Liturgical Calendar

Featured Posts

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVIII (MISA YUBILEUM SPIRITUALITAS MARIA) 12 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Rasul Paulus menasihati kita masing-masing hari ini, seperti yang ia lakukan kepada Timotius: "Ingatlah akan Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud" (2 Tim 2:8). Spiritualitas Maria, yang memelihara iman kita, berpusat pada Yesus. Spiritualitas ini bagaikan hari Minggu, yang membuka setiap pekan baru dalam cahaya kebangkitan-Nya dari antara orang mati. "Ingatlah akan Yesus Kristus": hanya ini yang hakiki; inilah yang membedakan spiritualitas manusia dari jalan Allah. "Dibelenggu seperti seorang penjahat" (ayat 9), Paulus mendesak kita untuk tidak melupakan apa yang hakiki, dan tidak mencoreng nama Yesus dari sejarah dan salibnya. Apa yang kita anggap tak terpuji dan kita salibkan, dibangkitkan Allah karena "Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya" (ayat 13). Yesus adalah kesetiaan Allah, kesetiaan Allah kepada diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, perayaan hari Minggu hendaknya menjadikan kita orang kristiani. Perayaan ini hendaknya memenuhi pikiran dan perasaan kita dengan ingatan membara akan Yesus dan mengubah cara kita hidup bersama serta cara kita menghuni bumi. Setiap spiritualitas kristiani mengalir dari api ini dan membantu menjaganya tetap hidup.

 

Bacaan dari Kitab 2 Raja-Raja (5:14-17) menceritakan penyembuhan Na'aman, orang Siria. Yesus sendiri merujuk pada bagian ini ketika Ia berada di rumah ibadat di Nazaret (bdk. Luk 4:27), dan penafsiran-Nya mengakibatkan kebingungan pada orang-orang di kota asal-Nya. Mengatakan bahwa Allah telah menyelamatkan seorang asing yang menderita sakit kulit menular, dan bukan banyak orang yang menderita sakit kulit menular di Israel, membuat mereka menentang-Nya: “Mendengar hal itu semua orang di rumah ibadat itu sangat marah. Mereka bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk 4:28-29). Penginjil Lukas tidak menyebutkan kehadiran Maria. Ia mungkin hadir untuk menyaksikan apa yang dinyatakan Simeon yang telah lanjut umur kepadanya ketika ia membawa bayi Yesus yang baru lahir ke Bait Suci: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang. Suatu pedang juga akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2:34-35).

 

Ya, sahabat-sahabat terkasih, “firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk sangat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup menilai pikiran dan niat hati kita” (Ibr 4:12). Paus Fransiskus menganggap kisah Na'aman, orang Siria, sebagai pesan yang relevan dan tajam bagi kehidupan Gereja. Berbicara kepada Kuria Roma, beliau mengatakan, “Na'aman terpaksa hidup dalam situasi yang tragis: ia menderita penyakit kulit menular. Baju zirahnya, yang telah membuatnya terkenal, pada kenyataannya menutupi kemanusiaan yang rapuh, terluka, dan berpenyakit. Kita sering menemukan kontradiksi ini dalam hidup kita: terkadang karunia yang luar biasa adalah baju zirah yang menutupi kelemahan yang besar. [...] Jika Na'aman terus mengumpulkan medali untuk menghiasi baju zirahnya, pada akhirnya ia akan dilahap oleh penyakit kulitnya: tampak hidup, namun terkurung dan terasing dalam penyakitnya.”[1] Yesus membebaskan kita dari bahaya ini. Ia tidak mengenakan baju zirah; sebaliknya ia lahir dan mati telanjang. Ia menawarkan karunia-Nya tanpa memaksa orang yang berpenyakit kulit menular yang disembuhkan untuk mengakui-Nya: hanya orang Samaria dalam Bacaan Injil yang tampaknya menyadari bahwa ia telah diselamatkan (bdk. Luk. 17:11-19). Barangkali, semakin sedikit gelar yang kita banggakan, semakin jelas bahwa kasih itu cuma-cuma. Allah adalah karunia murni dan rahmat semata. Namun, betapa banyak suara dan keyakinan yang dapat memisahkan kita, bahkan hingga hari ini, dari kebenaran yang sesungguhnya dan revolusioner ini!

 

Saudara-saudari, spiritualitas Maria melayani Injil: ia mengungkapkan kesederhanaannya. Kasih sayang kita kepada Maria dari Nazaret menuntun kita untuk bergabung dengannya menjadi murid Yesus. Ia mengajarkan kita untuk kembali kepada-Nya serta memikirkan dan merenungkan peristiwa-peristiwa hidup kita di mana Yesus yang bangkit masih datang kepada kita dan memanggil kita. Spiritualitas Maria membenamkan kita dalam sejarah yang di atasnya surga terbuka. Ia membantu kita melihat orang yang congkak hatinya tercerai-berai dalam keangkuhan mereka, orang yang berkuasa diturunkan dari takhtanya, dan orang yang kaya disuruh pergi dengan tangan hampa. Ia mendorong kita untuk melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, meninggikan orang yang rendah, mengingat rahmat Allah, dan percaya pada kuasa tangan-Nya (bdk. Luk 1:51-54). Yesus mengundang kita untuk menjadi bagian dari Kerajaan-Nya, sebagaimana Ia meminta Maria untuk mengatakan "ya," yang, setelah mengatakannya, ia perbarui setiap hari.

