yang pertama bagi saya – memperoleh cita rasa khas – cita rasa pengharapan kristiani.

 

Sabda Allah yang baru saja kita dengar mencerahkan kita. Pertama dan terutama, dengan sebuah ikon biblis agung yang, dapat dikatakan, merangkum makna Tahun Suci ini: kisah Lukas tentang murid-murid Emaus (Luk 24:13-35). Di dalamnya, kita menemukan representasi yang gamblang tentang ziarah pengharapan, yang melalui perjumpaan dengan Kristus yang bangkit. Titik awalnya adalah pengalaman kematian, dan dalam bentuknya yang terburuk: kematian yang kejam yang membunuh orang-orang tak berdosa dan dengan demikian membuat kita putus asa, patah semangat, dan diliputi kesedihan. Betapa banyak orang – betapa banyak “anak-anak kecil”! – bahkan di zaman kita menderita trauma kematian yang mengerikan ini, yang dirusak oleh dosa. Kepada kematian ini, kita tidak dapat dan tidak boleh mengatakan “laudato si’”, “terpujilah Engkau”, karena Allah Bapa tidak menginginkannya, dan Ia mengutus Putra-Nya ke dunia untuk membebaskan kita darinya. Tertulis: Kristus harus menanggung penderitaan ini agar dapat masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Luk. 24:26) dan memberikan kita hidup yang kekal. Hanya Dia yang dapat menanggung kematian yang merusak ini atas diri-Nya dan di dalam diri-Nya sendiri tanpa dirusak olehnya. Hanya Dia yang memiliki perkataan hidup yang kekal (bdk. Yoh. 6:68) – kita mengakui hal ini dengan gentar di sini, di dekat makam Santo Petrus – dan perkataan ini memiliki kuasa untuk mengobarkan kembali iman dan harapan di dalam hati kita (bdk. Luk. 24:32).

 

Ketika Yesus mengambil roti dalam tangan-Nya, yang telah dipaku di kayu salib, menyampaikan berkat, memecah-mecah roti dan mempersembahkannya, mata kedua murid terbuka, iman bersemi dalam hati mereka, dan dengan iman, muncullah pengharapan baru. Ya! Bukan lagi pengharapan yang mereka miliki sebelumnya, dan yang telah hilang. Sebuah kenyataan baru, sebuah anugerah, rahmat dari Yesus yang bangkit: pengharapan Paskah.

 

Sebagaimana kehidupan Yesus yang bangkit bukan lagi seperti sebelumnya, melainkan sepenuhnya baru, diciptakan oleh Bapa dengan kuasa Roh Kudus, demikian pula pengharapan kristiani bukan pengharapan manusiawi, bukan pengharapan orang Yunani maupun orang Yahudi, bukan pula pengharapan yang didasarkan pada kebijaksanaan para filsuf atau keadilan yang berasal dari hukum Taurat, melainkan semata-mata dan sepenuhnya pada kenyataan bahwa Yesus yang disalibkan telah bangkit dan menampakkan diri kepada Simon (bdk. Luk 24:34), para perempuan, dan murid-murid lainnya. Pengharapan itu tidak tertuju pada cakrawala duniawi, tetapi lebih jauh lagi, kepada Allah, kepada tempat yang tinggi yang darinya matahari terbit untuk menerangi mereka yang tinggal di kedalaman kegelapan dan bayang-bayang kematian (bdk. Luk 1:78-79).

 

Maka, ya, kita dapat bernyanyi: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui Kematian Tubuh Saudari kami”.[1] Kasih Kristus yang disalibkan dan bangkit telah mengubah kematian kita: Ia telah mengubah rupanya dari musuh menjadi saudari, Ia telah menjinakkannya. Dan menghadapinya, kita “jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1Tes 4:13). Tentu saja, kita berdukacita ketika orang yang kita kasihi meninggalkan kita. Kita bersedih ketika seorang manusia, terutama seorang anak, “yang kecil”, seorang yang rapuh, direnggut oleh penyakit atau, lebih buruk lagi, oleh kekerasan manusia. Sebagai orang kristiani, kita dipanggil untuk menanggung beban salib ini bersama Kristus. Tetapi kita tidak sesedih mereka yang tidak mempunyai pengharapan, karena bahkan kematian yang paling tragis pun tidak dapat menghalangi Tuhan kita untuk menyambut jiwa kita dalam pelukan-Nya dan mengubah tubuh kita yang hina, bahkan yang paling rusak, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia (lih. Flp 3:21).

