Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI SPORTS HUB NATIONAL STADIUM, SINGAPURA 12 September 2024


Bacaan Ekaristi : 1Kor 8:1b-7.11-13; Mzm 139:1-3.13-14ab.23-24; Luk 6:27-38.

 

“Pengetahuan membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun” (1 Kor 8:1). Santo Paulus menyampaikan kata-kata ini kepada saudara-saudari jemaat kristiani di Korintus. Dalam surat-suratnya kepada jemaat ini, yang telah menjadi kaya dalam segala hal (bdk. 1 Kor 1:4-5), Rasul Paulus sering menyarankan agar mereka membina persekutuan dalam kasih.

 

Marilah kita mendengarkan kata-kata Paulus tersebut seraya kita bersama-sama mengucap syukur kepada Tuhan atas Gereja di Singapura, yang juga telah menjadi kaya dalam segala hal, sebuah Gereja yang bersemangat, bertumbuh, dan terlibat dalam dialog yang membangun dengan berbagai pengakuan dan agama lain yang merupakan bagian dari negeri yang indah ini.

 

Oleh karena itu, saya ingin merenungkan kata-kata Paulus, dengan bertitik tolak dari keindahan kota ini dan arsitekturnya yang sangat megah, khususnya komplek Stadion Nasional yang mengesankan ini, yang berkontribusi menjadikan Singapura sangat terkenal dan mempesona. Pertama, marilah kita ingat bahwa, pada akhirnya, pada asal-usul bangunan yang megah ini, seperti halnya bangunan lain yang meninggalkan jejak positif di dunia kita, sementara orang mungkin memikirkannya pertama-tama berkaitan dengan uang, teknik, atau bahkan kemampuan rekayasa, yang tentu saja berguna, sangat berguna, apa yang sebenarnya kita temukan adalah kasih, tepatnya "kasih yang membangun".

 

Meskipun sebagian orang mungkin menganggap ini pernyataan yang bersahaja, dengan merenungkannya kita melihat bahwa ini tidaklah demikian. Memang, meskipun karya-karya yang baik mungkin memiliki orang-orang yang brilian, kuat, kaya, dan kreatif di belakangnya, selalu ada manusia yang rapuh, seperti kita, yang tanpa cinta tidak ada kehidupan, tidak ada dorongan, tidak ada alasan untuk bertindak, tidak ada kekuatan untuk membangun.

 

Saudara-saudari terkasih, jika ada sesuatu yang baik yang ada dan bertahan di dunia ini, itu hanya karena, dalam situasi yang tak terhitung banyaknya, cinta telah menang atas kebencian, kesetiakawanan telah menang atas ketidakpedulian, kemurahan hati telah menang atas keegoisan. Tanpa ini, tidak seorang pun di sini akan mampu melahirkan kota metropolitan yang begitu besar, karena para arsitek tidak akan merancangnya, para pekerja tidak akan mengerjakannya dan tidak ada yang akan tercapai.

 

Jadi, apa yang kita lihat adalah sebuah tanda, dan di balik setiap karya yang ada di hadapan kita, ada banyak kisah cinta yang dapat ditemukan: tentang manusia yang bersatu dalam satu komunitas, tentang warga negara yang mengabdikan diri bagi negara mereka, tentang ibu dan ayah yang peduli terhadap keluarga mereka, tentang berbagai macam tenaga ahli dan pekerja yang dengan tulus terlibat dalam berbagai peran dan tugas mereka. Oleh karena itu, ada baiknya kita belajar membaca kisah-kisah ini, yang ditulis di depan rumah kita dan di jalan-jalan kita, serta meneruskan kenangan mereka, guna mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi yang lahir atau tumbuh tanpa cinta.

 

Terkadang kebesaran dan kemegahan proyek-proyek kita dapat membuat kita melupakan hal ini, dan menipu kita dengan berpikir bahwa kita dapat menjadi satu-satunya penulis kehidupan, kekayaan, kesejahteraan, kebahagiaan kita. Namun, pada akhirnya, hidup selalu membawa kita kembali ke satu kenyataan: tanpa cinta, kita bukanlah apa-apa.