 

Para penderita penyakit kulit dalam Bacaan Injil yang tidak kembali untuk mengucap syukur mengingatkan kita bahwa rahmat Allah dapat menyentuh kita dan tidak menemukan tanggapan. Rahmat itu dapat menyembuhkan kita, namun kita masih bisa gagal menerimanya. Karena itu, marilah kita berhati-hati untuk tidak pergi ke Bait Suci dengan cara yang tidak menuntun kita untuk mengikuti Yesus. Beberapa bentuk ibadah tidak memupuk persekutuan dengan orang lain dan dapat mematikan hati kita. Dalam kasus ini, kita gagal untuk berjumpa orang-orang yang telah ditempatkan Allah dalam hidup kita. Kita gagal untuk berkontribusi, seperti yang dilakukan Maria, untuk mengubah dunia, dan ambil bagian dalam sukacita Magnificat. Marilah kita berhati-hati untuk menghindari eksploitasi iman apa pun yang dapat mengarah pada perbedaan pelabelan — seringkali orang miskin — sebagai musuh, "penderita penyakit kulit" harus dihindari dan disingkirkan.

 

Jalan Maria mengikuti jalan Yesus, yang menuntun kita untuk menjumpai setiap manusia, terutama mereka yang miskin, terluka, dan berdosa. Karena itu, spiritualitas Maria yang autentik memancarkan kelembutan Allah, jalan-Nya adalah "menjadi seorang ibu," menjadi terang dalam Gereja. Sebagaimana kita baca dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, "setiap kali kita memandang Maria, kita percaya sekali lagi akan daya revolusioner kasih dan kelembutan. Di dalam diri Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah keutamaan-keutamaan dari orang yang lemah, tetapi dari orang yang kuat yang tidak perlu memperlakukan orang lain secara buruk agar merasa dirinya penting. Dengan memandang Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah karena 'menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya' dan 'menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa' (Luk. 1:52-53), juga adalah dia yang membawa semangat dalam usaha kita meraih keadilan." (no. 288).

 

Sahabat-sahabat terkasih, di dunia yang sedang mencari keadilan dan perdamaian, marilah kita menghidupkan kembali spiritualitas kristiani dan devosi umat kepada peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat yang diberkati Allah yang telah mengubah muka bumi selamanya. Marilah kita menggunakannya sebagai penggerak pembaruan dan transformasi. Sungguh, Yubileum yang kita rayakan menyerukan masa pertobatan dan pemulihan, masa refleksi dan pembebasan. Semoga Santa Maria, pengharapan kita, menjadi perantara kita dan terus menuntun kita kepada Yesus, Tuhan yang tersalib. Di dalam Dia, ada keselamatan bagi semua orang.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA YUBILEUM HIDUP BAKTI 9 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Mal 3:13-4:2a; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 11:5-13.

 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9). Dengan kata-kata ini, Yesus mengajak kita untuk berpaling dengan penuh kepercayaan kepada Bapa untuk segala kebutuhan kita.

 

Kata-kata ini juga yang kita dengar saat kamu berkumpul dari seluruh dunia untuk merayakan Yubileum Hidup Bakti. Sebagai pelaku hidup bakti, biarawan, biarawati, pelaku hidup kontemplatif, anggota tarekat sekular dan ordo keperawanan, pertapa, dan orang-orang yang tergabung dalam “tarekat baru,” kamu telah datang ke Roma untuk menjalani Ziarah Yubileum bersama. Kamu telah datang untuk memercayakan hidupmu kepada belas kasih yang sama, yang untuknya, melalui pengakuan hidup religiusmu, kamu pernah berkomitmen untuk memberi kesaksian, karena menghayati kaulmu berarti menyerahkan dirimu seperti anak-anak ke dalam pelukan Bapa.

 

"Meminta," "mencari," dan "mengetuk." Ungkapan doa ini, yang disebutkan oleh Penginjil Lukas, adalah sikap yang sudah tidak asing lagi bagimu. Dengan menghayati nasihat Injil, kamu terbiasa meminta tanpa menuntut, selalu taat pada tindakan Allah. Konsili Vatikan II berbicara tentang kaul sebagai sarana yang bermanfaat supaya dapat "memperoleh buah-buah rahmat baptis yang lebih melimpah" (Lumen Gentium, 44) bukan suatu kebetulan. "Meminta," sesungguhnya, berarti mengakui, melalui kemiskinan, bahwa segala sesuatu adalah karunia yang berasal dari Tuhan dan mengucap syukur atasnya. "Mencari" berarti membuka diri, melalui ketaatan, untuk menemukan setiap hari jalan yang harus kita tempuh dalam perjalanan menuju kekudusan, mengikuti rencana Allah. "Mengetuk" berarti meminta dan mempersembahkan karunia yang telah kita terima kepada saudara-saudari kita dengan hati yang murni, berusaha mengasihi setiap orang dengan hormat dan murah hati.

