Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXX (MISA PENUTUPAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 27 Oktober 2024 : TENTANG BARTIMEUS

Bacaan Ekaristi : Yer. 31:7-9; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Ibr. 5:1-6; Mrk. 10:46-52.

 

Bacaan Injil hari ini Bartimeus, seorang buta yang terpaksa mengemis di pinggir jalan, seorang rakyat jelata yang kehilangan harapan, dihadirkan kepada kita. Namun, ketika ia mendengar Yesus lewat, ia mulai berseru kepada-Nya. Yang dapat dilakukan Bartimeus hanyalah menjerit dalam penderitaannya kepada Yesus dan mengungkapkan keinginannya agar ia dapat melihat kembali. Sementara banyak orang merasa terganggu oleh jeritannya dan menegurnya, Yesus berhenti sejenak. Karena Allah selalu mendengar jeritan orang miskin, dan tidak ada jeritan penderitaan yang tidak didengar-Nya.

 

Hari ini, pada penutupan Sidang Umum Sinode Para Uskup, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur atas momen-momen yang telah kita lalui bersama, marilah kita merenungkan apa yang terjadi pada Bartimeus. Awalnya ia “duduk di pinggir jalan” (Mrk 10:46), tetapi pada akhirnya ia dipanggil oleh Yesus, memperoleh kembali penglihatannya dan “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya” (ayat 52).

 

Hal pertama yang diceritakan Injil kepada kita tentang Bartimeus yaitu ia sedang mengemis di pinggir jalan. Posisinya merupakan gambaran seseorang yang duduk di pinggir jalan, tenggelam dalam kesedihannya, seolah-olah tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menerima sesuatu dari banyak peziarah yang melewati kota Yerikho saat Paskah semakin dekat. Namun, seperti yang kita ketahui, jika kita benar-benar ingin hidup, kita tidak dapat duduk diam. Hidup berarti terus bergerak, berangkat, bermimpi, membuat rencana, dan membuka diri terhadap masa depan. Bartimaeus yang buta, melambangkan kebutaan batin yang mengekang kita, membuat kita terpaku di satu tempat, menahan diri kita dari dinamisme kehidupan, dan menghancurkan harapan kita.

 

Hal ini dapat membantu kita merenungkan bukan hanya kehidupan kita, tetapi juga tentang apa artinya menjadi Gereja Tuhan. Begitu banyak hal di sepanjang jalan yang dapat membuat kita buta, tidak mampu memahami kehadiran Tuhan, tidak siap menghadapi tantangan kenyataan, terkadang tidak mampu memberikan tanggapan yang memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan dari begitu banyak orang yang berseru kepada kita, seperti yang dilakukan Bartimeus kepada Yesus. Kita tidak dapat tinggal diam di hadapan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh manusia masa kini, di hadapan tantangan-tantangan zaman kita, mendesaknya penginjilan dan banyaknya luka yang menimpa umat manusia. Saudara-saudari, kita tidak dapat berdiam diri. Gereja yang tidak banyak bergerak, yang secara tidak sengaja menarik diri dari kehidupan dan membatasi diri pada pinggiran kenyataan, adalah Gereja yang berisiko tetap buta dan menjadi nyaman dengan kegelisahannya. Jika kita tetap terjebak dalam kebutaan kita, kita akan terus-menerus gagal memahami kemendesakan memberikan tanggapan pastoral terhadap banyak masalah di dunia kita. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar mengutus Roh Kudus kepada kita, agar kita tidak duduk dalam kebutaan kita, yang dengan kata lain dapat berupa keduniawian, kepuasan diri, atau hati yang tertutup. Kita tidak dapat terus-menerus duduk dalam kebutaan kita.

 

Namun, kita harus ingat bahwa Tuhan lewat setiap hari. Tuhan selalu lewat dan berhenti sejenak untuk memperhatikan kebutaan kita. Kita harus bertanya pada diri kita, "Apakah aku mendengar Dia lewat? Apakah aku memiliki kemampuan untuk mendengar langkah kaki Tuhan? Apakah aku memiliki kemampuan untuk melakukan pembedaan roh ketika Tuhan lewat?" Ada baiknya jika Sinode mendesak kita sebagai Gereja untuk menjadi seperti Bartimeus: sebuah komunitas murid yang, mendengar bahwa Tuhan lewat, merasakan sukacita keselamatan, membiarkan diri kita dibangkitkan oleh kuasa Injil, dan berseru kepada-Nya. Gereja melakukan ini ketika ia menanggapi seruan segenap manusia di dunia, seruan orang-orang yang ingin menemukan sukacita Injil, dan orang-orang yang telah berpaling; seruan hening dari orang-orang yang acuh tak acuh; seruan orang-orang yang menderita, orang-orang miskin dan terpinggirkan, anak-anak yang diperbudak untuk bekerja di begitu banyak bagian dunia; suara terbata-bata dari orang-orang yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk berseru kepada Allah, baik karena mereka tidak memiliki suara atau karena mereka putus asa. Kita tidak memerlukan Gereja yang tidak banyak bergerak dan mengalah, tetapi Gereja yang mendengar seruan dunia – saya ingin mengatakan hal ini meskipun beberapa orang mungkin merasa tersinggung – Gereja yang mendapati tangannya kotor dalam pelayanan.