 

Dengan demikian, iman semakin meneguhkan dan mencerahkan kita mengenai keyakinan ini, karena iman memberitahu kita bahwa akar dari kapasitas kita untuk mengasihi dan dikasihi adalah Allah sendiri, yang dengan hati seorang Bapa menghendaki dan ingin membawa kita ke dalam keberadaan secara cuma-cuma (bdk. 1 Kor 8:6) serta telah menebus dan membebaskan kita dari dosa dan kematian, melalui kematian dan kebangkitan Putra-Nya yang tunggal. Di dalam Yesus, semua yang kita miliki dan dapat kita capai memiliki asal-usul dan pemenuhannya.

 

Dengan demikian, dalam kasih kita, kita melihat cerminan kasih Allah, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II selama kunjungannya ke negeri ini (bdk. Homili dalam Misa Kudus di Stadion Nasional, Singapura, 20 November 1986). Beliau kemudian menambahkan poin penting bahwa, “kasih bercirikan rasa hormat yang mendalam bagi semua orang, terlepas dari ras, kepercayaan, atau apa pun yang membuat mereka berbeda dari kita” (idem.).

 

Saudara-saudari, kata-kata ini penting bagi kita karena, di luar keheranan yang kita rasakan di hadapan karya-karya manusia, kata-kata itu mengingatkan kita bahwa ada keajaiban yang bahkan lebih besar yang harus dirangkul dengan kekaguman dan rasa hormat yang lebih besar: yaitu, saudara-saudari yang kita jumpai, tanpa diskriminasi, setiap hari di jalan kita, seperti yang kita lihat dalam masyarakat Singapura dan Gereja, yang secara etnis beragam namun tetap bersatu dan dalam kesetiakawanan!

 

Apa bangunan yang paling indah, harta yang paling berharga, investasi yang paling menguntungkan di mata Allah? Diri kita, kita semua, karena kita adalah anak-anak terkasih dari Bapa yang sama (bdk. Luk 6:35), yang pada gilirannya dipanggil untuk menyebarkan kasih. Bacaan-bacaan Misa ini berbicara kepada kita tentang hal tersebut dengan berbagai cara. Dari sudut pandang yang berbeda, bacaan-bacaan Misa menggambarkan kasih yang sama, yakni lemah lembut dalam menghargai kerentanan mereka yang lemah (bdk. 1 Kor 8:13), penuh perhatian dalam mengenal dan mendampingi mereka yang tidak yakin akan perjalanan hidup (bdk. Mzm 138), dan murah hati, baik hati dalam mengampuni melampaui segala perhitungan dan ukuran (bdk. Luk 6:27-38).

 

Kasih yang ditunjukkan Allah kepada kita, dan yang Ia ajak untuk kita bagikan kepada orang lain, “menanggapi dengan murah hati kebutuhan orang miskin… ditandai dengan bela rasa bagi mereka yang berduka… segera menawarkan keramahtamahan dan bertekun di saat-saat pencobaan. Kasih selalu siap untuk mengampuni, siap untuk berharap”, mengampuni dan berharap bahkan sampai pada titik balas “memberkati ketimbang mengutuk… kasih adalah pusat Injil yang sesungguhnya” (Santo Yohanes Paulus II, Homili dalam Misa Kudus di Stadion Nasional, Singapura, 20 November 1986).

 

Sesungguhnya, kita dapat melihat hal ini dalam banyak orang kudus, orang-orang yang begitu ditaklukkan oleh Allah yang penuh belas kasih sehingga mereka menjadi cerminan belas kasih itu, sebuah gema, sebuah gambaran yang hidup. Di sini, sebagai penutup, saya hanya ingin mengingat dua dari mereka.

 

Pertama, Maria, yang nama tersucinya kita rayakan hari ini. Ia telah memberikan harapan kepada begitu banyak orang melalui dukungan dan kehadirannya, yang terus ia lakukan! Alangkah banyak namanya terucap, dan terus terucap di saat suka maupun duka! Ini karena di dalam dirinya, di dalam diri Maria, kita melihat kasih Bapa terwujud dalam salah satu cara yang paling indah dan penuh, karena di dalam dirinya kita melihat kelembutan – janganlah kita melupakan kelembutan! – seorang ibu, yang memahami dan mengampuni segalanya dan yang tidak pernah meninggalkan kita. Inilah sebabnya kita berpaling kepadanya!

 

Kedua, seorang santo yang dikasihi di negeri ini, yang menemukan keramahtamahan di sini berkali-kali selama perjalanan misinya. Saya berbicara tentang Santo Fransiskus Xaverius, yang diterima di negeri ini pada banyak kesempatan, yang terakhir pada tanggal 21 Juli 1552.

