Bacaan
Ekaristi : Yeh 43:1-2,4-7a; 1Ptr 2:4-9; Mat. 16:13-20.
"Engkau
adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku"
(Mat 16:18). Saudara-saudari terkasih, kita telah mendengar sabda Yesus ini
saat kita memperingati 125 tahun pemberkatan gereja ini, yang sangat dinantikan
oleh Paus Leo XIII, yang mendukung pembangunannya.
Ia
bermaksud agar bangunan ini, beserta bangunan Kolese Internasional yang
diambil alih, berkontribusi dalam memperkuat kehadiran Benediktin dalam Gereja
dan dunia, melalui persatuan yang semakin erat dalam Konfederasi Benediktin.
Inilah tujuan dibentuknya pelayanan rahib utama. Ia percaya tarekatmu yang
telah lama didirikan dapat memberikan pelayanan yang luar biasa bagi
kesejahteraan seluruh umat Allah di masa yang penuh tantangan, seperti
peralihan dari abad ke-19 menuju abad ke-20.
Memang,
monastisisme, sejak awal, telah menjadi kenyataan "perbatasan", yang
mendorong para manusia pemberani untuk mendirikan pusat doa, karya, dan amal di
tempat-tempat paling terpencil dan sulit dijangkau, yang seringkali mengubah
daerah-daerah terpencil menjadi tanah yang subur dan kaya, baik secara
pertanian maupun ekonomi, tetapi terutama secara rohani. Dengan demikian, biara
semakin menjadi tempat pertumbuhan, kedamaian, keramahtamahan, dan persatuan,
bahkan di masa-masa tergelap dalam sejarah.
Zaman
kita pun tak luput dari tantangan. Perubahan mendadak yang kita saksikan
menantang dan mempertanyakan kita, memunculkan isu-isu yang sebelumnya tak
terlihat. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa, seperti Rasul Petrus, dan
bersamanya Benediktus dan begitu banyak orang lainnya, kita juga dapat menanggapi
tuntutan panggilan yang telah kita terima hanya dengan menempatkan Kristus di
pusat keberadaan dan perutusan kita, dimulai dengan tindakan iman yang membuat
kita mengakui-Nya sebagai Juruselamat dan menerjemahkannya ke dalam doa, studi,
dan komitmen untuk hidup kudus.
Di
sini, semua ini dicapai dengan berbagai cara: pertama dalam liturgi, kemudian
dalam lectio divina, dalam
penelitian, dalam reksa pastoral, dengan melibatkan para rahib dari seluruh
dunia dan dengan keterbukaan terhadap para klerus, biarawan dan biarawati,
serta kaum awam dari berbagai latar belakang dan keadaan. Biara, Athenaeum,
Institut Liturgi, dan kegiatan-kegiatan pastoral yang terkait dengan Gereja,
sesuai dengan ajaran Santo Benediktus, harus semakin bertumbuh dalam sinergi sebagai
"sekolah pelayanan kepada Allah" yang sejati (Santo Benediktus,
Peraturan, Pendahuluan, 45).
Karena
alasan ini, saya merenungkan kerumitan yang kita temukan sebagai kenyataan yang
harus bercita-citakan menjadi jantung yang berdetak dalam tubuh agung dunia
Benediktin, yang berpusat, menurut ajaran Santo Benediktus, pada Gereja.
Bacaan
Pertama (bdk. Yeh 43:1-2,4-7a) menyajikan kepada kita gambaran sungai yang
mengalir dari Bait Suci. Gambaran ini selaras dengan gambaran jantung yang
memompa darah kehidupan ke seluruh tubuh, sehingga setiap anggota dapat
menerima makanan dan kekuatan untuk kepentingan yang lain (bdk. 1Kor 12:20-27);
serta dengan gambaran bangunan rohani yang dibicarakan dalam Bacaan Kedua, yang
didirikan di atas batu karang yang kokoh yaitu Kristus (bdk. 1Ptr 2:4-9).
Dalam
sarang Santo Anselmus yang penuh semangat, semoga inilah tempat dari mana
segala sesuatu bermula dan ke mana segala sesuatu kembali untuk menemukan
verifikasi, konfirmasi, dan pendalaman di hadapan Allah, sebagaimana dianjurkan
Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Athenaeum Kepausan dalam rangka
peringatan seratus tahun berdirinya. Merujuk pada santo pelindungnya, ia
berkata: "Santo Anselmus mengingatkan semua orang [...] bahwa pengetahuan
akan misteri ilahi bukanlah sekadar pencapaian kejeniusan manusia, melainkan
anugerah yang diberikan Allah kepada orang-orang yang rendah hati dan umat
beriman" (Pidato, 1 Juni 1986).
Sebagaimana
telah disebutkan, ia merujuk pada ajaran Doktor Aosta, tetapi kita berharap bahwa
ini juga akan menjadi pesan kenabian yang dibawa lembaga ini kepada Gereja dan
dunia, sebagai pemenuhan misi yang telah kita semua terima, untuk menjadi umat
yang diperoleh Allah agar kita dapat mewartakan karya-karya agung Dia yang
telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (bdk. 1
Ptr 2:9).
Pemberkatan
sebuah bangunan suci, yang di dalamnya ia dikuduskan sebagai tempat pertemuan
antara ruang dan waktu, antara yang terbatas dan yang tak terbatas, antara
manusia dan Allah: sebuah pintu terbuka menuju keabadian, tempat jiwa menemukan
jawaban atas "tegangan antara segala kejadian saat ini dan cahaya waktu,
cakrawala yang lebih luas [...] yang terbuka pada masa depan sebagai sebab
akhir yang menarik kita pada dirinya" (Fransiskus, Seruan Apostolik
Evangelii Gaudium, 222) dalam perjumpaan antara kepenuhan dan keterbatasan yang
menyertai perjalanan duniawi kita adalah momen khidmat dalam sejarah.
Konsili
Vatikan II menggambarkan semua ini dalam salah satu bagian terindahnya, ketika
mendefinisikan Gereja bersifat "sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan
namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun
meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir
[…] sedemikian rupa sehingga dalam Gereja apa yang insani diarahkan dan
diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa
yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada
kota yang akan datang, yang sedang kita cari" (Sacrosanctum Concilium, 2).
Itulah
pengalaman hidup kita dan hidup manusia di dunia ini, dalam pencarian jawaban
hakiki dan mendasar yang dapat dinyatakan "bukan oleh daging maupun
darah", melainkan hanya oleh Bapa yang di surga (bdk. Mat 16:17); yang
pada akhirnya membutuhkan Yesus, "Kristus, Anak Allah yang hidup"
(ayat 16). Kita dipanggil untuk mencari Dia dan kepada-Nya kita dipanggil untuk
membawa semua orang yang kita jumpai, bersyukur atas karunia yang telah Ia
berikan kepada kita, dan terutama atas kasih yang telah lebih dulu Ia berikan
kepada kita (bdk. Rm 5:6). Bait suci ini kemudian akan semakin menjadi tempat
sukacita, tempat kita mengalami keindahan berbagi dengan orang lain apa yang
telah kita terima dengan cuma-cuma (bdk. Mat 10:8).
______
(Peter Suriadi - Bogor, 12 November 2025)




Print this page