 

Maka, kita sampai pada aspek kedua. Injil memberitahu kita bahwa jika pada awalnya Bartimeus duduk, pada akhirnya kita melihatnya mengikuti Yesus di sepanjang jalan. Ini adalah ungkapan khas Injil, yang berarti bahwa ia telah menjadi murid Tuhan dan telah mengikuti jejak langkah-Nya. Ketika pengemis itu berseru kepada-Nya, Yesus berhenti dan memanggilnya. Bartimeus, dari tempatnya duduk, melompat berdiri dan segera setelah itu penglihatannya pulih. Sekarang ia dapat melihat Tuhan; ia dapat mengenali tindakan Allah dalam hidupnya dan akhirnya berangkat untuk mengikuti-Nya. Marilah kita melakukan hal yang sama. Setiap kali kita duduk diam, ketika sebagai Gereja kita tidak dapat menemukan kekuatan, keberanian atau keteguhan hati untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan, marilah kita selalu ingat untuk kembali kepada Tuhan dan Injil-Nya. Kita selalu perlu kembali kepada Tuhan dan Injil. Ketika Ia lewat berulang kali, kita perlu mendengarkan panggilan-Nya sehingga kita dapat bangkit kembali dan Ia dapat menyembuhkan kebutaan kita; dan kemudian kita dapat mengikuti-Nya sekali lagi, dan berjalan bersama-Nya di sepanjang jalan.

 

Saya ingin menegaskan kembali bahwa Injil mengatakan tentang Bartimeus bahwa ia “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya”. Ini adalah gambaran Gereja sinodal. Tuhan sedang memanggil kita, mengangkat kita ketika kita terduduk atau terjatuh, memulihkan penglihatan kita sehingga kita dapat memahami kecemasan dan penderitaan dunia dalam terang Injil. Dan ketika Tuhan menegakkan kita kembali, kita mengalami sukacita mengikuti-Nya dalam perjalanan-Nya. Kita mengikuti Tuhan di sepanjang jalan, kita tidak mengikuti-Nya dalam kenyamanan kita atau kita tidak mengikuti-Nya dalam labirin pikiran kita. Kita mengikuti-Nya hanya di sepanjang jalan. Marilah kita ingat untuk tidak pernah berjalan sendiri atau menurut kriteria duniawi, tetapi berjalan bersama-Nya.

 

Saudara-saudari, bukan Gereja yang hanya duduk, tetapi Gereja yang berdiri. Bukan Gereja yang diam, tetapi Gereja yang merangkul seruan umat manusia. Bukan Gereja yang buta, tetapi Gereja yang diterangi oleh Kristus, yang membawa terang Injil kepada orang lain. Bukan Gereja yang statis, tetapi Gereja misioner yang berjalan bersama Tuhannya melalui jalan-jalan dunia.

 

Hari ini, saat kita bersyukur kepada Tuhan atas perjalanan yang telah kita lalui bersama, kita akan dapat melihat dan menghormati relikui Kursi Santo Petrus kuno yang telah dipugar dengan hati-hati. Saat kita merenungkannya dengan keheranan iman, marilah kita ingat bahwa kursi tersebut adalah Kursi kasih, persatuan, dan belas kasih, sesuai dengan perintah Yesus kepada Rasul Petrus untuk tidak memerintah orang lain, tetapi melayani mereka dalam kasih. Dan, saat kita mengagumi Bernini Baldachin yang megah, lebih agung dari sebelumnya, kita dapat menemukan kembali bahwa kursi itu membingkai titik fokus sejati seluruh basilika, yaitu kemuliaan Roh Kudus. Inilah Gereja sinodal: sebuah komunitas yang keutamaannya terletak pada karunia Roh, yang menjadikan kita semua saudara dan saudari di dalam Kristus dan mengangkat kita kepada-Nya.


Saudara-saudari, oleh karena itu, marilah kita melanjutkan perjalanan kita bersama dengan keyakinan. Hari ini, sabda Allah berbicara kepada kita, seperti kepada Bartimeus: “Teguhkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau”. Apakah aku merasa terpanggil? Apakah aku merasa lemah dan tidak dapat berdiri? Apakah aku meminta pertolongan? Marilah kita singkirkan jubah kepasrahan; marilah kita percayakan kebutaan kita kepada Tuhan; marilah kita berdiri sekali lagi dan membawa sukacita Injil melalui jalan-jalan dunia.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Oktober 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIX (MISA KANONISASI MANUEL RUIZ LÓPEZ DAN TUJUH REKANNYA, FRANSISKUS, ABDEL MOHTI, RAPHAEL MASSABKI, GIUSEPPE ALLAMANO, MARIE-LÉONIE PARADIS DAN ELENA GUERRA) 20 Oktober 2024

Bacaan Ekaristi : Yes. 53:10-11; Mzm. 33:4-5,18-19,20,22; Ibr. 4:14-16; Mrk. 10:35-45 (Mrk. 10:42-45).

 

Yesus bertanya kepada Yakobus dan Yohanes: "Apa yang kamu kehendaki Kuperbuat bagimu?" (Mrk 10:36). Segera setelah itu Ia mendesak mereka: "Dapatkah kamu meminum cawan yang Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang Kuterima?" (Mrk 10:38). Yesus mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan, dengan berbuat demikian, membantu kita untuk melakukan pembedaan roh, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut memungkinkan kita untuk menemukan apa yang ada di dalam diri kita, yang menerangi keinginan hati kita. Marilah kita memperkenankan sabda Tuhan menanyai kita. Marilah kita bayangkan bahwa Ia bertanya kepada kita masing-masing: "Apa yang kamu kehendaki Kuperbuat bagimu?"; "Dapatkah kamu meminum cawan yang Kuminum?".

