Liturgical Calendar

Featured Posts

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN III (MISA YUBILEUM NARAPIDANA) 14 Desember 2025

Bacaan Ekaristi : Yes. 35:1-6a,10; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; Yak. 5:7-10; Mat. 11:2-11.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Yubileum Pengharapan bagi lembaga pemasyarakatan, narapidana, dan semua orang yang menjaga atau bekerja di lembaga pemasyarakatan. Pemilihan hari ini, Hari Minggu Adven III, untuk yubileum khusus ini kaya akan makna, karena hari ini disebut Gereja sebagai Hari Minggu Gaudete, yang namanya berasal dari kata-kata pertama Antifon Pembuka Misa (bdk. Flp 4:4). Dalam Tahun Liturgi, Hari Minggu Adven III adalah Hari Minggu sukacita, yang mengingatkan kita akan aspek cerah dari penantian: keyakinan bahwa sesuatu yang indah, sesuatu yang penuh sukacita akan terjadi.

 

Dalam hal ini, pada tanggal 26 Desember tahun lalu, Paus Fransiskus, ketika membuka Pintu Suci di Gereja Bapa Kami di Lembaga Pemasyarakatan Rebibbia, menyampaikan undangan ini kepada semua orang: “Saya mengatakan dua hal kepadamu: Pertama, peganglah tali, dengan jangkar pengharapan. Kedua, bukalah lebar-lebar pintu hatimu.” Merujuk pada gambaran yang sudah mengarah pada kekekalan, melampaui batasan ruang dan waktu (bdk. Ibr 6:17-20), ia mengajak kita untuk tetap menghidupkan iman kita akan kehidupan yang akan datang dan selalu percaya pada kemungkinan masa depan yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, ia juga mendorong kita untuk menjadi orang-orang yang dengan murah hati mengamalkan keadilan dan kasih di tempat tinggal kita.

 

Meskipun penutupan Tahun Yubileum semakin dekat, kita harus mengakui bahwa, terlepas dari upaya banyak orang, bahkan dalam lembaga pemasyarakatan sekalipun masih banyak yang perlu dilakukan dalam hal ini. Kata-kata Nabi Yesaya yang baru saja kita dengar, “orang-orang yang dibebaskan Tuhan akan pulang dan masuk ke Sion dengan sorak-sorai” (35:10), mengingatkan kita bahwa Allah yang menebus, membebaskan, dan menyelamatkan. Lebih jauh lagi, kata-kata itu menyampaikan makna perutusan penting dan menantang bagi kita semua. Tentu saja, lembaga pemasyarakatan adalah tempat yang sulit dan bahkan tawaran terbaik pun dapat menghadapi banyak rintangan. Karena alasan ini, kita tidak boleh pernah lelah, berkecil hati, atau menyerah. Kita harus terus bergerak maju dengan kegigihan, keberanian, dan semangat kerja sama. Memang, banyak yang belum memahami bahwa setiap kali jatuh seseorang harus mampu bangkit kembali, bahwa tidak ada manusia yang hanya didefinisikan oleh perbuatannya, dan bahwa keadilan selalu merupakan proses perbaikan dan rekonsiliasi.

 

Namun, bahkan dalam situasi sulit sekalipun kita mampu mempertahankan dan melestarikan keindahan perasaan, kepekaan, perhatian terhadap kebutuhan orang lain, rasa hormat, kemampuan untuk berbelas kasih dan mengampuni, sehingga bunga-bunga indah tumbuh dari “tanah keras” dosa dan penderitaan. Lebih jauh lagi, tindakan, rencana, dan perjumpaan, yang unik dalam kemanusiaannya, berkembang bahkan di dalam tembok lembaga pemasyarakatan. Hal ini melibatkan upaya untuk mengolah perasaan dan pikiran, yang diperlukan bagi mereka yang kehilangan kebebasan, tetapi terlebih lagi bagi orang-orang yang memiliki kewajiban untuk mewakili mereka dan memastikan bahwa mereka diperlakukan secara adil. Yubileum adalah seruan untuk pertobatan dan, dengan demikian, merupakan sumber pengharapan dan sukacita.

 

Oleh karena itu, pertama-tama memandang Yesus, kemanusiaan dan Kerajaan-Nya di mana “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan … dan orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat 11:5) penting. Kita harus ingat bahwa, meskipun terkadang mukjizat-mukjizat ini datang melalui campur tangan Allah yang luar biasa, lebih sering mukjizat-mukjizat itu dipercayakan kepada kita, kepada bela rasa, perhatian, dan kebijaksanaan kita, serta tanggung jawab komunitas dan lembaga kita.

 

Hal ini membawa kita pada dimensi lain dari nubuat yang telah kita dengar: kewajiban untuk mempromosikan di setiap tempat – dan saya ingin menekankan khususnya di lembaga pemasyarakatan – sebuah masyarakat yang didirikan berdasarkan kriteria baru, dan pada akhirnya berdasarkan kasih, sebagaimana dikatakan Santo Paulus VI pada akhir Tahun Yubileum 1975: “Hal ini – amal kasih – hendaknya, terutama di ranah kehidupan publik, … menjadi awal dari saat rahmat dan niat baik yang baru, yang membuka kalender sejarah di hadapan kita: peradaban kasih!” (Audiensi Umum, 31 Desember 1975).

