Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS (MISA PENGANGKATAN SANTO JOHN HENRY NEWMAN SEBAGAI PUJANGGA GEREJA DAN YUBILEUM DUNIA PENDIDIKAN) 1 November 2025

Bacaan Ekaristi : Why. 7:2-4,9-14; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; 1Yoh. 3:1-3; Mat. 5:1-12a.

 

Pada Hari Raya Semua Orang Kudus ini, mengikutsertakan Santo John Henry Newman dalam jajaran Pujangga Gereja, dan, pada saat yang sama, pada kesempatan Yubileum Dunia Pendidikan, mengangkatnya, bersama Santo Thomas Aquino, sebagai pelindung misi pendidikan Gereja, sungguh merupakan sukacita yang besar. Kedudukan spiritual dan budaya Newman yang mengesankan pasti akan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi baru yang hatinya haus akan ketakterhinggaan, dan yang, melalui penelitian dan pengetahuan, bersedia menempuh perjalanan yang, seperti kata nenek moyang, membawa kita per aspera ad astra, melewati kesulitan menuju bintang-bintang.

 

Kisah hidup para kudus mengajarkan kita bahwa kita dapat hidup penuh semangat di tengah kerumitan masa kini, tanpa mengabaikan mandat apostolik untuk "bercahaya seperti bintang-bintang di dunia" (Flp. 2:15). Pada kesempatan hari raya ini, saya ingin menyampaikan kepada para guru dan lembaga pendidikan: "Hari ini bercahayalah seperti bintang-bintang di dunia" melalui komitmen sejatimu untuk mencari kebenaran bersama dan membagikannya dengan kemurahan hati dan integritas. Sungguh, kamu melakukannya melalui pelayananmu kepada kaum muda, terutama kaum miskin, dan kesaksian harianmu tentang fakta bahwa "kasih Kristiani bersifat profetis: ia menghasilkan mukjizat" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 120).

 

Yubileum adalah peziarahan pengharapan, dan kamu semua, di bidang pendidikan yang luar biasa, tahu betul betapa pengharapan merupakan benih yang tak tergantikan! Ketika saya melakukan refleksi tentang sekolah dan universitas, saya menganggapnya sebagai laboratorium nubuat, tempat pengharapan dihayati, dan terus-menerus dibahas serta didorong.

 

Inilah pula makna Sabda Bahagia yang diwartakan dalam Bacaan Injil hari ini. Sabda Bahagia membawa penafsiran baru atas kenyataan. Sabda Bahagia merupakan jalan sekaligus pesan Yesus, Sang Guru. Sekilas, tampaknya mustahil untuk menyatakan berbahagia orang yang miskin, atau orang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang dianiaya karena kebenaran, atau orang yang membawa damai. Namun, apa yang tampaknya tak terbayangkan dalam pemikiran dunia, justru dipenuhi makna dan terang ketika dikaitkan dengan Kerajaan Allah. Dalam diri para kudus, kita melihat kerajaan ini mendekat dan hadir di antara kita. Santo Matius dengan tepat menyajikan Sabda Bahagia sebagai sebuah ajaran, menggambarkan Yesus sebagai seorang Guru, yang menyampaikan sudut pandang baru tentang segala sesuatu, yang tercermin dalam perjalanan-Nya sendiri. Namun, Sabda Bahagia bukan sekadar ajaran lain; melainkan ajaran yang par excellence. Dengan cara yang sama, Tuhan Yesus bukan sekadar salah satu dari sekian banyak guru, Ia adalah Sang Guru par excellence. Lebih dari itu, Ia adalah Pendidik par excellence. Kita adalah murid-murid-Nya dan berada di "sekolah"-Nya. Kita belajar bagaimana menemukan dalam hidup-Nya, khususnya dalam perjalanan yang telah Ia tempuh, sebuah cakrawala makna yang mampu menerangi segala bentuk pengetahuan. Semoga sekolah dan universitas kita senantiasa menjadi tempat mendengarkan Injil dan mengamalkannya!

 

Menanggapi tantangan masa kini terkadang terasa di luar kemampuan kita, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jangan biarkan pesimisme mengalahkan kita! Saya teringat apa yang ditegaskan oleh pendahulu saya tercinta, Paus Fransiskus, dalam Pidatonya di Sidang Pleno Pertama Departemen Kebudayaan dan Pendidikan: bahwa kita harus bekerja sama untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan nihilisme yang melingkupi, yang mungkin merupakan penyakit paling berbahaya dalam budaya masa kini, karena mengancam untuk "membatalkan" pengharapan.[1] Rujukan terhadap kegelapan yang melingkupi kita ini menggemakan salah satu teks Santo John Henry Newman yang paling terkenal, madah "Tuntunlah, Terang yang Baik." Dalam doa yang indah itu, kita menyadari bahwa kita jauh dari rumah, langkah kita goyah, kita tidak dapat memahami dengan jelas jalan di depan. Namun, semua ini tidak menghalangi kita, karena kita telah menemukan Penuntun kita: "Tuntunlah, Terang yang baik, di tengah kegelapan yang melingkupi, tuntunlah aku;" “Tuntunlah, Terang yang baik, malam ini gelap, dan aku jauh dari rumah, tuntunlah aku.”