 

Karena alasan ini, umat kristiani tidak menyebut tempat pemakaman sebagai "nekropolis" atau "kota orang mati", melainkan "kuburan", yang secara harfiah berarti "asrama", tempat seseorang beristirahat menantikan kebangkitan. Sebagaimana dinubuatkan pemazmur, "Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya Tuhan, yang membuat aku hidup aman" (Mzm. 4:9).

Sahabat terkasih, Paus Fransiskus terkasih, dan para kardinal serta para uskup yang bagi mereka kita persembahkan kurban Ekaristi yang telah mereka hayati, memberikan kesaksian dan mengajarkan pengharapan Paskah yang baru ini. Tuhan memanggil mereka dan menjadikan mereka gembala dalam Gereja-Nya, dan dengan pelayanan mereka – menggunakan bahasa Kitab Daniel – mereka "telah menuntun banyak orang kepada kebenaran" (bdk. Dan. 12:3), yaitu, mereka menuntun banyak orang itu di jalan Injil dengan hikmat yang berasal dari Kristus, yang telah menjadi hikmat bagi kita, yang membenarkan, menguduskan, dan menebus kita (bdk. 1Kor. 1:30). Semoga jiwa mereka dibasuh dari segala noda dan semoga mereka bercahaya seperti bintang di langit (bdk. Dan. 12:3). Semoga dorongan rohani mereka sampai kepada kita, para peziarah di bumi, dalam keheningan doa: "Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" (Mzm. 42:6,12).

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2025)



[1]Santo Fransiskus dari Asisi, Kidung Matahari.

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PENGENANGAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN DI PEMAKAMAN VERANO (ROMA) 2 November 2025

Bacaan Ekaristi : 2Mak. 12:43-46; Mzm. 143:1-2,5-6,7ab,8ab.10; 1Kor. 15:20-24a.25-28; Yoh. 6:37-40.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Kita berkumpul di sini untuk merayakan Pengenangan Arwah Semua Orang beriman. Kita melakukannya terutama bagi mereka yang dimakamkan di tempat ini, dan dengan kasih sayang yang khusus bagi orang-orang yang kita kasihi. Meskipun mereka meninggalkan kita di hari wafatnya, kita tetap membawa mereka di dalam hati kita, dan kenangan mereka selalu hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. Seringkali, sesuatu mengingatkan kita pada mereka, dan kita mengenang pengalaman yang pernah kita bagikan dengan mereka. Banyak tempat, bahkan aroma rumah kita, berbicara kepada kita tentang orang-orang yang kita kasihi dan telah mendahului kita, dengan jelas menyimpan kenangan mereka bagi kita.

 

Namun, hari ini kita berkumpul bukan hanya untuk mengenang mereka yang telah meninggalkan dunia ini. Iman Kristiani kita, yang didasarkan pada misteri Paskah Kristus, membantu kita menghayati kenangan kita lebih dari sekadar kenangan masa lalu, tetapi juga, dan terutama, sebagai pengharapan untuk masa depan. Bukan tentang melihat ke belakang, melainkan menatap ke depan, menuju tujuan perjalanan kita, menuju pelabuhan yang aman yang telah dijanjikan Allah kepada kita, menuju pesta abadi yang menanti kita. Di sana, di sekitar Tuhan yang bangkit dan orang-orang yang kita kasihi, kita berharap menikmati sukacita perjamuan abadi. Sebagaimana baru saja kita dengar dari Nabi Yesaya: "TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung ini bagi segala bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang berlemak… Ia akan menelan maut untuk seterusnya" (25:6,8).

 

Pengharapan untuk masa depan ini menghidupkan kembali kenangan dan doa kita hari ini. Ini bukan khayalan untuk meredakan rasa sakit perpisahan kita dari orang-orang terkasih, juga bukan sekadar optimisme manusia. Sebaliknya, pengharapan yang didasarkan pada kebangkitan Yesus yang telah menaklukkan maut dan membuka jalan menuju kepenuhan hidup bagi kita. Sebagaimana yang saya katakan dalam katekese baru-baru ini, Tuhan adalah "tujuan perjalanan kita. Tanpa kasih-Nya, perjalanan hidup akan menjadi pengembaraan tanpa tujuan, sebuah kesalahan tragis dengan tujuan yang terlewat... Yesus yang bangkit menjamin kedatangan kita, menuntun kita pulang, tempat kita dinantikan, dikasihi, dan diselamatkan" (Audiensi Umum, 15 Oktober 2025).

