Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH VI DI BASILIKA SANTO YOHANES LATERAN 25 Mei 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 15:1-2,22-29; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Why. 21:10-14.22-23; Yoh. 14:23-29.

 

Saya menyapa dengan hangat para kardinal yang hadir, dan terutama Vikaris Kardinal, para uskup auksiler, semua uskup dan para imam – para imam paroki, vikaris parokial dan semua orang yang dengan berbagai cara bekerja sama dalam pelayanan pastoral komunitas kita. Saya juga menyapa para diakon, para biarawan dan biarawati, para pejabat sipil dan kamu semua, umat awam yang terkasih.

 

Gereja Roma adalah pewaris sejarah besar, yang didasarkan pada kesaksian Petrus, Paulus dan para martir yang tak terhitung jumlahnya, dan memiliki misi yang unik, sebagaimana kita lihat dari prasasti di bagian depan katedral ini: menjadi Mater omnium Ecclesiarum, Bunda semua Gereja.

 

Paus Fransiskus sering mendorong kita untuk merenungkan dimensi keibuan Gereja (bdk. Evangelii Gaudium, 46-49, 139-141; Katekese, 13 Januari 2016) dan kualitas yang mendefinisikannya, yaitu kelembutan, pengurbanan diri, dan kemampuan untuk mendengarkan. Kualitas tersebut memampukannya tidak hanya untuk membantu sesama, tetapi juga sering kali mengantisipasi kebutuhan dan harapan mereka bahkan sebelum kebutuhan dan harapan itu diungkapkan. Kita berharap kualitas tersebut akan semakin hadir dalam diri umat Allah di mana pun, termasuk di sini, dalam keluarga besar keuskupan kita: dalam diri umat beriman, dalam diri para gembala, dan, pertama-tama, dalam diri saya sendiri. Bacaan-bacaan yang telah kita dengar dapat membantu kita untuk merenungkan kualitas ini.

 

Kisah Para Rasul (bdk. 15:1-2, 22-29) secara khusus menggambarkan bagaimana komunitas kristiani awal menghadapi tantangan untuk membuka diri terhadap dunia bukan Yahudi dalam pewartaan Injil. Ini bukan hal yang mudah; menuntut banyak kesabaran dan saling mendengarkan. Hal ini terjadi di komunitas Antiokhia, di mana saudara-saudara seiman, melalui dialog – dan bahkan perbedaan pendapat – menyelesaikan masalah bersama-sama. Paulus dan Barnabas kemudian pergi ke Yerusalem. Mereka tidak menyelesaikan masalah itu sendiri: mereka ingin bersekutu dengan Gereja Induk dan karena itu mereka pergi ke sana dengan kerendahan hati.

 

Di Yerusalem, mereka bertemu Petrus dan para Rasul, yang siap mendengarkan mereka. Ini adalah awal dialog yang akhirnya menghasilkan keputusan yang tepat. Menyadari kesulitan para petobat baru, mereka sepakat untuk tidak menanggungkan kepada mereka lebih banyak beban, tetapi hanya menekankan apa yang penting (lih. Kis 15:28-29). Dengan cara ini, apa yang mungkin tampak sebagai masalah menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk berefleksi dan bertumbuh.

 

Akan tetapi, teks biblis memberitahu kita sesuatu yang lain, di luar dinamika manusiawi yang kaya dan menarik dari peristiwa tersebut.

 

Kita melihat hal ini dalam kata-kata yang digunakan oleh saudara-saudara di Yerusalem untuk mengomunikasikan keputusan mereka kepada komunitas yang ada di Antiokhia. Mereka menulis, “Sebab, keputusan tersebut tampaknya baik bagi Roh Kudus dan kami” (lih. Kis 15:28). Dengan kata lain, mereka menekankan bahwa bagian terpenting dari seluruh peristiwa itu adalah mendengarkan suara Allah, yang memungkinkan segala sesuatu yang lain terjadi. Dengan cara ini, mereka mengingatkan kita bahwa persekutuan dibangun terutama “di atas lutut kita,” melalui doa dan komitmen terus-menerus untuk bertobat. Karena hanya dengan cara ini kita masing-masing dapat mendengar dalam diri kita suara Roh yang berseru, “YaAbba, ya Bapa!” (Gal 4:6) dan kemudian, sebagai hasilnya, mendengarkan dan memahami sesama sebagai saudara dan saudari kita.

