Bacaan
Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.
Saudara-saudari
terkasih,
Rasul
Paulus menasihati kita masing-masing hari ini, seperti yang ia lakukan kepada
Timotius: "Ingatlah akan Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari
antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud" (2 Tim
2:8). Spiritualitas Maria, yang memelihara iman kita, berpusat pada Yesus.
Spiritualitas ini bagaikan hari Minggu, yang membuka setiap pekan baru dalam
cahaya kebangkitan-Nya dari antara orang mati. "Ingatlah akan Yesus
Kristus": hanya ini yang hakiki; inilah yang membedakan spiritualitas
manusia dari jalan Allah. "Dibelenggu seperti seorang penjahat" (ayat
9), Paulus mendesak kita untuk tidak melupakan apa yang hakiki, dan tidak
mencoreng nama Yesus dari sejarah dan salibnya. Apa yang kita anggap tak
terpuji dan kita salibkan, dibangkitkan Allah karena "Dia tidak dapat menyangkal
diri-Nya" (ayat 13). Yesus adalah kesetiaan Allah, kesetiaan Allah kepada
diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, perayaan hari Minggu hendaknya menjadikan
kita orang kristiani. Perayaan ini hendaknya memenuhi pikiran dan perasaan kita
dengan ingatan membara akan Yesus dan mengubah cara kita hidup bersama serta
cara kita menghuni bumi. Setiap spiritualitas kristiani mengalir dari api ini
dan membantu menjaganya tetap hidup.
Bacaan
dari Kitab 2 Raja-Raja (5:14-17) menceritakan penyembuhan Na'aman, orang Siria.
Yesus sendiri merujuk pada bagian ini ketika Ia berada di rumah ibadat di
Nazaret (bdk. Luk 4:27), dan penafsiran-Nya mengakibatkan kebingungan pada
orang-orang di kota asal-Nya. Mengatakan bahwa Allah telah menyelamatkan
seorang asing yang menderita sakit kulit menular, dan bukan banyak orang yang
menderita sakit kulit menular di Israel, membuat mereka menentang-Nya:
“Mendengar hal itu semua orang di rumah ibadat itu sangat marah. Mereka
bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung,
tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk 4:28-29).
Penginjil Lukas tidak menyebutkan kehadiran Maria. Ia mungkin hadir untuk
menyaksikan apa yang dinyatakan Simeon yang telah lanjut umur kepadanya ketika
ia membawa bayi Yesus yang baru lahir ke Bait Suci: “Sesungguhnya Anak ini
ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk
menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan supaya menjadi nyata pikiran
hati banyak orang. Suatu pedang juga akan menembus jiwamu sendiri” (Luk
2:34-35).
Ya,
sahabat-sahabat terkasih, “firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam daripada
pedang bermata dua mana pun; ia menusuk sangat dalam sampai memisahkan jiwa dan
roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup menilai pikiran dan niat hati kita”
(Ibr 4:12). Paus Fransiskus menganggap kisah Na'aman, orang Siria, sebagai
pesan yang relevan dan tajam bagi kehidupan Gereja. Berbicara kepada Kuria
Roma, beliau mengatakan, “Na'aman terpaksa hidup dalam situasi yang tragis: ia
menderita penyakit kulit menular. Baju zirahnya, yang telah membuatnya
terkenal, pada kenyataannya menutupi kemanusiaan yang rapuh, terluka, dan
berpenyakit. Kita sering menemukan kontradiksi ini dalam hidup kita: terkadang
karunia yang luar biasa adalah baju zirah yang menutupi kelemahan yang besar.
[...] Jika Na'aman terus mengumpulkan medali untuk menghiasi baju zirahnya,
pada akhirnya ia akan dilahap oleh penyakit kulitnya: tampak hidup, namun
terkurung dan terasing dalam penyakitnya.”[1] Yesus membebaskan kita dari
bahaya ini. Ia tidak mengenakan baju zirah; sebaliknya ia lahir dan mati
telanjang. Ia menawarkan karunia-Nya tanpa memaksa orang yang berpenyakit kulit
menular yang disembuhkan untuk mengakui-Nya: hanya orang Samaria dalam Bacaan
Injil yang tampaknya menyadari bahwa ia telah diselamatkan (bdk. Luk.