 

Kita masih menyimpan surat yang indah yang ditujukannya kepada Santo Ignatius dan para sahabat pertamanya, di mana ia mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke seluruh perguruan tinggi pada masanya untuk berseru “bagaikan orang gila… [kepada] mereka yang lebih banyak belajar daripada beramal” sehingga mereka mungkin merasa terdorong untuk menjadi misionaris demi mengasihi saudara-saudari mereka, dan “berseru dengan segenap hati mereka: ‘Tuhan, aku berada di sini! Apa yang Engkau kehendaki supaya aku perbuat?’” (Surat, Cochin, Januari 1544).

 

Kita juga dapat menjadikan kata-kata ini sebagai kata-kata kita, mengikuti teladannya dan teladan Maria: “Tuhan, aku berada di sini; apa yang Engkau kehendaki supaya aku perbuat?”, sehingga kata-kata itu dapat menyertai kita tidak hanya pada hari-hari ini, tetapi selalu, sebagai komitmen terus-menerus untuk siap sedia mendengarkan dan menanggapi undangan untuk mengasihi dan hidup benar yang berasal dari kasih Allah yang tak terbatas yang terus menghampiri kita hari ini.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 September 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI LAPANGAN TERBUKA TACI TOLU, DILI, TIMOR LESTE 10 September 2024

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Luk 1:26-38.

 

“Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita” (Yes 9:5).

 

Dengan kata-kata ini, dalam Bacaan Pertama, Nabi Yesaya berbicara kepada penduduk Yerusalem. Saat itu merupakan masa yang makmur bagi kota itu, tetapi sayangnya juga ditandai oleh kemerosotan moral yang parah.

 

Kita melihat kemakmuran yang melimpah di sana, tetapi kemakmuran ini membutakan orang-orang yang berkuasa, merayu mereka untuk berpikir bahwa diri mereka berkecukupan, tidak membutuhkan Tuhan, dan kesombongan mereka menuntun mereka untuk menjadi egois dan tidak berlaku adil. Karena alasan ini, meskipun sangat makmur, orang miskin ditelantarkan dan kelaparan, perselingkuhan merajalela, dan praktik keagamaan semakin dimerosotkan menjadi formalisme belaka. Tampak luar dunia yang menipu ini yang pada pandangan pertama tampak sempurna menyembunyikan kenyataan yang jauh lebih gelap, lebih keras, dan lebih kejam. Sebuah kenyataan di mana ada banyak kebutuhan untuk pertobatan, belas kasihan, dan penyembuhan.

 

Inilah sebabnya nabi mengumumkan kepada orang-orang sebangsanya sebuah cakrawala baru, yang akan dibukakan Allah di hadapan mereka: masa depan yang penuh harapan, masa depan yang penuh sukacita, di mana penindasan dan perang akan disingkirkan selamanya (bdk. Yes 9:1-4). Ia akan membuat terang yang besar bersinar atas mereka (bdk. ayat 1), yang akan membebaskan mereka dari kegelapan dosa yang menindas mereka. Namun, Ia akan melakukannya bukan dengan kekuatan tentara, senjata, atau kekayaan, tetapi melalui pemberian seorang putra (bdk. ayat 6-7).

 

Marilah kita berhenti sejenak untuk merenungkan gambaran ini: Allah memancarkan terang keselamatan-Nya melalui pemberian seorang putra.

 

Di setiap tempat, kelahiran seorang putra adalah momen sukacita dan perayaan yang cemerlang, dan juga dapat menanamkan dalam diri kita keinginan untuk kebaikan, pembaruan kebaikan, kembali kepada kemurnian dan kesederhanaan. Di hadapan seorang bayi yang baru lahir, bahkan hati yang paling dingin pun menjadi hangat dan dipenuhi kelembutan. Kerentanan seorang bayi selalu membawa pesan yang begitu kuat sehingga menyentuh bahkan jiwa yang paling keras sekalipun, membawa serta perasaan dan keinginan untuk rukun dan tenang. Saudara-saudari, kelahiran seorang anak memang membawa keajaiban!

 

Kedekatan Allah datang melalui seorang anak. Allah menjadi seorang anak, bukan hanya untuk membuat kita takjub dan tergerak, tetapi juga untuk membuka hati kita terhadap kasih Bapa, dan agar kita dapat membiarkan diri kita dibentuk oleh-Nya, sehingga Ia dapat menyembuhkan luka-luka kita, mendamaikan perbedaan-perbedaan kita, dan menata kembali kehidupan kita.

