Liturgical Calendar

Featured Posts

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA) 17 November 2024 : DUA KENYATAAN YANG SELALU BERKECAMUK DI MEDAN PERANG HATI KITA


Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.

 

Kata-kata yang baru saja kita dengar dapat membangkitkan perasaan sedih, padahal kata-kata itu sebenarnya adalah pernyataan pengharapan yang besar. Seraya Ia tampaknya menggambarkan keadaan pikiran orang-orang yang telah menyaksikan kehancuran Yerusalem dan berpikir bahwa kesudahan telah tiba, Yesus mengumumkan sesuatu yang luar biasa: tepat pada saat kegelapan dan kehancuran, tepat ketika segala sesuatu tampaknya runtuh, Allah datang, Allah mendekat, Allah mengumpulkan kita bersama-sama untuk menyelamatkan kita.

 

Yesus mengundang kita untuk melihat lebih dalam, memiliki mata yang mampu "membaca secara batiniah" peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan cara ini, kita menemukan bahwa bahkan dalam kesedihan hati kita dan zaman kita, pengharapan yang tak tergoyahkan bersinar terang. Pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, marilah kita berhenti sejenak untuk menelaah dua kenyataan yang selalu berkecamuk di medan perang hati kita: kesedihan dan pengharapan.

 

Pertama-tama, kesedihan. Perasaan sedih tersebar luas di zaman kita, mengingat media sosial memperbesar masalah dan luka, membuat dunia semakin tidak aman dan masa depan semakin tidak pasti. Bahkan Bacaan Injil hari ini dibuka dengan gambaran yang tampaknya memproyeksikan kesengsaraan manusia di atas alam semesta melalui penggunaan bahasa apokaliptik: "matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak akan memancarkan sinarnya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan guncang ..." dan seterusnya (Mrk 13:24-25).

 

Jika kita membatasi pandangan kita pada narasi peristiwa, kita membiarkan kesedihan menguasai. Sungguh, bahkan hari ini kita melihat "matahari menjadi gelap" dan "bulan memudar" ketika kita merenungkan kelaparan yang menimpa begitu banyak saudara-saudari kita yang tidak memiliki makanan untuk dimakan, dan ketika kita melihat kengerian perang atau melihat kematian orang-orang yang tidak bersalah. Menghadapi skenario ini, kita berisiko jatuh ke dalam keputusasaan dan gagal mengenali kehadiran Allah dalam drama sejarah. Dengan berbuat demikian, kita mengutuki diri kita hingga tak berdaya. Kita menyaksikan penderitaan yang semakin besar di sekitar kita yang disebabkan oleh penderitaan orang miskin, bahkan kita tergelincir ke dalam kepasrahan cara berpikir seperti orang-orang yang, digerakkan oleh kenyamanan atau kemalasan, berpikir “begitulah hidup” dan “tidak ada yang dapat saya lakukan untuk itu”. Dengan demikian, iman Kristiani itu sendiri dimerosotkan menjadi pengabdian yang tidak berbahaya karena tidak mengganggu para pemegang kekuasaan dan tidak mampu menghasilkan komitmen serius untuk beramal. Seraya satu bagian dunia dikutuk untuk hidup di daerah kumuh sejarah, seraya kesenjangan tumbuh dan ekonomi menghukum yang terlemah, seraya masyarakat mengabdikan diri pada pemujaan uang dan konsumsi, dengan sendirinya orang miskin dan terpinggirkan tidak punya pilihan selain terus menunggu (lih. Evangelii Gaudium, 54).

 

Namun, justru di sinilah, di tengah-tengah pemandangan apokaliptik itu, Yesus menyalakan pengharapan. Ia membuka cakrawala, memperluas pandangan kita, sehingga bahkan dalam ketidakpastian dan penderitaan dunia, kita dapat belajar memahami kehadiran kasih Allah, yang datang mendekati kita, tidak meninggalkan kita, dan bertindak untuk keselamatan kita. Bahkan, seperti matahari yang menjadi gelap dan bulan tidak memancarkan sinarnya serta bintang-bintang berjatuhan dari langit, Bacaan Injil mengatakan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan kuasa yang besar dan kemuliaan. Pada waktu itu juga Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat dan akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ke ujung langit" (Mrk 13:26-27).

 

Dengan kata-kata ini, Yesus menyinggung wafat-Nya yang akan terjadi segera setelah itu. Memang, di Kalvari matahari akan memudar dan malam akan turun ke atas dunia. Namun, pada saat itu juga, Anak Manusia akan terlihat di atas awan-awan, karena kuasa kebangkitan-Nya akan memutuskan belenggu kematian, kehidupan kekal Allah akan muncul dari kegelapan dan dunia baru akan lahir dari puing-puing sejarah yang diporak-porandakan oleh kejahatan.

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan yang ingin diberikan Yesus kepada kita dan Ia melakukannya melalui sebuah gambaran yang indah. Ia meminta kita untuk memikirkan pohon ara: “Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim panas sudah dekat” (Mrk 13:28). Kita juga dipanggil untuk menafsirkan tanda-tanda kehidupan kita di bumi ini: di mana tampaknya hanya ada ketidakadilan, penderitaan dan kemiskinan – dalam drama momen tersebut – Tuhan mendekat untuk membebaskan kita dari perbudakan dan agar kehidupan bersinar (bdk. Mrk 13:29). Ia mendekati sesama kita melalui kedekatan kristiani kita, persaudaraan kristiani kita. Bukan soal melempar koin ke tangan seseorang yang membutuhkan. Kepada orang yang memberi sedekah, saya menanyakan dua hal: “Apakah kamu menyentuh tangannya atau apakah kamu melempar koin kepadanya tanpa menyentuhnya? Apakah kamu menatap mata orang yang kamu bantu atau apakah kamu mengalihkan pandangan?”.