 

Bacaan Injil menegaskan kembali poin ini (bdk. Yoh 14:23-29). Bacaan Injil meyakinkan kita bahwa kita tidak sendirian dalam membuat keputusan hidup. Roh Kudus menopang kita dan menunjukkan jalan yang harus kita ikuti, “mengajar” kita dan “mengingatkan” kita akan semua yang telah dikatakan Yesus kepada kita (bdk. Yoh 14:26).

 

Pertama, Roh Kudus mengajarkan kita sabda Tuhan dengan menanamkannya jauh di dalam diri kita, dituliskan, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Suci, bukan lagi pada loh batu, tetapi di dalam hati kita (bdk. Yer 31:33). Karunia ini membantu kita bertumbuh dan menjadi “surat Kristus” (bdk. 2Kor 3:3) bagi satu sama lain. Tentu saja, semakin kita memperkenankan diri kita diyakinkan dan diubah oleh Injil — memperkenankan kuasa Roh Kudus memurnikan hati kita, membuat kata-kata kita lugas, keinginan kita jujur ​​dan jelas, dan tindakan kita murah hati semakin kita mampu mewartakan pesannya.

 

Di sini, kata kerja yang lain berperan: kita mengingat, yaitu, kita merenungkan dalam hati kita tentang apa yang telah kita alami dan pelajari, untuk memahami maknanya lebih dalam dan menikmati keindahannya.

 

Saya pikir dalam hal ini proses mendengarkan yang menantang yang telah dilakukan Keuskupan Roma selama bertahun-tahun, sebuah proses yang dilakukan di berbagai tingkatan: mendengarkan dunia di sekitar kita untuk menanggapi tantangannya, dan mendengarkan dalam komunitas kita untuk memahami kebutuhan dan mengusulkan prakarsa penginjilan dan amal yang bijaksana dan profetik. Ini telah menjadi perjalanan yang menantang dan berkelanjutan yang dimaksudkan untuk merangkul kenyataan yang sangat kaya dan rumit. Namun, layak untuk sejarah Gereja lokal ini, yang telah menunjukkan, berulang kali, bahwa ia mampu "berpikir besar", tidak takut untuk memulai rencana yang berani serta menghadapi skenario yang baru dan menantang.

 

Hal ini terbukti dari berbagai upaya besar dan prakarsa yang telah dilakukan Keuskupan untuk menyambut dan memenuhi kebutuhan para peziarah selama Yubileum ini. Terima kasih! Semua ini telah membuat kota Roma tampak bagi para pengunjung, yang sebagian dari mereka telah menempuh perjalanan jauh, sebagai rumah yang luas, terbuka, dan ramah, dan terutama sebagai tempat yang penuh dengan iman yang mendalam.

 

Dari pihak saya, saya ingin menyampaikan keinginan kuat saya untuk berkontribusi pada proses besar yang sedang berlangsung ini dengan mendengarkan sebanyak mungkin orang, belajar, memahami, dan memutuskan berbagai hal bersama-sama, sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, “sebagai seorang kristiani bersamamu dan seorang uskup bagimu” (bdk. Khotbah. 340, 1). Saya juga memintamu mendukung saya dalam doa dan amal, mengingat kata-kata Santo Leo Agung: "Semua kebaikan yang kita lakukan dalam menjalankan pelayanan kita adalah karya Kristus dan bukan karya kita, karena kita tidak dapat melakukan apa pun tanpa Dia. Namun, kita bermegah di dalam Dia, asal seluruh efektivitas karya kita" (Khotbah, 5, De Natali Ipsius, 4).