 

Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, Yesus menyingkapkan hubungan antara Dia dan para murid-Nya, serta harapan-harapan mereka terhadap-Nya, dengan segala aspek yang lazim dalam hubungan apa pun. Yakobus dan Yohanes memang terhubung dengan Yesus, tetapi mereka juga memiliki tuntutan-tuntutan tertentu.

 

Mereka mengungkapkan keinginan untuk berada di dekat-Nya, tetapi hanya untuk menduduki tempat terhormat, untuk memainkan peran penting, "duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." (Mrk 10:37). Mereka jelas menganggap Yesus sebagai Mesias yang menang dan mulia serta berharap Dia akan berbagi kemuliaan-Nya dengan mereka. Mereka melihat Yesus sebagai Mesias, tetapi memandang-Nya sebagai kalangan yang berkuasa.

 

Yesus tidak berhenti pada perkataan para murid, tetapi menyelami lebih dalam, mendengarkan dan membaca hati. Kemudian, dalam percakapan itu, melalui dua pertanyaan, Ia mencoba mengungkapkan keinginan di balik permintaan mereka.

 

Pertama, Ia bertanya: "Apa yang kamu kehendaki Kuperbuat bagimu?", sebuah pertanyaan yang menyingkapkan pikiran hati mereka, yang menyingkapkan harapan dan impian tersembunyi akan kemuliaan yang diam-diam dipupuk oleh para murid. Seolah-olah Yesus bertanya: "Engkau menginginkan Aku menjadi seperti siapa?". Dengan cara ini, Ia menyingkapkan keinginan mereka yang sebenarnya: menginginkan seorang Mesias yang berkuasa dan menang yang akan memberi mereka tempat terhormat.

 

Melalui pertanyaan kedua, Yesus membantah gambaran Mesias ini dan membantu mereka untuk mengubah sudut pandang mereka, yaitu bertobat: "Dapatkah kamu meminum cawan yang Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang Kuterima?" Dengan demikian, Ia menyingkapkan bahwa Ia bukanlah Mesias yang mereka kira; Ia adalah Allah kasih, yang merendahkan diri untuk menjangkau mereka yang telah terpuruk; yang membuat diri-Nya lemah untuk membangkitkan yang lemah, yang bekerja untuk perdamaian dan bukan untuk berperang, yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Cawan yang akan diminum Tuhan adalah persembahan hidup-Nya, yang diberikan kepada kita karena kasih, bahkan sampai wafat, dan wafat di kayu salib.

 

Terlebih lagi, di sebelah kanan dan kiri-Nya akan ada dua penjahat, yang tergantung seperti Dia di kayu salib dan tidak duduk di atas takhta kekuasaan; dua penjahat yang dipaku bersama Kristus dalam penderitaan, tidak bertakhta dalam kemuliaan. Raja yang disalibkan, orang benar yang dihukum menjadi hamba semua orang: Sungguh, orang ini Anak Allah! (lih. Mrk 15:39). Orang-orang yang berkuasa tidak menang, melainkan orang-orang yang melayani karena kasih. Kita juga diingatkan akan hal ini dalam Surat kepada Jemaat Ibrani: “Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai dalam segala hal, hanya saja Ia tidak berbuat dosa." (Ibr 4:15).

 

Pada titik ini, Yesus dapat membantu para murid-Nya untuk bertobat, mengubah pola pikir mereka: ”Kamu tahu bahwa mereka yang dianggap sebagai pemerintah bangsa-bangsa bertindak sebagai tuan atas rakyatnya, dan para pembesarnya bertindak sewenang-wenang atas mereka." (Mrk 10:42).

 

Namun, tidak demikian halnya bagi mereka yang mengikuti Allah, yang menjadikan diri-Nya sebagai hamba untuk menjangkau setiap orang dengan kasih-Nya. Mereka yang mengikuti Kristus, jika mereka ingin menjadi besar, harus melayani dengan belajar dari Dia.

 

Saudara-saudari, Yesus menyingkapkan pikiran, keinginan, dan rancangan hati kita, yang terkadang menyingkapkan harapan kita akan kemuliaan, dominasi, dan kekuasaan. Ia membantu kita untuk berpikir tidak lagi menurut kriteria dunia, tetapi menurut jalan Allah, menjadi yang terakhir sehingga yang terakhir dapat diangkat dan menjadi yang pertama. Sementara pertanyaan-pertanyaan Yesus ini, dengan ajaran-Nya tentang pelayanan, sering kali tidak dapat dipahami oleh kita sebagaimana halnya para murid, namun dengan mengikuti-Nya, dengan berjalan mengikuti jejak-Nya dan menerima kasih karunia-Nya yang mengubah rupa cara berpikir kita, kita juga dapat mempelajari jalan Allah: pelayanan.

 

Inilah yang seharusnya kita dambakan: bukan kekuasaan, tetapi pelayanan. Pelayanan adalah cara hidup umat kristiani. Pelayanan bukanlah tentang daftar hal-hal yang harus dilakukan, sehingga setelah selesai, kita dapat menganggap bagian kita telah selesai; orang-orang yang melayani dengan kasih tidak berkata: "sekarang giliran orang lain". Inilah cara berpikir karyawan, bukan saksi. Pelayanan lahir dari kasih, dan kasih tidak mengenal batas, tanpa perhitungan, menghabiskan dan memberi. Pelayanan bukan hanya melakukan sesuatu untuk mendatangkan hasil, pelayanan tidak dilakukan sesekali, tetapi merupakan sesuatu yang lahir dari hati, hati yang diperbarui oleh kasih dan dalam kasih.