17:11-19). Barangkali, semakin sedikit gelar yang kita banggakan, semakin jelas
bahwa kasih itu cuma-cuma. Allah adalah karunia murni dan rahmat semata. Namun,
betapa banyak suara dan keyakinan yang dapat memisahkan kita, bahkan hingga
hari ini, dari kebenaran yang sesungguhnya dan revolusioner ini!
Saudara-saudari,
spiritualitas Maria melayani Injil: ia mengungkapkan kesederhanaannya. Kasih
sayang kita kepada Maria dari Nazaret menuntun kita untuk bergabung dengannya
menjadi murid Yesus. Ia mengajarkan kita untuk kembali kepada-Nya serta
memikirkan dan merenungkan peristiwa-peristiwa hidup kita di mana Yesus yang
bangkit masih datang kepada kita dan memanggil kita. Spiritualitas Maria membenamkan
kita dalam sejarah yang di atasnya surga terbuka. Ia membantu kita melihat
orang yang congkak hatinya tercerai-berai dalam keangkuhan mereka, orang yang
berkuasa diturunkan dari takhtanya, dan orang yang kaya disuruh pergi dengan
tangan hampa. Ia mendorong kita untuk melimpahkan segala yang baik kepada orang
yang lapar, meninggikan orang yang rendah, mengingat rahmat Allah, dan percaya
pada kuasa tangan-Nya (bdk. Luk 1:51-54). Yesus mengundang kita untuk menjadi
bagian dari Kerajaan-Nya, sebagaimana Ia meminta Maria untuk mengatakan
"ya," yang, setelah mengatakannya, ia perbarui setiap hari.
Para
penderita penyakit kulit dalam Bacaan Injil yang tidak kembali untuk mengucap
syukur mengingatkan kita bahwa rahmat Allah dapat menyentuh kita dan tidak
menemukan tanggapan. Rahmat itu dapat menyembuhkan kita, namun kita masih bisa
gagal menerimanya. Karena itu, marilah kita berhati-hati untuk tidak pergi ke
Bait Suci dengan cara yang tidak menuntun kita untuk mengikuti Yesus. Beberapa
bentuk ibadah tidak memupuk persekutuan dengan orang lain dan dapat mematikan
hati kita. Dalam kasus ini, kita gagal untuk berjumpa orang-orang yang telah
ditempatkan Allah dalam hidup kita. Kita gagal untuk berkontribusi, seperti
yang dilakukan Maria, untuk mengubah dunia, dan ambil bagian dalam sukacita
Magnificat. Marilah kita berhati-hati untuk menghindari eksploitasi iman apa
pun yang dapat mengarah pada perbedaan pelabelan — seringkali orang miskin —
sebagai musuh, "penderita penyakit kulit" harus dihindari dan
disingkirkan.
Jalan
Maria mengikuti jalan Yesus, yang menuntun kita untuk menjumpai setiap manusia,
terutama mereka yang miskin, terluka, dan berdosa. Karena itu, spiritualitas
Maria yang autentik memancarkan kelembutan Allah, jalan-Nya adalah
"menjadi seorang ibu," menjadi terang dalam Gereja. Sebagaimana kita
baca dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, "setiap kali kita memandang
Maria, kita percaya sekali lagi akan daya revolusioner kasih dan kelembutan. Di
dalam diri Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah
keutamaan-keutamaan dari orang yang lemah, tetapi dari orang yang kuat yang
tidak perlu memperlakukan orang lain secara buruk agar merasa dirinya penting.
Dengan memandang Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah karena
'menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya' dan 'menyuruh orang yang
kaya pergi dengan tangan hampa' (Luk. 1:52-53), juga adalah dia yang membawa
semangat dalam usaha kita meraih keadilan." (no. 288).
Sahabat-sahabat
terkasih, di dunia yang sedang mencari keadilan dan perdamaian, marilah kita
menghidupkan kembali spiritualitas kristiani dan devosi umat kepada
peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat yang diberkati Allah yang telah mengubah
muka bumi selamanya. Marilah kita menggunakannya sebagai penggerak pembaruan
dan transformasi. Sungguh, Yubileum yang kita rayakan menyerukan masa
pertobatan dan pemulihan, masa refleksi dan pembebasan. Semoga Santa Maria,
pengharapan kita, menjadi perantara kita dan terus menuntun kita kepada Yesus,
Tuhan yang tersalib. Di dalam Dia, ada keselamatan bagi semua orang.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2025)