 

Perkenankan saya mengakhiri dengan menambahkan kata-kata yang diucapkan Beato Yohanes Paulus I, yang wajah gembira dan tenangnya telah membuatnya mendapat julukan "Paus yang tersenyum," saat menyapa keluarga keuskupan barunya pada tanggal 23 September 1978. "Santo Pius X," katanya, "ketika memasuki Venesia sebagai patriark, berseru di Gereja Santo Markus: 'Apa jadinya aku, umat Venesia yang terkasih, jika aku tidak mengasihimu?' Saya akan mengatakan sesuatu yang serupa kepada mu umat Roma: Saya meyakinkanmu bahwa saya mengasihimu, saya hanya ingin masuk ke dalam pelayananmu dan menempatkan kemampuan saya yang terbatas, sedikit yang saya miliki dan saya miliki, untuk melayani semua orang" (Khotbah pada Kepemilikian Takhta Uskup Roma).

 

Saya juga mengungkapkan kasih sayang saya kepadamu dan keinginan saya untuk berbagi denganmu, dalam perjalanan kita bersama, suka duka kita, perjuangan dan harapan kita. Saya juga mempersembahkan kepadamu "sedikit yang saya miliki dan apa adanya," dan mempercayakannya kepada perantaraan Santo Petrus dan Paulus serta semua saudara-saudari kita yang kekudusannya telah menerangi sejarah Gereja ini dan jalan-jalan kota ini. Semoga Perawan Maria menyertai kita dan menjadi perantara kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Mei 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA INAGURASINYA 18 Mei 2025

Bacaan Ekaristi : Kis 4:8-12; 1Ptr 5:1-5,10-11; Yoh 21:15-19.

 

Saudara-saudara para kardinal, saudara-saudara para uskup dan para imam yang terkasih, para pemimpin dan anggota korps diplomatik yang terhormat, dan mereka yang hadir di sini untuk merayakan Yubileum Persaudaraan Religius, saudara-saudari:

 

Saya menyapa kamu semua dengan hati yang penuh rasa syukur di awal pelayanan yang telah dipercayakan kepada saya. Santo Agustinus menulis: “Tuhan, Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di dalam diri-Mu” (Pengakuan-pengakuan, I:1,1).

 

Pada hari-hari ini, kita telah mengalami emosi yang kuat. Meninggalnya Paus Fransiskus memenuhi hati kita dengan kesedihan. Pada saat-saat sulit itu, kita merasa seperti orang banyak yang menurut Injil “seperti domba yang tidak mempunyai gembala” (Mat 9:36). Namun pada Hari Minggu Paskah, kita menerima berkat terakhirnya dan, dalam terang kebangkitan, kita mengalami hari-hari berikutnya dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya, tetapi mengumpulkan mereka ketika mereka tercerai-berai dan menjaga mereka “seperti gembala terhadap kawanan dombanya” (Yer 31:10).

 

Dalam semangat iman ini, Dewan Kardinal mengadakan konklaf. Berasal dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda, kami menyerahkan keinginan kami untuk memilih Penerus Petrus yang baru, Uskup Roma, ke dalam tangan Allah, seorang gembala yang mampu melestarikan warisan iman kristiani yang kaya dan, pada saat yang sama, memandang ke masa depan, untuk menghadapi pertanyaan, keprihatinan, dan tantangan dunia saat ini.

 

Diiringi doa-doamu, kami dapat merasakan karya Roh Kudus, yang mampu membawa kami ke dalam keselarasan, seperti alat musik, sehingga hati kami dapat bergetar dalam satu melodi. Saya dipilih, tanpa jasa apa pun dari diri saya, dan sekarang, dengan takut dan gentar, saya datang kepadamu sebagai seorang saudara, yang ingin menjadi hamba iman dan sukacitamu, berjalan bersamamu di jalan kasih Allah, karena Ia ingin kita semua bersatu dalam satu keluarga.

 

Kasih dan persatuan: inilah dua dimensi misi yang dipercayakan Yesus kepada Petrus. Kita melihat hal ini dalam Bacaan Injil hari ini, yang membawa kita ke Danau Galilea, tempat Yesus memulai misi yang diterima-Nya dari Bapa: menjadi "penjala" manusia untuk menariknya keluar dari air kejahatan dan kematian. Sambil berjalan di sepanjang pantai, Ia memanggil Petrus dan murid-murid pertama lainnya untuk menjadi, seperti Dia, "penjala manusia".

 

Sekarang, setelah kebangkitan, terserah kepada mereka untuk meneruskan misi ini, menebarkan jala mereka lagi dan lagi, membawa harapan Injil ke dalam "perairan" dunia, mengarungi lautan kehidupan sehingga semua orang dapat mengalami pelukan Allah.