 

Ketika kita belajar melayani, setiap tata gerak perhatian dan kepedulian, setiap ungkapan kelembutan, setiap karya belas kasih kita menjadi cerminan kasih Allah. Dengan demikian, kita melanjutkan karya Yesus di dunia.

 

Dalam terang ini, kita dapat mengingat para murid Injil yang hari ini sedang dikanonisasi. Sepanjang sejarah umat manusia yang penuh masalah, mereka tetap menjadi hamba yang setia, pria dan wanita yang melayani dalam kemartiran dan sukacita, seperti Pastor Manuel Ruiz López dan para sahabatnya. Mereka adalah para imam dan kaum hidup bakti yang bersemangat misioner, seperti Pastor Joseph Allamano, Suster Marie Leonie Paradis dan Suster Elena Guerra. Para santo-santa baru ini menghayati jalan Yesus: pelayanan. Iman dan kerasulan yang mereka jalankan tidak memuaskan keinginan duniawi dan rasa haus akan kekuasaan, tetapi sebaliknya, mereka menjadikan diri mereka sebagai hamba bagi saudara-saudari mereka, kreatif dalam melakukan kebaikan, teguh dalam kesulitan dan murah hati sampai akhir.

 

Dengan keyakinan kita memohon perantaraan mereka agar kita juga dapat mengikuti Kristus, mengikuti-Nya dalam pelayanan dan menjadi saksi harapan bagi dunia.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Oktober 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PERINGATAN WAJIB PARA MALAIKAT PELINDUNG (PEMBUKAAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 2 Oktober 2024 : SUARA, PERLINDUNGAN DAN SEORANG ANAK KECIL

Bacaan Ekaristi: Kel 23:20-23a; Mzm 91:1-2.3-4.5-6.10-11; Mat 18:1-5.10.

 

Hari ini kita merayakan Peringatan Wajib Para Malaikat Pelindung, dan kita membuka kembali Sidang Paripurna Sinode Para Uskup. Setelah mendengarkan Sabda Allah, marilah kita mengambil tiga gambaran sebagai titik awal pertimbangan kita: suara, perlindungan dan seorang anak kecil.

 

Pertama, suara. Dalam perjalanan menuju Tanah Terjanji, Allah menasihati umat-Nya untuk mendengarkan "suara malaikat" yang telah Ia utus (bdk. Kel 23:20-22). Sebuah gambaran yang relevan bagi kita. Ketika kita berjalan di jalan Sinode ini, Tuhan meletakkan di tangan kita sejarah, impian dan harapan dari suatu umat yang luar biasa. Mereka adalah saudara-saudari kita yang tersebar di seluruh dunia, diilhami oleh iman yang sama, digerakkan oleh keinginan yang sama untuk kekudusan. Bersama mereka dan untuk mereka, marilah kita berusaha untuk memahami jalan yang harus kita ikuti untuk mencapai tujuan yang dikehendaki Tuhan bagi kita. Tetapi bagaimana kita dapat mendengarkan "suara malaikat"?

 

Salah satu caranya adalah dengan menerima semua sumbangan yang terkumpul selama tiga tahun ini dengan rasa hormat dan perhatian, dalam doa dan terang Sabda Allah. Inilah tahun-tahun kerja, terlibat dan berdiskusi, yang dilakukan dengan upaya terus-menerus untuk memurnikan pikiran dan hati kita. Dengan bantuan Roh Kudus, kita harus mendengarkan dan memahami suara ini — yaitu, gagasan, harapan, usulan — untuk bersama-sama mengenali suara Allah yang berbicara kepada Gereja (bdk. Renato Corti, Quale prete?, Appunti inediti). Sebagaimana telah berulang kali kami tegaskan, Gereja kita bukan sidang parlementer, melainkan tempat mendengarkan dalam persekutuan, di mana, sebagaimana dikatakan Santo Gregorius Agung, apa yang dimiliki seseorang dalam dirinya sebagian dimiliki sepenuhnya oleh orang lain, dan meskipun beberapa orang memiliki karunia khusus, seluruhnya adalah milik setiap orang dalam “amal kasih Roh” (bdk. Homili tentang Keempat Injil, XXXIV).

 

Agar hal ini terjadi, ada syaratnya: kita harus membebaskan diri dari segala sesuatu yang menghalangi “amal kasih Roh” untuk menciptakan kerukunan dalam keberagaman di dalam diri kita dan di antara kita. Orang-orang yang dengan sombong mengklaim memiliki hak eksklusif untuk mendengar suara Tuhan, tidak dapat mendengarnya (bdk. Mrk 9:38-39). Setiap perkataan harus diterima dengan rasa syukur dan kesederhanaan serta dapat menjadi gema dari apa yang telah diberikan Allah demi kebaikan saudara-saudari kita (bdk. Mat 10:7-8). Marilah kita berhati-hati untuk tidak melihat kontribusi kita sebagai poin yang harus dipertahankan dengan segala cara atau agenda yang harus dipaksakan. Saya berharap kita masing-masing dapat memberikan kontribusi kita sebagai hadiah untuk dibagikan, bahkan siap untuk mengorbankan sudut pandang kita untuk memberi kehidupan pada sesuatu yang baru, semuanya sesuai dengan rencana Allah. Jika tidak, kita akan berakhir dengan mengunci diri dalam dialog di antara orang-orang tuli, di mana para peserta berusaha untuk memajukan tujuan atau agenda mereka sendiri tanpa mendengarkan orang lain dan, terutama, tanpa mendengarkan suara Tuhan.