 

Kita, sebagai murid-murid-Nya, dapat menabur pengharapan di dunia ini melalui kuasa Roh Kudus. Kita dapat dan harus menyalakan terang keadilan dan solidaritas bahkan saat bayang-bayang dunia kita yang tertutup semakin dalam (lih. Fratelli Tutti, 9-55). Kitalah yang harus membuat kasih karunia-Nya bersinar melalui kehidupan yang dipenuhi dengan belarasa dan amal kasih yang menjadi tanda kehadiran Tuhan, yang selalu dekat dengan penderitaan orang miskin untuk menyembuhkan luka-luka mereka dan mengubah nasib mereka.

 

Saudara-saudari, janganlah kita lupa bahwa pengharapan kristiani, yang tergenapi dalam diri Yesus dan terwujud dalam kerajaan-Nya, membutuhkan diri kita dan komitmen kita, membutuhkan iman kita yang terungkap dalam karya amal kasih, dan membutuhkan orang-orang kristiani yang tidak mengalihkan pandangan. Saya sedang melihat sebuah foto yang diambil oleh seorang fotografer Roma: sepasang suami istri dewasa, yang sudah cukup tua, keluar dari sebuah restoran di musim dingin; sang istri tertutup mantel bulu, begitu pula sang suami. Di ambang pintu, ada seorang perempuan miskin, tergeletak di lantai, mengemis sedekah, dan keduanya mengalihkan pandangan. Ini terjadi setiap hari. Marilah kita bertanya pada diri kita: apakah aku mengalihkan pandangan ketika aku melihat kemiskinan, kebutuhan, atau penderitaan sesamaku? Seorang teolog abad kedua puluh mengatakan bahwa iman kristiani harus menghasilkan dalam diri kita "mistisisme dengan mata terbuka," bukan spiritualitas yang melarikan diri dari dunia tetapi - sebaliknya - iman yang membuka matanya terhadap penderitaan dunia dan ketidakbahagiaan orang miskin untuk menunjukkan belarasa Kristus. Apakah aku merasakan belarasa yang sama seperti Tuhan terhadap orang miskin, terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan, yang tidak memiliki makanan, yang terpinggirkan oleh masyarakat? Kita harus melihat bukan hanya pada masalah besar kemiskinan dunia, tetapi juga pada hal-hal kecil yang dapat kita semua lakukan setiap hari melalui gaya hidup kita; melalui perhatian dan kepedulian kita terhadap lingkungan tempat kita tinggal; melalui pengupayaan keadilan yang gigih; melalui berbagi kepunyaan kita dengan mereka yang lebih miskin; melalui keterlibatan sosial dan politik untuk memperbaiki dunia di sekitar kita. Mungkin ini tampak seperti hal kecil bagi kita, tetapi hal-hal kecil yang kita lakukan akan seperti tunas pertama yang tumbuh di pohon ara, tindakan-tindakan kecil kita akan menjadi awal dari musim panas yang sudah dekat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, saya ingin menyampaikan peringatan dari Kardinal Martini. Ia menegaskan bahwa kita harus menghindari memandang Gereja sebagai sesuatu yang terpisah dari orang miskin, seolah-olah Gereja hadir sebagai kenyataan yang berdiri sendiri yang kemudian harus peduli terhadap orang miskin. Kenyataannya, kita menjadi Gereja Yesus sejauh kita melayani orang miskin, karena hanya dengan cara ini “Gereja ‘menjadi’ dirinya sendiri, yaitu, Gereja menjadi rumah yang terbuka bagi semua orang, tempat belarasa Allah bagi kehidupan setiap individu” (C.M. Martini, Città Senza Mura. Surat dan Pidato kepada Keuskupan 1984, Bologna 1985, 350).

 

Saya menyampaikan hal ini kepada Gereja, pemerintah, dan organisasi internasional. Saya katakan kepada semua orang: janganlah kita lupakan orang miskin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 November 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PENGENANGAN ARWAH PARA KARDINAL DAN USKUP YANG MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR 4 November 2024 : YESUS, INGATLAH AKU!

“Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu” (Luk 23:42). Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan kepada Tuhan oleh salah seorang dari dua orang yang disalibkan bersama-Nya. Bukan kata-kata salah seorang murid Yesus yang telah mengikuti-Nya di sepanjang jalan Galilea dan berbagi roti dengan-Nya pada Perjamuan Terakhir. Sebaliknya, orang yang mengucapkan kata-kata itu kepada Tuhan adalah seorang penjahat, seorang yang baru bertemu dengan-Nya di akhir hayatnya, seorang yang namanya bahkan tidak kita ketahui.

 

Namun, dalam Bacaan Injil, kata-kata terakhir "orang luar" ini mengawali dialog yang penuh kebenaran. Bahkan ketika Yesus "terhitung di antara pemberontak" (Yes 53:12) sebagaimana telah dinubuatkan Yesaya, sebuah suara yang tak terduga terdengar, berkata, "Kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah" (Luk 23:41). Begitulah adanya. Penjahat yang dihukum itu mewakili kita semua; kita masing-masing dapat mengganti namanya dengan nama kita. Namun yang lebih penting lagi, kita dapat menjadikan permohonannya sebagai permohonan kita: "Yesus, ingatlah aku". Jagalah aku tetap hidup dalam ingatan-Mu. "Jangan melupakan aku".