 

Bagaimana Petrus dapat melaksanakan tugas ini? Bacaan Injil memberitahu kita bahwa hal itu mungkin hanya karena hidupnya tersentuh oleh kasih Allah yang tak terbatas dan tanpa syarat, bahkan di saat kegagalan dan penyangkalannya. Karena alasan ini, ketika Yesus menyapa Petrus, Bacaan Injil menggunakan kata kerja Yunani agapáo, yang merujuk pada kasih Allah kepada kita, pada persembahan diri-Nya yang tanpa syarat dan tanpa perhitungan. Sedangkan kata kerja yang digunakan dalam tanggapan Petrus menggambarkan kasih persahabatan kita satu sama lain.

 

Oleh karena itu, ketika Yesus bertanya kepada Petrus, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Yoh 21:15), ia mengacu kepada kasih Bapa. Seolah-olah Yesus berkata kepadanya, “Hanya jika engkau telah mengenal dan mengalami kasih Allah ini, yang tidak pernah gagal, engkau akan dapat menggembalakan domba-domba-Ku. Hanya dalam kasih Allah Bapa engkau akan dapat mengasihi saudara-saudarimu dengan ‘lebih’ yang sama, yaitu dengan mempersembahkan hidupmu bagi saudara-saudarimu.”

 

Dengan demikian, Petrus dipercayakan dengan tugas untuk "lebih mengasihi" dan menyerahkan hidupnya bagi kawanan domba. Pelayanan Petrus dibedakan justru oleh kasih yang rela berkurban ini, karena Gereja Roma memimpin dalam kasih dan otoritasnya yang sejati adalah kasih Kristus. Ini bukan perihal menangkap orang lain dengan paksa, dengan propaganda agama atau dengan sarana kekuasaan. Sebaliknya, selalu dan hanya perihal mengasihi seperti yang dilakukan Yesus.

 

Rasul Petrus sendiri mengatakan kepada kita bahwa Yesus “adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan - yaitu kamu sendiri - namun Ia telah menjadi batu penjuru” (Kis 4:11). Lebih jauh lagi, jika batu karang itu adalah Kristus, Petrus harus menggembalakan kawanan domba tanpa pernah menyerah pada godaan untuk menjadi seorang otokrat, memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadanya (lih. 1Ptr 5:3). Sebaliknya, ia dipanggil untuk melayani iman saudara-saudarinya, dan berjalan bersama mereka, karena kita semua adalah “batu hidup” (1Ptr 2:5), dipanggil melalui baptisan kita untuk membangun rumah Allah dalam persekutuan persaudaraan, dalam keselarasan Roh, dalam hidup berdampingan keberagaman. Santo Agustinus mengatakan, “Gereja terdiri dari semua orang yang selaras dengan saudara-saudari mereka dan mengasihi sesama mereka” (Khotbah 359,9).

 

Saudara-saudari, saya ingin agar keinginan besar pertama kita adalah Gereja yang bersatu, tanda persatuan dan persekutuan, yang menjadi ragi bagi dunia yang diperdamaikan. Di zaman kita ini, kita masih melihat terlalu banyak perselisihan, terlalu banyak luka yang disebabkan oleh kebencian, kekerasan, prasangka, ketakutan akan perbedaan, dan paradigma ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya bumi dan meminggirkan yang termiskin.

 

Dari pihak kita, kita ingin menjadi ragi kecil persatuan, persekutuan, dan persaudaraan di dunia. Kita ingin berkata kepada dunia, dengan kerendahan hati dan sukacita: Pandanglah Kristus! Datanglah lebih dekat kepada-Nya! Sambutlah sabda-Nya yang mencerahkan dan menghibur! Dengarkanlah tawaran kasih-Nya dan jadilah satu keluarga-Nya: dalam satu Kristus, kita adalah satu. Inilah jalan yang harus kita tempuh bersama-sama, bukan hanya di antara kita tetapi juga dengan gereja-gereja kristiani saudari kita, dengan mereka yang mengikuti jalan keagamaan lain, dengan mereka yang sedang mencari Allah, dengan semua wanita dan pria yang berkehendak baik, untuk membangun dunia baru di mana perdamaian berkuasa!

