Bacaan
Ekaristi : Yes. 35:1-6a,10; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; Yak. 5:7-10; Mat. 11:2-11.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini kita merayakan Yubileum Pengharapan bagi lembaga pemasyarakatan,
narapidana, dan semua orang yang menjaga atau bekerja di lembaga
pemasyarakatan. Pemilihan hari ini, Hari Minggu Adven III, untuk yubileum
khusus ini kaya akan makna, karena hari ini disebut Gereja sebagai Hari Minggu
Gaudete, yang namanya berasal dari kata-kata pertama Antifon Pembuka Misa (bdk.
Flp 4:4). Dalam Tahun Liturgi, Hari Minggu Adven III adalah Hari Minggu
sukacita, yang mengingatkan kita akan aspek cerah dari penantian: keyakinan
bahwa sesuatu yang indah, sesuatu yang penuh sukacita akan terjadi.
Dalam
hal ini, pada tanggal 26 Desember tahun lalu, Paus Fransiskus, ketika membuka
Pintu Suci di Gereja Bapa Kami di Lembaga Pemasyarakatan Rebibbia, menyampaikan
undangan ini kepada semua orang: “Saya mengatakan dua hal kepadamu: Pertama,
peganglah tali, dengan jangkar pengharapan. Kedua, bukalah lebar-lebar pintu
hatimu.” Merujuk pada gambaran yang sudah mengarah pada kekekalan, melampaui
batasan ruang dan waktu (bdk. Ibr 6:17-20), ia mengajak kita untuk tetap
menghidupkan iman kita akan kehidupan yang akan datang dan selalu percaya pada
kemungkinan masa depan yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, ia juga
mendorong kita untuk menjadi orang-orang yang dengan murah hati mengamalkan
keadilan dan kasih di tempat tinggal kita.
Meskipun
penutupan Tahun Yubileum semakin dekat, kita harus mengakui bahwa, terlepas
dari upaya banyak orang, bahkan dalam lembaga pemasyarakatan sekalipun masih
banyak yang perlu dilakukan dalam hal ini. Kata-kata Nabi Yesaya yang baru saja
kita dengar, “orang-orang yang dibebaskan Tuhan akan pulang dan masuk ke Sion
dengan sorak-sorai” (35:10), mengingatkan kita bahwa Allah yang menebus,
membebaskan, dan menyelamatkan. Lebih jauh lagi, kata-kata itu menyampaikan
makna perutusan penting dan menantang bagi kita semua. Tentu saja, lembaga
pemasyarakatan adalah tempat yang sulit dan bahkan tawaran terbaik pun dapat
menghadapi banyak rintangan. Karena alasan ini, kita tidak boleh pernah lelah,
berkecil hati, atau menyerah. Kita harus terus bergerak maju dengan kegigihan,
keberanian, dan semangat kerja sama. Memang, banyak yang belum memahami bahwa
setiap kali jatuh seseorang harus mampu bangkit kembali, bahwa tidak ada
manusia yang hanya didefinisikan oleh perbuatannya, dan bahwa keadilan selalu
merupakan proses perbaikan dan rekonsiliasi.
Namun,
bahkan dalam situasi sulit sekalipun kita mampu mempertahankan dan melestarikan
keindahan perasaan, kepekaan, perhatian terhadap kebutuhan orang lain, rasa
hormat, kemampuan untuk berbelas kasih dan mengampuni, sehingga bunga-bunga
indah tumbuh dari “tanah keras” dosa dan penderitaan. Lebih jauh lagi,
tindakan, rencana, dan perjumpaan, yang unik dalam kemanusiaannya, berkembang
bahkan di dalam tembok lembaga pemasyarakatan. Hal ini melibatkan upaya untuk
mengolah perasaan dan pikiran, yang diperlukan bagi mereka yang kehilangan
kebebasan, tetapi terlebih lagi bagi orang-orang yang memiliki kewajiban untuk
mewakili mereka dan memastikan bahwa mereka diperlakukan secara adil. Yubileum
adalah seruan untuk pertobatan dan, dengan demikian, merupakan sumber
pengharapan dan sukacita.
Oleh
karena itu, pertama-tama memandang Yesus, kemanusiaan dan Kerajaan-Nya di mana
“orang buta melihat, orang lumpuh berjalan … dan orang miskin diberitakan kabar
baik” (Mat 11:5) penting. Kita harus ingat bahwa, meskipun terkadang
mukjizat-mukjizat ini datang melalui campur tangan Allah yang luar biasa, lebih
sering mukjizat-mukjizat itu dipercayakan kepada kita, kepada bela rasa, perhatian,
dan kebijaksanaan kita, serta tanggung jawab komunitas dan lembaga kita.