 

Marilah kita merenungkan kata itu: mengingat. Mengingat berarti "menuntun kembali ke hati", membawa dalam hati. Orang itu, yang disalibkan di samping Yesus, mengubah kesakitannya yang mengerikan menjadi sebuah doa: "Yesus, bawalah aku dalam hati-Mu". Kata-katanya tidak mencerminkan kesedihan dan kekalahan, tetapi harapan. Penjahat ini, yang meninggal sebagai murid di saat-saat terakhir, hanya menginginkan satu hal: menemukan hati yang menyambut. Itulah satu-satunya hal yang penting baginya saat ia mendapati dirinya tak berdaya menghadapi kematian. Tuhan mendengar doa orang berdosa, bahkan di saat-saat terakhir, sebagaimana selalu Ia lakukan. Hati Kristus – hati yang terbuka, bukan hati yang tertutup – yang tertikam oleh rasa sakit, dibuka untuk menyelamatkan dunia. Saat menghadapi ajal, Ia terbuka terhadap suara orang yang sedang menghadapi ajal. Yesus wafat bersama kita karena Ia wafat untuk kita.

 

Disalibkan meskipun tidak bersalah, Yesus menjawab doa seorang yang disalibkan karena kesalahannya, "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Luk 23:43). Ingatan akan Yesus efektif karena kaya akan belas kasihan. Saat kehidupan seseorang berakhir, kasih Allah menganugerahkan kebebasan dari kematian. Orang yang dihukum kini ditebus. Orang luar menjadi teman seperjalanan; perjumpaan singkat di kayu salib menuntun pada kedamaian abadi. Hal ini membuat kita merenung sejenak. Bagaimana aku berjumpa Yesus? Atau lebih baik lagi, bagaimana aku membiarkan diriku dijumpai oleh Yesus? Apakah aku membiarkan diriku dijumpai atau apakah aku menutup diri dalam keegoisanku, dalam penderitaanku, dalam kecukupan diriku? Apakah aku memiliki kesadaran akan keberdosaanku yang memungkinkanku dijumpai oleh Tuhan, atau apakah aku merasa benar dan berkata: "Engkau tidak di sini untuk melayani Aku. Teruslah berjalan"?

 

Yesus mengingat mereka yang disalibkan di samping-Nya. Belas kasihan-Nya hingga akhir hayat-Nya membuat kita menyadari bahwa ada berbagai cara untuk mengingat orang dan berbagai hal. Kita dapat mengingat kesalahan kita, urusan yang belum selesai, teman dan musuh kita. Saudara-saudari, hari ini marilah kita bertanya kepada diri kita di hadapan kisah Injil ini: bagaimana kita membawa orang-orang di dalam hati kita? Bagaimana kita mengingat mereka yang berada di samping kita dalam berbagai peristiwa dalam hidup kita? Apakah aku menghakimi? Apakah aku memecah belah? Atau apakah aku menyambut mereka?

 

Saudara-saudari terkasih, dengan berpaling kepada hati Allah, pria dan wanita masa kini dan segala zaman dapat menemukan harapan akan keselamatan, bahkan jika “di mata orang bodoh tampaknya mereka sudah mati” (Keb 3:2). Seluruh sejarah tersimpan dalam ingatan Tuhan. Ingatan adalah penyimpanan yang aman. Ia adalah hakimnya yang penuh belas kasihan dan kerahiman. Tuhan dekat dengan kita sebagai hakim; Ia dekat, penuh belas kasih dan kerahiman. Inilah tiga sikap Tuhan. Apakah aku dekat dengan umat? Apakah aku memiliki hati yang penuh belas kasihan? Apakah aku penuh kerahiman? Dengan keyakinan ini, kita mendoakan para kardinal dan uskup yang meninggal dalam dua belas bulan terakhir. Hari ini, ingatan kita menjadi doa pengantaraan bagi saudara-saudari kita yang terkasih. Para anggota terpilih Umat Allah, mereka dibaptis dalam kematian Kristus (lih. Rm 6:3) untuk bangkit bersama-Nya. Mereka adalah para gembala dan teladan bagi kawanan domba Tuhan (lih. 1 Ptr 5:3). Setelah memecah-mecahkan roti kehidupan di bumi, semoga mereka sekarang menikmati sebuah tempat duduk di meja-Nya. Mereka mengasihi Gereja, dengan cara masing-masing, tetapi mereka semua mengasihi Gereja. Marilah kita berdoa agar mereka dapat bersukacita dalam persekutuan kekal dengan para kudus. Dengan harapan yang teguh, marilah kita menantikan untuk bersukacita bersama mereka di surga. Dan bersama-sama saya mengundangmu tiga kali mengucapkan: “Yesus, ingatlah kami!”, “Yesus, ingatlah kami!”, “Yesus, ingatlah kami!”.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXX (MISA PENUTUPAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 27 Oktober 2024 : TENTANG BARTIMEUS

Bacaan Ekaristi : Yer. 31:7-9; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Ibr. 5:1-6; Mrk. 10:46-52.

 

Bacaan Injil hari ini Bartimeus, seorang buta yang terpaksa mengemis di pinggir jalan, seorang rakyat jelata yang kehilangan harapan, dihadirkan kepada kita. Namun, ketika ia mendengar Yesus lewat, ia mulai berseru kepada-Nya. Yang dapat dilakukan Bartimeus hanyalah menjerit dalam penderitaannya kepada Yesus dan mengungkapkan keinginannya agar ia dapat melihat kembali. Sementara banyak orang merasa terganggu oleh jeritannya dan menegurnya, Yesus berhenti sejenak. Karena Allah selalu mendengar jeritan orang miskin, dan tidak ada jeritan penderitaan yang tidak didengar-Nya.