 

Inilah semangat misioner yang harus menggerakkan kita; tidak menutup diri dalam kelompok-kelompok kecil kita, atau merasa lebih unggul dari dunia. Kita dipanggil untuk menawarkan kasih Allah kepada semua orang, mencapai kesatuan yang tidak meniadakan perbedaan tetapi menghargai sejarah pribadi serta budaya sosial dan agama setiap orang.

 

Saudara-saudari, inilah saatnya untuk mengasihi! Pokok Injil adalah kasih Allah yang menjadikan kita saudara-saudari. Bersama pendahulu saya, Leo XIII, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri hari ini: Jika kriteria ini “berlaku di dunia, bukankah setiap pertikaian akan berakhir dan perdamaian akan kembali?” (Rerum Novarum, 21).

 

Dengan terang dan kekuatan Roh Kudus, marilah kita membangun Gereja yang didirikan atas dasar kasih Allah, tanda persatuan, Gereja misioner yang membuka tangannya kepada dunia, mewartakan sabda, membiarkan dirinya dibuat "gelisah" oleh sejarah, dan menjadi ragi keselarasan bagi umat manusia. Bersama-sama, sebagai satu umat, sebagai saudara-saudari, marilah kita berjalan menuju Allah dan saling mengasihi.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Mei 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA DI ALTAR DEKAT MAKAM SANTO PETRUS 11 Mei 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 13:14,43-52; Mzm. 100:2,3,5; Why. 7:9,14b-17; Yoh. 10:27-30.

 

Saya akan mengawali dengan sebuah kata dalam bahasa Inggris dan mungkin selanjutnya dalam bahasa Italia.

 

Bacaan Injil yang baru saja kita dengar pada Hari Minggu Gembala yang Baik ini: Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku, Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku.

 

Saya berpikir tentang Gembala yang baik, khususnya pada hari Minggu ini, yang sangat penting dalam Masa Paskah. Seraya kita merayakan dimulainya misi baru panggilan pelayanan yang telah diberikan Gereja kepada saya, tidak ada teladan yang lebih baik daripada teladan Yesus Kristus sendiri, yang kepada-Nya kita menyerahkan dan menggantungkan hidup kita. Yesus Kristus yang kita ikuti, Dialah Gembala yang baik, dan Dialah yang memberi kita hidup: Sang jalan, kebenaran dan hidup. Jadi, kita merayakan hari ini dengan penuh sukacita dan kami sangat menghargai kehadiranmu di sini.

 

Hari ini adalah Hari Ibu. Saya pikir hanya ada satu ibu yang hadir: selamat Hari Ibu! Salah satu ungkapan kasih Allah yang paling luar biasa adalah kasih yang dicurahkan oleh para ibu, khususnya kepada anak dan cucu mereka.

 

Hari Minggu ini dikenal istimewa karena beberapa alasan: alasan pertama yang akan saya sebutkan adalah panggilan. Selama karya para kardinal baru-baru ini, sebelum dan sesudah pemilihan Paus baru, kita banyak berbicara tentang panggilan dalam Gereja dan betapa pentingnya bagi kita semua untuk mengusahakannya bersama-sama. Pertama dan terutama dengan memberikan teladan yang baik dalam hidup kita, dengan penuh sukacita, menghayati sukacita Injil, tidak mengecilkan hati orang lain, tetapi mencari cara untuk mendorong orang muda untuk mendengarkan suara Tuhan dan mengikutinya serta melayani Gereja. “Akulah Gembala yang baik,” kata-Nya kepada kita.

 

Sekarang saya akan menambahkan satu kata saja, juga dalam bahasa Italia, karena misi yang kita laksanakan ini bukan lagi untuk satu keuskupan saja, tetapi untuk seluruh Gereja: semangat universal ini penting. Dan kita juga menemukannya dalam Bacaan Pertama yang kita dengar (Kis 13:14,43-52).