 

Tugas pendidikan justru menawarkan Terang yang baik ini kepada orang-orang yang mungkin akan tetap terpenjara oleh bayang-bayang pesimisme dan ketakutan yang begitu berbahaya. Karena alasan ini, saya ingin mengatakan kepadamu: marilah kita melucuti alasan-alasan palsu untuk menyerah dan tidak berdaya, dan marilah kita berbagi alasan-alasan besar untuk berharap di dunia dewasa ini. Marilah kita merenungkan dan menunjukkan kepada orang lain "rasi" yang memancarkan terang dan tuntunan di masa sekarang ini, yang digelapkan oleh begitu banyak ketidakadilan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, saya mendorongmu untuk memastikan sekolah, universitas, dan setiap konteks pendidikan, bahkan yang informal atau berbasis jalanan, senantiasa menjadi pintu gerbang menuju peradaban dialog dan perdamaian. Melalui hidupmu, perkenankanlah "kumpulan besar orang banyak" bersinar, yang dibicarakan Kitab Wahyu dalam liturgi hari ini, dan yang "tidak dapat dihitung jumlahnya, dari segala bangsa, suku, umat, dan bahasa," dan yang berdiri "di hadapan Anak Domba" (7:9).

 

Dalam teks biblis, salah seorang dari antara tua-tua yang mengamati kumpulan besar orang banyak bertanya, "Siapakah mereka itu ... dan dari manakah mereka datang" (Why 7:13). Dalam hal ini, di bidang pendidikan pun, pandangan kristiani tertuju pada mereka yang telah "keluar dari kesusahan yang besar" (ayat 14) dan mengenali di dalam diri mereka wajah begitu banyak saudara dan saudari dari setiap bahasa dan budaya yang, melalui pintu sempit Yesus, telah masuk ke dalam kepenuhan hidup. Maka, sekali lagi, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: "Apakah ini berarti bahwa mereka yang kurang dikaruniai bukanlah manusia? Atau bahwa mereka yang lemah tidak memiliki martabat yang sama dengan kita? Apakah mereka yang lahir dengan lebih sedikit kesempatan memiliki nilai yang lebih rendah sebagai manusia? Haruskah mereka membatasi diri hanya untuk bertahan hidup? Nilai masyarakat kita, dan masa depan kita sendiri, bergantung pada jawaban yang kita berikan atas pertanyaan-pertanyaan ini" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 95). Kita juga dapat mengatakan bahwa nilai injili dari pendidikan kita juga bergantung pada jawaban yang kita berikan.

 

Warisan abadi Santo John Henry Newman mencakup beberapa kontribusi yang sangat penting bagi teori dan praktik pendidikan. Ia menulis, “Allah telah menciptakanku untuk melakukan pelayanan tertentu kepada-Nya; Ia telah mempercayakan beberapa pekerjaan kepadaku yang belum Ia percayakan kepada orang lain. Aku memiliki misi — aku mungkin tidak akan pernah mengetahuinya dalam hidup ini, tetapi aku akan diberitahu di kehidupan selanjutnya” (Meditasi dan Devosi, III, I, 2). Dalam kata-kata ini, kita menemukan misteri martabat setiap manusia yang diungkapkan dengan indah, dan juga beragam karunia yang dilimpahkan Allah.

 

Hidup bersinar terang bukan karena kita kaya, cantik, atau berkuasa. Sebaliknya, hidup bersinar ketika kita menemukan dalam diri kita kebenaran bahwa kita dipanggil oleh Allah, memiliki panggilan, memiliki misi, bahwa hidup kita melayani sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Setiap makhluk memiliki peran untuk dimainkan. Kontribusi yang dapat diberikan setiap orang sangatlah berharga, dan tugas komunitas pendidikan adalah mendorong dan menghargai kontribusi tersebut. Janganlah kita lupa bahwa di jantung perjalanan pendidikan, kita tidak menemukan individu-individu yang abstrak, melainkan manusia nyata, terutama mereka yang tampaknya berkinerja buruk menurut parameter ekonomi yang mengecualikan atau bahkan membunuh mereka. Kita dipanggil untuk membentuk manusia, agar mereka dapat bercahaya seperti bintang dalam martabat mereka yang utuh.

 

Maka, dapat kita mengatakan bahwa dari sudut pandang kristiani, pendidikan membantu setiap orang menjadi orang kudus. Tidak ada yang kurang dari itu. Paus Benediktus XVI, dalam perjalanan apostoliknya ke Britania Raya pada bulan September 2010, di mana ia membeatifikasi John Henry Newman, mengundang kaum muda untuk menjadi orang kudus dengan kata-kata ini: “Apa yang paling diinginkan Allah bagi kamu masing-masing adalah agar kamu menjadi kudus. Ia mengasihimu jauh melebihi yang dapat kamu bayangkan.”[2] Inilah panggilan universal menuju kekudusan yang merupakan bagian penting pesan Konsili Vatikan II (bdk. Lumen Gentium, Bab V). Dan kekudusan ditujukan bagi setiap orang, tanpa terkecuali, sebagai perjalanan pribadi dan komunal yang ditandai oleh Sabda Bahagia.

 

Saya berdoa agar pendidikan Katolik dapat membantu setiap orang menemukan panggilan mereka menuju kekudusan. Santo Agustinus, yang sangat dikagumi oleh Santo John Henry Newman, pernah berkata bahwa kita adalah sesama pelajar yang memiliki satu Guru, yang sekolahnya ada di bumi dan kursinya ada di surga (bdk. Khotbah 292,1).

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 1 November 2025)



[1] bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Departemen Kebudayaan dan Pendidikan (21 November 2024).

[2] bdk. Benediktus XVI, Pidato kepada Para Murid (17 September 2010).