 

Untuk tujuan ini, Paus Fransiskus juga berharap bahwa selama tahun Yubileum ini “bentuk-bentuk amnesti atau pengampunan yang dimaksudkan untuk membantu individu mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka sendiri dan masyarakat" (Bulla Spes Non Confundit, 10) dapat diberikan dan perwujudan program reintegrasi dalam masyarakat ditawarkan kepada semua orang (bdk. Spes Non Confundit, 10). Saya berharap banyak negara mengikuti keinginannya. Sebagaimana kita ketahui, Tahun Yobel, dengan asal-usul biblisnya, adalah tahun rahmat di mana setiap orang diberi kesempatan untuk memulai kembali dalam berbagai cara (bdk. Im 25:8-10).

 

Bacaan Injil yang telah kita dengar juga berbicara kepada kita tentang kenyataan ini. Yohanes Pembaptis, ketika ia berkhotbah dan membaptis, mengajak umat untuk bertobat dan menyeberangi sungai sekali lagi, secara simbolis, seperti pada zaman Yosua (bdk. Yos 3:17) untuk memasuki dan menduduki “Tanah Terjanji” yang baru, yaitu hati yang berdamai dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita. Dalam hal ini, sosok Yohanes sebagai seorang nabi sangat mengesankan: ia jujur, tegas, dan terus terang, bahkan sampai dipenjara karena kata-katanya yang berani. Ia bukanlah “buluh yang digoyangkan angin” (Mat 11:7). Namun pada saat yang sama, ia kaya akan belas kasihan dan pengertian terhadap semua orang yang dengan tulus bertobat dan berjuang untuk berubah (bdk. Luk 3:10-14).

 

Dalam hal ini, Santo Agustinus menyimpulkan salah satu telaahnya yang terkenal tentang kisah seorang perempuan yang berzina dalam Injil (bdk. Yoh 8:1-11) dengan mengatakan, “Ketika para penuduh pergi, hanya perempuan malang itu dan belas kasihan yang tersisa. Dan kepadanya Tuhan berkata, 'Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi’ (Yoh 8:10-11)” (Sermo 302, 14).

 

Saudara-saudari terkasih, tugas yang dipercayakan Tuhan kepadamu — kepada kamu semua, para narapidana dan mereka yang bekerja di lembaga pemasyarakatan — bukanlah tugas yang mudah. ​​Ada banyak masalah yang harus diatasi. Di sini, kita dapat menyebutkan kepadatan yang berlebihan, kurangnya komitmen untuk menjamin program pendidikan yang stabil untuk rehabilitasi dan kesempatan kerja. Pada tingkat yang lebih pribadi, janganlah kita melupakan beban masa lalu, luka yang harus disembuhkan di tubuh dan hati, kekecewaan, kesabaran tak terbatas yang dibutuhkan terhadap diri sendiri dan orang lain ketika memulai jalan pertobatan, dan godaan untuk menyerah atau tidak lagi mengampuni. Namun, Tuhan, mengatasi semua ini, terus mengulangi kepada kita bahwa hanya satu hal yang penting: supaya tidak seorang pun binasa (bdk. Yoh 6:39) dan supaya semua orang “diselamatkan” (1Tim 2:4).

 

Jangan sampai ada seorang pun yang binasa! Semoga semua orang diselamatkan! Inilah yang dikehendaki Allah kita, inilah Kerajaan-Nya, dan inilah tujuan tindakan-Nya di dunia. Menjelang Natal, kita pun ingin semakin menghidupi impian-Nya, sambil tetap teguh dan setia dalam komitmen kita (bdk. Yak 5:8). Kita tahu bahwa bahkan dalam menghadapi tantangan terbesar sekalipun, kita tidak sendirian: Tuhan dekat (bdk. Flp 4:5), Ia berjalan bersama kita, dan dengan Dia di sisi kita, sesuatu yang indah dan penuh sukacita akan senantiasa terjadi.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 14 Desember 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PESTA BUNDA MARIA DARI GUADALUPE 12 Desember 2025

Bacaan Ekaristi : Sir 24:23-31; Luk 1:39-48.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam bacaan dari Kitab Putra Sirakh, kita disajikan deskripsi puitis tentang hikmat, sebuah gambaran yang menemukan kepenuhan jatidirinya dalam Kristus, “hikmat Allah” (1Kor 1:24), yang, setelah genap waktunya, menjadi manusia, lahir dari seorang perempuan (bdk. Gal 4:4). Tradisi kristiani juga membaca bagian ini dalam terang Maria, karena mengingatkan kita pada perempuan yang dipersiapkan Allah untuk menerima Kristus. Sesungguhnya, siapa lagi selain Maria yang dapat berkata, “Di dalam aku terdapat segenap rahmat jalan dan kebenaran, segenap harapan hidup dan kebajikan” (Sir 24:25)? Karena alasan ini, tradisi kristiani tidak ragu untuk mengakuinya sebagai “ibu dari kasih” (idem, ayat 18).

 

Dalam Bacaan Injil, kita mendengar bagaimana Maria mengalami dinamika seorang yang membiarkan sabda Allah memasuki hidupnya dan mengubah rupa hidupnya. Seperti api yang berkobar-kobar yang tidak dapat dibendung, sabda Allah mendorong kita untuk berbagi sukacita karunia yang diterima (bdk. Yer 20:9; Luk 24:32). Bersukacita atas pemberitaan malaikat, ia memahami bahwa sukacita Allah digenapi dalam amal kasih, dan karena itu ia bergegas ke rumah Elisabet.

 

Sesungguhnya, kata-kata sang penuh rahmat “lebih manis daripada madu” (Sir 24:20). Sapaannya saja sudah cukup membuat anak dalam kandungan Elisabet melonjak karena penuh sukacita, dan Elisabet, yang penuh dengan Roh Kudus, bertanya pada dirinya sendiri, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1:43). Sukacita ini mencapai puncaknya dalam Magnificat, di mana Maria mengakui kebahagiaannya berasal dari Allah yang setia, yang telah mengarahkan pandangan-Nya kepada umat-Nya dan memberkati mereka (bdk. Mzm 67:2) dengan warisan yang lebih manis daripada sarang madu (bdk. Sir 24:19): kehadiran Putra-Nya sendiri.