 

Alangkah indahnya bahwa di Timor-Leste ada begitu banyak anak-anak. Sungguh, kamu adalah negara yang masih muda dan kami dapat melihat setiap sudut negerimu penuh dengan kehidupan. Sungguh anugerah yang luar biasa bahwa begitu banyak anak-anak dan kaum muda hadir, terus-menerus memperbarui energi dan kehidupan kita. Lebih jauh, ini adalah sebuah tanda, karena memberi ruang bagi orang-orang kecil, menyambut mereka, peduli terhadap mereka, dan menjadikan diri kita "kecil" di hadapan Allah dan satu sama lain, justru merupakan sikap yang membuka diri kita terhadap tindakan Tuhan. Dengan menjadi seperti anak-anak, kita membiarkan Allah bertindak dalam diri kita.

 

Hari ini, kita memuliakan Bunda Maria sebagai Ratu, yaitu ibu dari seorang Raja, Yesus, yang memilih untuk dilahirkan dalam keadaan kecil, menjadikan diri-Nya saudara kita, dan yang meminta jawaban “ya” dari seorang perawan perempuan muda (bdk. Luk 1:38).

 

Maria memahami hal ini, hingga titik memilih untuk tetap kecil sepanjang hidupnya, menjadikan dirinya semakin kecil, melayani, berdoa, menarik diri untuk memberi ruang bagi Yesus, bahkan ketika hal ini mengorbankan banyak hal.

 

Jadi, saudara-saudari terkasih, janganlah kita takut untuk membuat diri kita kecil di hadapan Allah, dan di hadapan satu sama lain, janganlah kita takut kehilangan hidup kita, mengorbankan waktu kita, merevisi jadwal kita dan mengurangi rencana kita bila perlu, bukan untuk meremehkannya tetapi untuk membuatnya lebih indah melalui pemberian diri kita dan penerimaan orang lain.

 

Semua ini dilambangkan dengan baik oleh dua harta tradisional yang indah dari negeri ini: Kaibauk dan Belak. Keduanya terbuat dari logam mulia, yang menunjukkan betapa pentingnya keduanya!

 

Kaibauk melambangkan tanduk kerbau dan cahaya matahari, dan dapat digunakan sebagai hiasan kepala yang dikenakan di atas dahi, atau diletakkan di atas rumah. Kaibauk berbicara tentang kekuatan, energi, dan kehangatan, dan dapat melambangkan kuasa Allah yang memberi kehidupan. Terlebih lagi, melalui posisinya yang di atas dahi dan di atas atap rumah, Kaibauk mengingatkan kita bahwa dengan terang sabda Tuhan dan kuasa kasih karunia-Nya, kita juga dapat bekerja sama, melalui pilihan dan tindakan kita, dalam rencana penebusan yang agung.

 

Sebagai pelengkap Kaibauk adalah Belak, yang dikenakan di dada. Belak mengingatkan pada lembutnya cahaya bulan, yang dengan rendah hati memantulkan cahaya matahari di malam hari, menyelimuti segala sesuatu dalam cahaya fluoresensi. Belak berbicara tentang kedamaian, kesuburan, dan kemanisan, serta melambangkan kelembutan seorang ibu, yang dengan sikap kasih sayangnya yang lembut membuat apa pun yang disentuhnya bersinar dengan cahaya yang sama yang diterimanya dari Allah.

 

Kaibauk dan Belak memperlihatkan kekuatan dan kelembutan ayah dan ibu. Sesungguhnya, begitulah cara Tuhan menyingkapkan kekuasaan-Nya, yang berupa amal dan belas kasihan.

 

Akhirnya, marilah kita bersama-sama memohon dalam Ekaristi ini, sebagai perempuan dan laki-laki, sebagai Gereja dan sebagai masyarakat, agar kita dapat memantulkan di dunia terang kasih Allah yang kuat dan lembut, terang Allah yang, sebagaimana kita doakan dalam Mazmur Tanggapan, “menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama para bangsawan” (Mzm 113:7-8).