 

Hari ini, pada penutupan Sidang Umum Sinode Para Uskup, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur atas momen-momen yang telah kita lalui bersama, marilah kita merenungkan apa yang terjadi pada Bartimeus. Awalnya ia “duduk di pinggir jalan” (Mrk 10:46), tetapi pada akhirnya ia dipanggil oleh Yesus, memperoleh kembali penglihatannya dan “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya” (ayat 52).

 

Hal pertama yang diceritakan Injil kepada kita tentang Bartimeus yaitu ia sedang mengemis di pinggir jalan. Posisinya merupakan gambaran seseorang yang duduk di pinggir jalan, tenggelam dalam kesedihannya, seolah-olah tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menerima sesuatu dari banyak peziarah yang melewati kota Yerikho saat Paskah semakin dekat. Namun, seperti yang kita ketahui, jika kita benar-benar ingin hidup, kita tidak dapat duduk diam. Hidup berarti terus bergerak, berangkat, bermimpi, membuat rencana, dan membuka diri terhadap masa depan. Bartimaeus yang buta, melambangkan kebutaan batin yang mengekang kita, membuat kita terpaku di satu tempat, menahan diri kita dari dinamisme kehidupan, dan menghancurkan harapan kita.

 

Hal ini dapat membantu kita merenungkan bukan hanya kehidupan kita, tetapi juga tentang apa artinya menjadi Gereja Tuhan. Begitu banyak hal di sepanjang jalan yang dapat membuat kita buta, tidak mampu memahami kehadiran Tuhan, tidak siap menghadapi tantangan kenyataan, terkadang tidak mampu memberikan tanggapan yang memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan dari begitu banyak orang yang berseru kepada kita, seperti yang dilakukan Bartimeus kepada Yesus. Kita tidak dapat tinggal diam di hadapan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh manusia masa kini, di hadapan tantangan-tantangan zaman kita, mendesaknya penginjilan dan banyaknya luka yang menimpa umat manusia. Saudara-saudari, kita tidak dapat berdiam diri. Gereja yang tidak banyak bergerak, yang secara tidak sengaja menarik diri dari kehidupan dan membatasi diri pada pinggiran kenyataan, adalah Gereja yang berisiko tetap buta dan menjadi nyaman dengan kegelisahannya. Jika kita tetap terjebak dalam kebutaan kita, kita akan terus-menerus gagal memahami kemendesakan memberikan tanggapan pastoral terhadap banyak masalah di dunia kita. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar mengutus Roh Kudus kepada kita, agar kita tidak duduk dalam kebutaan kita, yang dengan kata lain dapat berupa keduniawian, kepuasan diri, atau hati yang tertutup. Kita tidak dapat terus-menerus duduk dalam kebutaan kita.

 

Namun, kita harus ingat bahwa Tuhan lewat setiap hari. Tuhan selalu lewat dan berhenti sejenak untuk memperhatikan kebutaan kita. Kita harus bertanya pada diri kita, "Apakah aku mendengar Dia lewat? Apakah aku memiliki kemampuan untuk mendengar langkah kaki Tuhan? Apakah aku memiliki kemampuan untuk melakukan pembedaan roh ketika Tuhan lewat?" Ada baiknya jika Sinode mendesak kita sebagai Gereja untuk menjadi seperti Bartimeus: sebuah komunitas murid yang, mendengar bahwa Tuhan lewat, merasakan sukacita keselamatan, membiarkan diri kita dibangkitkan oleh kuasa Injil, dan berseru kepada-Nya. Gereja melakukan ini ketika ia menanggapi seruan segenap manusia di dunia, seruan orang-orang yang ingin menemukan sukacita Injil, dan orang-orang yang telah berpaling; seruan hening dari orang-orang yang acuh tak acuh; seruan orang-orang yang menderita, orang-orang miskin dan terpinggirkan, anak-anak yang diperbudak untuk bekerja di begitu banyak bagian dunia; suara terbata-bata dari orang-orang yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk berseru kepada Allah, baik karena mereka tidak memiliki suara atau karena mereka putus asa. Kita tidak memerlukan Gereja yang tidak banyak bergerak dan mengalah, tetapi Gereja yang mendengar seruan dunia – saya ingin mengatakan hal ini meskipun beberapa orang mungkin merasa tersinggung – Gereja yang mendapati tangannya kotor dalam pelayanan.

 

Maka, kita sampai pada aspek kedua. Injil memberitahu kita bahwa jika pada awalnya Bartimeus duduk, pada akhirnya kita melihatnya mengikuti Yesus di sepanjang jalan. Ini adalah ungkapan khas Injil, yang berarti bahwa ia telah menjadi murid Tuhan dan telah mengikuti jejak langkah-Nya. Ketika pengemis itu berseru kepada-Nya, Yesus berhenti dan memanggilnya. Bartimeus, dari tempatnya duduk, melompat berdiri dan segera setelah itu penglihatannya pulih. Sekarang ia dapat melihat Tuhan; ia dapat mengenali tindakan Allah dalam hidupnya dan akhirnya berangkat untuk mengikuti-Nya. Marilah kita melakukan hal yang sama. Setiap kali kita duduk diam, ketika sebagai Gereja kita tidak dapat menemukan kekuatan, keberanian atau keteguhan hati untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan, marilah kita selalu ingat untuk kembali kepada Tuhan dan Injil-Nya. Kita selalu perlu kembali kepada Tuhan dan Injil. Ketika Ia lewat berulang kali, kita perlu mendengarkan panggilan-Nya sehingga kita dapat bangkit kembali dan Ia dapat menyembuhkan kebutaan kita; dan kemudian kita dapat mengikuti-Nya sekali lagi, dan berjalan bersama-Nya di sepanjang jalan.