 

Tujuan akhir ini, perjamuan, di mana kita akan dikumpulkan Tuhan, akan menjadi perjumpaan kasih. Karena demi kasih, Allah menciptakan kita, melalui kasih Putra-Nya, Ia menyelamatkan kita dari maut, dan dalam sukacita kasih yang sama, Ia menghendaki kita hidup selamanya bersama Dia dan bersama orang-orang yang kita kasihi. Karena alasan ini, setiap kali kita berdiam dalam kasih dan menunjukkan kasih kepada sesama, terutama yang paling lemah dan paling membutuhkan, kita dapat melangkah menuju tujuan kita, dan bahkan sekarang mengantisipasinya melalui ikatan yang tak terpatahkan dengan mereka yang telah mendahului kita. Lebih lanjut, Yesus menyemangati kita dengan kata-kata ini: “… sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu menjengukku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat. 25:35-36).

 

Kasih menaklukkan maut. Dalam kasih, Allah akan mengumpulkan kita bersama orang-orang terkasih kita. Dan, jika kita bersama-sama melakukan perjalanan amal kasih, maka kehidupan kita pun akan menjadi doa yang naik kepada Allah, menyatukan kita dengan mereka yang telah tiada, mendekatkan kita kepada mereka seraya kita menanti untuk bertemu mereka lagi dalam sukacita kehidupan kekal.

 

Saudara-saudari terkasih, meskipun dukacita kita bagi mereka yang telah tiada masih terukir dalam hati kita, marilah kita mempercayakan diri kita kepada pengharapan yang tidak mengecewakan (bdk. Rm. 5:5). Marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada Kristus yang bangkit dan memikirkan orang-orang terkasih kita yang telah tiada, yang diliputi oleh cahaya-Nya. Marilah kita membiarkan janji Tuhan tentang kehidupan kekal bergema dalam hati kita. Ia akan menghancurkan maut selamanya. Sungguh, Ia telah menaklukkannya, membukakan bagi kita jalan menuju kehidupan kekal dengan melewati lembah maut dalam misteri Paskah-Nya. Dengan demikian, bersatu dengan-Nya, kita juga dapat masuk dan melewati lembah maut.

 

Tuhan menanti kita, dan ketika kita akhirnya bertemu dengan Dia di akhir perjalanan hidup kita di dunia, kita akan bersukacita bersama Dia dan bersama orang-orang terkasih yang telah mendahului kita. Semoga janji ini menopang kita, mengeringkan air mata kita, dan mengangkat pandangan kita ke atas menuju pengharapan akan masa depan yang tak pernah pudar.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 2 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS (MISA PENGANGKATAN SANTO JOHN HENRY NEWMAN SEBAGAI PUJANGGA GEREJA DAN YUBILEUM DUNIA PENDIDIKAN) 1 November 2025

Bacaan Ekaristi : Why. 7:2-4,9-14; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; 1Yoh. 3:1-3; Mat. 5:1-12a.

 

Pada Hari Raya Semua Orang Kudus ini, mengikutsertakan Santo John Henry Newman dalam jajaran Pujangga Gereja, dan, pada saat yang sama, pada kesempatan Yubileum Dunia Pendidikan, mengangkatnya, bersama Santo Thomas Aquino, sebagai pelindung misi pendidikan Gereja, sungguh merupakan sukacita yang besar. Kedudukan spiritual dan budaya Newman yang mengesankan pasti akan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi baru yang hatinya haus akan ketakterhinggaan, dan yang, melalui penelitian dan pengetahuan, bersedia menempuh perjalanan yang, seperti kata nenek moyang, membawa kita per aspera ad astra, melewati kesulitan menuju bintang-bintang.

 

Kisah hidup para kudus mengajarkan kita bahwa kita dapat hidup penuh semangat di tengah kerumitan masa kini, tanpa mengabaikan mandat apostolik untuk "bercahaya seperti bintang-bintang di dunia" (Flp. 2:15). Pada kesempatan hari raya ini, saya ingin menyampaikan kepada para guru dan lembaga pendidikan: "Hari ini bercahayalah seperti bintang-bintang di dunia" melalui komitmen sejatimu untuk mencari kebenaran bersama dan membagikannya dengan kemurahan hati dan integritas. Sungguh, kamu melakukannya melalui pelayananmu kepada kaum muda, terutama kaum miskin, dan kesaksian harianmu tentang fakta bahwa "kasih Kristiani bersifat profetis: ia menghasilkan mukjizat" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 120).