 

Kita dapat membaca sabda yang disampaikan Allah kepada Nabi Maleakhi dalam Bacaan Pertama dengan cara yang sama. Ia menyebut penduduk Yerusalem sebagai "milik kesayangan-Ku" (Mal. 3:17) dan berkata kepada sang nabi: "Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya" (idem). Ungkapan ini mengingatkan kita akan kasih yang pertama-tama telah dianugerahkan Tuhan kepada kita saat Ia memanggil kita. Sebuah kesempatan, khususnya bagimu, untuk merenungkan karunia panggilanmu yang diberikan secara cuma-cuma, dari awal mula kongregasimu hingga saat ini dan dari langkah pertama perjalanan pribadimu hingga saat ini. Pertama dan terutama, kita semua ada di sini karena Allah menghendakinya, dan telah memilih kita sejak awal mula.

 

"Meminta," "mencari," dan "mengetuk" juga berarti merefleksikan hidup kita, menanamkan dalam pikiran dan hati apa yang telah dicapai Tuhan selama bertahun-tahun dengan melipatgandakan talenta, menguatkan dan memurnikan iman, serta memupuk kemurahan hati dan kebebasan dalam kasih. Terkadang hal ini dicapai dalam situasi yang penuh sukacita, dan di lain waktu dengan cara yang lebih sulit dipahami, bahkan mungkin melalui penderitaan yang penuh misteri. Namun, setiap saat, kita menemukan diri kita dalam pelukan kebaikan kebapaan tersebut yang menjadi ciri khas apa yang Dia lakukan di dalam dan melalui diri kita, demi kebaikan Gereja (bdk. Lumen Gentium, 43).

 

Hal ini membawa kita pada refleksi kedua: Allah sebagai kepenuhan dan makna hidup kita. Bagimu — bagi kami — Tuhan adalah segalanya. Ia adalah segalanya dalam berbagai cara: sebagai Pencipta dan sumber keberadaan, sebagai kasih yang memanggil dan menantang, sebagai kekuatan yang mendorong dan mengilhami kita untuk memberi. Tanpa Dia, tak ada sesuatupun, tak ada yang masuk akal, tak ada yang berharga. "Permintaan," "pencarian," dan "pengetukkan"-mu, baik dalam doa maupun dalam kehidupan, sangat berkaitan dengan kebenaran ini. Dalam hal ini, Santo Agustinus menggambarkan kehadiran Allah dalam hidupnya dengan menggunakan gambaran yang indah. Ia berbicara tentang terang yang tak terkekang oleh ruang, suara yang tak pernah pudar, makanan yang tak berkurang meski dimakan, dan rasa lapar yang tak pernah terpuaskan, dan ia menyimpulkan: "Inilah yang kucintai ketika aku mencintai Allahku" (Santo Agustinus, Pengakuan-pengakuan, 10.6.8). Inilah kata-kata seorang mistikus, namun beresonansi dengan pengalaman kita. Kata-kata ini mengungkapkan kerinduan akan ketakterhinggaan yang bersemayam di hati semua orang. Karena itu, Gereja memercayakanmu dengan tugas menjadi saksi hidup akan keutamaan Allah dalam kehidupanmu. Dengan menanggalkan segala sesuatu, kamu membantu saudara-saudari yang kamu jumpai untuk membina persahabatan ini dalam diri mereka sendiri.

 

Bagaimanapun, sejarah mengajarkan kita bahwa pengalaman sejati akan Allah selalu menghasilkan curahan kasih yang berlimpah. Hal ini terjadi dalam kehidupan para pendirimu, orang-orang yang mengasihi Tuhan dan karena itu siap menjadi "segala-galanya bagi semua orang" (1 Kor 9:22), tanpa terkecuali, dalam berbagai cara dan situasi.

 

Memang benar bahwa saat ini, seperti pada zaman Maleakhi, ada yang berkata, "Sia-sialah beribadah kepada Allah" (Mal. 3:14). Cara berpikir seperti ini menyebabkan kelumpuhan jiwa yang sesungguhnya. Kita akhirnya puas dengan kehidupan yang hanya dipenuhi momen singkat, hubungan yang dangkal dan terputus-putus, serta kecenderungan sesaat — hal-hal yang meninggalkan kekosongan di hati kita. Ini bukan yang kita butuhkan untuk benar-benar bahagia. Sebaliknya, kita membutuhkan pengalaman kasih yang konsisten, langgeng, dan sehat. Melalui teladan hidup baktimu, kamu dapat disamakan dengan pohon yang tumbuh subur yang kita nyanyikan dalam Mazmur Tanggapan (bdk. Mzm. 1:3), yang menyebarkan "udara segar" kasih sejati ke seluruh dunia.