* * *


Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sedang berpikir keras tentang apa hal terbaik yang dimiliki Timor-Leste? Kayu cendana? Buah persik? Itu semua bukanlah hal terbaik. Hal terbaik adalah rakyatnya. Saya tidak bisa melupakan rakyat yang berada di pinggir jalan, bersama anak-anak. Betapa banyaknya anak-anakmu! Rakyat, hal terbaik yang mereka miliki adalah senyuman anak-anak mereka. Dan sebuah bangsa yang mengajarkan anak-anaknya untuk tersenyum adalah sebuah bangsa yang memiliki masa depan.

 

Namun berhati-hatilah! Karena saya pernah mendengar bahwa buaya datang ke beberapa pantai; buaya datang berenang dan memiliki gigitan yang lebih kuat daripada yang dapat kita hindari. Berhati-hatilah! Berhati-hatilah terhadap "buaya" yang ingin mengubah budayamu, yang ingin mengubah sejarahmu. Tetaplah setia. Dan jangan mendekati "buaya-buaya" tersebut karena mereka menggigit, dan mereka menggigit dengan keras.

 

Saya mengharapkan kedamaian bagi kamu semua. Saya mendoakan banyak anak bagimu: semoga senyuman bangsa ini adalah anak-anaknya! Jagalah anak-anakmu; tetapi juga jagalah orang tuamu, yang merupakan kenangan negeri ini.

 

Terima kasih; terima kasih banyak atas amalmu, atas imanmu. Bergerak dengan harapan!


Dan sekarang marilah kita memohon kepada Tuhan untuk memberkati kita semua, dan kemudian kita akan menyanyikan sebuah madah untuk Perawan Maria.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 September 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION SIR JOHN GUISE, PORT MORESBY, PAPUA NUGINI 8 September 2024 : JARAK ORANG TULI DAN KEDEKATAN YESUS

Bacaan Ekaristi : Yes. 35:4-7a; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; Yak. 2:1-5; Mrk. 7:31-37.


Kata-kata pertama yang disampaikan Tuhan kepada kita hari ini adalah, “Kuatkan hatimu, janganlah takut!” (Yes 35:4). Dengan cara ini, Nabi Yesaya berbicara kepada semua orang yang telah kehilangan semangat. Ia juga menyemangati umat-Nya dan, bahkan di tengah kesulitan dan penderitaan, mengundang mereka untuk menengadah ke cakrawala harapan dan masa depan di mana Allah akan datang untuk menyelamatkan kita. Karena Tuhan memang akan datang, dan pada waktu itu, “mata orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang tuli akan dibuka” (Yes 35:5).

 

Nubuat ini tergenapi dalam diri Yesus. Dalam kisah Santo Markus, dua hal secara khusus ditekankan: jarak orang tuli dan kedekatan Yesus.

 

Jarak yang ditempuh orang tuli. Kita melihat dia di wilayah geografis yang dalam bahasa masa kini kita sebut sebagai "pinggiran". Wilayah Dekapolis terletak di seberang Sungai Yordan, jauh dari pusat keagamaan Yerusalem. Lebih dari itu, orang tuli ini juga merasakan jarak yang lain: ia jauh dari Allah dan orang lain karena ia tidak dapat berkomunikasi, ia tuli dan karenanya tidak dapat mendengar, dan ia juga bisu sehingga tidak dapat berbicara. Ia terputus dari dunia, terasing, terpenjara oleh kondisi bisu tulinya, sehingga ia tidak dapat menjangkau orang lain atau berkomunikasi dengan mereka.

 

Kita juga dapat menafsirkan situasi orang itu dalam pengertian lain, karena kita juga dapat terputus dari persekutuan dan persahabatan dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita ketika, alih-alih telinga dan lidah kita, hati kita yang tersumbat. Sungguh, ada semacam ketulian dan kebisuan batiniah hati yang terjadi setiap kali kita menutup diri, atau menutup diri dari Allah dan orang lain melalui keegoisan, ketidakpedulian, takut mengambil risiko atau berterus terang, dendam, kebencian, dan daftarnya bisa terus berlanjut. Semua ini menjauhkan kita dari Allah, dari saudara-saudari kita, dari diri kita sendiri dan dari sukacita kehidupan.

 

Saudara-saudari, Allah menanggapi jarak seperti itu dengan cara yang sangat bertolak belakang, dengan kedekatan Yesus. Melalui Putra-Nya, Allah ingin menunjukkan pertama-tama bahwa Ia dekat dan berbela rasa, Ia peduli kepada kita dan mengatasi jarak apa pun. Bahkan, dalam perikop Injil kita melihat Yesus pergi ke daerah-daerah pinggiran, meninggalkan Yudea untuk bertemu dengan orang-orang kafir (bdk. Mrk 7:31).

