Bacaan Ekaristi : 1Kor 8:1b-7.11-13; Mzm 139:1-3.13-14ab.23-24; Luk 6:27-38.
“Pengetahuan membuat orang menjadi
sombong, tetapi kasih membangun” (1 Kor 8:1). Santo Paulus menyampaikan
kata-kata ini kepada saudara-saudari jemaat kristiani di Korintus. Dalam
surat-suratnya kepada jemaat ini, yang telah menjadi kaya dalam segala hal
(bdk. 1 Kor 1:4-5), Rasul Paulus sering menyarankan agar mereka membina
persekutuan dalam kasih.
Marilah kita mendengarkan kata-kata
Paulus tersebut seraya kita bersama-sama mengucap syukur kepada Tuhan atas
Gereja di Singapura, yang juga telah menjadi kaya dalam segala hal, sebuah
Gereja yang bersemangat, bertumbuh, dan terlibat dalam dialog yang membangun
dengan berbagai pengakuan dan agama lain yang merupakan bagian dari negeri yang
indah ini.
Oleh karena itu, saya ingin merenungkan
kata-kata Paulus, dengan bertitik tolak dari keindahan kota ini dan
arsitekturnya yang sangat megah, khususnya komplek Stadion Nasional yang
mengesankan ini, yang berkontribusi menjadikan Singapura sangat terkenal dan
mempesona. Pertama, marilah kita ingat bahwa, pada akhirnya, pada asal-usul
bangunan yang megah ini, seperti halnya bangunan lain yang meninggalkan jejak
positif di dunia kita, sementara orang mungkin memikirkannya pertama-tama
berkaitan dengan uang, teknik, atau bahkan kemampuan rekayasa, yang tentu saja
berguna, sangat berguna, apa yang sebenarnya kita temukan adalah kasih,
tepatnya "kasih yang membangun".
Meskipun sebagian orang mungkin
menganggap ini pernyataan yang bersahaja, dengan merenungkannya kita melihat
bahwa ini tidaklah demikian. Memang, meskipun karya-karya yang baik mungkin
memiliki orang-orang yang brilian, kuat, kaya, dan kreatif di belakangnya,
selalu ada manusia yang rapuh, seperti kita, yang tanpa cinta tidak ada
kehidupan, tidak ada dorongan, tidak ada alasan untuk bertindak, tidak ada
kekuatan untuk membangun.
Saudara-saudari terkasih, jika ada
sesuatu yang baik yang ada dan bertahan di dunia ini, itu hanya karena, dalam
situasi yang tak terhitung banyaknya, cinta telah menang atas kebencian,
kesetiakawanan telah menang atas ketidakpedulian, kemurahan hati telah menang
atas keegoisan. Tanpa ini, tidak seorang pun di sini akan mampu melahirkan kota
metropolitan yang begitu besar, karena para arsitek tidak akan merancangnya,
para pekerja tidak akan mengerjakannya dan tidak ada yang akan tercapai.
Jadi, apa yang kita lihat adalah sebuah
tanda, dan di balik setiap karya yang ada di hadapan kita, ada banyak kisah
cinta yang dapat ditemukan: tentang manusia yang bersatu dalam satu komunitas,
tentang warga negara yang mengabdikan diri bagi negara mereka, tentang ibu dan
ayah yang peduli terhadap keluarga mereka, tentang berbagai macam tenaga ahli
dan pekerja yang dengan tulus terlibat dalam berbagai peran dan tugas mereka.
Oleh karena itu, ada baiknya kita belajar membaca kisah-kisah ini, yang ditulis
di depan rumah kita dan di jalan-jalan kita, serta meneruskan kenangan mereka,
guna mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi yang lahir atau tumbuh tanpa
cinta.
Terkadang kebesaran dan kemegahan
proyek-proyek kita dapat membuat kita melupakan hal ini, dan menipu kita dengan
berpikir bahwa kita dapat menjadi satu-satunya penulis kehidupan, kekayaan,
kesejahteraan, kebahagiaan kita. Namun, pada akhirnya, hidup selalu membawa
kita kembali ke satu kenyataan: tanpa cinta, kita bukanlah apa-apa.
Dengan demikian, iman semakin
meneguhkan dan mencerahkan kita mengenai keyakinan ini, karena iman memberitahu
kita bahwa akar dari kapasitas kita untuk mengasihi dan dikasihi adalah Allah
sendiri, yang dengan hati seorang Bapa menghendaki dan ingin membawa kita ke
dalam keberadaan secara cuma-cuma (bdk. 1 Kor 8:6) serta telah menebus dan
membebaskan kita dari dosa dan kematian, melalui kematian dan kebangkitan
Putra-Nya yang tunggal. Di dalam Yesus, semua yang kita miliki dan dapat kita
capai memiliki asal-usul dan pemenuhannya.
Dengan demikian, dalam kasih kita, kita
melihat cerminan kasih Allah, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II
selama kunjungannya ke negeri ini (bdk. Homili dalam Misa Kudus di Stadion
Nasional, Singapura, 20 November 1986). Beliau kemudian menambahkan poin
penting bahwa, “kasih bercirikan rasa hormat yang mendalam bagi semua orang,
terlepas dari ras, kepercayaan, atau apa pun yang membuat mereka berbeda dari
kita” (idem.).