 

Saya ingin membahas satu aspek terakhir perutusanmu. Kita mendengar Tuhan bersabda kepada penduduk Yerusalem, “Akan terbit surya kebenaran dengan pemulihan pada sayapnya,” (Mal 4:2) yang mengundang mereka untuk berharap akan penggenapan takdir mereka melampaui masa kini. Hal ini merujuk pada dimensi eskatologis kehidupan kristiani, yang memanggil kita untuk terlibat dalam dunia, sekaligus senantiasa berjuang menuju kekekalan. Sebuah undangan bagimu untuk melapangkan “permintaan,” “pencarian,” dan “pengetukkan” hidupmu melalui doa hingga cakrawala abadi yang melampaui kenyataan dunia ini. Untuk mengarahkan mereka menuju hari Minggu tanpa matahari terbenam ketika “seluruh umat manusia akan masuk ke dalam... perhentian [Allah]” (Misale Romawi [edisi Italia], Prefasi untuk Hari Minggu dalam Masa Biasa X). Dalam hal ini, Konsili Vatikan II memercayakanmu dengan tugas khusus ketika mengatakan bahwa para pelaku hidup bakti dipanggil secara khusus untuk memberi kesaksian tentang “harta masa depan” (bdk. Lumen Gentium, 44).

 

Saudara-saudari terkasih, Tuhan, yang kepada-Nya kamu telah memberikan segalanya, telah menganugerahimu dengan keindahan dan kekayaan yang demikian, dan saya ingin mendorongmu untuk menghargai dan memelihara apa yang telah kamu terima. Akhirnya, marilah kita mengingat kata-kata Santo Paulus VI: “Jagalah,” tulisnya kepada para pelaku hidup bakti, “kesederhanaan ‘yang terkecil’ dalam Injil. Semoga kamu berhasil menemukan kembali hal ini dalam hubungan batin yang lebih dekat dengan Kristus dan dalam kontak langsungmu dengan saudara-saudarimu. Kamu kemudian akan mengalami melalui tindakan Roh Kudus kegembiraan yang meluap-luap dari mereka yang diperkenalkan ke dalam rahasia Kerajaan Allah. Janganlah berusaha untuk terhitung di antara orang-orang yang ‘terpelajar dan pandai’... Rahasia seperti itu tersembunyi dari mereka. Jadilah sungguh miskin, lemah lembut, rindu akan kekudusan, penuh belas kasih dan murni hati. Terhitunglah di antara orang-orang yang akan membawa damai sejahtera Allah kepada dunia” (Santo Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelica Testificatio, 29 Juni 1971, 54).

____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVII (MISA YUBILEUM MIGRAN DAN DUNIA MISIONER) 5 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Hab. 1:2-3; 2:2-4; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; 2Tim. 1:6-8,13-14; Luk. 17:5-10.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Yubileum Migran dan Dunia Misioner. Ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk menghidupkan kembali kesadaran akan panggilan misioner kita, yang muncul dari keinginan untuk membawa sukacita dan penghiburan Injil kepada semua orang, terutama mereka yang sedang mengalami situasi sulit dan menyakitkan. Secara khusus, saya memikirkan saudara-saudari kita para migran, yang harus meninggalkan tanah air mereka, seringkali meninggalkan orang-orang yang mereka kasihi, menanggung malam yang penuh ketakutan dan kesepian, serta mengalami diskriminasi dan kekerasan secara langsung.

 

Kita berada di sini, di makam Rasul Petrus, karena kita masing-masing hendaknya dapat berkata dengan sukacita: seluruh Gereja misioner, dan sangatlah mendesak – sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus – agar kita “pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut.” (Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 23).

 

Roh Kudus mengutus kita untuk melanjutkan karya Kristus di pinggiran dunia, yang terkadang ditandai oleh perang, ketidakadilan, dan penderitaan. Menghadapi situasi-situasi yang mengancam ini, teriakan yang begitu sering dalam sejarah telah dikumandangkan kepada Allah telah muncul kembali: Tuhan, mengapa Engkau tidak turun tangan? Mengapa Engkau seolah-olah tidak hadir? Teriakan dukacita ini merupakan bentuk doa yang meresapi seluruh Kitab Suci dan, pagi ini, kita mendengarnya dari Nabi Habakuk: “Berapa lama lagi, ya Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar ...? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, dan memandangi saja kelaliman?” (Hab 1:2-3).

 

Paus Benediktus XVI, yang telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini selama kunjungan bersejarahnya ke Auschwitz, kembali ke tema tersebut dalam sebuah katekese, dengan menegaskan: “Allah diam dan keheningan ini menusuk jiwa orang yang berdoa, yang terus-menerus memanggil tetapi tidak menerima jawaban … Allah tampak sangat jauh, sangat pelupa, sangat tidak hadir” (Katekese, 14 September 2011).

 

Namun, tanggapan Tuhan membuka pengharapan kita. Jika nabi mengecam kekuatan jahat yang tak terhindarkan yang tampaknya merajalela, Tuhan, di pihak-Nya, menyatakan kepadanya bahwa semua ini akan berakhir, akan berhenti, karena keselamatan akan datang dan tak akan tertunda: "Sesungguhnya, orang yang membusungkna dadfa tidak lurus hatinya, tetapi orang benar akan hidup oleh percayanya" (Hab 2:4).