 

Paulus dan Barnabas pergi ke Antiokhia, mereka pertama-tama berbicara kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka tidak mau mendengarkan suara Tuhan, dan kemudian mereka mulai mewartakan Injil ke seluruh dunia, kepada orang-orang bukan Yahudi. Mereka berangkat, sebagaimana kita ketahui, pada misi besar ini. Santo Paulus tiba di Roma, tempat ia juga menggenapinya. Contoh lain dari kesaksian seorang gembala yang baik. Tetapi ada juga dalam contoh itu undangan yang sangat khusus bagi kita semua. Ia juga mengatakannya dengan cara yang sangat pribadi, yaitu mewartakan Injil ke seluruh dunia.

 

Tanpa rasa takut! Tanpa rasa takut! Yesus mengatakannya berulang kali dalam Injil: "Jangan takut." Kita harus berani dalam memberi kesaksian, dengan kata-kata kita dan terutama dengan hidup kita: menyerahkan hidup kita, melayani, terkadang dengan pengurbanan besar, untuk menjalani misi yang sama ini.

 

Saya melihat sebuah permenungan singkat yang membuat saya berpikir keras, karena juga muncul dalam Injil. Dalam hal ini, seseorang bertanya, "Ketika kamu memikirkan hidupmu, bagaimana kamu menjelaskan di mana kamu berada?" Jawaban yang diberikan dalam permenungan ini, dalam beberapa hal, juga merupakan jawaban saya, dengan kata kerja "mendengarkan." Betapa pentingnya mendengarkan! Yesus berkata, "Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku." Dan saya pikir penting bagi kita semua untuk belajar mendengarkan lebih banyak lagi, untuk berdialog.

 

Pertama-tama, bersama Tuhan: selalu mendengarkan Sabda Allah. Kemudian mendengarkan orang lain, membangun jembatan, mendengarkan tanpa menghakimi, dan tidak menutup pintu, memikirkan kita memiliki semua kebenaran dan tidak ada orang lain yang dapat memberitahu kita apa pun. Sangat penting untuk mendengarkan suara Tuhan, mendengarkan diri kita dalam dialog ini, dan melihat ke mana Tuhan sedang memanggil kita.


Marilah kita berjalan bersama dalam Gereja, memohon kepada Tuhan agar memberikan kita rahmat untuk mendengarkan Sabda-Nya agar dapat melayani segenap umat-Nya.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Mei 2025)



HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PRO ECCLESIA (BERSAMA PARA KARDINAL) DI KAPEL SISTINA 9 Mei 2025

Bacaan Ekaristi : Why. 21:9b-14; 1Ptr. 2:4-9; Mat. 16:13-19.

 

Saya akan mulai dengan sepatah kata dalam bahasa Inggris, lalu sisanya dalam bahasa Italia. Namun, saya ingin mengulangi kata-kata dari Mazmur Tanggapan: "Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib." Dan memang, bukan hanya bersama saya, tetapi bersama kita semua, saudara-saudara saya para kardinal. Saat kita merayakan pagi ini, saya mengajakmu untuk menyadari keajaiban-keajaiban yang telah dilakukan Tuhan, berkat-berkat yang terus dicurahkan Tuhan kepada kita semua. Melalui pelayanan Petrus, kamu telah memanggil saya untuk memikul salib itu dan diberkati dengan misi itu. Dan saya tahu bahwa saya dapat mengandalkan kamu masing-masing untuk berjalan bersama saya saat kita terus berlanjut sebagai sebuah gereja, sebagai komunitas sahabat-sahabat Yesus, sebagai orang-orang percaya, untuk mewartakan kabar baik, untuk mewartakan Injil.

 

[Dalam bahasa Italia]

 

"Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup" (Mat 16:16). Dengan kata-kata ini, Petrus, yang ditanyai Sang Guru, bersama dengan murid-murid lainnya, tentang imannya kepada-Nya, mengungkapkan warisan yang telah dilestarikan, diperdalam, dan diwariskan oleh Gereja, melalui suksesi para rasul, selama dua ribu tahun.

 

Yesus adalah Mesias, Putra Allah yang hidup: satu-satunya Juruselamat, yang menyingkapkan wajah Bapa semata.