 

Kita tidak memiliki solusi untuk masalah yang kita hadapi, tetapi Tuhan memilikinya (bdk. Yoh 14:6). Ingatlah bahwa kamu tidak boleh kehilangan fokus di padang gurun. Jika kamu tidak memperhatikan pemandu, jika kamu merasa cukup, kamu mungkin mati kelaparan atau kehausan dan membawa orang lain bersamamu. Karena itu, marilah kita mendengarkan suara Allah dan malaikat-Nya agar kita dapat melanjutkan perjalanan kita dengan aman, mengatasi keterbatasan dan kesulitan kita (bdk. Mzm 23:4).

 

Hal ini membawa kita pada gambaran berikutnya: perlindungan, yang dapat dilambangkan dengan sayap yang melindungi kita – “di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mzm 91:4). Sayap adalah sarana yang kuat, yang mampu mengangkat tubuh dari tanah melalui gerakan yang kuat. Meskipun sayap melambangkan kekuatan yang besar, sayap juga dapat diturunkan untuk berkumpul, menjadi perisai dan sarang yang ramah bagi burung-burung muda yang membutuhkan kehangatan dan perlindungan.

 

Ini adalah lambang dari apa yang dilakukan Allah bagi kita, dan juga merupakan model yang harus kita ikuti, terutama saat kita berkumpul bersama hari-hari ini. Di antara kita, saudara-saudari terkasih, ada banyak orang yang kuat dan dipersiapkan dengan baik, yang mampu bangkit menuju ketinggian dengan gerakan refleksi yang intens dan wawasan yang cemerlang. Semua ini merupakan keuntungan besar kita. Merangsang, menantang, dan terkadang memaksa kita untuk berpikir lebih terbuka dan bergerak maju dengan lebih tegas. Juga membantu kita untuk tetap teguh dalam iman bahkan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Kita harus memiliki hati yang terbuka, hati yang berdialog. Hati yang tertutup dalam keyakinan pribadi tidak sesuai dengan Roh Tuhan. Bukan berasal dari Tuhan. Membuka diri kita adalah karunia, dan karunia ini harus dipadukan, bila perlu, dengan kemampuan untuk mengendurkan otot-otot kita dan membungkuk untuk saling menawarkan pelukan hangat dan tempat berlindung. Dengan cara itu kita akan menjadi, seperti yang dikatakan Santo Paulus VI, “sebuah rumah [...] saudara-saudari, sebuah lokakarya kegiatan yang intens, sebuah ruang atas spiritualitas yang bersemangat” (Pidato kepada Dewan Presiden C.E.I., 9 Mei 1974).

 

Semakin kita menyadari bahwa kita dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang mencintai, menghormati, dan menghargai kita, sahabat-sahabat yang mau mendengarkan apa yang kita katakan, semakin kita akan merasa bebas untuk mengungkapkan diri secara spontan dan terbuka.

 

Pendekatan ini bukan sekadar teknik untuk “memfasilitasi” dialog dan dinamika komunikasi kelompok. Dalam Sinode ada “fasilitator”, tetapi mereka ada di sini untuk membantu kita bergerak maju dengan lebih baik. Merangkul, melindungi, dan peduli sebenarnya merupakan salah satu hakikat Gereja. Merangkul, melindungi, dan peduli. Gereja, berdasarkan panggilannya, adalah tempat berkumpul yang ramah, di mana “amal kasih kolegial menuntut keselarasan sempurna, yang mengarah pada kekuatan moral, keindahan spiritual, dan ungkapan ideal” (idem.). Keselarasan: sebuah kata yang sangat penting. Keselarasan bukan tentang mayoritas dan minoritas; keselarasan bisa menjadi langkah pertama. Keselarasan penting mendasar, dan hanya dapat dicapai oleh Roh Kudus. Roh Kudus adalah pemilik keselarasan dan mampu menciptakan satu suara di antara beraneka macam suara. Renungkanlah bagaimana Roh Kudus menciptakan keselarasan di antara perbedaan pada pagi Pentakosta. Gereja perlu menciptakan "tempat yang penuh kedamaian dan terbuka" pertama-tama di dalam hati kita, tempat setiap orang merasa diterima, seperti bayi dalam pelukan ibunya (bdk. Yes 49:15; 66:13) dan seperti anak kecil yang diangkat ke pipi ayahnya (bdk. Hos 11:4; Mzm 103:13).

 

Hal ini membawa kita kepada gambaran ketiga: seorang anak kecil. Yesus sendiri yang, dalam Bacaan Injil, “menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah mereka”, memperlihatkannya kepada para murid, mengundang mereka untuk bertobat dan menjadi kecil seperti Dia. Mereka telah bertanya kepada-Nya siapa yang terbesar dalam Kerajaan Surga dan Ia menjawab dengan mendorong mereka untuk menjadi seperti seorang anak kecil. Namun tidak hanya itu, Yesus juga menambahkan bahwa dengan menyambut seorang anak dalam nama-Nya, kita menyambut Dia (bdk. Mat 18:1-5).