 

Saya ingin menegaskan kembali bahwa Injil mengatakan tentang Bartimeus bahwa ia “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya”. Ini adalah gambaran Gereja sinodal. Tuhan sedang memanggil kita, mengangkat kita ketika kita terduduk atau terjatuh, memulihkan penglihatan kita sehingga kita dapat memahami kecemasan dan penderitaan dunia dalam terang Injil. Dan ketika Tuhan menegakkan kita kembali, kita mengalami sukacita mengikuti-Nya dalam perjalanan-Nya. Kita mengikuti Tuhan di sepanjang jalan, kita tidak mengikuti-Nya dalam kenyamanan kita atau kita tidak mengikuti-Nya dalam labirin pikiran kita. Kita mengikuti-Nya hanya di sepanjang jalan. Marilah kita ingat untuk tidak pernah berjalan sendiri atau menurut kriteria duniawi, tetapi berjalan bersama-Nya.

 

Saudara-saudari, bukan Gereja yang hanya duduk, tetapi Gereja yang berdiri. Bukan Gereja yang diam, tetapi Gereja yang merangkul seruan umat manusia. Bukan Gereja yang buta, tetapi Gereja yang diterangi oleh Kristus, yang membawa terang Injil kepada orang lain. Bukan Gereja yang statis, tetapi Gereja misioner yang berjalan bersama Tuhannya melalui jalan-jalan dunia.

 

Hari ini, saat kita bersyukur kepada Tuhan atas perjalanan yang telah kita lalui bersama, kita akan dapat melihat dan menghormati relikui Kursi Santo Petrus kuno yang telah dipugar dengan hati-hati. Saat kita merenungkannya dengan keheranan iman, marilah kita ingat bahwa kursi tersebut adalah Kursi kasih, persatuan, dan belas kasih, sesuai dengan perintah Yesus kepada Rasul Petrus untuk tidak memerintah orang lain, tetapi melayani mereka dalam kasih. Dan, saat kita mengagumi Bernini Baldachin yang megah, lebih agung dari sebelumnya, kita dapat menemukan kembali bahwa kursi itu membingkai titik fokus sejati seluruh basilika, yaitu kemuliaan Roh Kudus. Inilah Gereja sinodal: sebuah komunitas yang keutamaannya terletak pada karunia Roh, yang menjadikan kita semua saudara dan saudari di dalam Kristus dan mengangkat kita kepada-Nya.


Saudara-saudari, oleh karena itu, marilah kita melanjutkan perjalanan kita bersama dengan keyakinan. Hari ini, sabda Allah berbicara kepada kita, seperti kepada Bartimeus: “Teguhkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau”. Apakah aku merasa terpanggil? Apakah aku merasa lemah dan tidak dapat berdiri? Apakah aku meminta pertolongan? Marilah kita singkirkan jubah kepasrahan; marilah kita percayakan kebutaan kita kepada Tuhan; marilah kita berdiri sekali lagi dan membawa sukacita Injil melalui jalan-jalan dunia.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Oktober 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIX (MISA KANONISASI MANUEL RUIZ LÓPEZ DAN TUJUH REKANNYA, FRANSISKUS, ABDEL MOHTI, RAPHAEL MASSABKI, GIUSEPPE ALLAMANO, MARIE-LÉONIE PARADIS DAN ELENA GUERRA) 20 Oktober 2024

Bacaan Ekaristi : Yes. 53:10-11; Mzm. 33:4-5,18-19,20,22; Ibr. 4:14-16; Mrk. 10:35-45 (Mrk. 10:42-45).

 

Yesus bertanya kepada Yakobus dan Yohanes: "Apa yang kamu kehendaki Kuperbuat bagimu?" (Mrk 10:36). Segera setelah itu Ia mendesak mereka: "Dapatkah kamu meminum cawan yang Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang Kuterima?" (Mrk 10:38). Yesus mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan, dengan berbuat demikian, membantu kita untuk melakukan pembedaan roh, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut memungkinkan kita untuk menemukan apa yang ada di dalam diri kita, yang menerangi keinginan hati kita. Marilah kita memperkenankan sabda Tuhan menanyai kita. Marilah kita bayangkan bahwa Ia bertanya kepada kita masing-masing: "Apa yang kamu kehendaki Kuperbuat bagimu?"; "Dapatkah kamu meminum cawan yang Kuminum?".

 

Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, Yesus menyingkapkan hubungan antara Dia dan para murid-Nya, serta harapan-harapan mereka terhadap-Nya, dengan segala aspek yang lazim dalam hubungan apa pun. Yakobus dan Yohanes memang terhubung dengan Yesus, tetapi mereka juga memiliki tuntutan-tuntutan tertentu.

 

Mereka mengungkapkan keinginan untuk berada di dekat-Nya, tetapi hanya untuk menduduki tempat terhormat, untuk memainkan peran penting, "duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (Mrk 10:37). Mereka jelas menganggap Yesus sebagai Mesias yang menang dan mulia serta berharap Dia akan berbagi kemuliaan-Nya dengan mereka. Mereka melihat Yesus sebagai Mesias, tetapi memandang-Nya sebagai kalangan yang berkuasa.

 

Yesus tidak berhenti pada perkataan para murid, tetapi menyelami lebih dalam, mendengarkan dan membaca hati. Kemudian, dalam percakapan itu, melalui dua pertanyaan, Ia mencoba mengungkapkan keinginan di balik permintaan mereka.

 

Pertama, Ia bertanya: "Apa yang kamu kehendaki Kuperbuat bagimu?", sebuah pertanyaan yang menyingkapkan pikiran hati mereka, yang menyingkapkan harapan dan impian tersembunyi akan kemuliaan yang diam-diam dipupuk oleh para murid. Seolah-olah Yesus bertanya: "Engkau menginginkan Aku menjadi seperti siapa?". Dengan cara ini, Ia menyingkapkan keinginan mereka yang sebenarnya: menginginkan seorang Mesias yang berkuasa dan menang yang akan memberi mereka tempat terhormat.

