Bacaan Ekaristi : Kis. 15:1-2,22-29; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Why. 21:10-14.22-23; Yoh. 14:23-29.
Saya
menyapa dengan hangat para kardinal yang hadir, dan terutama Vikaris Kardinal,
para uskup auksiler, semua uskup dan para imam – para imam paroki, vikaris
parokial dan semua orang yang dengan berbagai cara bekerja sama dalam pelayanan
pastoral komunitas kita. Saya juga menyapa para diakon, para biarawan dan biarawati,
para pejabat sipil dan kamu semua, umat awam yang terkasih.
Gereja
Roma adalah pewaris sejarah besar, yang didasarkan pada kesaksian Petrus,
Paulus dan para martir yang tak terhitung jumlahnya, dan memiliki misi yang
unik, sebagaimana kita lihat dari prasasti di bagian depan katedral ini:
menjadi Mater omnium Ecclesiarum, Bunda semua Gereja.
Paus
Fransiskus sering mendorong kita untuk merenungkan dimensi keibuan Gereja (bdk.
Evangelii Gaudium, 46-49, 139-141; Katekese, 13 Januari 2016) dan kualitas yang
mendefinisikannya, yaitu kelembutan, pengurbanan diri, dan kemampuan untuk
mendengarkan. Kualitas tersebut memampukannya tidak hanya untuk membantu
sesama, tetapi juga sering kali mengantisipasi kebutuhan dan harapan mereka
bahkan sebelum kebutuhan dan harapan itu diungkapkan. Kita berharap kualitas
tersebut akan semakin hadir dalam diri umat Allah di mana pun, termasuk di
sini, dalam keluarga besar keuskupan kita: dalam diri umat beriman, dalam diri
para gembala, dan, pertama-tama, dalam diri saya sendiri. Bacaan-bacaan yang
telah kita dengar dapat membantu kita untuk merenungkan kualitas ini.
Kisah
Para Rasul (bdk. 15:1-2, 22-29) secara khusus menggambarkan bagaimana komunitas
kristiani awal menghadapi tantangan untuk membuka diri terhadap dunia bukan
Yahudi dalam pewartaan Injil. Ini bukan hal yang mudah; menuntut banyak
kesabaran dan saling mendengarkan. Hal ini terjadi di komunitas Antiokhia, di
mana saudara-saudara seiman, melalui dialog – dan bahkan perbedaan pendapat –
menyelesaikan masalah bersama-sama. Paulus dan Barnabas kemudian pergi ke
Yerusalem. Mereka tidak menyelesaikan masalah itu sendiri: mereka ingin
bersekutu dengan Gereja Induk dan karena itu mereka pergi ke sana dengan
kerendahan hati.
Di
Yerusalem, mereka bertemu Petrus dan para Rasul, yang siap mendengarkan mereka.
Ini adalah awal dialog yang akhirnya menghasilkan keputusan yang tepat.
Menyadari kesulitan para petobat baru, mereka sepakat untuk tidak menanggungkan
kepada mereka lebih banyak beban, tetapi hanya menekankan apa yang penting
(lih. Kis 15:28-29). Dengan cara ini, apa yang mungkin tampak sebagai masalah
menjadi kesempatan bagi setiap orang untuk berefleksi dan bertumbuh.
Akan
tetapi, teks biblis memberitahu kita sesuatu yang lain, di luar dinamika
manusiawi yang kaya dan menarik dari peristiwa tersebut.
Kita
melihat hal ini dalam kata-kata yang digunakan oleh saudara-saudara di
Yerusalem untuk mengomunikasikan keputusan mereka kepada komunitas yang ada di
Antiokhia. Mereka menulis, “Sebab, keputusan tersebut tampaknya baik bagi Roh
Kudus dan kami” (lih. Kis 15:28). Dengan kata lain, mereka menekankan bahwa
bagian terpenting dari seluruh peristiwa itu adalah mendengarkan suara Allah,
yang memungkinkan segala sesuatu yang lain terjadi. Dengan cara ini, mereka
mengingatkan kita bahwa persekutuan dibangun terutama “di atas lutut kita,”
melalui doa dan komitmen terus-menerus untuk bertobat. Karena hanya dengan cara
ini kita masing-masing dapat mendengar dalam diri kita suara Roh yang berseru,
“YaAbba, ya Bapa!” (Gal 4:6) dan kemudian, sebagai hasilnya, mendengarkan dan
memahami sesama sebagai saudara dan saudari kita.
Bacaan
Injil menegaskan kembali poin ini (bdk. Yoh 14:23-29). Bacaan Injil meyakinkan
kita bahwa kita tidak sendirian dalam membuat keputusan hidup. Roh Kudus menopang
kita dan menunjukkan jalan yang harus kita ikuti, “mengajar” kita dan
“mengingatkan” kita akan semua yang telah dikatakan Yesus kepada kita (bdk. Yoh
14:26).