 

Oleh karena itu, ada kehidupan, kemungkinan baru untuk kehidupan dan keselamatan yang berasal dari iman, karena iman tidak hanya membantu kita melawan kejahatan dan bertekun dalam berbuat baik, tetapi juga mengubah hidup kita sehingga menjadikannya sarana keselamatan yang bahkan hingga saat ini ingin Allah wujudkan di dunia. Dan, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, hal ini tentang kekuatan yang sederhana, karena iman tidak memaksakan diri dengan kekuasaan dan dengan cara-cara yang luar biasa. Sungguh, cukuplah memiliki iman sebesar biji sesawi untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan (bdk. Luk 17:6), karena iman mengandung kekuatan kasih Allah yang membuka jalan menuju keselamatan.

 

Inilah keselamatan yang tergenapi ketika kita mengambil tanggung jawab dan, dengan belas kasih Injil, peduli terhadap penderitaan sesama; inilah keselamatan yang memimpin jalan, secara diam-diam dan tampaknya tanpa hasil, dalam kata-kata dan tindakan sehari-hari, yang menjadi persis seperti benih kecil yang dibicarakan Yesus; inilah keselamatan yang perlahan-lahan bertumbuh ketika kita menjadi "hamba yang tidak layak", yaitu ketika kita menempatkan diri kita dalam pelayanan Injil dan saudara-saudari kita, tidak mencari kepentingan kita sendiri tetapi hanya membawa kasih Allah ke dunia.

 

Dengan meyakini hal ini, kita dipanggil untuk memperbarui api panggilan misioner kita. Sebagaimana ditegaskan Santo Paulus VI, “mewartakan Injil di kurun sejarah manusia yang luar biasa ini, suatu masa yang sungguh belum pernah terjadi sebelumnya, di mana, di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya, terdapat pula kedalaman kebingungan dan keputusasaan yang juga belum pernah terjadi sebelumnya merupakan tanggung jawab kita” (Pesan untuk Hari Minggu Misi Sedunia, 25 Juni 1971).

 

Saudara-saudari, hari ini sebuah era misioner baru terbuka dalam sejarah Gereja.

 

Jika selama ini kita mengaitkan misi dengan kata "pergi", yaitu pergi ke negeri yang jauh yang belum mengenal Injil atau yang mengalami kemiskinan, kini batas-batas misi tidak lagi geografis, karena kemiskinan, penderitaan, dan kerinduan akan pengharapan yang lebih besar telah menghampiri kita. Kisah begitu banyak saudara-saudari kita para migran menjadi saksi akan hal ini: tragedi pelarian mereka dari kekerasan, penderitaan yang menyertainya, ketakutan akan kegagalan, risiko berbahaya berlayar di sepanjang garis pantai, teriakan duka dan keputusasaan mereka. Saudara-saudari, perahu-perahu yang berharap menemukan pelabuhan yang aman, dan mata yang dipenuhi kesedihan dan pengharapan yang berusaha mencapai pantai, tidak dapat dan tidak boleh menemukan dinginnya ketidakpedulian atau stigma diskriminasi!

 

Misi bukan tentang "pergi", melainkan "tetap tinggal" untuk mewartakan Kristus melalui keramahtamahan dan penyambutan, belas kasih, dan kesetiakawanan. Kita harus tetap tinggal tanpa lari menuju kenyamanan individualisme kita; tetap tinggal untuk memperhatikan mereka yang datang dari negeri yang jauh dan penuh kekerasan; tetap tinggal dan membuka tangan serta hati kita bagi mereka, menyambut mereka sebagai saudara-saudari, dan menjadi penghiburan serta pengharapan bagi mereka.

 

Banyak misionaris, baik pria maupun wanita, tetapi juga umat beriman dan orang-orang beritikad baik, yang bekerja melayani para migran, dan mempromosikan budaya persaudaraan baru dengan tema migrasi, melampaui stereotip dan prasangka. Namun, pelayanan yang berharga ini melibatkan kita masing-masing, dalam batasan kemampuan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, inilah saatnya bagi kita semua untuk membiarkan diri kita "berada dalam situasi perutusan yang permanen" (Evangelii Guadium, 25).

 

Hal ini setidaknya mencakup dua tugas misioner yang penting: kerja sama misioner dan panggilan misioner.

 

Pertama-tama, saya memintamu untuk mengembangkan kerja sama misioner yang diperbarui di antara Gereja-Gereja. Dalam komunitas-komunitas tradisi kristiani kuno, seperti di Barat, kehadiran banyak saudara dan saudari dari belahan dunia Selatan hendaknya disambut sebagai sebuah kesempatan, melalui pertukaran yang memperbarui wajah Gereja dan menopang kekristenan yang lebih terbuka, lebih hidup, dan lebih dinamis. Pada saat yang sama, semua misionaris yang berangkat ke negeri-negeri lain dipanggil untuk hidup menghormati budaya yang mereka jumpai, mengarahkan kepada kebaikan segala sesuatu yang dianggap benar dan berharga, dan membawa pesan kenabian Injil ke sana.

 

Saya ingin mengenang keindahan dan pentingnya panggilan misioner. Secara khusus saya merujuk pada Gereja di Eropa: saat ini dibutuhkan upaya misioner baru oleh kaum awam, religius, dan imam yang akan mempersembahkan pelayanan mereka di negeri-negeri misioner. Kita membutuhkan gagasan dan pengalaman panggilan baru yang mampu menopang hasrat ini, terutama di kalangan kaum muda.