 

Melalui pertanyaan kedua, Yesus membantah gambaran Mesias ini dan membantu mereka untuk mengubah sudut pandang mereka, yaitu bertobat: "Dapatkah kamu meminum cawan yang Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang Kuterima?" Dengan demikian, Ia menyingkapkan bahwa Ia bukanlah Mesias yang mereka kira; Ia adalah Allah kasih, yang merendahkan diri untuk menjangkau mereka yang telah terpuruk; yang membuat diri-Nya lemah untuk membangkitkan yang lemah, yang bekerja untuk perdamaian dan bukan untuk berperang, yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Cawan yang akan diminum Tuhan adalah persembahan hidup-Nya, yang diberikan kepada kita karena kasih, bahkan sampai wafat, dan wafat di kayu salib.

 

Terlebih lagi, di sebelah kanan dan kiri-Nya akan ada dua penjahat, yang tergantung seperti Dia di kayu salib dan tidak duduk di atas takhta kekuasaan; dua penjahat yang dipaku bersama Kristus dalam penderitaan, tidak bertakhta dalam kemuliaan. Raja yang disalibkan, orang benar yang dihukum menjadi hamba semua orang: Sungguh, orang ini Anak Allah! (lih. Mrk 15:39). Orang-orang yang berkuasa tidak menang, melainkan orang-orang yang melayani karena kasih. Kita juga diingatkan akan hal ini dalam Surat kepada Jemaat Ibrani: “Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai dalam segala hal, hanya saja Ia tidak berbuat dosa." (Ibr 4:15).

 

Pada titik ini, Yesus dapat membantu para murid-Nya untuk bertobat, mengubah pola pikir mereka: ”Kamu tahu bahwa mereka yang dianggap sebagai pemerintah bangsa-bangsa bertindak sebagai tuan atas rakyatnya, dan para pembesarnya bertindak sewenang-wenang atas mereka." (Mrk 10:42).

 

Namun, tidak demikian halnya bagi mereka yang mengikuti Allah, yang menjadikan diri-Nya sebagai hamba untuk menjangkau setiap orang dengan kasih-Nya. Mereka yang mengikuti Kristus, jika mereka ingin menjadi besar, harus melayani dengan belajar dari Dia.

 

Saudara-saudari, Yesus menyingkapkan pikiran, keinginan, dan rancangan hati kita, yang terkadang menyingkapkan harapan kita akan kemuliaan, dominasi, dan kekuasaan. Ia membantu kita untuk berpikir tidak lagi menurut kriteria dunia, tetapi menurut jalan Allah, menjadi yang terakhir sehingga yang terakhir dapat diangkat dan menjadi yang pertama. Sementara pertanyaan-pertanyaan Yesus ini, dengan ajaran-Nya tentang pelayanan, sering kali tidak dapat dipahami oleh kita sebagaimana halnya para murid, namun dengan mengikuti-Nya, dengan berjalan mengikuti jejak-Nya dan menerima kasih karunia-Nya yang mengubah rupa cara berpikir kita, kita juga dapat mempelajari jalan Allah: pelayanan.

 

Inilah yang seharusnya kita dambakan: bukan kekuasaan, tetapi pelayanan. Pelayanan adalah cara hidup umat kristiani. Pelayanan bukanlah tentang daftar hal-hal yang harus dilakukan, sehingga setelah selesai, kita dapat menganggap bagian kita telah selesai; orang-orang yang melayani dengan kasih tidak berkata: "sekarang giliran orang lain". Inilah cara berpikir karyawan, bukan saksi. Pelayanan lahir dari kasih, dan kasih tidak mengenal batas, tanpa perhitungan, menghabiskan dan memberi. Pelayanan bukan hanya melakukan sesuatu untuk mendatangkan hasil, pelayanan tidak dilakukan sesekali, tetapi merupakan sesuatu yang lahir dari hati, hati yang diperbarui oleh kasih dan dalam kasih.

 

Ketika kita belajar melayani, setiap tata gerak perhatian dan kepedulian, setiap ungkapan kelembutan, setiap karya belas kasih kita menjadi cerminan kasih Allah. Dengan demikian, kita melanjutkan karya Yesus di dunia.

 

Dalam terang ini, kita dapat mengingat para murid Injil yang hari ini sedang dikanonisasi. Sepanjang sejarah umat manusia yang penuh masalah, mereka tetap menjadi hamba yang setia, pria dan wanita yang melayani dalam kemartiran dan sukacita, seperti Pastor Manuel Ruiz López dan para sahabatnya. Mereka adalah para imam dan kaum hidup bakti yang bersemangat misioner, seperti Pastor Joseph Allamano, Suster Marie Leonie Paradis dan Suster Elena Guerra. Para santo-santa baru ini menghayati jalan Yesus: pelayanan. Iman dan kerasulan yang mereka jalankan tidak memuaskan keinginan duniawi dan rasa haus akan kekuasaan, tetapi sebaliknya, mereka menjadikan diri mereka sebagai hamba bagi saudara-saudari mereka, kreatif dalam melakukan kebaikan, teguh dalam kesulitan dan murah hati sampai akhir.

 

Dengan keyakinan kita memohon perantaraan mereka agar kita juga dapat mengikuti Kristus, mengikuti-Nya dalam pelayanan dan menjadi saksi harapan bagi dunia.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Oktober 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN WAJIB PARA MALAIKAT PELINDUNG (PEMBUKAAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 2 Oktober 2024 : SUARA, PERLINDUNGAN DAN SEORANG ANAK KECIL

Bacaan Ekaristi: Kel 23:20-23a; Mzm 91:1-2.3-4.5-6.10-11; Mat 18:1-5.10.