 

Paradoks ini hakiki bagi kita. Mengingat pentingnya Sinode, dalam arti tertentu kita harus berusaha untuk menjadi “besar” dalam roh, hati, dan pandangan, karena persoalan yang harus kita hadapi “besar” dan tidak kasat mata, serta situasinya luas dan universal. Namun justru karena alasan inilah kita tidak boleh melupakan anak kecil, yang terus ditempatkan Yesus di pusat pertemuan dan meja kerja kita. Ia melakukannya untuk mengingatkan kita bahwa satu-satunya cara untuk menjadi layak atas tugas yang dipercayakan kepada kita adalah dengan merendahkan diri kita, membuat diri kita kecil dan saling menerima dengan rendah hati. Orang yang terbesar dalam Gereja adalah orang yang paling menunduk.

 

Justru dengan membuat diri-Nya kecil, Allah “menunjukkan kepada kita apa sesungguhnya kebesaran sejati, apa artinya menjadi Allah” (BENEDIKTUS XVI, Homili Hari Raya Pembaptisan Tuhan, 11 Januari 2009). Bukanlah suatu kebetulan bahwa Yesus mengatakan bahwa malaikat anak-anak kecil “selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga” (Mat 18:10). Dengan kata lain, mereka bagaikan “teleskop” kasih Bapa.

 

Saudara-saudari, kita memulai kembali perjalanan sinode kita dengan pandangan ke arah dunia, karena komunitas Kristiani selalu melayani umat manusia untuk mewartakan sukacita Injil. Dalam masa yang begitu dramatis dalam sejarah kita, ketika angin perang dan kobaran api kekerasan terus menghancurkan seluruh bangsa dan negara, ada kebutuhan untuk pesan ini.

 

Guna memohon perantaraan Santa Maria demi karunia perdamaian, saya akan mendaraskan doa Rosario Suci dan menyampaikan permohonan sepenuh hati kepada Perawan Maria di Basilika Santa Maria Maggiore pada hari Minggu mendatang. Jika memungkinkan, saya meminta semua anggota Sinode untuk bergabung dengan saya pada kesempatan ini.

 

Keesokan harinya, 7 Oktober, saya memohon kepada semua orang untuk ikut serta dalam hari doa dan puasa demi perdamaian dunia.

 

Marilah kita berjalan bersama. Marilah kita mendengarkan Tuhan dan memperkenankan Dia membimbing kita melalui "hembusan" Roh.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Oktober 2024)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (BEATIFIKASI ANNA DARI YESÚS) DI STADION RAJA BAUDOUIN, BRUSSELLS, BELGIA 29 September 2024 : KETERBUKAAN, PERSEKUTUAN, DAN KESAKSIAN

Bacaan Ekaristi : Bil. 11:25-29; Mzm. 19:8,10,12-13,14; Yak. 5:1-6; Mrk. 9:38-43,45,47-48.

 

“Siapa saja yang menyebabkan salah satu dari yang kecil di antara mereka yang percaya kepada-Ku ini, berbuat dosa, lebih baik baginya jika sebuah batu giling diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.” (Mrk 9:42). Dengan kata-kata ini, yang ditujukan kepada para murid-Nya, Yesus memperingatkan tentang bahaya skandal, yaitu menghalangi jalan dan menyakiti kehidupan “orang-orang kecil”. Sebuah peringatan keras yang memanggil kita untuk berhenti sejenak dan merenung. Saya ingin melakukannya bersamamu, dalam terang teks-teks Kitab Suci lainnya, dengan melihat tiga kata kunci: keterbukaan, persekutuan, dan kesaksian.

 

Marilah kita mulai dengan keterbukaan. Baik Bacaan Pertama (Bil. 11:25-29) maupun Bacaan Injil (Mrk. 9:38-43,45,47-48) berbicara tentang Roh Kudus bertindak bebas. Dalam kisah pertama, Roh menganugerahkan karunia bernubuat tidak hanya kepada para tua-tua yang berkumpul bersama Musa di kemah pertemuan, tetapi juga kepada dua orang yang masih tinggal di perkemahan.

 

Peristiwa ini membuat kita merenung. Awalnya, ketidakhadiran kedua orang itu dari kelompok orang yang dicatat merupakan penyebab skandal. Namun, setelah Roh Kudus turun atas mereka, skandalnya adalah melarang mereka menjalankan perutusan yang telah mereka terima. Musa, seorang yang rendah hati dan bijaksana, memahami hal ini, serta menanggapi dengan pikiran dan hati yang terbuka: "Ah, kalau saja seluruh umat TUHAN menjadi nabi, oleh karena TUHAN memberi Roh-Nya kepada mereka!" (Bil 11:29). Sungguh sebuah wawasan yang indah!

 

Kata-kata bijak ini menggambarkan apa yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil (bdk. Mrk 9:38-43, 45, 47-48). Kita mendapati para murid di Kapernaum melarang seseorang mengusir setan demi nama Sang Guru karena — menurut mereka — “ia bukan pengikut kita” (Mrk 9:38), yang berarti, “ia bukan bagian dari kelompok kita”. Mereka beralasan seperti ini: “Siapa yang tidak mengikuti kita, ia bukan ‘salah seorang dari kita’, ia tidak dapat mengadakan mukjizat, sebab ia tidak berhak melakukannya”. Sekali lagi, mereka terkejut dengan tanggapan Yesus. Yesus selalu mengejutkan kita. Ia mengejutkan dan menegur mereka serta mengajak mereka untuk melihat melampaui cara pandang mereka dalam memahami berbagai hal; Ia mengajak mereka untuk tidak “diskandalisasi” oleh kebebasan Allah. Ia berkata kepada mereka, “Jangan kamu cegah dia… Siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Mrk 9:39-40).