 

Sahabat-sahabat terkasih, dengan tulus saya memberikan berkat saya kepada para klerus lokal dari Gereja-Gereja partikular, para misionaris, dan mereka yang sedang menekuni panggilan. Sementara itu, kepada para migran, saya katakan: ketahuilah bahwa kamu selalu diterima! Lautan dan padang gurun yang telah kamu seberangi, Kitab Suci menyebutnya "tempat-tempat keselamatan", di mana Allah hadir untuk menyelamatkan umat-Nya. Saya harap kamu menemukan wajah Allah ini dalam diri para misionaris yang kamu jumpai.

 

Saya memercayakan kamu semua kepada perantaraan Maria, misionaris pertama Putranya, yang bergegas pergi ke daerah perbukitan Yudea, mengandung Yesus dalam rahimnya dan mengabdikan dirinya untuk melayani Elisabet. Semoga Maria menopang kita, agar kita masing-masing dapat menjadi rekan sekerja bagi Kerajaan Kristus, Kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (MISA YUBILEUM KATEKIS) 28 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sabda Yesus menyampaikan kepada kita bagaimana Allah memandang dunia, setiap saat dan di setiap tempat. Kita mendengar dalam Bacaan Injil (Luk 16:19-31) bahwa mata-Nya mengamati orang miskin dan orang kaya: melihat yang satu mati kelaparan dan yang lain makan dengan lahap, yang satu mengenakan pakaian yang indah dan borok yang lain dijilat anjing (bdk. Luk 16:19-21). Namun Tuhan melihat ke dalam hati manusia, dan melalui mata-Nya, kita juga dapat mengenali orang yang berkekurangan dan orang yang acuh tak acuh. Lazarus dilupakan oleh orang yang ada di hadapannya, tepat di balik pintu rumahnya, namun Allah dekat dengannya dan mengingat namanya. Di sisi lain, orang yang hidup berkelimpahan tidak bernama, karena ia telah kehilangan dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya. Ia tersesat dalam pikiran hatinya: penuh dengan harta benda dan hampa kasih. Harta bendanya tidak menjadikannya orang baik.

 

Kisah yang disampaikan Kristus kepada kita, sayangnya, sangat relevan saat ini. Di ambang kemewahan masa kini, terhampar kesengsaraan seluruh bangsa, yang dirusak oleh perang dan eksploitasi. Selama berabad-abad, tampaknya tidak ada yang berubah: betapa banyak Lazarus yang mati di hadapan keserakahan yang melupakan keadilan, di hadapan keuntungan yang menginjak-injak amal kasih, dan di hadapan kekayaan yang buta terhadap penderitaan kaum miskin! Namun Bacaan Injil meyakinkan kita bahwa penderitaan Lazarus akan berakhir. Penderitaannya berakhir sama seperti pesta pora orang kaya itu berakhir, dan Allah memberikan keadilan kepada keduanya: "Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur" (ayat 22). Gereja tanpa lelah mewartakan sabda Tuhan ini, agar dapat membuat hati kita bertobat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, secara kebetulan yang luar biasa, perikop Injil yang sama ini juga diwartakan pada Yubileum Katekis di Tahun Suci Kerahiman. Berbicara kepada para peziarah yang datang ke Roma untuk perayaan tersebut, Paus Fransiskus menekankan bahwa Allah menebus dunia dari segala kejahatan dengan menyerahkan nyawa-Nya demi keselamatan kita. Karya penyelamatan Allah adalah awal dari misi kita karena karya ini mengundang kita untuk memberikan diri kita demi kebaikan semua orang. Paus berkata kepada para katekis: inilah pusat “yang dengannya segala sesuatu berputar, jantung yang berdetak yang memberi hidup kepada segala sesuatu ini adalah pewartaan Paskah, pewartaan pertama: Tuhan Yesus telah bangkit, Tuhan Yesus mengasihimu, dan Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagimu; bangkit dan hidup, Ia dekat denganmu dan menantikanmu setiap hari” (Homili, 25 September 2016). Kata-kata ini membantu kita merenungkan dialog dalam Bacaan Injil antara orang kaya dan Abraham. Permohonan orang kaya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya menjadi panggilan kita untuk bertindak.

 

Berbicara kepada Abraham, orang kaya itu berseru: "Jika ada seseorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat" (Luk. 16:30). Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati" (ayat 31). Nah, satu orang telah bangkit dari antara orang mati: Yesus Kristus. Oleh karena itu, sabda Kitab Suci tidak bermaksud mengecewakan atau mengecilkan hati kita, melainkan membangkitkan hati nurani kita. Mendengarkan Musa dan para nabi berarti mengingat perintah dan janji Allah, yang pemeliharaan-Nya tidak pernah meninggalkan siapa pun. Bacaan Injil mewartakan kepada kita bahwa hidup setiap orang dapat berubah karena Kristus bangkit dari antara orang mati. Peristiwa ini adalah kebenaran yang menyelamatkan kita; oleh karena itu, harus dikenal dan diwartakan. Tetapi itu saja tidak cukup; harus juga dikasihi. Kasihlah yang menuntun kita untuk memahami Injil, karena kasih mengubah kita dengan membuka hati kita terhadap sabda Allah dan terhadap wajah sesama kita.