 

Yubileum adalah peziarahan pengharapan, dan kamu semua, di bidang pendidikan yang luar biasa, tahu betul betapa pengharapan merupakan benih yang tak tergantikan! Ketika saya melakukan refleksi tentang sekolah dan universitas, saya menganggapnya sebagai laboratorium nubuat, tempat pengharapan dihayati, dan terus-menerus dibahas serta didorong.

 

Inilah pula makna Sabda Bahagia yang diwartakan dalam Bacaan Injil hari ini. Sabda Bahagia membawa penafsiran baru atas kenyataan. Sabda Bahagia merupakan jalan sekaligus pesan Yesus, Sang Guru. Sekilas, tampaknya mustahil untuk menyatakan berbahagia orang yang miskin, atau orang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang dianiaya karena kebenaran, atau orang yang membawa damai. Namun, apa yang tampaknya tak terbayangkan dalam pemikiran dunia, justru dipenuhi makna dan terang ketika dikaitkan dengan Kerajaan Allah. Dalam diri para kudus, kita melihat kerajaan ini mendekat dan hadir di antara kita. Santo Matius dengan tepat menyajikan Sabda Bahagia sebagai sebuah ajaran, menggambarkan Yesus sebagai seorang Guru, yang menyampaikan sudut pandang baru tentang segala sesuatu, yang tercermin dalam perjalanan-Nya sendiri. Namun, Sabda Bahagia bukan sekadar ajaran lain; melainkan ajaran yang par excellence. Dengan cara yang sama, Tuhan Yesus bukan sekadar salah satu dari sekian banyak guru, Ia adalah Sang Guru par excellence. Lebih dari itu, Ia adalah Pendidik par excellence. Kita adalah murid-murid-Nya dan berada di "sekolah"-Nya. Kita belajar bagaimana menemukan dalam hidup-Nya, khususnya dalam perjalanan yang telah Ia tempuh, sebuah cakrawala makna yang mampu menerangi segala bentuk pengetahuan. Semoga sekolah dan universitas kita senantiasa menjadi tempat mendengarkan Injil dan mengamalkannya!

 

Menanggapi tantangan masa kini terkadang terasa di luar kemampuan kita, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jangan biarkan pesimisme mengalahkan kita! Saya teringat apa yang ditegaskan oleh pendahulu saya tercinta, Paus Fransiskus, dalam Pidatonya di Sidang Pleno Pertama Departemen Kebudayaan dan Pendidikan: bahwa kita harus bekerja sama untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan nihilisme yang melingkupi, yang mungkin merupakan penyakit paling berbahaya dalam budaya masa kini, karena mengancam untuk "membatalkan" pengharapan.[1] Rujukan terhadap kegelapan yang melingkupi kita ini menggemakan salah satu teks Santo John Henry Newman yang paling terkenal, madah "Tuntunlah, Terang yang Baik." Dalam doa yang indah itu, kita menyadari bahwa kita jauh dari rumah, langkah kita goyah, kita tidak dapat memahami dengan jelas jalan di depan. Namun, semua ini tidak menghalangi kita, karena kita telah menemukan Penuntun kita: "Tuntunlah, Terang yang baik, di tengah kegelapan yang melingkupi, tuntunlah aku;" “Tuntunlah, Terang yang baik, malam ini gelap, dan aku jauh dari rumah, tuntunlah aku.”

 

Tugas pendidikan justru menawarkan Terang yang baik ini kepada orang-orang yang mungkin akan tetap terpenjara oleh bayang-bayang pesimisme dan ketakutan yang begitu berbahaya. Karena alasan ini, saya ingin mengatakan kepadamu: marilah kita melucuti alasan-alasan palsu untuk menyerah dan tidak berdaya, dan marilah kita berbagi alasan-alasan besar untuk berharap di dunia dewasa ini. Marilah kita merenungkan dan menunjukkan kepada orang lain "rasi" yang memancarkan terang dan tuntunan di masa sekarang ini, yang digelapkan oleh begitu banyak ketidakadilan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, saya mendorongmu untuk memastikan sekolah, universitas, dan setiap konteks pendidikan, bahkan yang informal atau berbasis jalanan, senantiasa menjadi pintu gerbang menuju peradaban dialog dan perdamaian. Melalui hidupmu, perkenankanlah "kumpulan besar orang banyak" bersinar, yang dibicarakan Kitab Wahyu dalam liturgi hari ini, dan yang "tidak dapat dihitung jumlahnya, dari segala bangsa, suku, umat, dan bahasa," dan yang berdiri "di hadapan Anak Domba" (7:9).