Pertama,
Roh Kudus mengajarkan kita sabda Tuhan dengan menanamkannya jauh di dalam diri
kita, dituliskan, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Suci, bukan lagi pada loh
batu, tetapi di dalam hati kita (bdk. Yer 31:33). Karunia ini membantu kita
bertumbuh dan menjadi “surat Kristus” (bdk. 2Kor 3:3) bagi satu sama lain.
Tentu saja, semakin kita memperkenankan diri kita diyakinkan dan diubah oleh
Injil — memperkenankan kuasa Roh Kudus memurnikan hati kita, membuat kata-kata
kita lugas, keinginan kita jujur dan jelas, dan tindakan kita murah hati —
semakin kita mampu mewartakan pesannya.
Di
sini, kata kerja yang lain berperan: kita mengingat, yaitu, kita merenungkan
dalam hati kita tentang apa yang telah kita alami dan pelajari, untuk memahami
maknanya lebih dalam dan menikmati keindahannya.
Saya
pikir dalam hal ini proses mendengarkan yang menantang yang telah dilakukan
Keuskupan Roma selama bertahun-tahun, sebuah proses yang dilakukan di berbagai
tingkatan: mendengarkan dunia di sekitar kita untuk menanggapi tantangannya,
dan mendengarkan dalam komunitas kita untuk memahami kebutuhan dan mengusulkan
prakarsa penginjilan dan amal yang bijaksana dan profetik. Ini telah menjadi
perjalanan yang menantang dan berkelanjutan yang dimaksudkan untuk merangkul
kenyataan yang sangat kaya dan rumit. Namun, layak untuk sejarah Gereja lokal
ini, yang telah menunjukkan, berulang kali, bahwa ia mampu "berpikir
besar", tidak takut untuk memulai rencana yang berani serta menghadapi
skenario yang baru dan menantang.
Hal
ini terbukti dari berbagai upaya besar dan prakarsa yang telah dilakukan
Keuskupan untuk menyambut dan memenuhi kebutuhan para peziarah selama Yubileum
ini. Terima kasih! Semua ini telah membuat kota Roma tampak bagi para
pengunjung, yang sebagian dari mereka telah menempuh perjalanan jauh, sebagai
rumah yang luas, terbuka, dan ramah, dan terutama sebagai tempat yang penuh
dengan iman yang mendalam.
Dari
pihak saya, saya ingin menyampaikan keinginan kuat saya untuk berkontribusi
pada proses besar yang sedang berlangsung ini dengan mendengarkan sebanyak
mungkin orang, belajar, memahami, dan memutuskan berbagai hal bersama-sama,
sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, “sebagai seorang kristiani bersamamu dan
seorang uskup bagimu” (bdk. Khotbah. 340, 1). Saya juga memintamu mendukung
saya dalam doa dan amal, mengingat kata-kata Santo Leo Agung: "Semua kebaikan
yang kita lakukan dalam menjalankan pelayanan kita adalah karya Kristus dan
bukan karya kita, karena kita tidak dapat melakukan apa pun tanpa Dia. Namun,
kita bermegah di dalam Dia, asal seluruh efektivitas karya kita" (Khotbah,
5, De Natali Ipsius, 4).
Perkenankan
saya mengakhiri dengan menambahkan kata-kata yang diucapkan Beato Yohanes
Paulus I, yang wajah gembira dan tenangnya telah membuatnya mendapat julukan
"Paus yang tersenyum," saat menyapa keluarga keuskupan barunya pada
tanggal 23 September 1978. "Santo Pius X," katanya, "ketika
memasuki Venesia sebagai patriark, berseru di Gereja Santo Markus: 'Apa jadinya
aku, umat Venesia yang terkasih, jika aku tidak mengasihimu?' Saya akan
mengatakan sesuatu yang serupa kepada mu umat Roma: Saya meyakinkanmu bahwa
saya mengasihimu, saya hanya ingin masuk ke dalam pelayananmu dan menempatkan
kemampuan saya yang terbatas, sedikit yang saya miliki dan saya miliki, untuk
melayani semua orang" (Khotbah pada Kepemilikian Takhta Uskup Roma).
Saya
juga mengungkapkan kasih sayang saya kepadamu dan keinginan saya untuk berbagi
denganmu, dalam perjalanan kita bersama, suka duka kita, perjuangan dan harapan
kita. Saya juga mempersembahkan kepadamu "sedikit yang saya miliki dan apa
adanya," dan mempercayakannya kepada perantaraan Santo Petrus dan Paulus
serta semua saudara-saudari kita yang kekudusannya telah menerangi sejarah
Gereja ini dan jalan-jalan kota ini. Semoga Perawan Maria menyertai kita dan
menjadi perantara kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 26 Mei 2025)