Hal
ini membawa kita pada dimensi lain dari nubuat yang telah kita dengar:
kewajiban untuk mempromosikan di setiap tempat – dan saya ingin menekankan
khususnya di lembaga pemasyarakatan – sebuah masyarakat yang didirikan
berdasarkan kriteria baru, dan pada akhirnya berdasarkan kasih, sebagaimana
dikatakan Santo Paulus VI pada akhir Tahun Yubileum 1975: “Hal ini – amal kasih
– hendaknya, terutama di ranah kehidupan publik, … menjadi awal dari saat
rahmat dan niat baik yang baru, yang membuka kalender sejarah di hadapan kita:
peradaban kasih!” (Audiensi Umum, 31
Desember 1975).
Untuk
tujuan ini, Paus Fransiskus juga berharap bahwa selama tahun Yubileum ini
“bentuk-bentuk amnesti atau pengampunan yang dimaksudkan untuk membantu
individu mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka sendiri dan
masyarakat" (Bulla Spes Non
Confundit, 10) dapat diberikan dan perwujudan program reintegrasi dalam
masyarakat ditawarkan kepada semua orang (bdk. Spes Non Confundit, 10). Saya berharap banyak negara mengikuti
keinginannya. Sebagaimana kita ketahui, Tahun Yobel, dengan asal-usul
biblisnya, adalah tahun rahmat di mana setiap orang diberi kesempatan untuk
memulai kembali dalam berbagai cara (bdk. Im 25:8-10).
Bacaan
Injil yang telah kita dengar juga berbicara kepada kita tentang kenyataan ini.
Yohanes Pembaptis, ketika ia berkhotbah dan membaptis, mengajak umat untuk
bertobat dan menyeberangi sungai sekali lagi, secara simbolis, seperti pada
zaman Yosua (bdk. Yos 3:17) untuk memasuki dan menduduki “Tanah Terjanji” yang
baru, yaitu hati yang berdamai dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita.
Dalam hal ini, sosok Yohanes sebagai seorang nabi sangat mengesankan: ia jujur,
tegas, dan terus terang, bahkan sampai dipenjara karena kata-katanya yang
berani. Ia bukanlah “buluh yang digoyangkan angin” (Mat 11:7). Namun pada saat
yang sama, ia kaya akan belas kasihan dan pengertian terhadap semua orang yang
dengan tulus bertobat dan berjuang untuk berubah (bdk. Luk 3:10-14).
Dalam
hal ini, Santo Agustinus menyimpulkan salah satu telaahnya yang terkenal
tentang kisah seorang perempuan yang berzina dalam Injil (bdk. Yoh 8:1-11)
dengan mengatakan, “Ketika para penuduh pergi, hanya perempuan malang itu dan
belas kasihan yang tersisa. Dan kepadanya Tuhan berkata, 'Pergilah, dan jangan
berbuat dosa lagi’ (Yoh 8:10-11)” (Sermo
302, 14).
Saudara-saudari
terkasih, tugas yang dipercayakan Tuhan kepadamu — kepada kamu semua, para
narapidana dan mereka yang bekerja di lembaga pemasyarakatan — bukanlah tugas
yang mudah. Ada banyak masalah
yang harus diatasi. Di sini, kita dapat menyebutkan kepadatan yang berlebihan,
kurangnya komitmen untuk menjamin program pendidikan yang stabil untuk
rehabilitasi dan kesempatan kerja. Pada tingkat yang lebih pribadi, janganlah
kita melupakan beban masa lalu, luka yang harus disembuhkan di tubuh dan hati,
kekecewaan, kesabaran tak terbatas yang dibutuhkan terhadap diri sendiri dan
orang lain ketika memulai jalan pertobatan, dan godaan untuk menyerah atau
tidak lagi mengampuni. Namun, Tuhan, mengatasi semua ini, terus mengulangi
kepada kita bahwa hanya satu hal yang penting: supaya tidak seorang pun binasa
(bdk. Yoh 6:39) dan supaya semua orang “diselamatkan” (1Tim 2:4).
Jangan
sampai ada seorang pun yang binasa! Semoga semua orang diselamatkan! Inilah
yang dikehendaki Allah kita, inilah Kerajaan-Nya, dan inilah tujuan
tindakan-Nya di dunia. Menjelang Natal, kita pun ingin semakin menghidupi
impian-Nya, sambil tetap teguh dan setia dalam komitmen kita (bdk. Yak 5:8).
Kita tahu bahwa bahkan dalam menghadapi tantangan terbesar sekalipun, kita
tidak sendirian: Tuhan dekat (bdk. Flp 4:5), Ia berjalan bersama kita, dan
dengan Dia di sisi kita, sesuatu yang indah dan penuh sukacita akan senantiasa
terjadi.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 14 Desember 2025)





Print this page