 

Hari ini kita merayakan Peringatan Wajib Para Malaikat Pelindung, dan kita membuka kembali Sidang Paripurna Sinode Para Uskup. Setelah mendengarkan Sabda Allah, marilah kita mengambil tiga gambaran sebagai titik awal pertimbangan kita: suara, perlindungan dan seorang anak kecil.

 

Pertama, suara. Dalam perjalanan menuju Tanah Terjanji, Allah menasihati umat-Nya untuk mendengarkan "suara malaikat" yang telah Ia utus (bdk. Kel 23:20-22). Sebuah gambaran yang relevan bagi kita. Ketika kita berjalan di jalan Sinode ini, Tuhan meletakkan di tangan kita sejarah, impian dan harapan dari suatu umat yang luar biasa. Mereka adalah saudara-saudari kita yang tersebar di seluruh dunia, diilhami oleh iman yang sama, digerakkan oleh keinginan yang sama untuk kekudusan. Bersama mereka dan untuk mereka, marilah kita berusaha untuk memahami jalan yang harus kita ikuti untuk mencapai tujuan yang dikehendaki Tuhan bagi kita. Tetapi bagaimana kita dapat mendengarkan "suara malaikat"?

 

Salah satu caranya adalah dengan menerima semua sumbangan yang terkumpul selama tiga tahun ini dengan rasa hormat dan perhatian, dalam doa dan terang Sabda Allah. Inilah tahun-tahun kerja, terlibat dan berdiskusi, yang dilakukan dengan upaya terus-menerus untuk memurnikan pikiran dan hati kita. Dengan bantuan Roh Kudus, kita harus mendengarkan dan memahami suara ini — yaitu, gagasan, harapan, usulan — untuk bersama-sama mengenali suara Allah yang berbicara kepada Gereja (bdk. Renato Corti, Quale prete?, Appunti inediti). Sebagaimana telah berulang kali kami tegaskan, Gereja kita bukan sidang parlementer, melainkan tempat mendengarkan dalam persekutuan, di mana, sebagaimana dikatakan Santo Gregorius Agung, apa yang dimiliki seseorang dalam dirinya sebagian dimiliki sepenuhnya oleh orang lain, dan meskipun beberapa orang memiliki karunia khusus, seluruhnya adalah milik setiap orang dalam “amal kasih Roh” (bdk. Homili tentang Keempat Injil, XXXIV).

 

Agar hal ini terjadi, ada syaratnya: kita harus membebaskan diri dari segala sesuatu yang menghalangi “amal kasih Roh” untuk menciptakan kerukunan dalam keberagaman di dalam diri kita dan di antara kita. Orang-orang yang dengan sombong mengklaim memiliki hak eksklusif untuk mendengar suara Tuhan, tidak dapat mendengarnya (bdk. Mrk 9:38-39). Setiap perkataan harus diterima dengan rasa syukur dan kesederhanaan serta dapat menjadi gema dari apa yang telah diberikan Allah demi kebaikan saudara-saudari kita (bdk. Mat 10:7-8). Marilah kita berhati-hati untuk tidak melihat kontribusi kita sebagai poin yang harus dipertahankan dengan segala cara atau agenda yang harus dipaksakan. Saya berharap kita masing-masing dapat memberikan kontribusi kita sebagai hadiah untuk dibagikan, bahkan siap untuk mengorbankan sudut pandang kita untuk memberi kehidupan pada sesuatu yang baru, semuanya sesuai dengan rencana Allah. Jika tidak, kita akan berakhir dengan mengunci diri dalam dialog di antara orang-orang tuli, di mana para peserta berusaha untuk memajukan tujuan atau agenda mereka sendiri tanpa mendengarkan orang lain dan, terutama, tanpa mendengarkan suara Tuhan.

 

Kita tidak memiliki solusi untuk masalah yang kita hadapi, tetapi Tuhan memilikinya (bdk. Yoh 14:6). Ingatlah bahwa kamu tidak boleh kehilangan fokus di padang gurun. Jika kamu tidak memperhatikan pemandu, jika kamu merasa cukup, kamu mungkin mati kelaparan atau kehausan dan membawa orang lain bersamamu. Karena itu, marilah kita mendengarkan suara Allah dan malaikat-Nya agar kita dapat melanjutkan perjalanan kita dengan aman, mengatasi keterbatasan dan kesulitan kita (bdk. Mzm 23:4).

 

Hal ini membawa kita pada gambaran berikutnya: perlindungan, yang dapat dilambangkan dengan sayap yang melindungi kita – “di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mzm 91:4). Sayap adalah sarana yang kuat, yang mampu mengangkat tubuh dari tanah melalui gerakan yang kuat. Meskipun sayap melambangkan kekuatan yang besar, sayap juga dapat diturunkan untuk berkumpul, menjadi perisai dan sarang yang ramah bagi burung-burung muda yang membutuhkan kehangatan dan perlindungan.