 

Sepanjang hidupnya, Maria membawa sukacita ini ke tempat-tempat di mana sukacita manusia tidak mencukupi, di mana anggur telah habis (bdk. Yoh 2:3). Inilah yang terjadi di Guadalupe. Di Tepeyac, ia membangkitkan sukacita dalam diri penduduk Amerika karena mengetahui bahwa mereka dikasihi Allah. Dalam penampakan tahun 1531, berbicara kepada Santo Juan Diego dalam bahasa setempatnya, ia menyatakan bahwa ia "sangat menginginkan" agar sebuah "rumah kecil yang suci" dibangun di sana, tempat ia akan menyembah Allah dan menyatakan Dia (bdk. Nican Mopohua, 26-27). Di tengah konflik, ketidakadilan, dan penderitaan yang tak berkesudahan yang membutuhkan pertolongan, Bunda Maria dari Guadalupe menyatakan inti pesannya: "Bukankah aku di sini, aku yang adalah ibumu?" (idem, 119). Ia adalah suara yang membuat janji kesetiaan ilahi bergema, kehadiran yang menopang ketika hidup menjadi tak tertahankan.

 

Keibuan yang ia beritakan membuat kita menemukan diri kita sebagai anak-anak. Siapa pun yang mendengar “Aku adalah ibumu” akan ingat bahwa, dari salib, “Inilah ibumu” berkaitan dengan “Inilah anakmu” (bdk. Yoh 19:26-27). Dan sebagai anak-anak, kita akan berpaling kepadanya untuk bertanya, “Ibu, apa yang harus kami lakukan agar menjadi anak-anak yang dikehendaki hatimu?” Ia, setia pada perutusannya, akan dengan lembut berkata kepada kita, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah itu” (Yoh 2:5). Ya, Ibu, kami ingin menjadi anak-anakmu yang sejati: beritahu kami bagaimana bertumbuh dalam iman ketika kekuatan kami melemah dan bayang-bayang semakin besar. Bantulah kami memahami bahwa bersamamu, bahkan musim dingin sekali pun menjadi masa bunga mawar.

 

Dan sebagai anakmu, aku memohon kepadamu: Ibu, ajari bangsa-bangsa yang ingin menjadi anak-anakmu untuk tidak memecah belah dunia menjadi pihak-pihak yang tidak dapat didamaikan, tidak membiarkan kebencian menandai sejarah mereka, atau kebohongan menulis ingatan mereka. Tunjukkan kepada mereka bahwa otoritas harus dijalankan sebagai pelayanan, bukan sebagai dominasi. Arahkan para pemimpin mereka tentang kewajiban mereka untuk menjaga martabat setiap orang dalam semua tahap kehidupan. Jadikan bangsa-bangsa ini, anak-anakmu, tempat di mana setiap orang dapat merasa diterima.

 

Bunda, dampingi orang muda, agar mereka menerima dari Kristus kekuatan untuk memilih kebaikan dan keberanian untuk tetap teguh dalam iman, bahkan ketika dunia berusaha menarik mereka ke arah lain. Tunjukkan kepada mereka bahwa Putra-Mu berjalan di samping mereka. Jangan biarkan apa pun mengganggu hati mereka sehingga mereka dapat menerima rencana Allah tanpa rasa takut. Lindungi mereka dari ancaman kejahatan, kecanduan, dan bahaya kehidupan yang tidak bermakna.

 

Bunda, carilah mereka yang telah tersesat dari Gereja yang kudus: biarlah pandangan-Mu menjangkau mereka di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan kami, hancurkan tembok-tembok yang memisahkan kami, dan bawalah mereka kembali ke rumah dengan kekuatan kasih-Mu. Bunda, aku memohon kepadamu untuk mengarahkan hati mereka yang menabur perselisihan kepada kehendak Putra-Mu supaya "semua menjadi satu" (Yoh 17:21) dan memulihkan mereka kepada kasih yang memungkinkan persekutuan, karena di dalam Gereja, Bunda, anak-anak-Mu tidak dapat terpecah belah.

 

Kuatkanlah keluarga: semoga orang tua, mengikuti teladanmu, membesarkan anak-anak mereka dengan kelembutan dan ketegasan, sehingga setiap rumah dapat menjadi sekolah iman. Bunda, ilhamilah mereka yang membentuk pikiran dan hati agar mereka dapat menyampaikan kebenaran dengan kelembutan, ketelitian, dan kejelasan yang berasal dari Injil. Doronglah mereka yang telah dipanggil Putramu untuk mengikuti-Nya lebih dekat: dukunglah para klerus dan para pelaku hidup bakti dalam kesetiaan sehari-hari dan perbaruilah cinta pertama mereka. Jagalah kehidupan batin mereka dalam doa, lindungilah mereka dalam godaan, doronglah mereka dalam kelelahan, dan bantulah orang-orang yang menderita.

 

Perawan suci, semoga kami, seperti engkau, menyimpan Injil di dalam hati kami (bdk. Luk 2:51). Bantulah kami untuk memahami bahwa, meskipun kami adalah penerimanya, kami bukan pemilik pesan ini, tetapi, seperti Santo Yohanes Diego, kami hanyalah hamba-hambanya. Semoga kami hidup dengan keyakinan bahwa di mana pun Kabar Baik tiba, semuanya menjadi indah, semuanya dipulihkan, semuanya diperbarui. “Siapa yang mengikutimu, ia tidak akan berdosa” (bdk. Sir 24:22); Bantulah kami agar kami tidak menodai kekudusan Gereja dengan dosa dan penderitaan kami, yang, seperti engkau, adalah seorang ibu.