Saudara-saudari, kata-kata ini penting
bagi kita karena, di luar keheranan yang kita rasakan di hadapan karya-karya
manusia, kata-kata itu mengingatkan kita bahwa ada keajaiban yang bahkan lebih
besar yang harus dirangkul dengan kekaguman dan rasa hormat yang lebih besar:
yaitu, saudara-saudari yang kita jumpai, tanpa diskriminasi, setiap hari di
jalan kita, seperti yang kita lihat dalam masyarakat Singapura dan Gereja, yang
secara etnis beragam namun tetap bersatu dan dalam kesetiakawanan!
Apa bangunan yang paling indah, harta
yang paling berharga, investasi yang paling menguntungkan di mata Allah? Diri
kita, kita semua, karena kita adalah anak-anak terkasih dari Bapa yang sama
(bdk. Luk 6:35), yang pada gilirannya dipanggil untuk menyebarkan kasih.
Bacaan-bacaan Misa ini berbicara kepada kita tentang hal tersebut dengan
berbagai cara. Dari sudut pandang yang berbeda, bacaan-bacaan Misa
menggambarkan kasih yang sama, yakni lemah lembut dalam menghargai kerentanan
mereka yang lemah (bdk. 1 Kor 8:13), penuh perhatian dalam mengenal dan
mendampingi mereka yang tidak yakin akan perjalanan hidup (bdk. Mzm 138), dan
murah hati, baik hati dalam mengampuni melampaui segala perhitungan dan ukuran
(bdk. Luk 6:27-38).
Kasih yang ditunjukkan Allah kepada
kita, dan yang Ia ajak untuk kita bagikan kepada orang lain, “menanggapi dengan
murah hati kebutuhan orang miskin… ditandai dengan bela rasa bagi mereka yang
berduka… segera menawarkan keramahtamahan dan bertekun di saat-saat pencobaan.
Kasih selalu siap untuk mengampuni, siap untuk berharap”, mengampuni dan berharap
bahkan sampai pada titik balas “memberkati ketimbang mengutuk… kasih adalah
pusat Injil yang sesungguhnya” (Santo Yohanes Paulus II, Homili dalam Misa
Kudus di Stadion Nasional, Singapura, 20 November 1986).
Sesungguhnya, kita dapat melihat hal
ini dalam banyak orang kudus, orang-orang yang begitu ditaklukkan oleh Allah
yang penuh belas kasih sehingga mereka menjadi cerminan belas kasih itu, sebuah
gema, sebuah gambaran yang hidup. Di sini, sebagai penutup, saya hanya ingin
mengingat dua dari mereka.
Pertama, Maria, yang nama tersucinya
kita rayakan hari ini. Ia telah memberikan harapan kepada begitu banyak orang
melalui dukungan dan kehadirannya, yang terus ia lakukan! Alangkah banyak
namanya terucap, dan terus terucap di saat suka maupun duka! Ini karena di
dalam dirinya, di dalam diri Maria, kita melihat kasih Bapa terwujud dalam
salah satu cara yang paling indah dan penuh, karena di dalam dirinya kita
melihat kelembutan – janganlah kita melupakan kelembutan! – seorang ibu, yang
memahami dan mengampuni segalanya dan yang tidak pernah meninggalkan kita.
Inilah sebabnya kita berpaling kepadanya!
Kedua, seorang santo yang dikasihi di
negeri ini, yang menemukan keramahtamahan di sini berkali-kali selama
perjalanan misinya. Saya berbicara tentang Santo Fransiskus Xaverius, yang
diterima di negeri ini pada banyak kesempatan, yang terakhir pada tanggal 21
Juli 1552.
Kita masih menyimpan surat yang indah
yang ditujukannya kepada Santo Ignatius dan para sahabat pertamanya, di mana ia
mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke seluruh perguruan tinggi pada masanya
untuk berseru “bagaikan orang gila… [kepada] mereka yang lebih banyak belajar
daripada beramal” sehingga mereka mungkin merasa terdorong untuk menjadi
misionaris demi mengasihi saudara-saudari mereka, dan “berseru dengan segenap
hati mereka: ‘Tuhan, aku berada di sini! Apa yang Engkau kehendaki supaya aku
perbuat?’” (Surat, Cochin, Januari 1544).
Kita juga dapat menjadikan kata-kata
ini sebagai kata-kata kita, mengikuti teladannya dan teladan Maria: “Tuhan, aku
berada di sini; apa yang Engkau kehendaki supaya aku perbuat?”, sehingga
kata-kata itu dapat menyertai kita tidak hanya pada hari-hari ini, tetapi
selalu, sebagai komitmen terus-menerus untuk siap sedia mendengarkan dan
menanggapi undangan untuk mengasihi dan hidup benar yang berasal dari kasih
Allah yang tak terbatas yang terus menghampiri kita hari ini.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 12 September 2024)