 

Melalui kedekatan-Nya, Yesus menyembuhkan kebisuan dan ketulian manusia. Sungguh, setiap kali kita merasa jauh, atau kita memilih untuk menjaga jarak dari Allah, dari saudara-saudari kita atau dari mereka yang berbeda dengan kita, kita menutup diri, menghalangi diri kita dari luar. Kita akhirnya hanya berputar di sekitar ego kita, tuli terhadap sabda Allah dan jeritan sesama kita, dan karena itu tidak dapat berbicara kepada Allah atau sesama kita.

 

Dan kamu, saudara-saudari, yang tinggal di negeri yang sangat jauh ini, mungkin kamu membayangkan bahwa kamu terpisah dari Tuhan dan satu sama lain. Ini tidak benar, tidak: Kamu dipersatukan dalam Roh Kudus dan di dalam Tuhan! Dan Tuhan berkata kepadamu masing-masing, "terbukalah"! Yang terpenting adalah membuka diri kita kepada Allah dan saudara-saudari kita, serta membuka diri kita kepada Injil, menjadikannya pedoman kehidupan kita.

 

Hari ini, Tuhan juga berkata kepadamu, “Beranilah, rakyat Papua Nugini, janganlah takut! Bukalah dirimu! Bukalah dirimu terhadap sukacita Injil; bukalah dirimu untuk berjumpa dengan Allah; bukalah dirimu terhadap kasih saudara-saudarimu”. Semoga tidak seorang pun dari kita yang tetap tuli atau gagap terhadap undangan ini. Selain itu, semoga Beato John Mazzuccini menemanimu dalam perjalanan ini, karena di tengah banyak kesulitan dan permusuhan, ia membawa Kristus ke tengah-tengahmu, sehingga tidak seorang pun akan tetap tuli terhadap pesan keselamatan yang penuh sukacita, dan agar semua orang dapat melonggarkan lidah mereka untuk menyanyikan kasih Allah. Semoga hal ini benar-benar terjadi terhadapmu hari ini!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 8 September 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION UTAMA GELORA BUNG KARNO 5 September 2024 : MENDENGARKAN DAN MENGHIDUPI SABDA

Bacaan Ekaristi : 1Kor 3:18-23; Mzm 24:1-2.3-4ab.5-6; Luk 5:1-11.

 

Perjumpaan dengan Yesus mengundang kita untuk menghidupi dua sikap mendasar yang memampukan kita menjadi murid-murid-Nya. Sikap pertama adalah mendengarkan sabda, dan sikap kedua adalah menghidupi sabda. Pertama, mendengarkan, karena semua hal berasal dari mendengarkan, dari membuka diri kita kepada-Nya, dari menyambut anugerah yang sangat berharga dari persahabatan dengan-Nya. Lalu, penting untuk menghidupi sabda yang telah kita terima, agar bukan hanya menjadi pendengar yang sia-sia dan menipu diri kita sendiri (bdk. Yak 1:22). Memang, mereka yang hanya mendengarkan dengan telinga berisiko tidak membiarkan benih sabda turun ke dalam hati mereka dan dengan demikian mengubah cara pikir, cara merasa dan cara bertindak mereka, dan ini tidak baik. Sabda yang dianugerahkan, dan yang kita dengar, butuh untuk menjadi kehidupan di dalam diri kita, mengubah rupa diri kita dan menjelma di dalam hidup kita.

 

Bacaan Injil yang baru saja diwartakan membantu kita merenungkan dua sikap penting ini: mendengarkan sabda dan menghidupi sabda.

 

Pertama, mendengarkan sabda. Penginjil bercerita bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada Yesus dan “mengerumuni Dia hendak mendengarkan sabda Allah” (Luk 5:1). Mereka mencari Dia, lapar dan haus akan sabda Tuhan serta mendengarnya bergema dalam sabda Yesus. Adegan ini, kemudian, diulang berkali-kali dalam Injil, memberitahu kita bahwa hati manusia selalu mencari kebenaran yang dapat memenuhi dan memuaskan hasratnya akan kebahagiaan. Kita tidak dapat dipuaskan hanya dengan kata-kata manusia, pemikiran dunia dan penilaian duniawi ini. Kita selalu membutuhkan sebuah terang yang datang dari atas untuk menyinari langkah-langkah kita, air kehidupan yang dapat memuaskan dahaga padang gurun jiwa, sebuah penghiburan yang tidak mengecewakan karena ia berasal dari surga dan bukan dari hal-hal fana dunia ini. Di tengah kekacauan dan kefanaan kata-kata manusia, saudara-saudari, ada kebutuhan akan sabda Allah, satu-satunya pedoman sejati bagi perjalanan kita, yang di tengah begitu banyaknya luka dan kekacauan mampu menuntun kita menuju makna kehidupan sejati.