 

Bunda “Allah sejati yang oleh-Nya kita hidup,” datanglah menolong Penerus Petrus, agar ia dapat meneguhkan semua orang yang dipercayakan kepadanya di jalan yang sama yang menuntun kepada buah rahimmu yang terberkati. Ingatkanlah putramu ini, “yang dipercayakan Kristus kunci Kerajaan Surga untuk kebaikan semua orang,” agar kunci ini dapat berfungsi “untuk mengikat dan melepaskan serta menebus segenap penderitaan manusia” (Santo Yohanes Paulus II, Khotbah di Syracuse, 6 November 1994). Dan anugerahilah, dengan mengandalkan perlindungan-Mu, agar kami dapat semakin erat bersatu, dengan Yesus dan dengan satu sama lain, menuju tempat kediaman kekal yang telah Ia persiapkan bagi kami dan di mana engkau menanti kami. Amin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Desember 2025) 

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA DI TEPI LAUT BEIRUT (LEBANON) 2 Desember 2025

Bacaan Ekaristi : Yes 11:1-10; Mzm 72:2.7-8.12-13.17; Luk 10:21-24.

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Di penghujung hari-hari penuh gejolak ini, yang telah kita lalui bersama dengan penuh sukacita, kita bersyukur kepada Tuhan atas banyak karunia kebaikan-Nya, kehadiran-Nya di antara kita, Sabda-Nya yang secara berlimpah Ia tawarkan kepada kita, dan memperkenankan kita bersama-sama dengan Dia.

 

Sebagaimana baru saja kita dengar dalam Bacaan Injil, Yesus juga mengucap syukur kepada Bapa dan, berpaling kepada-Nya, berdoa, "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi" (Luk 10:21).

 

Namun, pujian tidak selalu menemukan tempat dalam diri kita. Terkadang, terbebani oleh pergumulan hidup, kekhawatiran akan banyaknya masalah di sekitar kita, lumpuh karena ketidakberdayaan dalam menghadapi kejahatan, dan tertekan oleh begitu banyak situasi sulit, kita lebih cenderung pasrah dan meratap daripada takjub dan bersyukur.

 

Rakyat ​​Lebanon yang terkasih, saya mengajakmu untuk senantiasa memupuk sikap memuji dan bersyukur. Kamu adalah penerima keindahan langka negerimu yang telah dipersemarak Tuhan. Pada saat yang sama, kamu adalah saksi sekaligus korban bagaimana kejahatan, dalam berbagai bentuknya, dapat mengaburkan kemegahan ini.

 

Dari lapangan terbuka yang menghadap ke laut ini, saya juga dapat merenungkan keindahan Lebanon yang dinyanyikan dalam Kitab Suci. Tuhan menanam pohon-pohon aras-Nya yang tinggi di sini, memelihara dan menyiraminya (bdk. Mzm. 104:16). Ia membuat pakaian pengantin perempuan dalam Kidung Agung beraroma negeri ini (bdk. 4:11), dan di Yerusalem, kota suci yang diselubungi cahaya untuk kedatangan Mesias, Ia mengumumkan: "Kepadamu akan dibawa kemuliaan Lebanon: pohon sanobar, berangan, dan cemara untuk mempersemarak tempat kudus-Ku; Aku hendak memuliakan tempat kaki-Ku berpijak" (Yes. 60:13).

 

Namun, keindahan ini dibayangi oleh kemiskinan dan penderitaan, luka-luka yang telah menandai sejarahmu. Dalam hal ini, saya baru saja mengunjungi pelabuhan untuk berdoa di lokasi ledakan. Keindahan negaramu juga dibayangi oleh banyaknya masalah yang menimpamu, konteks politik yang rapuh dan seringkali tidak stabil, krisis ekonomi dramatis yang membebanimu, serta kekerasan dan konflik yang telah membangkitkan kembali ketakutan-ketakutan lama.

 

Dalam skenario seperti itu, rasa syukur mudah tergantikan oleh kekecewaan, nyanyian pujian tak menemukan tempat dalam kesunyian hati, dan pengharapan dikeringkan oleh ketidakpastian dan kebingungan.

 

Namun, sabda Tuhan mengundang kita untuk menemukan cahaya-cahaya kecil yang bersinar di tengah malam, baik untuk membuka diri kita kepada rasa syukur maupun memacu kita kepada komitmen bersama demi negeri ini.

 

Sebagaimana telah kita dengar, alasan Yesus mengucap syukur kepada Bapa bukan karena karya-Nya yang luar biasa, melainkan karena Ia menyatakan kebesaran-Nya secara khusus kepada orang kecil dan rendah hati, kepada orang yang tidak menarik perhatian dan tampaknya tidak berarti atau sama sekali tidak berarti, serta tidak bersuara. Kerajaan yang didatangkan Yesus untuk diresmikan ditandai, pada kenyataannya, oleh karakteristik yang digambarkan Nabi Yesaya: ia adalah sebuah tunas, cabang kecil yang tumbuh dari tunggul pohon (bdk. Yes 11:1). Ia adalah tanda kecil pengharapan yang menjanjikan kelahiran kembali ketika segala sesuatu yang lain tampaknya sedang sekarat. Sungguh, kedatangan Mesias diumumkan dalam tunas yang kecil, karena Ia hanya dapat dikenali oleh orang kecil, oleh orang yang dengan rendah hati tahu bagaimana mengenali rincian dan jejak tersembunyi Allah dalam kisah yang tampaknya sirna.

