Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.
Tuhan mengumpulkan kita di sekeliling meja-Nya, menjadikan diri-Nya roti untuk
kita : "Roti pesta di atas meja anak-anak, [...] menciptakan hal berbagi,
memperkuat ikatan, memiliki citarasa persekutuan" (Madah Rohani XVII
Kongres Nasional Ekaristi, Matera 2022). Namun, Bacaan Injil yang baru saja
kita dengar memberitahu kita bahwa roti tidak selalu dibagikan di meja dunia :
ini benar; aroma persekutuan tidak selalu terpancar; roti tidak selalu
dipecah-pecahkan secara adil.
Ada
baiknya kita berhenti di depan adegan dramatis yang digambarkan oleh Yesus
dalam perumpamaan yang telah kita dengar ini : di satu sisi, orang kaya
berpakaian jubah ungu dan kain halus, yang memamerkan kemewahan dan pesta
poranya; di sisi lain, orang miskin, penuh dengan borok, yang berbaring di
dekat pintu mengharapkan dapat memakan remah-remah yang jatuh dari meja orang
kaya. Dan dalam menghadapi kontradiksi ini - yang kita lihat setiap hari - di
hadapan kontradiksi ini kita bertanya pada diri kita : untuk apakah sakramen
Ekaristi, sumber dan puncak kehidupan Kristiani, mengundang kita?
Pertama-tama, Ekaristi mengingatkan kita akan keutamaan Allah. Orang kaya dalam
perumpamaan itu tidak terbuka terhadap hubungan dengan Allah : ia hanya
memikirkan kesejahteraannya, memuaskan kebutuhannya, menikmati hidup. Dan dengan
ini ia juga kehilangan nama. Bacaan Injil tidak mengatakan siapa namanya :
Injil menamainya dengan kata sifat "kaya", sebaliknya orang miskin
disebut namanya : Lazarus. Kekayaan membawamu ke sini, kekayaan juga melucuti
dirimu dari namamu. Puas dengan dirinya sendiri, mabuk dengan uang, terpana
oleh perkara kesia-siaan, tidak ada ruang bagi Allah dalam hidupnya karena ia
hanya menyembah dirinya sendiri. Tidak mengherankan, namanya tidak disebutkan
sehubungan dengan dirinya : kita menyebutnya "kaya", kita
mendefinisikannya hanya dengan kata sifat karena ia sekarang telah kehilangan
namanya, ia telah kehilangan jatidirinya yang hanya diberikan oleh barang yang
dimilikinya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bahkan hari ini, ketika kita
merancukan siapa diri kita dengan apa yang kita miliki, ketika kita menilai
orang dari kekayaan yang mereka miliki, dengan gelar yang mereka tunjukkan,
dengan peran yang mereka pegang atau dengan merek pakaian yang mereka kenakan.
Agama yang berkenaan dengan memiliki dan penampilan, yang sering mendominasi
pemandangan dunia ini, tetapi pada akhirnya meninggalkan kita dengan tangan
kosong : selalu. Faktanya, orang kaya dalam Bacaan Injil ini bahkan tidak
memiliki nama. Ia bukan siapa-siapa lagi. Sebaliknya, orang miskin itu bernama,
Lazarus, yang berarti "Allah menolong". Bahkan dalam kondisi miskin
dan terpinggirkan, ia dapat menjaga martabatnya tetap utuh karena ia hidup
dalam hubungan dengan Allah. Dalam namanya terkandung sesuatu dari Allah dan
Allah adalah harapan yang tak tergoyahkan dalam hidupnya.
Kemudian
di sinilah tantangan tetap yang ditawarkan Ekaristi bagi hidup kita : menyembah
Allah dan bukan diri kita, bukan diri kita. Menempatkan Allah sebagai pusat dan
bukan kesombongan diri kita. Mengingatkan kita bahwa hanya di sinilah tantangan
tetap yang ditawarkan Ekaristi bagi hidup kita : menyembah Allah dan bukan diri
kita, bukan diri kita. Menempatkan Dia sebagai pusat dan bukan kesombongan diri
kita. Mengingatkan kita bahwa hanya Tuhan adalah Allah dan segala sesuatu yang
lainnya adalah rahmat-Nya bagi kita. Karena jika kita menyembah diri kita, kita
mati dalam sesak napas kecilnya diri kita; jika kita menyembah kekayaan dunia
ini, mereka menguasai dan memperbudak kita; jika kita menyembah ilah penampilan
dan mabuk pemborosan, cepat atau lambat kehidupan itu sendiri akan menagih
kita. Hidup selalu menagih kita. Di sisi lain, ketika kita menyembah Tuhan
Yesus yang hadir dalam Ekaristi, kita juga menerima pandangan baru dalam hidup
kita : aku bukan hal-hal yang kumiliki atau keberhasilan yang kuperoleh; nilai
hidupku tidak tergantung pada seberapa banyak aku berhasil menunjukkannya dan
juga tidak berkurang ketika aku menghadapi kegagalan demi kegagalan. Aku adalah
anak terkasih, kita masing-masing adalah anak terkasih; aku diberkati oleh
Allah; Ia ingin mendandaniku dengan kecantikan dan Ia ingin aku bebas, Ia ingin
aku bebas dari segala perbudakan. Marilah kita ingat hal ini : siapa pun yang
menyembah Allah tidak menjadi budak siapa pun : ia bebas. Marilah temukan
kembali doa penyembahan, doa yang sering terlupakan.
Menyembah,
doa penyembahan, marilah kita temukan kembali : doa penyembahan membebaskan
kita dan memulihkan martabat kita sebagai anak-anak, bukan sebagai hamba.