 

Dalam teks biblis, salah seorang dari antara tua-tua yang mengamati kumpulan besar orang banyak bertanya, "Siapakah mereka itu ... dan dari manakah mereka datang" (Why 7:13). Dalam hal ini, di bidang pendidikan pun, pandangan kristiani tertuju pada mereka yang telah "keluar dari kesusahan yang besar" (ayat 14) dan mengenali di dalam diri mereka wajah begitu banyak saudara dan saudari dari setiap bahasa dan budaya yang, melalui pintu sempit Yesus, telah masuk ke dalam kepenuhan hidup. Maka, sekali lagi, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: "Apakah ini berarti bahwa mereka yang kurang dikaruniai bukanlah manusia? Atau bahwa mereka yang lemah tidak memiliki martabat yang sama dengan kita? Apakah mereka yang lahir dengan lebih sedikit kesempatan memiliki nilai yang lebih rendah sebagai manusia? Haruskah mereka membatasi diri hanya untuk bertahan hidup? Nilai masyarakat kita, dan masa depan kita sendiri, bergantung pada jawaban yang kita berikan atas pertanyaan-pertanyaan ini" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 95). Kita juga dapat mengatakan bahwa nilai injili dari pendidikan kita juga bergantung pada jawaban yang kita berikan.

 

Warisan abadi Santo John Henry Newman mencakup beberapa kontribusi yang sangat penting bagi teori dan praktik pendidikan. Ia menulis, “Allah telah menciptakanku untuk melakukan pelayanan tertentu kepada-Nya; Ia telah mempercayakan beberapa pekerjaan kepadaku yang belum Ia percayakan kepada orang lain. Aku memiliki misi — aku mungkin tidak akan pernah mengetahuinya dalam hidup ini, tetapi aku akan diberitahu di kehidupan selanjutnya” (Meditasi dan Devosi, III, I, 2). Dalam kata-kata ini, kita menemukan misteri martabat setiap manusia yang diungkapkan dengan indah, dan juga beragam karunia yang dilimpahkan Allah.

 

Hidup bersinar terang bukan karena kita kaya, cantik, atau berkuasa. Sebaliknya, hidup bersinar ketika kita menemukan dalam diri kita kebenaran bahwa kita dipanggil oleh Allah, memiliki panggilan, memiliki misi, bahwa hidup kita melayani sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Setiap makhluk memiliki peran untuk dimainkan. Kontribusi yang dapat diberikan setiap orang sangatlah berharga, dan tugas komunitas pendidikan adalah mendorong dan menghargai kontribusi tersebut. Janganlah kita lupa bahwa di jantung perjalanan pendidikan, kita tidak menemukan individu-individu yang abstrak, melainkan manusia nyata, terutama mereka yang tampaknya berkinerja buruk menurut parameter ekonomi yang mengecualikan atau bahkan membunuh mereka. Kita dipanggil untuk membentuk manusia, agar mereka dapat bercahaya seperti bintang dalam martabat mereka yang utuh.

 

Maka, dapat kita mengatakan bahwa dari sudut pandang kristiani, pendidikan membantu setiap orang menjadi orang kudus. Tidak ada yang kurang dari itu. Paus Benediktus XVI, dalam perjalanan apostoliknya ke Britania Raya pada bulan September 2010, di mana ia membeatifikasi John Henry Newman, mengundang kaum muda untuk menjadi orang kudus dengan kata-kata ini: “Apa yang paling diinginkan Allah bagi kamu masing-masing adalah agar kamu menjadi kudus. Ia mengasihimu jauh melebihi yang dapat kamu bayangkan.”[2] Inilah panggilan universal menuju kekudusan yang merupakan bagian penting pesan Konsili Vatikan II (bdk. Lumen Gentium, Bab V). Dan kekudusan ditujukan bagi setiap orang, tanpa terkecuali, sebagai perjalanan pribadi dan komunal yang ditandai oleh Sabda Bahagia.

 

Saya berdoa agar pendidikan Katolik dapat membantu setiap orang menemukan panggilan mereka menuju kekudusan. Santo Agustinus, yang sangat dikagumi oleh Santo John Henry Newman, pernah berkata bahwa kita adalah sesama pelajar yang memiliki satu Guru, yang sekolahnya ada di bumi dan kursinya ada di surga (bdk. Khotbah 292,1).

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 1 November 2025)



[1] bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Departemen Kebudayaan dan Pendidikan (21 November 2024).

[2] bdk. Benediktus XVI, Pidato kepada Para Murid (17 September 2010).