 

Saudara-saudari, janganlah kita lupa bahwa tugas pertama seorang murid – dan kita semua adalah murid! – bukanlah mengenakan jubah keagamaan yang tampak sempurna, melakukan hal-hal yang luar biasa atau terlibat dalam usaha yang muluk. Bukan, tugas pertama, langkah pertama, sebaliknya, adalah mengetahui bagaimana mendengarkan satu-satunya sabda yang menyelamatkan, yaitu sabda Yesus. Kita dapat melihat hal ini dalam adegan Injil, ketika Sang Guru menaiki perahu Petrus untuk sedikit menjauhkan diri dari pantai dan dengan demikian bisa mewartakan Injil dengan lebih baik kepada orang banyak (bdk. Luk 5:3). Kehidupan iman kita dimulai ketika kita menerima Yesus dengan rendah hati ke dalam perahu kehidupan kita, memberi ruang untuk-Nya, mendengarkan sabda-Nya serta membiarkan diri kita dipertanyakan, ditantang dan diubah oleh sabda-Nya.

 

Pada saat yang sama, saudara-saudari, sabda Tuhan menuntut untuk dijelmakan secara nyata dalam diri kita sehingga kita dipanggil untuk menghidupi sabda. Sekadar mengulang-ulang sabda, tanpa menghidupinya, membuat kita seperti burung beo: ya, kita mengucapkan sabda Tuhan, tetapi tidak memahaminya, tidak menghidupinya. Setelah Yesus selesai berkhotbah kepada orang banyak dari atas perahu, Ia berpaling kepada Petrus dan menantangnya untuk mengambil risiko dengan bertaruh pada sabda ini, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan” (ayat 4). Sabda Tuhan tidak dapat tetap tinggal sebagai gagasan abstrak yang indah atau hanya membangkitkan emosi sesaat. Sabda Tuhan menuntut kita untuk mengubah cara pandang kita dan membiarkan hati kita diubah rupa menjadi gambaran hati Kristus. Sabda Tuhan meminta kita untuk berani menebarkan jala Injil ke lautan dunia, berlari dengan risiko, ya, berlari dengan risiko menghidupi kasih yang telah Ia ajarkan kepada kita dan yang telah Ia hidupi lebih dahulu. Tuhan, dengan kekuatan sabda-Nya yang membara, juga meminta kita, saudara-saudari, untuk berlayar, melepaskan diri dari pantai yang tergenang akibat kebiasaan buruk, ketakutan dan keadaan biasa-biasa saja serta berani untuk menjalani kehidupan baru. Iblis menyukai keadaan biasa-biasa saja, karena keadaan biasa-biasa saja merasuki dan menghancurkan diri kita.

 

Tentu saja, selalu ada rintangan dan alasan untuk mengatakan tidak terhadap panggilan ini. Marilah kita melihat kembali sikap Petrus. Ia telah tiba di pantai setelah malam yang sulit karena ia tidak menangkap apa-apa. Ia marah, lelah, dan kecewa, namun, daripada tinggal dilumpuhkan oleh kehampaan atau terhalang oleh kegagalannya sendiri, ia berkata, “Guru, sepanjang malam kami telah bekerja keras, tetapi tidak menangkap apa-apa. Namun, karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala” (ayat 5). Karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala. Kemudian, sesuatu yang tidak pernah terdengar terjadi, mukjizat sebuah perahu yang terisi penuh ikan hingga hampir tenggelam (bdk. ayat 7).