 

Di dalam Dia, Allah, agar dapat membuat diri-Nya dekat dan dapat diakses oleh manusia, menyingkapkan diri-Nya kepada kita melalui mata seorang anak yang penuh kepercayaan, melalui pikiran seorang muda yang bersemangat, dan melalui fitur dewasa seorang manusia (bdk. “Gaudium et Spes,” No. 22), dan akhirnya menampakkan diri kepada para murid-Nya setelah kebangkitan-Nya dengan tubuh-Nya yang mulia. Dengan demikian, Ia menunjukkan kepada kita suatu model kekudusan manusiawi yang dapat kita semua teladani, bersama dengan janji tentang takdir kekal yang melampaui segala keterbatasan dan kemampuan kita.

 

Petrus, dalam tanggapannya, memahami kedua hal ini: karunia Allah dan jalan yang harus diikuti agar dirinya dapat diubah oleh karunia itu. Keduanya merupakan dua aspek keselamatan yang tidak terpisahkan yang dipercayakan kepada Gereja untuk diwartakan demi kebaikan umat manusia. Sesungguhnya, keduanya dipercayakan kepada kita, yang telah dipilih-Nya sebelum kita dibentuk dalam rahim ibu kita (bdk. Yer 1:5), dilahirkan kembali dalam air baptisan dan, melampaui keterbatasan kita dan tanpa jasa kita, dibawa ke sini dan diutus dari sini, sehingga Injil dapat diwartakan kepada segala makhluk (bdk. Mrk 16:15).

 

Secara khusus Allah telah memanggil saya melalui keterpilihan saya untuk menggantikan Pangeran Para Rasul, dan telah mempercayakan harta ini kepada saya sehingga, dengan bantuan-Nya, saya dapat menjadi pengelola yang setia (bdk. 1 Kor 4:2) demi seluruh Tubuh mistik Gereja. Ia telah melakukan hal itu agar kota itu dapat semakin menjadi kota yang terletak di atas bukit (bdk. Why 21:10), bahtera keselamatan yang berlayar di tengah lautan sejarah dan mercusuar yang menerangi malam-malam gelap dunia ini. Dan ini, bukan melalui kementerengan tatanannya atau kemegahan bangunannya – seperti monumen yang kita temukan di antaranya – melainkan melalui kekudusan para anggotanya. Karena kita adalah umat pilihan Allah untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Dia, yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (bdk. 1Ptr 2:9).

 

Namun, Petrus membuat pengakuan imannya dalam menjawab pertanyaan khusus: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" (Mat 16:13). Pertanyaan itu tidak remeh. Pertanyaan itu menyangkut aspek penting pelayanan kita, yaitu dunia tempat kita hidup, dengan keterbatasan dan potensinya, pertanyaan dan keyakinannya.

 

"Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jika kita merenungkan kejadian yang sedang kita pikirkan, kita mungkin menemukan dua kemungkinan jawaban, yang mencirikan dua sikap yang berbeda.

 

Pertama, ada tanggapan dunia. Matius memberitahu kita bahwa percakapan antara Yesus dan murid-murid-Nya terjadi di kota Kaisarea Filipi yang indah, yang dipenuhi dengan istana-istana mewah, terletak di lanskap alam yang luar biasa di kaki Gunung Hermon, tetapi juga tempat perebutan kekuasaan yang kejam serta tempat pengkhianatan dan perselingkuhan. Latar ini berbicara kepada kita tentang dunia yang menganggap Yesus sebagai orang yang sama sekali tidak penting, paling banter seseorang dengan cara bicara dan bertindak yang tidak biasa dan mencolok. Jadi, begitu kehadiran-Nya menjadi menjengkelkan karena tuntutan-Nya akan kejujuran dan persyaratan moral-Nya yang keras, "dunia" ini tidak akan ragu untuk menolak dan menyingkirkan-Nya.

 

Lalu ada tanggapan lain yang mungkin terhadap pertanyaan Yesus: tanggapan orang-orang biasa. Bagi mereka, orang Nazaret itu bukan seorang penipu, tetapi orang yang jujur, orang yang memiliki keberanian, yang berbicara dengan baik dan mengatakan hal-hal yang benar, seperti nabi-nabi besar lainnya dalam sejarah Israel. Itulah sebabnya mereka mengikuti-Nya, setidaknya selama mereka dapat melakukannya tanpa terlalu banyak risiko atau ketidaknyamanan. Namun bagi mereka, Ia hanya seorang manusia. Karena itu, di saat-saat bahaya, selama penderitaan-Nya, mereka pun meninggalkan-Nya dan pergi dengan kecewa.