 

Dalam hal ini, sebagai katekis, kamu adalah murid-murid Yesus yang menjadi saksi-saksi-Nya. Nama pelayananmu berasal dari kata kerja Yunani katÄ“chein, yang berarti "mengajar dengan lantang, bergema." Ini berarti seorang katekis adalah pribadi sabda – sabda yang ia ucapkan dengan hidupnya sendiri. Jadi, katekis pertama kita adalah kedua orang tua kita: mereka yang pertama kali berbicara kepada kita dan mengajari kita berbicara. Sebagaimana kita belajar bahasa ibu kita, demikian pula pewartaan iman tidak dapat didelegasikan kepada orang lain; pewartaan iman terjadi di mana kita tinggal, terutama di rumah kita, di sekitar meja keluarga. Ketika ada suara, gestur, wajah yang menuntun kepada Kristus, keluarga mengalami keindahan Injil.

 

Kita semua telah diajar untuk beriman melalui kesaksian mereka yang telah beriman sebelum kita. Sejak masa kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, bahkan lanjut usia, para katekis mendampingi kita dalam iman, berbagi dalam perjalanan seumur hidup ini, serupa dengan apa yang telah kamu lakukan pada hari-hari ini dalam ziarah Yubileum. Dinamika ini melibatkan seluruh Gereja. Ketika Umat Allah menuntun pria dan wanita kepada iman, “berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (bdk. Luk 2:19, 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti.” (Dei Verbum, 18 November 1965, 8). Dalam persekutuan ini, Katekismus adalah “buku panduan perjalanan” yang melindungi kita dari individualisme dan perselisihan, karena ia menjadi kesaksian iman seluruh Gereja Katolik. Setiap orang percaya bekerja sama dalam karya pastoralnya dengan mendengarkan pertanyaan, ambil bagian dalam pergumulan, dan melayani keinginan akan keadilan dan kebenaran yang bersemayam dalam hati nurani manusia.

 

Beginilah cara para katekis mengajar – secara harfiah dalam bahasa Italia, dengan "meninggalkan jejak." Ketika kita mengajarkan iman, kita tidak sekadar memberi petunjuk, tetapi kita menempatkan sabda kehidupan di dalam hati, agar sabda itu menghasilkan buah-buah kehidupan yang baik. Kepada Diakon Deogratias, yang bertanya kepadanya bagaimana menjadi seorang katekis yang baik, Santo Agustinus menjawab, "Jelaskanlah segala sesuatu sedemikian rupa sehingga orang yang mendengarkanmu, dengan mendengarkan dapat percaya; dengan percaya dapat berharap; dan dengan berharap dapat mengasihi" (Petunjuk Para Pemula dalam Imam, 4, 8).

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita menghayati undangan ini! Marilah kita ingat bahwa tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak dimilikinya. Jika orang kaya dalam Bacaan Injil menunjukkan belas kasihan kepada Lazarus, ia akan berbuat baik bukan hanya bagi orang miskin itu, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Jika orang yang tak disebutkan namanya itu beriman, Allah akan menyelamatkannya dari segala siksaan. Namun, keterikatannya pada kekayaan duniawi merampas harapannya akan kebaikan sejati dan kekal. Ketika kita juga tergoda oleh keserakahan dan ketidakpedulian, banyaknya "Lazarus" hari ini mengingatkan kita akan sabda Yesus. Sabda itu menjadi katekese yang efektif bagi kita, terutama selama Yubileum ini, yang bagi kita semua merupakan masa pertobatan dan pengampunan, komitmen pada keadilan, dan pengupayaan yang tulus akan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXV di PAROKI SANTA ANNA VATIKAN 21 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am. 8:4-7; Mzm. 113:1-2,4-6,7-8; 1Tim. 2:1-8; Luk. 16:1-13.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sangat senang memimpin Ekaristi di Paroki Kepausan Santa Anna ini. Dengan penuh rasa syukur saya menyapa para rohaniwan Agustinian yang melayani di sini, terutama pastor paroki, Pastor Mario Millardi, serta Prior Jenderal Ordo yang baru, yang hadir bersama kita hari ini, Pastor Joseph Farrell. Saya juga ingin menyapa Pastor Gioele Schiavella, yang baru saja merayakan usianya yang ke-103 tahun.

 

Gereja ini berdiri di lokasi yang istimewa, yang juga menjadi kunci bagi pelayanan pastoral yang dijalankan di sana: kita, bisa dikatakan, berada "di perbatasan," dan hampir semua orang yang masuk dan keluar Kota Vatikan melewati Gereja Santa Anna. Ada yang datang untuk bekerja, ada yang datang sebagai tamu atau peziarah, ada yang terburu-buru, ada yang datang dengan cemas atau dengan tenang. Semoga setiap orang mengalami di sini ada pintu dan hati yang terbuka untuk berdoa, mendengarkan, dan beramal!