 

Ini juga merupakan indikasi bagi kita, agar kita memiliki mata yang mampu mengenali betapa kecilnya tunas yang muncul dan tumbuh bahkan di tengah masa yang menyakitkan. Bahkan di sini dan saat ini, kita dapat melihat cahaya-cahaya kecil yang bersinar di malam hari, tunas-tunas kecil yang bersemi, dan benih-benih kecil yang ditanam di taman yang gersang di era sejarah ini. Saya memikirkan imanmu yang tulus dan murni, yang berakar dalam keluargamu dan dipupuk oleh sekolah-sekolah kristiani. Saya memikirkan karya paroki, tarekat, dan gerakan yang terus-menerus untuk menjawab pertanyaan dan kebutuhan umat. Saya memikirkan banyak imam dan pelaku hidup bakti yang mengabdikan diri untuk bermisi di tengah berbagai kesulitan, dan umat awam yang mengabdikan diri pada karya amal dan penyebaran Injil dalam masyarakat. Atas cahaya-cahaya ini yang berusaha menerangi kegelapan malam, dan atas tunas-tunas kecil dan tak kasat mata ini yang tetap membuka pengharapan untuk masa depan, hari ini kita bersama Yesus mengatakan, "Kami bersyukur kepada-Mu, Bapa!" Kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau menyertai kami dan jangan biarkan kami goyah.

 

Pada saat yang sama, rasa syukur ini tidak boleh hanya menjadi penghiburan introspektif dan ilusi. Rasa syukur harus menuntun kita pada transformasi hati, pertobatan hidup, dan kesadaran bahwa Allah telah menciptakan kita justru untuk hidup dalam terang iman, janji pengharapan, dan sukacita kasih. Oleh karena itu, kita semua dipanggil untuk menumbuhkan tunas-tunas ini, tidak berkecil hati, tidak menyerah pada nalar kekerasan dan penyembahan berhala uang, dan tidak menyerah dalam menghadapi kejahatan yang menyebar.

 

Setiap orang harus melakukan bagiannya, dan kita harus menyatukan upaya agar negeri ini dapat kembali ke kejayaannya. Melucuti hati kita adalah satu-satunya cara untuk melakukannya. Marilah kita tanggalkan perisai perpecahan etnis dan politik kita, buka pengakuan agama kita untuk saling bertemu, dan bangkitkan kembali dalam hati kita impian Lebanon yang bersatu. Lebanon di mana perdamaian dan keadilan berkuasa, di mana semua orang saling mengakui sebagai saudara dan saudari, dan, akhirnya, di mana sabda Nabi Yesaya dapat digenapi: "Serigala akan tinggal bersama domba, dan macan tutul akan berbaring di samping anak kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan bersama-sama" (Yes 11:6).

 

Inilah impian yang dipercayakan kepadamu; inilah yang diserahkan Allah sumber damai ke dalam tanganmu. Lebanon, bangkitlah! Jadilah rumah keadilan dan persaudaraan! Jadilah tanda perdamaian yang profetik bagi seluruh kawasan Levant!

 

Saudara-saudari, saya juga ingin mengulang sabda Yesus: "Aku bersyukur kepadai-Mu, Bapa." Aku bersyukur kepada Tuhan karena hari-hari ini telah ambil bagian denganmu. Seraya menyimpan penderitaan dan pengharapanmu dalam hati saya, saya berdoa agar negeri Levant ini senantiasa diterangi oleh iman kepada Yesus Kristus, matahari keadilan. Saya juga berdoa agar melalui rahmat Kristus, Lebanon akan bertekun dalam pengharapan yang tak pernah mengecewakan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Desember 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN I DI VOLKSWAGEN ARENA, ISTANBUL, TURKI 29 November 2025

Bacaan Ekaristi : Yes. 2:1-5; Mzm. 122:1-2,4-5,6-7,8-9; Rm. 13:11-14a; Mat. 24:37-44.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Kita merayakan Misa ini menjelang hari di mana Gereja memperingati Santo Andreas, rasul dan pelindung negeri ini. Bersamaan dengan itu, kita memulai Masa Adven, masa mempersiapkan diri untuk menghayati kembali misteri Yesus, Putra Allah, yang "dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa" (Syahadat Nicea-Konstantinopel), sebagaimana dideklarasikan secara khidmat 1.700 tahun yang lalu oleh para Bapa Konsili Nicea.

 

Dalam konteks ini, Bacaan Pertama (Yes 2:1-5) Misa hari ini berasal dari salah satu bagian terindah dalam kitab Nabi Yesaya, di mana ajakan bergema, memanggil semua orang untuk naik ke gunung Tuhan (bdk. ayat 3), tempat terang dan damai. Oleh karena itu, saya ingin merenungkan bersama apa artinya menjadi bagian dari Gereja dengan merefleksikan beberapa gambaran yang disajikan dalam teks ini.

 

Gambaran pertama adalah gunung yang "akan tegak melampaui puncak gunung-gunung" (bdk. Yes 2:2). Gambaran ini mengingatkan kita bahwa buah dari tindakan Allah dalam hidup kita adalah anugerah bukan hanya bagi kita, tetapi bagi semua orang. Sion adalah kota yang terletak di atas gunung dan simbol komunitas yang terlahir kembali dalam kesetiaan. Keindahannya adalah mercusuar cahaya bagi orang-orang dari segala tempat, dan berfungsi sebagai pengingat bahwa sukacita kebaikan itu menjangkiti. Kehidupan banyak orang kudus menegaskan hal ini. Santo Petrus bertemu Yesus berkat antusiasme Andreas, saudaranya (bdk. Yoh 1:40-42), yang dituntun kepada Tuhan, bersama Rasul Yohanes, berkat semangat Yohanes Pembaptis. Santo Agustinus, berabad-abad kemudian, datang kepada Kristus berkat khotbah Santo Ambrosius yang bersemangat dan masih banyak contoh serupa.