 

Yang mencolok dari kedua sikap ini adalah relevansinya saat ini. Keduanya merupakan perwujudan gagasan yang dapat dengan mudah kita temukan di bibir banyak orang di zaman kita, meskipun, pada dasarnya identik, keduanya diungkapkan dalam bahasa yang berbeda.

 

Bahkan saat ini, ada banyak lingkungan di mana iman kristiani dianggap tidak masuk akal, ditujukan untuk kaum lemah dan tidak cerdas. Lingkungan di mana jaminan lain lebih disukai, seperti teknologi, uang, kesuksesan, kekuasaan, atau kesenangan.

 

Inilah konteks di mana tidaklah mudah untuk memberitakan Injil dan menjadi saksi kebenarannya, di mana orang-orang percaya diejek, ditentang, dihina atau paling banter ditoleransi dan dikasihani. Namun, justru karena alasan inilah, di sanalah jangkauan misioner kita sangat dibutuhkan. Ketiadaan iman sering kali disertai dengan hilangnya makna hidup, pengabaian belas kasihan, pelanggaran martabat manusia yang mengerikan, krisis keluarga, dan begitu banyak luka lain yang menimpa masyarakat kita. Dan ini tidak sedikit.

 

Saat ini, juga, ada banyak situasi di mana Yesus, meskipun dihargai sebagai seorang manusia, direduksi menjadi semacam pemimpin yang karismatik atau manusia super. Hal ini berlaku tidak hanya di kalangan orang-orang yang tidak percaya tetapi juga di kebanyakan umat kristiani, yang dengan demikian akhirnya hidup, pada tingkatan ini, dalam keadaan ateisme praktis.

 

Inilah dunia yang telah dipercayakan kepada kita, dunia yang di dalamnya, sebagaimana diajarkan Paus Fransiskus kepada kita berkali-kali, kita dipanggil untuk memberi kesaksian tentang iman kita yang penuh sukacita kepada Yesus Sang Juruselamat. Oleh karena itu, penting bagi kita juga untuk mengulangi, bersama Petrus: “Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup” (Mat 16:16).

 

Penting untuk melakukan ini, pertama-tama, dalam hubungan pribadi kita dengan Tuhan, dalam komitmen kita untuk perjalanan pertobatan setiap hari. Kemudian, melakukannya sebagai sebuah Gereja, bersama-sama mengalami kesetiaan kita kepada Tuhan dan membawa Kabar Baik kepada semua orang (lih. “Lumen Gentium,” No. 1).

 

Saya katakan ini pertama-tama kepada diri saya sendiri, sebagai Penerus Petrus, saat saya memulai misi saya sebagai Uskup Roma dan, menurut ungkapan terkenal dari Santo Ignatius dari Antiokhia, dipanggil untuk memimpin dalam kasih atas Gereja universal (lih. Surat kepada Jemaat di Roma, Prolog). Santo Ignatius, yang dirantai ke kota ini, tempat pengurbanannya yang akan datang, menulis kepada umat kristiani di sana: “Maka saya akan benar-benar menjadi murid Yesus Kristus, ketika dunia tidak lagi melihat tubuh saya” (Surat kepada Jemaat di Roma, IV, 1). Ignatius berbicara tentang dimangsa oleh binatang buas di arena — dan memang begitulah yang terjadi — tetapi kata-katanya berlaku lebih umum pada komitmen yang sangat diperlukan bagi semua orang di dalam Gereja yang menjalankan pelayanan otoritas. Yaitu menyingkir agar Kristus tetap tinggal, mengecilkan diri agar Ia dapat dikenal dan dimuliakan (lih. Yoh 3:30), mengurbankan diri semaksimal mungkin agar semua orang dapat memiliki kesempatan untuk mengenal dan mengasihi-Nya.

 

Semoga Allah menganugerahkan rahmat ini kepada saya, hari ini dan selalu, melalui perantaraan Maria, Bunda Gereja, yang penuh kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Mei 2025)