 

Saudara-saudari, menghadapi berbagai tugas dalam kehidupan sehari-hari, bersama dengan panggilan yang kita semua rasakan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan melangkah maju di jalan perdamaian dan dialog – jalan yang telah lama menjadi kenyataan di Indonesia – kita terkadang merasa tidak mampu. Kita terkadang merasakan beban komitmen dan dedikasi kita yang tidak selalu membuahkan hasil, atau kesalahan-kesalahan kita yang tampaknya menghambat perjalanan yang kita jalani. Kita juga diminta untuk tidak tinggal sebagai tawanan kegagalan kita, yang sangat buruk, karena kegagalan menguasai kita dan kita dapat menjadi tawanan kegagalan. Jangan, janganlah kita tetap menjadi tawanan kegagalan kita. Daripada hanya terpaku pada jala kita yang kosong, maka kita harus memandang Yesus dan percaya kepada-Nya. Jangan lihat jalamu yang kosong, lihatlah Yesus! Ia akan membuatmu berjalan, Ia akan menolongmu, percayalah kepada Yesus! Bahkan ketika kita telah melewati malam kegagalan dan saat kekecewaan ketika kita tidak menangkap apa-apa, kita selalu dapat mengambil risiko untuk melaut dan menebarkan jala lagi. Sekarang marilah kita hening sejenak dan kamu masing-masing merenungkan kegagalanmu. Dan melihat kegagalan ini, marilah kita mengambil risiko, marilah kita melangkah maju dengan keteguhan sabda Allah.

 

Santa Teresa dari Kalkuta, yang peringatannya kita rayakan hari ini, yang tanpa lelah peduli pada orang-orang termiskin serta menjadi penggiat perdamaian dan dialog, pernah berkata, “Ketika kita tidak memiliki apapun untuk diberikan, hendaklah kita memberikan ketiadaan itu. Dan ingatlah, bahkan ketika kamu tidak menuai apa-apa, jangan pernah lelah menabur”. Saudara-saudari, jangan pernah lelah menabur, karena ini adalah kehidupan.

 

Saudara-saudari, saya juga hendak mengatakan kepadamu, kepada bangsa ini, kepada nusantara yang mengagumkan dan beranekaragam ini, jangan lelah berlayar, jangan lelah menebarkan jala, jangan lelah bermimpi, jangan lelah membangun kembali peradaban perdamaian. Selalu berani bermimpi tentang persaudaraan, yang merupakan harta sejati di antara Anda. Dibimbing oleh sabda Tuhan, saya mendorongmu untuk menabur benih kasih, dengan percaya diri menapaki jalan dialog, terus menunjukkan kebaikan budi dan hatimu dengan senyumanmu yang khas. Apakah kamu pernah diberitahu bahwa kamu adalah orang-orang yang suka tersenyum? Tolong, jangan kehilangan senyumanmu, dan teruslah maju! Jadilah pembangun perdamaian. Jadilah pembangun harapan!

 

Para Uskup di negara ini baru-baru ini menyampaikan keinginan yang juga ingin saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia: berjalan bersama demi kebaikan masyarakat dan Gereja! Jadilah pembangun harapan. Dengarkanlah baik-baik: jadilah pembangun harapan, harapan Injil, yang tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5), yang tidak pernah mengecewakan, tetapi sebaliknya membuka kita pada sukacita yang tak berkesudahan. Terima kasih banyak.

 

[Sambutan pada akhir Misa]

 

Saya berterima kasih kepada Kardinal Ignatius, serta Ketua Konferensi Waligereja dan para uskup Gereja Indonesia lainnya, yang bersama para imam dan diakon melayani umat Allah yang kudus di negeri yang besar ini. Saya juga berterima kasih kepada para biarawan dan biarawati, seluruh relawan, dan dengan penuh kasih sayang, para orang tua, orang sakit, dan orang yang menderita, yang telah mendoakan kita. Terima kasih!

 

Kunjungan saya di tengah-tengahmu akan segera berakhir, dan saya ingin menyampaikan rasa syukur yang penuh sukacita atas sambutan luar biasa yang telah saya terima. Saya kembali mengucapkan terima kasih kepada Presiden Republik Indonesia, yang hadir di sini hari ini, kepada para pejabat sipil lainnya, dan aparat keamanan, saya juga menyampaikan penghargaan saya kepada seluruh rakyat Indonesia.

 

Dalam Kisah Para Rasul disebutkan bahwa pada hari Pentakosta terjadilah kegemparan besar di Yerusalem. Dan semua orang riuh rendah memberitakan Injil. Tolong, saudara-saudari terkasih, riuh rendahlah! Riuh rendahlah!

 

Semoga Tuhan memberkatimu. Terima kasih!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 September 2024)