 

Di sini kita menemukan ajakan untuk memperbarui kekuatan kesaksian iman kita. Santo Yohanes Krisostomus, seorang gembala agung Gereja ini, berbicara tentang daya tarik kekudusan sebagai tanda yang jauh lebih mengesankan ketimbang banyak mukjizat. Ia berkata, “Mukjizat terjadi dan berlalu, tetapi kehidupan Kristiani tetap ada dan terus-menerus membangun” (Ulasan Injil Matius, 43, 5). Sebagai penutup, ia menasihati, “Karena itu marilah kita menjaga diri kita, agar kita juga dapat memberi manfaat kepada orang lain” (idem). Sahabat-sahabat terkasih, jika kita sungguh ingin membantu orang-orang yang kita jumpai, marilah kita “berjaga-jaga”, sebagaimana dianjurkan Bacaan Injil (bdk. Mat 24:42) dengan membina iman kita melalui doa dan sakramen-sakramen, mengamalkannya secara konsisten dalam kasih, dan menanggalkan — sebagaimana dikatakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua — perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang (bdk. Rm 13:12). Tuhan, yang kita nanti-nantikan dalam kemuliaan di akhir zaman, datang setiap hari untuk mengetuk pintu kita. Marilah kita siap sedia menyambut kedatangan-Nya (bdk. Mat 24:44), dengan sungguh-sungguh berkomitmen untuk menjalani hidup yang baik, mengikuti teladan banyak orang kudus, orang-orang, yang telah tinggal di negeri ini sepanjang masa.

 

Gambaran kedua yang kita peroleh dari Nabi Yesaya adalah dunia yang damai. Ia menggambarkannya demikian: "Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang melawan bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belajar perang" (Yes 2:4). Betapa mendesaknya panggilan ini bagi kita saat ini! Betapa besar kebutuhan akan perdamaian, kesatuan, dan rekonsiliasi di sekitar kita, di dalam diri kita, dan di antara kita! Apa kontribusi kita sebagai tanggapannya?

 

Untuk lebih memahami hal ini, marilah kita lihat logo perjalanan ini, di mana salah satu gambar yang dipilih adalah sebuah jembatan. Logo perjalanan ini juga dapat mengingatkan kita pada jembatan yang terkenal di kota ini, yang melintasi Selat Bosporus dan menyatukan dua benua: Asia dan Eropa. Seiring berjalannya waktu, dua penyeberangan lainnya telah dibangun, sehingga kini terdapat tiga titik penghubung antara kedua benua. Ketiga struktur komunikasi, pertukaran, dan perjumpaan yang luar biasa ini sungguh mengesankan, namun sangat kecil dan rapuh dibandingkan dengan luasnya wilayah yang dihubungkan.

 

Jembatan tiga dimensi yang membentang melintasi selat ini mengingatkan kita akan pentingnya upaya bersama kita untuk membangun jembatan kesatuan di tiga tingkatan: di dalam komunitas, dalam hubungan ekumenis dengan anggota denominasi kristiani lain, dan dalam perjumpaan kita dengan saudara-saudari yang beragama lain. Memelihara ketiga ikatan ini, memperkuat dan memperluasnya dengan segala cara yang mungkin, merupakan bagian dari panggilan kita untuk menjadi kota yang terletak di atas gunung (bdk. Mat 5:14-16).

 

Ikatan kesatuan pertama yang baru saja saya sebutkan adalah ikatan di dalam Gereja ini, yang di negeri ini terdiri dari empat tradisi liturgi yang berbeda — Latin, Armenia, Kaldean, dan Suriah. Masing-masing tradisi menyumbangkan kekayaan spiritual, historis, dan gerejawi. Ambil bagian dalam perbedaan-perbedaan ini dengan jelas menunjukkan salah satu ciri terindah dari wajah Mempelai Kristus: kekatolikan yang mempersatukan. Kesatuan yang mengikat kita bersama di sekitar altar adalah karunia Allah. Karena itu, kesatuan tersebut kuat dan tak terkalahkan, karena merupakan karya rahmat-Nya. Namun, pada saat yang sama, perwujudan kesatuan ini pada waktunya dipercayakan kepada kita, kepada usaha kita. Karena alasan ini, seperti jembatan di atas Selat Bosporus, kesatuan membutuhkan kepedulian, perhatian, dan "pemeliharaan," agar fondasinya tetap kokoh dan tidak melemah oleh waktu dan perubahan. Dengan mata kita tertuju kepada gunung yang dijanjikan, gambaran Yerusalem surgawi, tujuan dan ibu kita (bdk. Gal 4:26), marilah kita berupaya semaksimal mungkin untuk memelihara dan memperkuat ikatan yang mempersatukan kita, sehingga kita dapat saling memperkaya dan menjadi tanda yang dapat dipercaya di hadapan dunia akan kasih Tuhan yang universal dan tak terbatas.