 

Kita harus mempertimbangkan dengan saksama kedua kisah tersebut, kisah Musa dan kisah Yesus karena keduanya berlaku bagi kita dan bagi kehidupan kristiani kita. Sesungguhnya, berdasarkan pembaptisan, kita semua telah menerima perutusan dalam Gereja. Perutusan ini adalah karunia dan bukan alasan untuk bermegah. Komunitas orang percaya bukanlah lingkaran dari beberapa orang terpilih yang memiliki hak istimewa; komunitas ini adalah keluarga dari orang-orang yang diselamatkan. Kita telah diutus ke dunia untuk memberitakan Injil bukan berdasarkan jasa kita, tetapi oleh kasih karunia Allah. Meskipun kita memiliki keterbatasan dan dosa, Allah terus menunjukkan belas kasihan dan kesetiaan-Nya kepada kita, sebagai Bapa yang penuh kasih yang melihat dalam diri kita apa yang tidak dapat kita lihat. Karena itu, Ia memanggil kita, mengutus kita, dan dengan sabar menyertai kita hari demi hari.

 

Jika kita ingin bekerja sama dengan penuh kasih dan penuh perhatian dengan Roh yang bertinndak bebas tanpa menjadi sumber skandal atau hambatan bagi orang-orang di sekitar kita melalui kesombongan atau kekakuan kita, kita harus melaksanakan perutusan kita dengan kerendahan hati, rasa syukur, dan sukacita. Kita hendaknya tidak menaruh dendam terhadap orang lain karena mampu melakukan apa yang kita lakukan, tetapi bersukacita bahwa kerajaan Allah dengan demikian didorong untuk bertumbuh hingga tiba saatnya kita dipersatukan dalam pelukan Bapa.

 

Hal ini membawa kita kepada kata berikutnya: persekutuan. Santo Yakobus berbicara tentang hal ini dalam Bacaan Kedua (Yak 5:1-6) dengan menggunakan dua gambaran yang jelas: kekayaan yang merusak (bdk. ayat 3) dan protes para penuai yang telah sampai ke telinga Tuhan (bdk. ayat 4). Ia mengingatkan kita bahwa satu-satunya jalan menuju kehidupan adalah jalan penyerahan diri, jalan kasih yang menyatukan melalui pemberian diri. Jalan keegoisan menghasilkan pikiran tertutup, tembok dan rintangan — kita dapat menyebutnya “skandal” — yang membelenggu kita pada hal-hal materi serta memisahkan kita dari Allah dan saudara-saudari kita.

 

Keegoisan, seperti segala sesuatu yang menghalangi kasih, adalah “skandal” karena ia meremukkan orang-orang kecil. Ia merendahkan martabat orang-orang dan menekan jeritan orang-orang yang tertindas (bdk. Mzm 9:12). Ini adalah masalah pada zaman Santo Paulus dan masih terjadi hingga saat ini. Apa yang akan terjadi jika kita meletakkan kepentingan pribadi dan mentalitas pasar sebagai satu-satunya landasan bagi komunitas dan individu (bdk. Evangelii Gaudium, 54-58)? Tidak akan ada lagi ruang bagi orang-orang yang membutuhkan, tidak ada belas kasihan bagi orang-orang yang melakukan kesalahan, tidak ada bela rasa bagi orang-orang yang menderita dan yang hidupnya tidak dapat berkembang. Hal-hal ini tidak akan mungkin bagi mereka. Mari kita pikirkan apa yang terjadi pada "anak-anak kecil" yang menjadi korban skandal, terluka, dilecehkan oleh mereka yang seharusnya merawat mereka. Marilah kita pikirkan luka-luka yang menyakitkan dan ketidakberdayaan yang dirasakan terutama oleh para korban, tetapi juga keluarga dan komunitas mereka. Dengan hati dan pikiran, saya memikirkan kisah beberapa "anak-anak kecil" yang saya temui beberapa hari yang lalu. Saya mendengarkan mereka. Saya merasakan penderitaan mereka berasal dari pelecehan. Saya ingin mengulanginya di sini: ada ruang untuk semua orang, semua orang, semua orang dalam Gereja tetapi kita semua akan dihakimi. Tidak ada ruang untuk pelecehan. Tidak ada ruang untuk menutupi pelecehan. Saya mohon kepada semua orang: jangan tutupi pelecehan! Saya mohon kepada para uskup: jangan tutupi pelecehan! Mintalah pertanggungjawaban kepada para pelaku pelecehan, tetapi bantulah mereka mengatasi penyakit ini. Kita tidak boleh menyembunyikan hal-hal buruk yang terjadi. Hal-hal itu harus diungkapkan agar kita mengetahuinya. Beberapa orang yang dilecehkan melakukannya dengan berani. Kita harus mengetahuinya. Para pelaku pelecehan harus dimintai pertanggungjawaban terlepas dari status mereka: awam, imam, atau uskup. Mereka harus dimintai pertanggungjawaban.