Selain
keutamaan Allah, Ekaristi memanggil kita untuk mengasihi saudara kita. Roti ini
terutama adalah sakramen kasih. Kristuslah yang menawarkan diri-Nya dan
kelegaan bagi kita serta meminta kita untuk melakukan hal yang sama, sehingga
hidup kita menjadi gandum pokok dan menjadi roti yang memberi makan saudara-saudara
kita. Orang kaya dalam Bacaan Injil gagal dalam tugas ini; ia hidup dalam
kemewahan, berpesta pora bahkan tanpa memperhatikan tangisan sunyi Lazarus yang
malang, yang terbaring kelelahan di depan pintunya. Hanya pada akhir hidupnya,
ketika Allah membalikkan nasibnya, ia akhirnya melihat Lazarus, tetapi Abraham
mengatakan kepadanya : "Selain dari pada itu di antara kami dan engkau
terbentang jurang yang tak terseberangi" (Luk 16:26). Tetapi kamu
menetapkanya : kamu sendiri. Ini adalah kita, ketika dalam keegoisan kita
membelalak pada jurang. Orang kayalah yang menggali jurang antara dirinya dan
Lazarus selama hidupnya di dunia dan sekarang, dalam kehidupan abadi, jurang
itu tetap ada. Karena masa depan kekal kita bergantung pada kehidupan sekarang
ini : jika sekarang kita menggali sebuah jurang dengan saudara-saudari kita -,
kita “menggali kubur” untuk alam baka; jika sekarang kita membangun tembok
melawan saudara-saudari kita, kita tetap terpenjara dalam kesepian dan kematian
bahkan setelahnya.
Saudara-saudari
yang terkasih, sungguh menyakitkan melihat perumpamaan ini masih menjadi
sejarah di zaman kita : ketidakadilan, kesenjangan, sumber daya bumi yang
disalurkan secara tidak merata, yang kuat menyalahgunakan yang lemah,
ketidakpedulian terhadap jeritan orang miskin, jurang yang kita gali setiap
hari dengan menghasilkan marginalisasi, tidak bisa - semua ini - meninggalkan
kita acuh tak acuh. Maka hari ini, bersama-sama, kita mengakui bahwa Ekaristi
adalah nubuat tentang dunia baru, kehadiran Yesus meminta kita untuk
berkomitmen agar terjadi pertobatan yang efektif : pertobatan dari
ketidakpedulian menjadi belas kasih, pertobatan dari pemborosan menjadi
berbagi, pertobatan dari keegoisan menjadi kasih, pertobatan dari
individualisme menjadi persaudaraan.
Saudara-saudara,
kita bermimpi. Kita memimpikan sebuah Gereja seperti ini : Gereja Ekaristis.
Terdiri dari pria dan wanita yang dipecah seperti roti untuk semua orang yang
mengunyah kesepian dan kemiskinan, untuk mereka yang haus akan kelembutan dan
kasih sayang, untuk mereka yang hidupnya hancur karena ragi harapan yang baik
telah gagal. Sebuah Gereja yang berlutut di hadapan Ekaristi dan menyembah
Tuhan hadir dalam rupa roti dengan keheranan; tetapi yang juga tahu bagaimana
membungkuk dengan belas kasih dan kelembutan di depan luka-luka orang-orang
yang menderita, membebaskan orang-orang miskin, mengeringkan air mata
orang-orang yang menderita, menjadikan diri mereka roti harapan dan sukacita
bagi semua orang. Karena tidak ada ibadat Ekaristi sejati tanpa belas kasihan
bagi banyak "Lazarus" yang bahkan hari ini berjalan di samping kita.
Banyak!
Saudara,
saudari, dari kota Matera ini, "kota roti", saya ingin memberitahumu
: marilah kembali kepada Yesus, marilah kembali kepada Ekaristi. Marilah kita
kembali kepada citarasa roti, karena sementara kita haus akan kasih dan
harapan, atau kita hancur oleh kesulitan dan penderitaan hidup, Yesus menjadi
santapan yang memberi kita makan dan menyembuhkan kita. Marilah kita kembali
kepada citarasa roti, karena sementara ketidakadilan dan diskriminasi terhadap
orang miskin terus dikonsumsi di dunia, Yesus memberi kita Roti berbagi dan
mengutus kita setiap hari sebagai rasul persaudaraan, rasul keadilan, rasul
perdamaian. Marilah kita kembali kepada citarasa roti untuk menjadi Gereja
Ekaristis, yang menempatkan Yesus sebagai pusat dan menjadi roti kelembutan,
roti rahmat bagi semua orang. Marilah kita kembali kepada citarasa roti untuk
mengingat bahwa, sementara keberadaan duniawi kita sedang dikonsumsi, Ekaristi mengantisipasi
janji kebangkitan dan membimbing kita menuju kehidupan baru yang mengalahkan
kematian.
Hari
ini marilah kita memikirkan dengan sungguh-sungguh orang kaya dan Lazarus. Ini
terjadi setiap hari. Dan berkali-kali juga - biarlah kita malu - perjuangan ini
terjadi di dalam diri kita, di antara kita, di dalam masyarakat. Dan ketika
harapan padam dan kita merasakan dalam diri kita kesepian hati, kelelahan
batin, siksaan dosa, ketakutan tidak tergantikan, kita kembali lagi kepada
citarasa roti. Kita semua adalah orang berdosa: kita masing-masing membawa dosa
kita sendiri. Tetapi, orang-orang berdosa, marilah kita kembali kepada citarasa
Ekaristi, citarasa roti. Marilah kita kembali kepada Yesus, kita menyembah
Yesus, kita menyambut Yesus. Karena hanya Dia yang mengalahkan maut dan selalu
memperbaharui hidup kita.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 25 September 2022)