 

Ikatan kesatuan kedua yang disiratkan oleh liturgi ini adalah ekumenisme. Hal ini juga dibuktikan dengan kehadiran para perwakilan dari pengakuan iman kristiani lainnya, yang saya sambut dengan hangat. Sungguh, iman yang sama kepada Yesus, Juruselamat kita, tidak hanya mempersatukan kita yang berada di dalam Gereja Katolik, tetapi juga semua saudara dan saudari kita yang tergabung dalam Gereja kristiani lainnya. Kita mengalami hal ini kemarin dalam doa kita di İznik. Ini juga merupakan jalan yang telah kita tempuh bersama selama beberapa waktu. Santo Yohanes XXIII, yang terhubung dengan tanah ini melalui ikatan kasih sayang yang mendalam, adalah seorang promotor besar, dan saksi, bagi persekutuan ekumenis. Oleh karena itu, seraya kita memohon dalam kata-kata Paus Yohanes agar “misteri agung kesatuan yang dimohonkan Kristus Yesus kepada Bapa surgawi dengan doa-doa yang sungguh-sungguh pada malam pengorbanan-Nya dapat digenapi” (Wejangan Pembukaan Konsili Ekumenis Vatikan II, 11 Oktober 1962, 8.2), hari ini kita memperbarui “ya” kita untuk kesatuan, “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21), ut unum sint.

 

Ikatan kesatuan ketiga, yang kepadanya sabda Allah memanggil kita, adalah ikatan dengan anggota komunitas nonkristiani. Kita hidup di dunia di mana agama terlalu sering digunakan untuk membenarkan peperangan dan kekejaman. Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Konsili Vatikan II, "hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: Siapa yang tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah (1Yoh 4:8)" (Nostra Aetate, 5). Oleh karena itu, kita ingin berjalan bersama dengan menghargai apa yang mempersatukan kita, meruntuhkan tembok prasangka dan ketidakpercayaan, mengembangkan saling pengertian dan saling menghargai agar dapat menyampaikan pesan pengharapan yang kuat dan ajakan untuk menjadi "orang yang membawa damai" (Mat 5:9).

 

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita jadikan nilai-nilai ini sebagai resolusi kita untuk Masa Adven, dan terlebih lagi untuk kehidupan pribadi dan bersama kita. Kita berjalan seolah-olah di atas jembatan yang menghubungkan bumi dengan surga, jembatan yang telah dibangun Tuhan bagi kita. Marilah kita senantiasa mengarahkan pandangan kita ke surga dan bumi, agar kita dapat mengasihi Allah dan saudara-saudari kita dengan segenap hati sehingga dapat berjalan bersama dan suatu hari nanti menemukan diri kita bersatu di rumah Bapa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 30 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA TUHAN KITA YESUS KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM (MISA YUBILEUM PADUAN SUARA) 23 November 2025

Bacaan Ekaristi : 2Sam. 5:1-3; Mzm. 122:1-2,4-5; Kol. 1:12-20; Luk. 23:35-43.

 

Saudari-saudari terkasih,

 

Dalam Mazmur Tanggapan, kita telah menyanyikan, "Mari kita pergi ke Rumah Tuhan dengan sukacita" (bdk. Mzm. 122). Oleh karena itu, liturgi hari ini mengajak kita untuk berjalan bersama dalam pujian dan sukacita menuju perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus, Raja Semesta Alam, Penguasa yang lemah lembut dan rendah hati, Dia yang adalah awal dan akhir segala sesuatu. Kuasa-Nya adalah kasih, takhta-Nya adalah salib, dan melalui salib Kerajaan-Nya bersinar di atas dunia. "Dari kayu Ia berkuasa" (bdk. Madah Vexilla Regis) sebagai Raja Damai dan Raja Keadilan yang, dalam sengsara-Nya, menyatakan kepada dunia belas kasih Allah yang tak terhingga. Kasih ini juga menjadi inspirasi dan motivasi nyanyianmu.

 

Para anggota paduan suara dan pemusik terkasih, hari ini kamu merayakan Yubileum dan mengucap syukur kepada Tuhan atas karunia dan rahmat yang telah dianugerahkan-Nya kepadamu untuk melayani-Nya dengan mempersembahkan suara dan talentamun demi kemuliaan-Nya dan demi pembangunan rohani saudara-saudarimu (bdk. Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 120). Tugasmu adalah mengajak orang lain untuk memuji Allah dan membantu mereka berpartisipasi lebih penuh dalam liturgi melalui nyanyian. Hari ini, kamu sepenuhnya mengungkapkan "iubilum"-mu, kegembiraanmu, yang mengalir dari hati yang meluap dengan sukacita rahmat.

 

Peradaban-peradaban besar telah menganugerahkan kita karunia musik untuk mengungkapkan apa yang kita simpan di lubuk hati dan apa yang tak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata. Musik dapat mengungkapkan seluruh rentang perasaan dan emosi yang muncul dalam diri kita dari hubungan yang hidup dengan kenyataan. Bernyanyi, khususnya, merupakan ungkapan alami dan luhur manusia: pikiran, perasaan, tubuh, dan jiwa bersatu untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa besar kehidupan. Sebagaimana diingatkan Santo Agustinus kepada kita: “Cantare amantis est” (bdk. Khotbah 336,1), artinya, “bernyanyi adalah milik mereka yang mengasihi.” Mereka yang bernyanyi mengungkapkan kasih, tetapi juga mengungkapkan kesukaran, kelembutan, dan kerinduan yang bersemayam di hati mereka, sementara pada saat yang sama, mengasihi orang-orang yang mereka tuju dengan nyanyian mereka (bdk. Enarrationes in Psalmos, 72,1).