 

Sabda Allah jelas. Protes para pemanen dan jeritan orang-orang yang menderita tidak dapat diabaikan. Kita tidak dapat begitu saja meniadakannya, seolah-olah nada yang tidak selaras dalam sebuah konser yang sempurna yang dimainkan di dunia yang sempurna. Kita tidak dapat meredam jeritan mereka melalui upaya bantuan sosial yang dangkal. Mereka adalah suara Roh yang hidup karena mereka mengingatkan kita bahwa kita semua adalah orang berdosa yang malang – saya yang pertama di antara mereka. Mereka yang telah dilecehkan adalah jeritan yang naik ke surga, jeritan yang menyentuh jiwa kita dan membuat kita merasa malu sambil memanggil kita untuk bertobat. Kita tidak boleh mencekik suara kenabian ini atau membungkamnya dengan ketidakpedulian kita. Marilah kita mendengarkan apa yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil: Cungkillah matamu yang menyesatkan yang memalingkan muka dari orang-orang yang membutuhkan! Penggallah tanganmu yang menyesatkan karena terkepal untuk menyembunyikan hartamu dan menyimpannya di dalam sakumu! Nenek saya selalu berkata: "Iblis masuk melalui saku". Juga tangan yang melakukan pelecehan seksual, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan hati nurani terhadap orang-orang yang lemah. Betapa banyak kasus pelecehan yang terjadi dalam sejarah kita, dalam masyarakat kita! Enyahlah dari hadapan-Ku, kaki-kaki yang berlari cepat yang memalukan itu, bukannya mendekati orang-orang yang menderita, malahan menghindari mereka dan menjauh! Kita harus meninggalkan mentalitas ini! Tidak ada yang baik atau kokoh yang dapat dibangun di atasnya! Ada sebuah pertanyaan yang suka saya tanyakan kepada umat: "Apakah kamu memberi sedekah?" - "Ya, Bapa, ya" - "Jadi katakan kepadaku, ketika kamu memberi sedekah, apakah kamu menyentuh tangan orang-orang yang membutuhkan atau apakah kamu melemparkannya kepada mereka dan menjaga jarak? Apakah kamu menatap mata orang-orang yang menderita?". Marilah kita pikirkan hal ini.

 

Jika kita ingin menabur benih untuk masa depan, juga terkait isu sosial dan ekonomi, akan sangat membantu jika kita meletakkan Injil belas kasih sebagai dasar pilihan kita. Yesus adalah belas kasihan. Kita semua adalah penerima manfaat dari belas kasihan-Nya. Jika tidak, monumen-monumen kemewahan kita, betapa pun tampak mengesankan, tidak akan lebih dari sekadar raksasa berkaki tanah liat (bdk. Dan 2:31-45). Janganlah kita menipu diri sendiri: tanpa kasih, tidak ada yang bertahan lama. Segala sesuatu lenyap dan hancur, dan kita dibiarkan sebagai tawanan kehidupan yang fana, kosong, dan tidak berarti di dunia yang munafik. Dunia ini tidak memiliki kredibilitas apa pun meskipun tampak depannya demikian. Mengapa? Karena dunia ini telah membuat orang-orang kecil terskandalisasi.

 

Sampailah kita pada kata yang ketiga: kesaksian. Sejarah Gereja Belgia kaya akan teladan kekudusan. Marilah kita memikirkan Santo Gudula, santo pelindung negara ini (650-712), Santo Guy dari Anderlecht, peziarah dan sahabat orang miskin (+1012), Santo Damien de Veuster, yang lebih dikenal sebagai Damien dari Molokai, rasul bagi orang kusta (1840-1889), dan banyak misionaris Belgia yang telah mewartakan Injil di berbagai belahan dunia selama berabad-abad, terkadang sampai mengorbankan nyawa mereka.

 

Kesaksian seorang biarawati Karmelit juga berkembang di negeri yang subur ini: Anna dari Jesus, Anna de Lobera, yang beatifikasinya kita rayakan hari ini. Dalam Gereja pada masanya, perempuan ini merupakan salah satu tokoh utama gerakan reformasi besar. Ia mengikuti jejak seorang "raksasa jiwa", Teresa dari Avila, dan membantu menyebarkan cita-citanya ke seluruh Spanyol, Prancis, di sini, di Brussels, dan di tempat yang saat itu disebut Belanda Spanyol.

 

Di masa yang ditandai oleh skandal yang menyakitkan, di dalam dan di luar komunitas kristiani, ia dan para sahabatnya membawa banyak orang kembali kepada iman melalui kehidupan sederhana mereka dalam kemiskinan, doa, kerja, dan amal. Beberapa orang menyebut yayasan mereka di kota ini sebagai "magnet rohani".

 

Ia sengaja tidak meninggalkan tulisan apa pun untuk generasi mendatang. Sebaliknya, ia berkomitmen untuk mempraktikkan apa yang telah ia pelajari (bdk. 1 Kor 15:3), dan melalui cara hidupnya ia membantu mengangkat Gereja di masa yang penuh kesulitan.

 

Marilah kita dengan penuh syukur menyambut teladan yang telah diberikannya kepada kita tentang "corak feminin kekudusan" (bdk. Gaudete et Exsultate, 12), yang lembut tetapi kuat. Kesaksiannya, bersama dengan kesaksian dari begitu banyak saudara dan saudari yang telah mendahului kita, sahabat-sahabat kita dan sesama peziarah, tidak jauh dari kita: kesaksian yang dekat dengan kita ini, sesungguhnya, dipercayakan kepada kita agar kita juga dapat menjadikannya kesaksian kita, dengan memperbarui komitmen kita untuk berjalan bersama mengikuti jejak langkah Tuhan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 September 2024)