 

Dalam hal ini, Bacaan Injil yang baru saja diwartakan menantang kita untuk secara saksama memeriksa hubungan kita dengan Allah dan, oleh karena itu, dengan satu sama lain. Yesus menyajikan alternatif yang tegas antara Allah dan kekayaan, meminta kita untuk mengambil posisi yang jelas dan masuk akal. "Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan," oleh karena itu, "kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon" (bdk. Luk 16:13). Ini bukanlah pilihan yang bersifat kebetulan, seperti banyak pilihan lainnya, juga bukan pilihan yang dapat diubah seiring waktu, tergantung situasinya. Kita perlu memutuskan gaya hidup yang sejati. Tentang memilih di mana kita akan menempatkan hati kita, memperjelas siapa yang kita kasihi dengan tulus, siapa yang kita layani dengan penuh dedikasi, dan apa yang benar-benar menjadi kebaikan kita.

 

Inilah sebabnya Yesus membandingkan kekayaan dengan Tuhan: Tuhan berbicara demikian karena Ia tahu kita adalah makhluk yang berkekurangan, hidup kita penuh dengan kebutuhan. Sejak kita lahir, miskin dan telanjang, kita semua membutuhkan perhatian dan kasih sayang, rumah, pangan, sandang. Rasa haus akan kekayaan berisiko menggantikan Tuhan di hati kita ketika kita percaya itu akan menyelamatkan hidup kita, sebagaimana diyakini oleh bendahara yang tidak jujur ​​dalam perumpamaan (bdk. Luk 16:3-7). Inilah godaannya: berpikir bahwa tanpa Tuhan kita masih bisa hidup dengan baik, sementara tanpa kekayaan kita akan sedih dan tersiksa oleh ribuan kebutuhan. Dihadapkan dengan ujian kebutuhan, kita merasa terancam, tetapi alih-alih meminta bantuan dengan percaya dan berbagi dalam persaudaraan, kita dituntun untuk mencari-cari, menimbun, menjadi curiga dan tidak percaya kepada orang lain.

 

Pikiran ini mengubah sesama kita menjadi pesaing, saingan, atau seseorang yang dapat dieksploitasi. Sebagaimana diperingatkan Nabi Amos, mereka yang ingin menjadikan kekayaan sebagai alat dominasi berhasrat untuk "membeli orang lemah karena uang" (Am 8:6), mengeksploitasi kemiskinan mereka. Sebaliknya, Allah mengalokasikan kekayaan ciptaan kepada setiap orang. Kebutuhan kita sebagai makhluk ciptaan dengan demikian membuktikan sebuah janji dan ikatan, yang diperhatikan Tuhan secara pribadi. Pemazmur menggambarkan gaya pemeliharaan-Nya ini: Allah "melihat ke langit dan ke bumi"; Ia "menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur" (Mzm. 113:6-7). Beginilah cara Bapa yang baik bertindak, senantiasa dan terhadap setiap orang: tidak hanya terhadap mereka yang miskin dalam hal-hal duniawi, tetapi juga terhadap kesengsaraan rohani dan moral yang menimpa mereka yang berkuasa maupun yang lemah, yang miskin maupun yang kaya.

 

Sabda Tuhan, sesungguhnya, tidak mengadu domba manusia dalam kelas-kelas yang bersaing, melainkan mendorong setiap orang untuk melakukan revolusi batin, pertobatan yang dimulai dari hati. Tangan kita akan terbuka: memberi, bukan menerima. Pikiran kita akan terbuka: merencanakan masyarakat yang lebih baik, bukan mencari keuntungan dengan harga terendah. Sebagaimana ditulis Santo Paulus, "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua pembesar" (1 Tim 2:1). Hari ini, khususnya, Gereja berdoa agar para pemimpin bangsa dibebaskan dari godaan untuk menggunakan kekayaan melawan kemanusiaan, mengubahnya menjadi senjata yang menghancurkan rakyat dan monopoli yang mempermalukan kaum buruh. Mereka yang melayani Tuhan terbebas dari kekayaan, tetapi mereka yang melayani kekayaan tetap menjadi hambanya! Mereka yang mencari keadilan mengubah kekayaan menjadi kebaikan bersama; mereka yang mencari kekuasaan mengubah kebaikan bersama menjadi mangsa keserakahan mereka sendiri.

 

Kitab Suci menjelaskan keterikatan pada harta benda ini, yang membingungkan hati kita dan merusak masa depan kita.

 

Sahabat-sahabat terkasih, saya berterima kasih atas kerjasamamu dalam berbagai cara untuk menjaga komunitas paroki ini tetap hidup dan atas karya kerasulan yang murah hati. Saya mendorongmu untuk bertekun dengan pengharapan di masa yang terancam perang. Seluruh bangsa saat ini sedang ditindas oleh kekerasan dan terlebih lagi oleh ketidakpedulian yang tak tahu malu, yang menjerumuskan mereka ke dalam nasib sengsara. Menghadapi tragedi-tragedi ini, kita tidak ingin tunduk, melainkan mewartakan dengan kata-kata dan perbuatan bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia, Dia yang membebaskan kita dari segala kejahatan. Semoga Roh-Nya menobatkan hati kita sehingga, dengan dibina oleh Ekaristi, khazanah tertinggi Gereja, kita dapat menjadi saksi kasih dan perdamaian.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 22 September 2025)