 

Bagi umat Allah, nyanyian mengungkapkan permohonan dan pujian. Nyanyian adalah "lagu baru" yang dikumandangkan Kristus yang bangkit kepada Bapa, di mana semua orang yang dibaptis berpartisipasi sebagai satu tubuh yang dijiwai oleh kehidupan baru Roh Kudus. Di dalam Kristus, kita menjadi penyanyi rahmat, anak-anak Gereja yang menemukan dalam Kristus yang bangkit sumber pujian kita. Dengan demikian, musik liturgi menjadi sarana berharga yang melaluinya kita melaksanakan pelayanan pujian kita kepada Allah dan mengungkapkan sukacita kehidupan baru dalam Kristus.

 

Santo Agustinus kembali menasihati kita untuk bernyanyi sambil berjalan, seperti para pelancong yang lelah yang menemukan dalam nyanyian sebuah gambaran awal dari sukacita yang akan mereka alami ketika mereka mencapai tujuan. "Bernyanyilah, tetapi teruskan perjalananmu [...] majulah dalam kebajikan" (Khotbah 256, 3). Menjadi bagian dari paduan suara berarti maju bersama, oleh karena itu, menggandeng tangan saudara-saudari kita dan membantu mereka berjalan bersama kita. Bernyanyi berarti bersama-sama menyanyikan pujian bagi Allah, menghibur saudara-saudari kita yang sedang menderita, menyemangati mereka ketika mereka tampak menyerah terhadap kelelahan, dan menyemangati mereka ketika kesulitan tampaknya datang. Bernyanyi mengingatkan kita bahwa kita adalah Gereja yang sedang dalam perjalanan, sebuah kenyataan sinodal yang autentik yang mampu berbagi dengan semua orang panggilan untuk memuji dan bersukacita dalam peziarahan kasih dan pengharapan ini.

 

Santo Ignatius dari Antiokhia juga menggunakan kata-kata yang menyentuh untuk mengungkapkan hubungan antara nyanyian paduan suara dan kesatuan Gereja: “Dari kesatuan dan kasihmu yang selarah, bernyanyilah bagi Yesus Kristus. Dan biarlah masing-masing menjadi paduan suara, sehingga dengan selaras dalam aransemenmu dan menyanyikan nyanyian Allah dalam kesatuan, dengan satu suara kamu dapat bernyanyi bagi Bapa melalui Yesus Kristus, agar Ia dapat mendengar dan mengenalimu karena perbuatan baikmu” (Santo Ignatius dari Antiokhia, Ad Ephesios, IV). Sesungguhnya, aneka suara dalam paduan suara saling selaras, menghasilkan satu madah pujian, sebuah lambang Gereja yang bercahaya, yang menyatukan semua orang dalam kasih dalam satu melodi yang menyenangkan.

 

Kamu termasuk dalam paduan suara yang menjalankan pelayanan mereka terutama dalam konteks liturgis. Pelayananmu adalah pelayanan sejati yang membutuhkan persiapan, komitmen, saling pengertian, dan, yang terpenting, kehidupan rohani yang mendalam, sehingga ketika bernyanyi, kamu berdoa sekaligus membantu semua orang untuk berdoa. Pelayanan ini menuntut disiplin dan semangat melayani, terutama saat mempersiapkan liturgi khidmat atau acara penting dalam komunitasmu. Paduan suara adalah keluarga kecil yang dipersatukan oleh kecintaan mereka pada musik dan pelayanan yang mereka berikan. Namun, ingatlah bahwa komunitas adalah keluargamu yang lebih besar. Kamu tidak berada di atas panggung, melainkan bagian dari komunitas itu, berusaha membantunya bertumbuh dalam kesatuan dengan menginspirasi dan melibatkan para anggotanya. Seperti dalam semua keluarga, ketegangan atau kesalahpahaman kecil dapat muncul. Hal-hal ini normal ketika bekerja bersama dan berjuang untuk mencapai suatu tujuan. Kita dapat mengatakan sampai batas tertentu bahwa paduan suara melambangkan Gereja, yang, berjuang menuju tujuannya, berjalan melalui sejarah memuji Allah. Bahkan ketika perjalanan ini dipenuhi oleh kesulitan dan pencobaan dan saat-saat yang menyenangkan memberi jalan kepada saat-saat yang lebih menantang, bernyanyi membuat perjalanan lebih ringan, memberikan kelegaan dan penghiburan.

 

Oleh karena itu, berusahalah agar paduan suaramu senantiasa selaras dan indah, serta menjadi gambaran Gereja yang lebih cemerlang dalam memuji Tuhannya. Pelajarilah Magisterium dengan saksama. Dokumen-dokumen konsili menetapkan norma-norma untuk melaksanakan pelayananmu sebaik mungkin. Terutama, baktikanlah dirimu untuk memfasilitasi partisipasi umat Allah, tanpa menyerah pada godaan pamer, yang menghalangi seluruh jemaat liturgi untuk berpartisipasi aktif dalam nyanyian. Dalam hal ini, jadilah tanda doa Gereja yang mengesankan, yang mengungkapkan kasihnya kepada Allah melalui keindahan musik. Jagalah agar kehidupan rohanimu senantiasa selaras dengan pelayanan yang kamu laksanakan, sehingga pelayananmu dapat secara autentik mengungkapkan rahmat liturgi.

 

Saya menempatkan kamu semua di bawah perlindungan Santa Sesilia, perawan dan martir yang telah melantunkan kidung kasih yang terindah melalui hidupnya di Roma, menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Kristus dan mempersembahkan teladan iman dan kasih yang cemerlang kepada Gereja. Marilah kita terus bernyanyi dan sekali lagi menjadikan undangan dari mazmur tanggapan hari ini sebagai mazmur kita: “Mari kita pergi ke rumah Tuhan dengan sukacita.”

______

(Peter Suriadi - Bogor, 24 November 2025)