 

Ini adalah lambang dari apa yang dilakukan Allah bagi kita, dan juga merupakan model yang harus kita ikuti, terutama saat kita berkumpul bersama hari-hari ini. Di antara kita, saudara-saudari terkasih, ada banyak orang yang kuat dan dipersiapkan dengan baik, yang mampu bangkit menuju ketinggian dengan gerakan refleksi yang intens dan wawasan yang cemerlang. Semua ini merupakan keuntungan besar kita. Merangsang, menantang, dan terkadang memaksa kita untuk berpikir lebih terbuka dan bergerak maju dengan lebih tegas. Juga membantu kita untuk tetap teguh dalam iman bahkan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Kita harus memiliki hati yang terbuka, hati yang berdialog. Hati yang tertutup dalam keyakinan pribadi tidak sesuai dengan Roh Tuhan. Bukan berasal dari Tuhan. Membuka diri kita adalah karunia, dan karunia ini harus dipadukan, bila perlu, dengan kemampuan untuk mengendurkan otot-otot kita dan membungkuk untuk saling menawarkan pelukan hangat dan tempat berlindung. Dengan cara itu kita akan menjadi, seperti yang dikatakan Santo Paulus VI, “sebuah rumah [...] saudara-saudari, sebuah lokakarya kegiatan yang intens, sebuah ruang atas spiritualitas yang bersemangat” (Pidato kepada Dewan Presiden C.E.I., 9 Mei 1974).

 

Semakin kita menyadari bahwa kita dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang mencintai, menghormati, dan menghargai kita, sahabat-sahabat yang mau mendengarkan apa yang kita katakan, semakin kita akan merasa bebas untuk mengungkapkan diri secara spontan dan terbuka.

 

Pendekatan ini bukan sekadar teknik untuk “memfasilitasi” dialog dan dinamika komunikasi kelompok. Dalam Sinode ada “fasilitator”, tetapi mereka ada di sini untuk membantu kita bergerak maju dengan lebih baik. Merangkul, melindungi, dan peduli sebenarnya merupakan salah satu hakikat Gereja. Merangkul, melindungi, dan peduli. Gereja, berdasarkan panggilannya, adalah tempat berkumpul yang ramah, di mana “amal kasih kolegial menuntut keselarasan sempurna, yang mengarah pada kekuatan moral, keindahan spiritual, dan ungkapan ideal” (idem.). Keselarasan: sebuah kata yang sangat penting. Keselarasan bukan tentang mayoritas dan minoritas; keselarasan bisa menjadi langkah pertama. Keselarasan penting mendasar, dan hanya dapat dicapai oleh Roh Kudus. Roh Kudus adalah pemilik keselarasan dan mampu menciptakan satu suara di antara beraneka macam suara. Renungkanlah bagaimana Roh Kudus menciptakan keselarasan di antara perbedaan pada pagi Pentakosta. Gereja perlu menciptakan "tempat yang penuh kedamaian dan terbuka" pertama-tama di dalam hati kita, tempat setiap orang merasa diterima, seperti bayi dalam pelukan ibunya (bdk. Yes 49:15; 66:13) dan seperti anak kecil yang diangkat ke pipi ayahnya (bdk. Hos 11:4; Mzm 103:13).

 

Hal ini membawa kita kepada gambaran ketiga: seorang anak kecil. Yesus sendiri yang, dalam Bacaan Injil, “menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah mereka”, memperlihatkannya kepada para murid, mengundang mereka untuk bertobat dan menjadi kecil seperti Dia. Mereka telah bertanya kepada-Nya siapa yang terbesar dalam Kerajaan Surga dan Ia menjawab dengan mendorong mereka untuk menjadi seperti seorang anak kecil. Namun tidak hanya itu, Yesus juga menambahkan bahwa dengan menyambut seorang anak dalam nama-Nya, kita menyambut Dia (bdk. Mat 18:1-5).

 

Paradoks ini hakiki bagi kita. Mengingat pentingnya Sinode, dalam arti tertentu kita harus berusaha untuk menjadi “besar” dalam roh, hati, dan pandangan, karena persoalan yang harus kita hadapi “besar” dan tidak kasat mata, serta situasinya luas dan universal. Namun justru karena alasan inilah kita tidak boleh melupakan anak kecil, yang terus ditempatkan Yesus di pusat pertemuan dan meja kerja kita. Ia melakukannya untuk mengingatkan kita bahwa satu-satunya cara untuk menjadi layak atas tugas yang dipercayakan kepada kita adalah dengan merendahkan diri kita, membuat diri kita kecil dan saling menerima dengan rendah hati. Orang yang terbesar dalam Gereja adalah orang yang paling menunduk.

 

Justru dengan membuat diri-Nya kecil, Allah “menunjukkan kepada kita apa sesungguhnya kebesaran sejati, apa artinya menjadi Allah” (BENEDIKTUS XVI, Homili Hari Raya Pembaptisan Tuhan, 11 Januari 2009). Bukanlah suatu kebetulan bahwa Yesus mengatakan bahwa malaikat anak-anak kecil “selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga” (Mat 18:10). Dengan kata lain, mereka bagaikan “teleskop” kasih Bapa.

 

Saudara-saudari, kita memulai kembali perjalanan sinode kita dengan pandangan ke arah dunia, karena komunitas Kristiani selalu melayani umat manusia untuk mewartakan sukacita Injil. Dalam masa yang begitu dramatis dalam sejarah kita, ketika angin perang dan kobaran api kekerasan terus menghancurkan seluruh bangsa dan negara, ada kebutuhan untuk pesan ini.

 

Guna memohon perantaraan Santa Maria demi karunia perdamaian, saya akan mendaraskan doa Rosario Suci dan menyampaikan permohonan sepenuh hati kepada Perawan Maria di Basilika Santa Maria Maggiore pada hari Minggu mendatang. Jika memungkinkan, saya meminta semua anggota Sinode untuk bergabung dengan saya pada kesempatan ini.

 

Keesokan harinya, 7 Oktober, saya memohon kepada semua orang untuk ikut serta dalam hari doa dan puasa demi perdamaian dunia.

 

Marilah kita berjalan bersama. Marilah kita mendengarkan Tuhan dan memperkenankan Dia membimbing kita melalui "hembusan" Roh.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Oktober 2024)